Aku terduduk di lantai meratapi nasibku yang kurang beruntung. Bayang-bayang menikmati indahnya pernikahan yang dulu pernah kuimpikan ternyata tidak sesuai hasil.
"Sekali lagi mau mencoba pergi, aku patahkan kakimu!" Mas Angga pergi meninggalkanku begitu saja terisak di kamar. Samar-samar aku mulai mendengar Ibu mertuaku dan Iparku mengoceh tidak jelas. Mengoceh karena tidak berhasil mengusirku dan membuat Mas Angga menceraikanku.Deru motor semakin menjauh, itu tandanya Mas Angga benar-benar pergi kembali ke tempat kerja. Mungkin karena aduan dari Ibu mertuaku membuat Mas Angga menyempatkan pulang sejenak. Memang jarak tempatnya bekerja tidak jauh dari rumah, hanya sekitar dua puluh menit menggunakan motor sudah sampai di lokasi pabrik."Nangis mulu, masih beruntung si Angga mempertahankanmu. Dan asal kamu tahu, kamu disini tak lebih dari seorang pembantu!" Ibu mertua dan Iparku cekikikan setelah menghinaku."Arin. Mulailah bekerja membersihkan semua pekerjaan rumah tangga!" Begitulah ibu mertuaku yang selalu berteriak jika menyuruhku melakukan pekerjaan rumah tangga. Semenjak Ibu mertua berpisah dengan ayah mertua satu tahun lalu, duniaku semakin mengenaskan. Ayah mertua selalu membelaku jika aku mendapat perlakuan buruk dari Ibu mertua dan Iparku."Bagi duit dong!" Stella menengadahkan tangan ke arahku. Masih SMA tetapi sikapnya tidak mencerminkan bukan orang berpendidikan."Aku tidak punya, Stella. Aku belum mendapatkan uang dan Ibu sudah mengobrak abrik semua daganganku!" Kulihat Stella melipat kedua tangannya di dada sambil menatap sinis ke arahku."Ibu! Kak Arin menuduh Ibu, nih!" Sungguh di luar dugaan. Aku kira gadis ini akan pergi setelah kukuatakan aku tidak punya uang. Ternyata dia mengadukan hal ini kepada Ibunya.Seketika aku melihat Ibu mertuaku datang ke kamarku dengan berkacak pinggang. Serta matanya nyalang menatapku."Bagi duit pada Stella, cepat!" Ternyata anak dan Ibu sama saja. Hanya uang yang ingin dia dapatkan."Arin tidak punya, Bu! Arin belum dapat uang!" Tanpa seijinku, dirampasnya sling bag milikku dan menemukan uang yang kusimpan dari hasil jualan martabakku beberapa hari kemarin."Dasar pembohong! Ini apa kalau bukan duit!" Sebanyak enam lembar seratus ribuan dikibas-kibaskan di depanku.Ibu memberikan tiga ratus ribu kepada Stella dan tiga ratus ribu untuk dirinya sendiri. Mereka begitu santai seakan tidak berdosa setelah merampas dari hasil keuntungan berjualanku beberapa hari kemarin. Kukira semua akan berjalan lancar, namun ternyata baru seminggu berjualan, aku sudah mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan.Setelah mendapatkan uang itu, mereka gegas pergi meninggalkanku. Aku kembali berdiri dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Mencuci piring kotor, mengepel lantai dan menyapu halaman. Sengaja aku tidak memasak karena tidak ada uang untuk membeli bahan makanan.Menjelang sore, pekerjaanku baru selesai dan aku beristirahat sejenak setelah melakukan semua pekerjaan rumah. Tidak berapa lama, suara deru motor Mas Angga memasuki halaman rumah. Aku kesal namun aku tetap menyambutnya dengan mencium punggung telapak tangannya."Masak apa hari ini?" Suaranya sudah terdengar melunak."Aku tidak masak. Duitmu yang kamu beri sudah habis untuk membeli token listrik. Biaya listrik membengkak sejak semua kamar diberi AC!" Aku berlalu meninggalkannya ke dapur mengambil air minum untukku."Boros sekali, kamu! Uang segitu habis buat bayar listrik! Jangan bohong kamu!" Kebetulan slip pembelian token listrik masih tersimpan di saku. Kuberikan saja kepadanya."Nih, baca!"Kedua matanya membola sempurna melihat banyaknya kebutuhan listrik yang kubeli. Sejak Stella dan Ibu pindah kemari, semua biaya menjadi membengkak. Tidak ada kepedulian sama sekali dari mereka. Rumah tinggal yang selama ini Ibu tempati bersama Ayah mertua adalah rumah warisan keluarga