Aku mendengar suara gemuruh seperti orang sedang marah-marah di ruang tamu. Aku bisa pastikan jika itu adalah suara Ibu mertua dan Stella.
"Assalamu alaikum," aku mengucap salam namun bukan jawaban yang kudapat. Malah tatapan tidak menyenangkan yang mereka tunjukkan padaku."Mana makanan kami, Arin?" Aku mengernyitkan kedua alisku mendengar pertanyaan mereka semua. Ku kira mereka semua agak amnesia termasuk suamiku sendiri."Makanan apa, Bu? Aku tidak memiliki uang sama sekali. Bahkan uang simpananku juga sudah kalian ambil!" Kulihat Stella dan Ibu mertua menatap nyalang padaku. Seakan tidak suka dengan jawabanku."Kamu tadi makan bakso, pasti kamu punya uang!" Andai aku memiliki keberanian untuk melakukan kekerasan, pasti lelaki yang bergelar suamiku ini kutendang tepat di kepalanya. Biar tidak oleng secara permanen."Iya. Bakso belas kasihan ayah mertua."Aku berlalu begitu saja menjawab pertanyaan mereka. Bisa-bisa gila jika lama-lama bertahan dalam keluarga ini. Aku ke kamar dan menatap nanar ke arah jendela."Ariinn!" Sudah bisa kutebak jika ada teriakan dari Ibu mertua. Gegas aku keluar dari kamar dan memghampiri mereka. Terdapat tiga bungkus bakso teronggok di meja."Ambilkan mangkok sekarang juga!" Aku melakukan perintah Ibu mertua tanpa bisa memberontak. Entah kapan aku bisa memberontak dan membalasnya.Mangkok sudah kuletakkan di meja. Tidak ada satupun yang menawarkan aku makan bersama mereka. Aku berlalu begitu saja karena khayalanku itu tidaklah mungkin terjadi."Apa yang harus kulakukan setelah ini? Aku harus mencari uang untuk biaya hidupku!" Sempat aku ingin berjualan lagi karena aku rasa berjualan di area sekolah cukup menjanjikan. Hanya saja, Ibu mertuaku pasti akan ikut campur dan membongkar semua jualanku seperti pagi tadi.Kurebahkan bobot tubuhku di ranjang melepas penat supaya hari esok aku bisa bersemangat membuat rencana untuk masa depanku. Aku merasa percuma saja mempertahankan suami yang selalu bersembunyi di balik ketiak ibunya.Teringat uang yang diberikan ayah padaku. Kututup pintu sebelum aku merogoh saku celanaku. Kedua mata terbelalak melihat nominal uang yang diberikan ayah mertua padaku. Lima lembar pecahan seratus ribu berada di tanganku. Allah memang adil, sudah mengganti uangku yang diambil oleh mereka."Alhamdulillah!" Aku bersyukur sekali hari ini. Kuabaikan rasa sakit hati hari ini pada mereka dengan bersyukur yang tidak terhingga. Uang sebanyak ini bisa kubuat modal atau untuk pegangan sebelum aku bisa keluar dari rumah ini.Ting[Arin, saya pesan martabak telor yang harganya dua ribuan sebanyak lima puluh biji. Tolong nanti kirimkan ke masjid dekat rumah Mbak Arin ya] pesan dari Bu Asti. Alhamdulillah sekali bisa mendapatkan pesanan meski sudah tidak menggelar lapak di area sekolahan.