Sudah satu bulan ini aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Meski masih ada beberapa orang yang tetap memberi perhatian padaku. Aku jalani hari-hari penuh rasa syukur.Tok tok tokKebetulan hari ini hari libur jadi aku juga libur buka lapak di depan sekolah. Aku berkutat dengan memasak makanan di pagi hari. Pekerjaan yang jarang aku lakukan karena setiap pagi sudah harus gelar lapak."Ibu, Bapak" Aku terkejut melihat dua orang tuaku pagi ini. Entah siapa yang yang memberi tahu alamat rumah ini kepada mereka."Arin, Ibu rindu sekali!" Ibuku memelukku begitu erat."Mari masuk dulu, Pak!" mbak Mira mempersilahkan Bapak masuk saat aku berpelukan dengan Ibu. Kemungkinan Mbak Mira yang mengantarkan kedua orang tuaku.Mbak Mira juga membuat teh hangat untuk kedua orang tuaku. Benar-benar seorang yang sangat baik meski tidak ada hubungan darah di antara kami."Mbak Mira. Maaf jika Arin merepotkan!" Aku duduk di samping ibuku dan ayahku. Sorot kedua mata Ayah terlihat sangat berbeda hari ini.
Aku mengabaikan pesan Mas angga. Bukan karena alasan, tetapi karena kami sudah tidak ada hubungan apapun. Aku khawatir akan menjadi sebuah fitnah nantinya jika aku tidak mengabaikan pesan dari mantan suamiku. Aku juga tidak ingin lagi memiliki hubungan apapun dengan Mas Angga beserta keluarganya. Aku duduk berselonjor di ranjang sesekali memijid betisku yang lelah. Kaki yang selalu kuat membawaku berjuang seorang diri. Kaki yang tidak pernah lelah melangkah di saat aku harus mencari nafkah untukku sendiri.Drrt drrtKini pesan Mas Angga yang kuabaikan beralih ke sebuah panggilan. Aku malas sekali menerima panggilannya. Apalagi dia telah menyakitiku sebelumnya. Meski sudah satu bulan lamanya tidak bertemu, namun luka yang dia torehkan tidak langsung sembuh begitu saja. Sepertinya butuh waktu yang sangat lama untuk menyembuhkan luka ini. Luka atas perlakuan abai padaku selama menikah dan berakhir penghianatan.Tok tok tokAku terkejut mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku."Nak, a
Sudah tiga bulan aku tinggal di kampung asalku. Selama kurang lebih dua bulan, toko yang dibangun juga sudah selesai. Mungkin terlalu lama, karena seringkali tukang minta jatah libur atau terlambatnya pengiriman bahan bangunan. Hari ini juga Bang Akhwan mulai mengirim beraneka jenis pupuk, mulai organik sampai buatan pabrik serta aneka bibit dan segala pestisida dari beberapa merk. Sengaja Bang Akhwan mengirim beberapa merk yang berbeda sesuai harga. Tentu saja harga yang ramah di kantong masyarakat. Aku melihat satu truk pengantar pupuk. Bapak dan Ibu antusias sekali menyambut kedatangan truk yang membawa barang-barang untuk mengisi toko baru kami. "Alhamdulillah, Rin. Abangmu sudah memenuhi semua kebutuhan toko kamu!""Bu, ini bukan toko Arin saja. Tapi ini toko kita semua!" Aku tidak bisa mengakui sesuatu kalau bukan dari hasil keringatku sendiri. Aku tetap menganggap toko ini usaha keluarga. Toh, nanti jika Bang Akhwan pulang kampung, Bang Akhwan masih bisa menjalankan usaha yang
Pesan yang dikirim Mas Aldi membuatku semakin dilema. Meski ini mustahil tetapi hatiku tengah berharap kembalinya Rizky. Entah, aku juga tidak tahu penyebabnya. Tetapi pikiranku dipenuhi wajah Rizky. Apa mungkin karena aku belum meminta maaf kepadanya sebelum dia pergi. Aku memang ceroboh, bertengkar dengan seseorang sebelum dia pergi. Andai aku tahu, pasti aku bersikap baik padanya.Hari ini kami berkutat di dapur untuk acara syukuran nanti sore. Aku dan Ibu dibantu beberapa tetangga sejak subuh sudah berkutat di dapur sederhana kami. Sebagian ada yang fokus membuat jenang di dapur kotor alias dapur yang masih menggunakan tungku besar dan kayi bakar sebagai bahan bakarnya. Sedangkan sebagian lain membuat bumbu untuk ayam di dapur bersih. Atau dapur yang terdapat kompor gas.Aku senang bisa ikutan membuat makanan khas kampung. Apalagi ayam ingkung menjadi menu andalan kami. Kebetulan ayam peliharaan ayah bertambaj banyak sehingga memutuskan untuk dibuat menu ayam ingkung. Ibu sibuk