ayah mertua. Jadi pihak keluarga Ayah mertua tidak mau jika Ibu mertua yang menempati rumah itu setelah bercerai."A-Arin, apakah semahal ini biaya listrik selama sebulan?" Sepertinya dia masih tidak percaya dan mengira aku bercanda"Tanyakan saja sama petugas konter atau kamu bisa lihat, beli listrik sebanyak itu untuk apa saja?"Aku berlalu meninggalkannya ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Tidak terasa perutku mulai keroncongan minta diisi karena sehatian belum terisi apapun. Kurogoh saku hanya berisi uang sepuluh ribu sisa pembelian token. Aku ke warung dan membeli mie instan isi dua untuk menu makanku malam ini. Tidak masalah mie yang terkenal dengan rasa biasa saja, setidaknya bisa mengganjal perutku supaya tidak kelaparan."Arin!" Aku terkejut melihat ayah mertua bersama seorang lelaki sedang menikmati secangkir kopi."Ayah, bagaimana kabarnya?" Aku duduk tidak jauh dari tempat ayah mertua menikmati kopi."Alhamdulillah, Ayah sehat. Bagaimana dengan rumah tanggamu?" Sungguh ingin kukatakan semakin pahit, namun apa yang bisa kuperbuat selain menelan sendiri rasa pahit ini."Alhamdulillah, Ayah.""Mau belanja apa, Nak?" Sosok yang selalu menganggapku layaknya anak sendiri."Hanya mau membeli mie instan, Ayah.""Kamu tidak masak?" Aku menggeleng pelan disertai senyum kecut."Gimana mau masak, orang jualannya si Arin diobrak abrik Ibu mertuanya. Sudah tersebar berita ini!" Celetuk Mbak Mira, pemilik warung yang biasanya menjadi tempat Ibu-ibu menggosip."Benar itu, Arin?" Aku tersenyum dan mengangguk pelan tidak berani bicara."Sekali-kali kamu harus melawannya. Dia itu bukan panutan ibu yang baik!"Tiba-tiba ayah memesankan aku semangkuk bakso yang kebetulan melintas. Ayah memesan bakso paling spesial untukku, aku berterima kasih dan menikmati bakso tersebut di warung Mbak Mirah. Mbak Mirah yang iba padaku ikut membuatkan teh hangat untukku."Yang sabar ya, Rin. Tenang saja, semua yang tahu kisahmu pasti mendoakan yang terbaik untukmu!" Kata Mbak Mirah sembari meletakkan teh hangat di meja."Terima kasih perhatiannya, Mbak. Semoga Allah membalas semua kebaikan Mbak Mirah dan semua yang sudah berbaik hati padaku!"Tak berapa lama, Mas Angga datang ke warung dan melihatku menikmati bakso. Ayah juga melihat kedatangan Mas Angga ke warung."Kamu kenapa melotot begitu, Angga? Mau makan bakso juga?" Kulihat Mas Angga memalingkan wajahnya dari ayahnya sendiri. Dulu Mas Angga begitu dekat dengan ayah mertua. Hanya saja setelah Ibu mertua sering bersandiwara, maka renggang sudah hubungan Mas Angga dengan ayahnya sendiri."Ayo pulang sekarang!" Mas Angga menarik tanganku begitu saja. Kulihat kedua mata Mas Angga tidak suka melihatku menikmati bakso pemberian ayah mertua."Aku lapar, Mas. Bisakah kau membiarkan aku menghabiskan bakso ini?""Angga, tetap saja kamu tidak berubah! Selalu terperdaya Ibumu sendiri. Ingatlah, suatu saat nanti kamu pasti menyesal!" Mas Angga terlihat ragu menarik tanganku dan memutuskan kembali pulang sendirian.Aku bersyukur masih bisa menikmati bakso ini sampai habis. Tidak kupedulikan kemarahan Mas Angga nantinya di rumah. Toh, aku sudah biasa mendapat hinaan atau pukulan dari Mas Angga."Nak, ini ada sedikit uang untukmu. Jika nanti kamu sudah tidak tahan lagi, pergilah! Ayah akan mendoakan kebahagiaanmu!" Aku sebenarnya tidak enak kepada Ayah mertua yang sangat baik padaku. Aku terpaksa menerima uang pemberian ayah padaku."Sudah, Rin. Terima saja, setidaknya ayah mertuamu masih menganggapmu sebagai menantunya!" Aku terharu mendengar mereka berdua. Alhamdulillah masih ada yang memberikan perlindungan serta perhatian padaku.Aku mendengar suara gemuruh seperti orang sedang marah-marah di ruang tamu. Aku bisa pastikan jika itu adalah suara Ibu mertua dan Stella."Assalamu alaikum," aku mengucap salam namun bukan jawaban yang kudapat. Malah tatapan tidak menyenangkan yang