[Baik, Bu Asti] Allah benar-benar mengganti rasa sakit dengan kebahagiaan untukku. Ditambah rejeki mengalir begini. Mendapat modal dan mendapat pesanan. Setidaknya jika nanti jualanku laris, aku akan mengembalikan uang ayah yang sudah diberikan padaku.Usai subuh aku berkutat dengan pekerjaan kecuali masak. Selagi tidak ada yang memberi uang untuk berbelanja, aku akan diam saja. Aku heran dengan keluarga suamiku. Selama tingga bersama mereka, tidak pernah sekalipun mereka bangun subuh sekedar melaksanakan kewajiban. Mereka terbiasa bangun pukul tujuh pagi dengan sarapan sudah siap di meja.Daun mangga berguguran, aku menatap ke atas dan melihat beberapa buah mangga ukuran besar-besar bergelantungan di atas. Muncul ide untuk mengolah buah mangga untuk dijadikan ladang duit.Kuraih satu buah dan ku bawa masuk ke dapur. Usai kukupas dan kupotong dengan ukuran tertentu, kemudian kucuci sampai bersih.CeklekAku melihat Ibu mertua masih menguap diikuti Stella yang rambutnya masih acak-acakan. Benar-benar buah tidak akan jauh dari pohonnya."Masak apa, Rin?""Tidak masak apa-apa, Bu! Hanya memotong mangga ini!" Kedua matanya membola sempurna melihatku memotong mangga pagi-pagi."Angga!" Pasti setelah ini akan mengadu pada Mas Angga."Ada apa sih, Bu?" Keadaan Mas Angga sama saja. Muka bantal yang dipaksa bangun dari tidurnya."Nggak ada makanan, Ibu lapar! Istri kamu nggak becus sama sekali. Jam segini tidak menyiapkan makanan!" Aku lagi yang disalahkan, padahal aku tidak diberikan nafkah sama sekali. Aku kesal karena tatapan Mas Angga begitu nyalang ke arahku. Seperti ingin aku melakukan sesuatu, hanya saja aku tetap diam dan siap mendengarkan ucapannya setelah ini."Cepat siapkan makanan buat kami semua!" Enak sekali bicara tanpa memperhatikan tanggung jawabnya."Uangnya mana, Mas?" Aku menengadahkan tangan kananku untuk menerima uang belanja darinya."Pakai uangmu dululah!""Uang apa, kemarin hasil laba penjualan sudah diambil semua sama Ibu dan Stella.""Heh, uang segitu aja diributin!" Tiba-tiba saja Stella mendorongku hingga mundur beberapa langkah."Uang itu bagiku cukup besar!" Aku mulai terbakar emosi."Besarlah, orang kamu kan orang kismin. Jadi uang segitu dianggapnya besar!" Sahutan Stella sungguh mencengangkan diiringi tawa keras bersama Ibu mertua.Lagi-lagi mendapat hinaan pagi-pagi. Usai puas menghinaku, mereka memesan makanan untuk sarapan mereka. Tentu saja tanpa aku, siapalah aku bagi mereka.Kembali kutatap potong mangga di piring, menurutku ini kurang beberapa buah lagi menjadi pelengkapnya."Ngga, minta uang dong! Ada tas bagus yang harus Ibu beli. Murah kok harganya!" Kudengar Ibu mulai merengek minta dibelikan sesuatu."Aku juga, Mas. Aku nanti mau ke mall beli sepatu. Ini sudah sebulan yang lalu beli, sudah waktunya aku ganti sepatu. Harganya murah kok, cuma lima ratus ribu!" Aku tercengang nominal yang harus dikeluarkan untuk sebuah sepatu.Kulihat Mas Angga kebingungan dengan permintaan Ibu dan Adiknya. Itulah kebiasaan Mas Angga selalu menuruti permintaan Ibu dan Adiknya tanpa berpikir terlebih dahulu mana yang penting atau tidak."Tapi Angga--"Kamu tidak mau menuruti permintaan Ibu? Mau jadi anak durhaka?" Selalu mengancam dengan ucapan yang sama. Padahal jika dirinya tegas, semua akan berjalan dengan baik."Baiklah, nanti akan Angga usahakan!""Kenapa nanti? Kamu bisa pinjam uang ke pinjol. Proses mudah dan cepat! Ibu tidak sabar bisa membeli tas itu, Ngga!" Begitu entengnya Ibu