Share

Bab 2. Ancaman

Aku terduduk di lantai meratapi nasibku yang kurang beruntung. Bayang-bayang menikmati indahnya pernikahan yang dulu pernah kuimpikan ternyata tidak sesuai hasil.

"Sekali lagi mau mencoba pergi, aku patahkan kakimu!" Mas Angga pergi meninggalkanku begitu saja terisak di kamar. Samar-samar aku mulai mendengar Ibu mertuaku dan Iparku mengoceh tidak jelas. Mengoceh karena tidak berhasil mengusirku dan membuat Mas Angga menceraikanku.

Deru motor semakin menjauh, itu tandanya Mas Angga benar-benar pergi kembali ke tempat kerja. Mungkin karena aduan dari Ibu mertuaku membuat Mas Angga menyempatkan pulang sejenak. Memang jarak tempatnya bekerja tidak jauh dari rumah, hanya sekitar dua puluh menit menggunakan motor sudah sampai di lokasi pabrik.

"Nangis mulu, masih beruntung si Angga mempertahankanmu. Dan asal kamu tahu, kamu disini tak lebih dari seorang pembantu!" Ibu mertua dan Iparku cekikikan setelah menghinaku.

"Arin. Mulailah bekerja membersihkan semua pekerjaan rumah tangga!" Begitulah ibu mertuaku yang selalu berteriak jika menyuruhku melakukan pekerjaan rumah tangga. Semenjak Ibu mertua berpisah dengan ayah mertua satu tahun lalu, duniaku semakin mengenaskan. Ayah mertua selalu membelaku jika aku mendapat perlakuan buruk dari Ibu mertua dan Iparku.

"Bagi duit dong!" Stella menengadahkan tangan ke arahku. Masih SMA tetapi sikapnya tidak mencerminkan bukan orang berpendidikan.

"Aku tidak punya, Stella. Aku belum mendapatkan uang dan Ibu sudah mengobrak abrik semua daganganku!" Kulihat Stella melipat kedua tangannya di dada sambil menatap sinis ke arahku.

"Ibu! Kak Arin menuduh Ibu, nih!" Sungguh di luar dugaan. Aku kira gadis ini akan pergi setelah kukuatakan aku tidak punya uang. Ternyata dia mengadukan hal ini kepada Ibunya.

Seketika aku melihat Ibu mertuaku datang ke kamarku dengan berkacak pinggang. Serta matanya nyalang menatapku.

"Bagi duit pada Stella, cepat!" Ternyata anak dan Ibu sama saja. Hanya uang yang ingin dia dapatkan.

"Arin tidak punya, Bu! Arin belum dapat uang!" Tanpa seijinku, dirampasnya sling bag milikku dan menemukan uang yang kusimpan dari hasil jualan martabakku beberapa hari kemarin.

"Dasar pembohong! Ini apa kalau bukan duit!" Sebanyak enam lembar seratus ribuan dikibas-kibaskan di depanku.

Ibu memberikan tiga ratus ribu kepada Stella dan tiga ratus ribu untuk dirinya sendiri. Mereka begitu santai seakan tidak berdosa setelah merampas dari hasil keuntungan berjualanku beberapa hari kemarin. Kukira semua akan berjalan lancar, namun ternyata baru seminggu berjualan, aku sudah mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan.

Setelah mendapatkan uang itu, mereka gegas pergi meninggalkanku. Aku kembali berdiri dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Mencuci piring kotor, mengepel lantai dan menyapu halaman. Sengaja aku tidak memasak karena tidak ada uang untuk membeli bahan makanan.

Menjelang sore, pekerjaanku baru selesai dan aku beristirahat sejenak setelah melakukan semua pekerjaan rumah. Tidak berapa lama, suara deru motor Mas Angga memasuki halaman rumah. Aku kesal namun aku tetap menyambutnya dengan mencium punggung telapak tangannya.

"Masak apa hari ini?" Suaranya sudah terdengar melunak.

"Aku tidak masak. Duitmu yang kamu beri sudah habis untuk membeli token listrik. Biaya listrik membengkak sejak semua kamar diberi AC!" Aku berlalu meninggalkannya ke dapur mengambil air minum untukku.

"Boros sekali, kamu! Uang segitu habis buat bayar listrik! Jangan bohong kamu!" Kebetulan slip pembelian token listrik masih tersimpan di saku. Kuberikan saja kepadanya.

"Nih, baca!"

Kedua matanya membola sempurna melihat banyaknya kebutuhan listrik yang kubeli. Sejak Stella dan Ibu pindah kemari, semua biaya menjadi membengkak. Tidak ada kepedulian sama sekali dari mereka. Rumah tinggal yang selama ini Ibu tempati bersama Ayah mertua adalah rumah warisan keluarga ayah mertua. Jadi pihak keluarga Ayah mertua tidak mau jika Ibu mertua yang menempati rumah itu setelah bercerai.