mereka tunjukkan padaku."Mana makanan kami, Arin?" Aku mengernyitkan kedua alisku mendengar pertanyaan mereka semua. Ku kira mereka semua agak amnesia termasuk suamiku sendiri."Makanan apa, Bu? Aku tidak memiliki uang sama sekali. Bahkan uang simpananku juga sudah kalian ambil!" Kulihat Stella dan Ibu mertua menatap nyalang padaku. Seakan tidak suka dengan jawabanku."Kamu tadi makan bakso, pasti kamu punya uang!" Andai aku memiliki keberanian untuk melakukan kekerasan, pasti lelaki yang bergelar suamiku ini kutendang tepat di kepalanya. Biar tidak oleng secara permanen."Iya. Bakso belas kasihan ayah mertua." Aku berlalu begitu saja menjawab pertanyaan mereka. Bisa-bisa gila jika lama-lama bertahan dalam keluarga ini. Aku ke kamar dan
Memastikan mereka sudah pergi, aku segera ke warung Mbak Mira untuk berbelanja bahan pesanan martabak telur. Benar-benar kumanfaatkan uang pemberian ayah mertua untukku."Mbak, bahan martabak telur seperti biasanya ya?" "Siap, Rin. Jualan lagi?" Tanya Mbak Mira sambil menyiapkan pesananku."Ada pesanan, Mbak. Alhamdulillah masih ada rejeki untukku!" "Alhamdulillah, Rin. Kamu hebat bisa bertahan di keluarga super aneh. Bapak mertua kamu aja nggak tahan, kamu masih bertahan!" Aku tersenyum mendengar ucapan Mbak Mira. Siapapun pasti menyayangkan dengan sikapku yang tetap bertahan."Bagaimana lagi, Mbak. Kita lihat kedepannya saja, jika masih sanggup ya aku lanjutkan. Tapi, jika suatu saat nanti aku sudah lelah, maka aku akan mundur!" Mbak Mira tersenyum dengan rencanaku. Memang begitulah rencanaku. Aku hatus menabung demi masa depanku, setidaknya aku bisa lebih sukses setelah melepaskan ikatan pernikahan yang cukup menyakitkan ini.Usai mengemas pesananku aku segera pulang dan meracik
[Rin, Stella digrebek satpol PP] [Yang bener, Mbak?] Balasku kepada Mbak Mira.[Nih, orang-orang banyak menjadi saksi saat Stella digrebek bersama seorang lelaki seusia Ayah mertuamu] Aku terkejut dengan sebuah pesan yang dikirimkan oleh Mbak Mira. Semakin tidak percaya dengan kabar dari Mbak Mira. Tidak percaya itupun salah, percaya juga aku tidak tahu kejadiannya. Entah, sekarang aku jadi bingung karena situasi sedang gawat dan aku sendiri sedang bersandiwara. Terpaksa aku mulai bangun dari tidurku alias selesai bersandiwara. Aku membuka pintu kamarku pelan-pelan untuk menemui Ibu mertuaku."Kamu sudah sadar, Rin?" Mas Angga menatapku berjalan sambil memegang kepala bagian belakang. Tadinya nyeri, namun sekarang sudah tidak lagi. Tetap berusaha pura-pura sakit di depan mereka."Mas, Stella kena grebek satpol PP.""Apa?" Ibu mertua histeris mendengar anak tersayangnya digrebek. Pastinya nanti akan menjadi berita utama Ibu-Ibu komplek."Dari mana kamu tahu?" Mas Angga menatapku curi
Semakin malam semakin ramai pesan di grub PKK. Kebetulan hanya aku yang masuk grub dari keluargaku. Sedangkan Ibu, beliau tidak pernah mau bergaul dengan warga. Padahal aslinya juga berada dari komplek sebelah lokasinya juga tidak jauh. Tidak sedikit yang menghujat Stella dan juga Ibu mertua."Ponselmu matikan saja, berisik tau!" Aku mematikan ponselku dan tidur memunggungi Mas Angga.Ting[Rin, tolong buatkan kue putu ayu 50 biji dan donat meses 50 biji dan jangan lupa martabak telor andalan juga 50 biji, bisa? Untuk acara pengajian di rumah besok lusa!" Aku mengintip satu pesan dari nomor seseorang. Ternyata Pak Parno penjual cilok memesan kue basah padaku. Alhamdulillah, kue basah yang mudah untuk membuatnya.[Baik, Pak!] Bersyukur sekali masih dilimpahkan rejeki lagi hari ini. [Uang muka Bapak titipkan ke Mbak Mira besok]Dewi fortuna masih berpihak padaku. Meski tidak berjualan martabak telur, tetapi aku masih bisa membuatnya di rumah sesuai pesanan. Apalagi kue lain yang tentu