mertua menyarankan Mas Angga mencari pinjaman online.Mas Angga menghela nafas berat. Diraihnya ponsel miliknya dan entah apa yang dia lakukan. Sepertinya dia mulai terhasut oleh Ibu untuk meminjam uang. Memang tidak sampai setengah jam prosesnya, tapi yang kutahu, pinjam online pasti akan ada banyak sisi buruknya.Benar-benar sudah kuduga. Tidak sampai setengah jam, wajah Mas Angga tengah berbinar. Sudah kupastikan jika ada sesuatu yang bagus."Angga transfer empat juta ke rekening Ibu dan satu juta ke rekening Stella!" Keduanya begitu senang mendalat uang pagi-pagi. Apalagi hasil pinjaman.Sebenarnya melihat mereka berencana keluar sudah cukup membuatku senang. Setidaknya aku bisa membuat pesanan Bu Asti tanpa gangguan.Hampir satu tahun pernikahan, kehidupan rumah tanggaku nyaris sempurna. Rizky begitu perhatian dan memberiku banyak cinta. Meski sampai sekarang aku belum mendapatkan tanda-tanda kehamilan, Rizky tidak pernah menanyakan atau membahas buah hati. Disini kami hanya berusaha dan berikhtiar. Urusan buah hati, mutlak kuasa Allah.Usaha Rizky semakin hari semakin berkembamg pesat. Penginapan dan restoran hampir tidak pernah sepi. Sekarang dia membuka usaha baru berupa minimarket."Melamun aja," lagi-lagi dia melingkarkan kedua tangannya di perutku ketika aku sedang menatap indahnya pagi hati di balkon. Meski usaha bertambah, tetapi untuk tempat tinggal kami masih sama. Hanya ada renovasi sedikit membuat area balkon di teras rumah. Balkon untuk tempat aku bertanam. Aku menyibukkan diri dengan bertanam sayur di balkon selain membuat asinan buah andalanku."Kok sudah pulang, Mas?" Hendak aku lepaskan kedua tangannya yang melingkar di perutku, tetapi dia malah mengeratkan pelukannya."Aku bosnya
Baru saja Stella tenang, kami kembali dikejutkan dengan keramaian warga di depan rumah. Kami semua keluar rumah kecuali Pak Hadi yang menjaga Stella di dalam kamarnya."Dia menculik Stella dari rumah sakit!" "Hadi gila!" Brak brak brakBu Marni benar-benar tidak beretika sama sekali. Harusnya dia masuk dan bicara baik-baik. Malah sebaliknya, berteriak di luar seperti orang kesetanan ditambah pakaiannya yang compang camping. Masih terlihat bekas kecelakaan di kepalanya. "Bu Marni, apa yang anda lakukan disini?" Terpaksa aku bertanya atas tujuannya datang kemari."Lihatlah! Dua orang wanita ini adalah selingkuhan Hadi. Dan dua lelaki di sampingnya adalah anak buah Hadi. Hahahahah!" Aku merasa ada yang aneh dengan keadaan Bu Marni saat ini. Mas Anton meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Entah siapa yang akan dihubungi."Bu Marni yang cantik dan baik hati!" Seketika senyum Bu Marni mengembang karena rayuan Mas Anton. "Kita duduk dulu disana yuk! Kita minum teh bareng!" Bu Marni
