Share

Ketika Suami Tak Lagi Peduli
Ketika Suami Tak Lagi Peduli
Author: Risca Amelia

Telat Gajian

“Mas,” panggilku pelan.

Kulihat Mas Yoga tengah memakai kaus santainya di depan lemari baju kami. Lalu ia mematut diri sebentar di sisi lemari yang terdapat cermin besar. Mas Yoga hanya menanggapi panggilanku dengan deheman singkat, lalu berjalan menuju ranjang dan merebahkan seluruh tubuh di atasnya. Aku menahan napas sebentar, sudah berkali-kali Mas Yoga mengabaikanku satu minggu ini.

“Seharusnya kamu sudah mendapat gaji untuk bulan ini, kan, Mas? Aku ingin meminta uang untuk membayar iuran RT, kebutuhan Zidan, dan kebutuhan sehari-hari. Tadi Bu RT kesini. Aku janji akan membayar iuran RT besok," jelasku meminta nafkah bulanan.

Pandanganku sama sekali tak teralih, terus menatap Mas Yoga yang asyik memejamkan mata.

Tak berselang lama, ia merotasikan kedua bola mata, lalu menatap ke arahku sembari menajamkan pandangan. Nyaliku langsung menciut, tetapi mau bagaimana lagi? Terus terang aku malu kepada Bu RT yang sudah tiga kali menagihku. Lagipula segala keperluan di dapur sudah sangat menipis. Aku ragu besok malam kami memiliki stok untuk makan malam.

“Aku belum mendapatkan gaji, keuangan perusahaan akhir-akhir ini sedang sulit. Pembayaran gaji karyawan ditunda,” balas Mas Yoga dengan nada tak senang. Entah mengapa, aku malah ragu mendengar alasannya. Sudah empat bulan ke belakang Mas Yoga mengatakan alasan yang sama saat aku meminta jatah bulanan untuk keperluan hidup.

“Lagi-lagi seperti ini? Mengapa kamu tidak protes pada atasanmu, Mas? Aku juga pernah menjadi karyawan kantoran. Tidak mungkin ada karyawan yang mau haknya disepelekan oleh perusahaan. Apalagi sampai telat gajian terus-menerus,” tanyaku kembali. Aku berusaha untuk tidak gentar dan memberanikan diri sendiri.

Namun Mas Yoga malah menggeram tak senang. Pria itu langsung membuang satu bantal ke sembarang arah. Lantas ia menatapku dengan tatapan penuh amarah. Aku yang ditatap sedemikian langsung memundurkan langkah. Zidan dalam gendonganku ikut terkejut dan menangis. Dengan lembut aku menepuk punggungnya seperti biasa, tetapi tangisannya malah semakin membahana. Suasana di dalam kamar sama sekali tidak nyaman, mungkin karena pertikaian yang mulai terjadi di antara kami.

"Kamu pikir protes ke atasan itu gampang? Lagipula yang telat gajian bukan cuma aku. Kalau aku sendirian yang ngotot minta gaji, bisa-bisa aku dipecat. Kamu bisa menanggung biaya hidup kita kalau aku jadi pengangguran?" hardik Mas Yoga.

Mas Yoga menatap ke arah Zidan sebentar lalu kembali melotot kepadaku.

"Kamu yang tidak becus memberikan ASI pada Zidan! Padahal uang susu formula sangat mahal jika direkap ulang! Uang kita cepat habis karena itu!" seru Mas Yoga kembali.

Ya, selalu seperti ini. Dia selalu menjadikan alasan ASIku yang tidak lancar sebagai sebuah alasan. Tidakkah Mas Yoga melihat jika kondisi tubuhku sangat memprihatinkan? Orang-orang berkata aku sangat kurus. Penyebab ASIku tidak lancar karena terlalu stres dan kurang asupan gizi. Setiap bulan aku selalu memikirkan kondisi keuangan kami yang memprihatinkan.

"Maaf, Mas," jawabku lirih. Hanya itu yang bisa kukatakan untuk mengakhiri pertikaian singkat antar kami. Aku sudah biasa dibentak setiap kali kami membicarakan masalah uang. Sakit hati itu sudah pasti. Namun kian hari aku kian kebal terhadap suara bernada tinggi yang terlontar dari bibir suamiku.

Malam harinya, aku menyadari jika Mas Yoga mendiamkan aku. Aku kewalahan menjaga Zidan sepanjang hari tanpa bantuan darinya. Mas Yoga seolah melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan ayah. Bahkan saat aku kerepotan membuat susu dan Zidan rewel, Mas Yoga sama sekali tidak beranjak dari atas sofa kecil yang kami miliki.

Dari arah dapur yang menyatu dengan kamar mandi, aku menatap Mas Yoga dengan pandangan nanar. Tanganku memegang sebuah botol dot yang tengah diresap isinya oleh Zidan. Sedangkan satu tanganku yang lain mengusap tubuh belakangnya.