"A-Arin, apakah semahal ini biaya listrik selama sebulan?" Sepertinya dia masih tidak percaya dan mengira aku bercanda

"Tanyakan saja sama petugas konter atau kamu bisa lihat, beli listrik sebanyak itu untuk apa saja?"

Aku berlalu meninggalkannya ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Tidak terasa perutku mulai keroncongan minta diisi karena sehatian belum terisi apapun. Kurogoh saku hanya berisi uang sepuluh ribu sisa pembelian token. Aku ke warung dan membeli mie instan isi dua untuk menu makanku malam ini. Tidak masalah mie yang terkenal dengan rasa biasa saja, setidaknya bisa mengganjal perutku supaya tidak kelaparan.

"Arin!" Aku terkejut melihat ayah mertua bersama seorang lelaki sedang menikmati secangkir kopi.

"Ayah, bagaimana kabarnya?" Aku duduk tidak jauh dari tempat ayah mertua menikmati kopi.

"Alhamdulillah, Ayah sehat. Bagaimana dengan rumah tanggamu?" Sungguh ingin kukatakan semakin pahit, namun apa yang bisa kuperbuat selain menelan sendiri rasa pahit ini.

"Alhamdulillah, Ayah."

"Mau belanja apa, Nak?" Sosok yang selalu menganggapku layaknya anak sendiri.

"Hanya mau membeli mie instan, Ayah."

"Kamu tidak masak?" Aku menggeleng pelan disertai senyum kecut.

"Gimana mau masak, orang jualannya si Arin diobrak abrik Ibu mertuanya. Sudah tersebar berita ini!" Celetuk Mbak Mira, pemilik warung yang biasanya menjadi tempat Ibu-ibu menggosip.

"Benar itu, Arin?" Aku tersenyum dan mengangguk pelan tidak berani bicara.

"Sekali-kali kamu harus melawannya. Dia itu bukan panutan ibu yang baik!"

Tiba-tiba ayah memesankan aku semangkuk bakso yang kebetulan melintas. Ayah memesan bakso paling spesial untukku, aku berterima kasih dan menikmati bakso tersebut di warung Mbak Mirah. Mbak Mirah yang iba padaku ikut membuatkan teh hangat untukku.

"Yang sabar ya, Rin. Tenang saja, semua yang tahu kisahmu pasti mendoakan yang terbaik untukmu!" Kata Mbak Mirah sembari meletakkan teh hangat di meja.

"Terima kasih perhatiannya, Mbak. Semoga Allah membalas semua kebaikan Mbak Mirah dan semua yang sudah berbaik hati padaku!"

Tak berapa lama, Mas Angga datang ke warung dan melihatku menikmati bakso. Ayah juga melihat kedatangan Mas Angga ke warung.

"Kamu kenapa melotot begitu, Angga? Mau makan bakso juga?" Kulihat Mas Angga memalingkan wajahnya dari ayahnya sendiri. Dulu Mas Angga begitu dekat dengan ayah mertua. Hanya saja setelah Ibu mertua sering bersandiwara, maka renggang sudah hubungan Mas Angga dengan ayahnya sendiri.

"Ayo pulang sekarang!" Mas Angga menarik tanganku begitu saja. Kulihat kedua mata Mas Angga tidak suka melihatku menikmati bakso pemberian ayah mertua.

"Aku lapar, Mas. Bisakah kau membiarkan aku menghabiskan bakso ini?"

"Angga, tetap saja kamu tidak berubah! Selalu terperdaya Ibumu sendiri. Ingatlah, suatu saat nanti kamu pasti menyesal!" Mas Angga terlihat ragu menarik tanganku dan memutuskan kembali pulang sendirian.

Aku bersyukur masih bisa menikmati bakso ini sampai habis. Tidak kupedulikan kemarahan Mas Angga nantinya di rumah. Toh, aku sudah biasa mendapat hinaan atau pukulan dari Mas Angga.

"Nak, ini ada sedikit uang untukmu. Jika nanti kamu sudah tidak tahan lagi, pergilah! Ayah akan mendoakan kebahagiaanmu!" Aku sebenarnya tidak enak kepada Ayah mertua yang sangat baik padaku. Aku terpaksa menerima uang pemberian ayah padaku.

"Sudah, Rin. Terima saja, setidaknya ayah mertuamu masih menganggapmu sebagai menantunya!" Aku terharu mendengar mereka berdua. Alhamdulillah masih ada yang memberikan perlindungan serta perhatian padaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status