Hari ini hari minggu bertepatan dengan jadwalnya kepulangan Stella dari rumah sakit. Aku dan Mbak Mira sudah berencana untuk mengantar makanan matang saat mereka bertiga sampai di rumahnya supaya Bu Asti tidak lagi memasak makanan sepulang dari rumah sakit. Sejak subuh aku sudah berkutat dengan beberapa menu makanan. Ada sayur lodeh, bakwan jagung dan ayam goreng. Menu inilah yang nantinya akan aku bawa ke rumah Pak Hadi. Sedangkan Mbak Mira bertugas membuat jajanan pasar atau cemilan lainnya."Sayang!" Selalu saja mengejutkanku dari belakang dengan kedua tangan yang melingkar di perutku."Ada apa? Aku sedang masak, jadi belum bisa diganggu!" Sahutku sambil mengaduk sayur lodeh yang mulai mendidih."Nggak ada apa-apa. Seneng aja peluk kamu dari belakang!" Sesekali dia mencium leher jenjangku jika sudah seperti ini."Sudah nanti aja cium-ciumnya. Duduk saja di kursi, biar semua masakan ini cepat selesai!" Akhirnya dia duduk di kursi. Desain dapur mirip seperti mini bar membuatku selal
Bu Endang kembali pulang, namun mulutnya tidak berhenti menggerutu karena gagal mendapat info dari kami. Aku lihat sesekali dia merapikan jambul kebanggaannya ketika berpapasan dengan warga. Begitulah sosok Bu Endang di kampung kami yang mirip sekali dengan wartawan."Akhirnya si Nenek gayung pulang juga!" Celetuk Mbak Mira melihat Bu Endang yang pergi meninggalkan warung Mbak Mira. "Iya, pengen aku lurusin aja itu jambulnya!" "Jadi apa nanti kalau jambulnya lurus!" Kami semua tertawa usai melihat aksi Bu Endang. Kami menikmati sajian makan siang dari Mbak Mira. Sungguh, ini sangat enak sekali. Aku lihat, Rizky juga sangat menikmati gulai nangka muda buatan Mbak Mira, sama seperti Mas Anton. Lauk apapun akan enak rasanya asalkan ada gulai nangka. Sepertinya aku harus belajar resep ini pada Mbak Mira supaya aku bisa memuaskan perut Rizky."Mbak juga sudah siapkan di rantang untuk kalian bawa pulang!" Ternyata di sampingku sudah ada rantang berisi gulai nangka."Ah, terima kasih Mbak
Sesuai dengan rencana kami sebelumnya, Rizky mengantar aku, Mbak Mira dan juga Bu Asti ke rumah sakit sebelum bekerja. Awalnya dia berencana untuk tetap ambil cuti, hanya saja ada pertemuan penting dengan salah satu rekannya hari ini. Terpaksa Rizky mengurungkan niatnya menemani kami semua. Mbak Mira dan Bu Asti membawakan baju ganti kepada Mas Anton dan juga Pak Hadi. Tidak lupa makanan juga sudah disiapkan para istri dari rumah. Kami menikmati sarapan di ruang tunggu kecuali Pak Hadi yang memilih sarapan di dalam ruang rawat inap."Apakah semalam Stella sudah sadar, Mas?" Tanyaku pada Mas Anton. "Sudah, tetapi hanya sebentar saja setelah itu kembali tertidur!" Sahut Mas Anton. Pasti Pak Hadi merasa terpukul melihat kondisi anaknya saat ini."Semalam Stella bahkan menangis dan meminta maaf kepada ayahnya!" Berita ini benar-benar cukup membahagiakan. Apalagi Stella meminta maaf kepada Ayahnya. Selama ini jarak Stella dengan Pak Hadi cukup jauh. Itulah sebabnya Stella sering membanta
Keesokan harinya, Rizky sudah kembali bekerja di salah satu restoran miliknya. Sedangkan aku, menikmati kegiatanku membuat asinan sebagai kesibukanku di rumah. Rencana nanti sore, aku dan Rizky akan berkunjung ke warung Mbak Mira sekalian mengirim asinan buatanku.Sore sepulang kerja, aku dan Rizky berkunjung ke warung Mbak Mira. Kami menggunakan motor matic karena lokasi tidak terlalu jauh. Kedatangan kami disambut hangat oleh Mas Anton, Pak Hadi dan Mbak Mira. Aku melihat rumah mantan