Mas Yoga sama sekali tidak berinsiatif menggendong Zidan, setidaknya agar aku memiliki sedikit waktu untuk pergi membersihkan diri. Penampilanku jauh dari kata rapi. Bahkan rambutku yang panjang dan kuikat dengan jedai sudah nampak berantakan.

Beberapa kali aku mencoba menegur Mas Yoga. Sekedar agar dia bersedia menggantikanku menjaga Zidan sebentar. Aku ingin pergi ke kamar mandi dan memberishkan dapur sebentar saat Zidan tidur. Namun Mas Yoga tak menghiraukan permintaanku. Dia malah beranjak untuk sekadar menuntaskan makan malamnya dengan tenang. Jangan lupakan fakta jika sampai sekarang ini, aku belum sempat memakan apapun setelah pertikaian antar kami selesai.

Usai makan malam, Mas Yoga hanya sibuk dengan gawainya. Pria itu memainkan game online di ruang tamu sepanjang malam tanpa mengetahui kalau aku menangis dalam diam di kamar. Apalagi seluruh tubuhku terasa begitu lelah.

Aku tiba-tiba mengingat masa laluku di Yogyakarta. Dahulu ada banyak pria tampan yang berterus terang mengejarku dan berharap bisa meminangku sebagai istri. Saat itu di antara sekian banyak pria, aku memilih Mas Yoga. Alasan terbesarku adalah karena Mas Yoga pria yang begitu perhatian. Aku melupakan fakta bahwa tampangnya biasa-biasa saja dan berasal dari keluarga sederhana. Aku berpikir, jika suamiku sangat perhatian, aku akan bahagia. Tetapi sikap itu hanya sementara, perlahan Mas Yoga menunjukan sikap dan karakter aslinya.

Traumaku saat itu masih sangat kuat. Ketakutanku pada pria berwajah tampan membuat Mas Yoga menjadi pilihan akhirku. Dahulu, ayahku sangat tampan dan gagah. Banyak orang mengatakan paras cantikku adalah warisan dari gen ayahku.

Namun ketampanan ayahku justru membawa petaka bagi pernikahannya. Karena merasa ibu tidak cukup cantik, ayah gemar berselingkuh. Saat aku beranjak remaja, ia pergi tanpa jejak meninggalkan kami. Ini terdengar konyol, tetapi traumaku kepada pria berwajah tampan memang benar adanya.

Aku selalu berpikir jika memulai hidup baru dengan Mas Yoga pastilah sangat indah. Terlebih Mas Yoga sangat perhatian dan selalu bersikap lembut saat kami belum terikat pernikahan. Mas Yoga menjadi sosok yang paling mengerti kondsiku dan ibu saat itu.

Karena itulah aku memantapkan hati untuk meminta kejelasan atas hubungan kami. Mas Yoga berkata agar aku menunggu sebentar lagi. Dia sudah mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan finance di Jakarta. Dengan setia, aku menunggunya berbulan-bulan. Kami bahkan sempat lost contact, tapi aku melanjutkan hidupku dengan tumpukan pekerjaan di kantor. Kala itu aku juga bekerja sebagai staf akuntansi di salah satu perusahaan percetakan di Yogyakarta.

Lalu Mas Yoga datang dengan segala persiapan. Dia meminangku di depan ibuku. Kemudian kami mengadakan pesta cukup besar untuk merayakan ikatan halal kami. Jika dikenang, pernikahan awal kami berdua sangat terang benderang. Tidak abu-abu seperti sekarang.

Aku kembali menghembuskan napas. Menengadahkan wajah, menatap langit-langit kamar dengan harapan air mataku tidak meluncur kembali. Setiap kali meratapi nasibku sekarang, mataku selalu berlinang. Aku bahkan merelakan pekerjaan mapanku sebagai seorang akuntan untuk menikah dengan Mas Yoga. Bohong jika aku tidak menyesal memilih pernikahan ini. Pada kenyataannya Mas Yoga tidak seperti yang aku harapkan!

Seiring berjalannya pernikahan kami, lebih tepatnya saat aku dinyatakan hamil dua minggu oleh bidan di Pukesmas, sikap Mas Yoga perlahan berubah. Dia memperlihatkan karakter tersembunyi, sifat yang tidak pernah kuketahui saat kami menjalin cinta.

Mas Yoga memiliki sifat yang tak jauh berbeda dengan Ayah. Aku berani bersumpah jika saat Mas Yoga membentak atau mengamuk, semua itu mengingatkanku pada ayah. Aku seperti sosok ibu yang hanya bisa membisu sembari meratap. Nasib pernikahan kami sama-sama tidak sesuai dengan ekspetasi. Kadang aku berpikir, mungkinkah ini karma yang harus kutanggung akibat kegagalan pernikahan kedua orang tuaku?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status