Sepulang dari warung, aku dikejutkan dengan seorang berbadan tegap ditambah seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu. Wanita berpenampilan layaknya seorang bos. Rambut disanggul ke atas mirip ibu pejabat."Permisi, kenapa Ibu dan Bapak berdiri di depan pintu?""Enggak ada yang bukain!" Begitulah jawaban lelaki berdiri tegap tersebut dengan nada sinis."Panggil Marni keluar, dia harus membayar hutangnya! Kalau menghindar lagi, akan kusita rumah ini!" Aku terkejut sekali, itu tandanya Ibu mertua berhutang dalam jumlah besar karena Ibu-ibu ini berani menyita rumah."Baik, akan saya sampaikan!" Aku gegas masuk ke rumah dan mencari keberadaan Ibu mertua. Aku terkejut melihat Ibu mertua sedang bersembunyi di balik lemari pakaian."Bu, ada tamu. Katanya kalau nggak dibayar bisa disita rumah ini!" Ucapku sambil berlalu meninggalkannya yang sedang panik. Brak brak brak"Marni, cepat keluar atau kutendang kamu dari rumah ini!"Suara pintu diketuk, lebih tepatnya digedor dengan keras. A
Aku merasa ayah sangat kecewa dengan Stella dan istrinya. Sangat kentara ketika menghubungiku barusan. Ayah mana yang rela anak gadisnya belum lulus sekolah sudah berpacaran dengan pria seusia dengannya. "Kasihan ayah," aku menggeleng pelan, menyayangkan sikap Stella dan Ibu mertua.Menjelang sore tidak kulihat Stella dan Ibu mertua di ruang tamu atau ruang keluarga. Padahal, biasanya mereka lebih banyak menghabiskan waktu di ruang keluarga sambil menonton televisi jika sedang tidak keluar.Pekerjaanku membuat asinan akhirnya selesai menjelang jam pulang Mas Angga. Sengaja membuatnya lebih dulu karena besok aku harus menyiapkan pesanan Pak Parno. Selanjutnya aku memasukkan ke dalam lemari es untuk diantar besok. Usia menyelesaikan semuanya, gegas aku membersihkan diri dan membuat mie instan untukku.Mie instan hanya dengan campuran sawi yang kutanam di dalam pot. Sederhana namun sudah sangat mengenyangkan untukku."Kamu makan sendiri, Rin?" Aku terkejut melihat Ibu mertua melihatku m
Sejak pukul lima pagi, aku sudah berkutat dengan mengolah adonan donat. Sengaja adonan donat kubuat terlebih dahulu karena prosesnya cukup rumit. Ada jeda waktu yang harus digunakan untuk proses pemeraman adonan supaya tidak bantat dan bisa mengembang sempurna. Dilanjut dengan membuat kue selanjutnya supaya waktu tidak terbuang sia-sia. Apalagi membuat kue putu ayu tidak perlu waktu lama, setelah adonan jadi bisa dimasukkan cetakan sebelum dikukus."Wangi sekali, Rin. Masak apa?" Tiba-tiba saja Ibu mertuaku sudah berada di dapur."Membuat pesanan orang, Bu!" Jawabku tanpa memperhatikan keberadaan Ibu mertuaku."Bagi dong!" "Etss! Tidak bisa!" Aku tangkap tangannya ketika akan meraih kue putu ayu yang sudah matang. Seenaknya saja minta bagi kue padaku setelah beberapa hari yang lalu mempermalukanku di depan orang banyak dengan mengobrak abrik daganganku."Pelit amat jadi menantu!" "Ibu juga, gengsi amat punya menantu bisa menggelar lapak di depan sekolahan!" Sengaja kubalik hinaannya
Sejak subuh aku sudah bersiap mengemas semua perlengkapan barang dagangan. Aku sudah nekat dan aku siap mendapat resikonya meski pernikahanku menjadi taruhannya. Bukan karena aku ingin menjadi istri durhaka, aku ingin mendapat kebahagiaan dengan caraku sendiri. Hal ini terpaksa kulakukan karena memang aku tidak pernah mendapat hak selama menikah."Kamu jualan lagi?" Tumben sekali Ibu mertuaku sudah bangun sepagi ini. "Iya, Bu. Percuma saja diam di rumah menjadi istri yang baik tetapi tidak mendapatkan apapun termasuk nafkah. Lebih baik cari sendiri aja, yang nantinya bisa kunikmati!" Aku tidak menghiraukan Ibu mertua di sampingku."Dasar bandel, lebih baik kamu tinggal sendiri daripada mempermalukan kami sekeluarga!" "Tidak masalah jika aku harus tinggal sendiri, Bu. Asalkan aku tenang!" Aku mengangkat peralatan dagang ke sebuah motor butut. Tidak lupa kupanjatkan doa untuk hari ini. Jika nanti suamiku menginginkanku pergi, maka aku ikhlas melakukannya. Suasana masih sepi karena wa