Kami bertiga sejak subuh sudah bersiap untuk ke kota menghadiri pernikahan kedua mantan ayah mertuaku. Meski kami bukan lagi bagian dari saudara tetapi karena kebaikan yang ditebar mantan ayah mertua pada kami, maka kami pun tetap melanjutkan tali siraturahim. Ibu terlihat mempersiapkan gawan (buah tangan untuk pengantin) meski bukan barang mewah. Gula sepuluh kilo ditambah beras satu karung sebagai buah tangan kami.Bapak terlihat gagah dan tampan menggunakan kemeja batik khas kota kami, Pekalongan. Begitu pula dengan Ibu, menggunakan kebaya dengan warna senada dengan kemeja Bapak. Rambut Ibu disanggul, seperti kaum bangsawan. Kedua orang tuaku terlihat sangat serasi, apalagi di setiap kebersamaannya, Bapak akan bersikap jahil pada Ibu. Mobil yang membawa kami sebentar lagi akan memasuki komplek perumahan kami. Memang rumah Bapak berada di komplek yang sama dengan mantan suami, hanya saja berbeda blok sehingga tidak perlu melewati jalan depan rumah mantan suami. Mobil kami akhirnya
Kepalaku masih terngiang kejadian tidak menyenangkan saat pernikahan kedua mantan ayah mertua. Benar-benar sikap mantan Ibu mertuaku di luar nalar. Begitu bar-bar ketika menghadiri pernikahan mantan suaminya."Andai jika tidak ada yang melerai Ibu, sudah pasti wanita itu babak belur di tangan Ibu!" Celetuk Ibu saat perjalanan pulang. "Untung tidak jadi babak belur, Bu. Arin malah sedih sampai Ibu membuat babak belur seseorang. Bukankah Ibu selalu mendidik Arin menjadi wanita yang lemah lembut?" Aku kembali mengingatkan Ibu supaya tidak terlalu emosi dengan sikap mantan ibu mertuaku."Iya, tetapi tidak terlalu lemah juga, Rin. Kok ada manusia kayak gitu. Andai Ibu tahu perangainya, tidak akan sudi menikahkanmu dengan anaknya yang banci itu!" "Modelan kayak Ibu juga ada. Lemah lembut perangainya tetapi kalau marah melebihi auman singa!" Celetuk Bapak yang sedari tadi diam. Begitulah Ibuku jika anaknya di sakiti. Bapak tidak banyak bicara selama perjalanan ke rumah dan lebih banyak ti
Usia mengantarkan kopi untuk mereka, aku gegas ke toko. Setidaknya aku bisa menghindar darinya meski berada di rumah. Kebetulan lokasi toko terpisah dari rumah meski berada tepat di samping rumah. "Arin, bibit jagung dua ya!" Akhirnya pelangga pertama datang. Pak Hari salah satu seorang petani di kampungku menjadi pelangga pertamaku hari ini."Baik, Pak!" Aku gegas mengambil dua pack bibit jagung beserta nota harga untuk Pak Hari."Ini totalnya, Pak!" Aku menyerahkan nota kepada Pak Hari sekaligus bibit jagung yang diminta. "Rin, racun rumput merek N*x*n ada?" Bu Parmi menjadi pelanggan kedua. Di belakangnya terlihat beberapa sepeda angin dan motor mulai terparkir. Benar-benar alhamdulillah cukup ramai di hari pertama. Bisa jadi karena lokasi toko berada di kampung mereka sendiri jadi lebih mudah mendapatkannya. Sebelum toko ini dibangun, warga harus pergi ke desa sebelah untuk membeli bibit, pupuk dan sebagainya. Ditambah lagi harga lebih mahal daripada yang aku jual saat ini. Enta
Akhirnya aku menuju ke teras rumah, dimana dia menyuruhku keluar. Dia benar-benar menyebalkan sekali. Aku tahu dia menatapku saat aku duduk di kursi teras. "Nih, tangkap!" HapAku berhasil menangkap sesuatu darinya. Entah apa yang dia berikan padaku. Sebuah kotak berukuran 30 x 25 cm. "Sudah, balik tidur sana!" Hanya ini saja, aku kira dia akan mengatakan sesuatu. Aku langsung balik kamar. Kupandang kotak berbungkus kertas kado yang entah isinya apa.Srek srekSuara kertas kado pembungkus kotak aku robek perlahan. Aku sangat terkejut membuka pesan yang tertulis disana. Bagaimana bisa dia ingat, padahal kenal juga tidak terlalu dekat. Mantan suami juga tidak pernah mengingat hal ini.SELAMAT ULANG TAHUN, MONYET!Sungguh aku dibuatnya terharu. Sebuah kotak berisi cokelat ditambah satu gaun yang sama saat dia berikan padaku. Apakah Mbak Mira memberikan gaun yang kukembalikan pada Rizky? Aku beranjak menemuinya lagi membawa gau yang diberikan olehnya."Aku sudah bilang, aku tidak akan