Share

Ketika Usahaku Dibongkar Ibu Mertuaku
Ketika Usahaku Dibongkar Ibu Mertuaku
Penulis: Eka Sa'diyah

Bab 1. Memalukan

"Memalukan, bongkar semua ini, Arin!" Aku terkejut ketika Ibu mertuaku datang dan melempar semua bahan yang akan kujadikan martabak telur. Kedua mataku memanas ditambah rasa kesal karena ulah mertuaku.

"Kita mau makan apa jika aku tidak membantu berjualan, Bu? Mas Angga tidak pernah mencukupi kebutuhanku!" Ibu mertua melihat sekelilingnya, memastikan tidak ada yang memperhatikan kami.

"Alah, sudah seminggu kamu menjadi bahan gunjingan tetangga dan membuatku malu! Lebih baik di rumah seperti biasa dan kerjakan semua pekerjaan rumah!"

Aku, Arin. Aku adalah menantu dari keluarga cukup terpandang. Aku sengaja membuat usaha sendiri dengan berjualan martabak telur di depan sekolahan. Semua kulakukan karena kebutuhan semakin mencekik, sedangkan suamiku Mas Angga, lebih suka memberikan setengah dari uang bulanan kepada Ibu Mertuaku. Sedangkan, aku hanya mendapat uang sisa bahkan terkesan ala kadarnya. Mas Angga bekerja di salah satu pabrik menjadi supervisor dengan gaji di atas enam juta. Namun, semua itu tidak pernah kunikmati. Melainkan Ibu mertuaku dan adik iparku.

"Dasar, istri tidak tahu diri! Sudah diberi hidup enak masih juga mempermalukan suami dengan berjualan martabak!" Semua mata tertuju pada kami berdua. Ada rasa malu karena menjadi pokok pembicaraan Ibu-ibu yang mengantar anak-anaknya ke sekolah.

Kuraih beberapa alat masak yang terjatuh karena ulah Ibu mertua. Kukumpulkan satu persatu dalam sebuah karung yang biasanya kugunakan untuk tempat duduk jika semua anak-anak sudah masuk kelas atau sepi pembeli. Aku memasukkan semua alat sekenanya tanpa memperhatikan lagi mau pecah atau tidak. Yang jelas aku merasa sakit hati karena Ibu mertuaku menghina usaha kecilku.

"Cepat pulang! Harusnya kamu masak dan beberes rumah daripada jualan begini!" Ocehan mertuaku masih belum juga selesai. Posisiku jauh dari orang tua, sehingga aku jarang bisa berkumpul dengan keluargaku. Hanya melalui sambungan telepon yang bisa kulakukan untuk menghubungi mereka. Kulihat sekeliling lapakku, terdapat adonan martabak yang sudah berantakan. Ku ambil sapu dan membersihkannya terlebih dahulu. Mendapat tempat untuk membuka lapak, aku juga harus bertanggung jawab kebersihannya juga. Bukankah begitu yang harus dilakukan?

Ibu mertuaku sudah terlihat menjauh dari lapakku. Tangisku hampir saja pecah, hanya saja tetap kutahan untuk membuktikan jika aku wanita kuat. Tidak masalah terlihat kuat meski nanti aku akan mencari tempat yang sepi untuk meluapkan kesedihanku.

"Rin, sabar ya?" Pak Parno, salah satu pedagang cilok menenangkan aku. Selama ini aku selalu bercerita mengenai kehidupan rumah tanggaku kepada lelaki seusia ayahku di kampung. Kenal dengan Pak Parno, seperti dekat dengan ayahku.

"Iya, Pak. Arin kan kuat!" Aku mencoba tersenyum meski ada hati yang cukup tersakiti.

"Rin, mending kamu lempat saja lelaki kayak si Angga! Bisa-bisanya bikin kamu kayak gini!" Bu Asti, salah satu penjual mainan ikut kesal karena ulah keluarga suamiku.

"Bu, Arin bisa saja pergi. Tapi apa kata orang tuaku nanti, yang pasti akan menjadi beban pikiran orang tuaku!" Bu Asti manggut-manggut mendengar penjelasanku. Benar-benar pilihan yang sulit.

Usai berkemas, aku melajukan motor butut yang kugunakan untuk mengangkut bahan-bahan jualanku. Sesampai aku di rumah, aku dikejutkan dengan keberadaan motor Mas Angga di halaman rumah. Motor berbodi besar keluaran produk H"nd* yang kini menjadi tren beberapa kalangan menengah ke atas. Sangat berbeda dengan motor butut yang ku pakai. Motor bekas adik ipar yang diberikan kepadaku. Sebenarnya bukan diberikan begitu saja, melainkan meminta modal balik kepadaku sebesar dua juta rupiah untuk motor butut yang mengeluarkan asap di bagian knalpotnya jika dihidupkan.

Bruk

Suara karung berisi semua alat usahaku terdengar saat aku tidak kuat lagi mengangkatnya dan terjatuh.

"Itu dia istri yang tidak tahu diuntung!" Suara Ibu Mertuaku sangat sumbang bahkan nadanya terkesan sangat buruk. Kulihat Mas Angga keluar dan menghampiriku. Aku yakin, pasti dia akan memberikan tamparan padaku. Begitulah kira-kira yang akan terjadi jika aku melakukan kesalahan hingga membuat Ibunya marah.

Plak

Sudah bisa kutebak. Satu tamparan mendarat manis di pipi kananku. Aku hampir tidak bisa lagi merasakan sakit karena tamparan suamiku ini karena bagiku ini sudah menjadi makanan sehari-hari.

"Dasar istri durhaka! Mau mempermalukan suamimu ini, hah?" Tatapannya begitu nyalang. Bibirku bergetar hebat, sungguh aku kecewa dengan sikapnya. Dulu dia berjanji akan memberikan kebahagiaan padaku . Namun, nyatanya hanya neraka yang dia ciptakan padaku.

"Anggaplah aku istri durhaka, Mas! Biar aku bisa lepas dari pernikahan bagai neraka ini!" Aku berteriak dan masuk ke kamar. Kubiarkan semua barang-barangku di luar.

Tangisku pecah seketika usia aku berteriak padanya. Awalnya aku ragu untuk meninggalkannya, namun melihat sikapnya semakin memuakkan membuatku semakin ingin mengakhirinya.

"Angga, kau harus ceraikan Arin! Buat apa menikah dengan wanita kampungan itu! Lagian apa yang bisa dibanggakan dari dia!" Aku mendengar suara Ibu mertuaku dari kamar. Pintu masih terbuka sedikit lebar hingga semua masih terdengar begitu jelas.

"Bu, Angga rasa itu tidak bisa. Angga mencintai Arin, Bu!" Rasa cinta yang dulu membuatku tergila-gila, kini sudah hilang dan hambar. Seolah-olah aku sudah muak dengan semuanya.

"Tapi, Ngga! Ibu nggak kuat lagi harus memiliki menantu seperti Arin!" Ibu mertuaku masih mengeyel ingin menyingkirkanku. Segera aku beranjak dan menghampiri mereka berdua.

"Mas Angga tidak perlu terbebani oleh cinta. Menurutlah pada Ibumu jika memang menginginkanku pergi! Aku bisa menerimanya sekalipun aku menjadi janda!" Mas Angga sepertinya tercengang karena ucapanku.

Selama ini aku hanya diam dan diam ketika Ibu mertua mengucapkan hinaan dan kebencian padaku. Mungkin nanti saat aku memiliki seorang anak, Ibu mertua bisa berubah. Pernikahan kami baru tiga tahun dan belum memiliki anak. Efek pandemi yang membuatku berputar otak untuk menutupi kebutuhan karena terjadi pengurangan karyawan pabrik sepatu, termasuk aku salah satunya. Hanya saja, pesangon yang kudapat sengaja kutabung tanpa sepengetahuan siapapun termasuk suamiku sendiri.

Aku gegas mengemas beberapa bajuku ke dalam sebuah tas bututku. Tidak ada koper yang kumiliki, hanya sebuah tas jinjing berbahan dasar plastik yang sudah lama kulipat dan kusimpan di atas lemari.

Sungguh aku dibuatnya kecewa dengan keluarga suamiku saat ini. Aku berharap bisa mendapatkan kehidupan lebih baik setelah keluar dari rumah ini, tanpa campur tangan siapapun.

"Mau kemana kamu?" Kulihat Mas Angga sudah berada di ambang pintu kamar. Tak kupedulikan keberadaannya dan sibuk mengemas bajuku.

"Terserah aku, yang jelas aku pergi dari pernikahan ini!" Aku mengusap air mata yang berkali-kali menetes begitu saja.

"Tidak akan kubiarkan kamu pergi dengan alasan apapun, Arin. Cepat kembalikan semua barang-barangmu!" Sama sekali aku tidak gentar dengan ucapannya. Malah semakin ingin aku mengakhirinya.

"Apa hakmu, Mas? Aku tidak bahagia dengan pernikahan ini, jadi aku harus melepaskannya!" Aku sudah bersiap membawa tak jinjing dan aling bag yang kulingkarkan di leher.

Brak

Mas Angga meraih paksa dan melempar tasku ke sembarang tempat. Aku kesal karena tidak berhasil pergi dari rumah ini. Aku pasti akan menjadi bahan hinaan serta menjadi pembantu di rumah ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status