suamiku sudah terlihat bersih. Mungkin sudah laku oleh pembelinya."Pengantin baru, jalan-jalan pakai motor biar tambah romantis!" Celetuk Mas Anton membuatku malu."Kau selalu menggodaku, Bang!" Sahut Rizky sambil melempar kulit kacang ke arah Mas Anton. Mereka berdua sudah seperti kakak adik."Mbak, ini ada tiga puluh bungkus!" Aku meletakkan semua asinan milikku di lemari es yang ada di warung. "Siap, Arin!" Sahut Mbak Mira tengah sibuk mengaduk teh.Tiba-tiba terdengar suara ramai dari salah satu
Mas Anton menghampiri kami berdua dan mengajak Rizky mengibrol berdua. Entah apa yang mereka bicarakan karena terlihat sangat serius sekali. Aku mengalihkan rasa ingin tahuku dengan mengobrol bersama yang lain. Mbak Mira dan Bu Asti adalah keluarga di kota. Meski bukan berasal dari hubungan darah yang sama, tetapi dari dulu aku nyaman bersama mereka berdua."Sering-sering mampir ke warung, Rin. Andai sekomplek, pasti warung nanti akan ramai!" Celetuk Mbak Mira."Nanti Arin pasti akan sering main kesana, Kak jika memang lagi senggang!""Janji ya?" "InsyaAllah. Oh ya, Mbak. Arin masih boleh nitip asinan di warung Mbak Mira?" Teringat dulu pernah bikin usaha kecil-kecilan. Setidaknya aku punya penghasilan sendiri selain dari suamiku. Meski aku tahu nafkah dari suami sangatlah besar bagiku."Boleh dong! Apa Rizky mengijinkanmu usaha asinan lagi?" "Entahlah. Nanti Arin bicara dulu padanya. Kalau diijinkan ya alhamdulillah!" Aku tidak mau mengambil keputusan sepihak karena apapun harus ad
Aku memberanikan diri keluar dari dapur dan mencari keberadaan Ibu. Ruang keluarga terasa sangat sepi tidak ada seorangpun. Padahal biasanya ruang keluarga adalah ruangan yang paling ramai. Meski hanya sekedar menonton bola bersama. Aku mencari keberadaan orang-orang ke ruang tamu, namun ternyata tidak ada orang juga. Hingga akhirnya aku terpaksa ke toko, hanya saja harapanku nihil. Aku benar-benar sendirian di rumah. Rizky juga tidak ada di kamar. Aku duduk di ruang tamu dan melantunkan harapan untuk keselamatan seluruh keluargaku. ArghTerdengar suara erangan dari arah samping rumah. Ingin sekali aku berjalan ke sumber suara tersebut, namun aku tidak cukup berani untuk melakukannya.HahahahahTerdengar tawa keras usai suara erangan. Tanganku bergetar hebat ketika salah satu kursi bergerak sendiri. Ingin berteriak namun tidak bisa. Tubuhku seperti sudah terkunci untuk menyaksikan kejadian di luar nalar.Lagi-lagi aku mendengar suara teriakan dan rapalan surah untuk ruqyah. Aku penas
Mungkin ini keputusan yang tidak masuk akal. Karena teror, akhirnya pernikahanku dimajukan dari rencana awalnya. Bapak meraih ponsel miliknya dan menghubungi Rizky. Aku mendengar Bapak menjelaskan semua yang terjadi padaku termasuk teror lagi. Bapak juga memberitahu Rizky jika ada sosok lelaki yang datang setelah dirinya pergi. Ah, aku tahu Bapak mungkin tidak sanggup jika putri kecilnya akan mendapatkan teror lebih banyak lagi sehingga memutuskan untuk menikahkan dan nantinya aku bisa pergi dari kampung ini mengikuti suamiku.Dan singkat cerita, akhirnya pernikahanku dilanjutkan satu minggu lebih cepat dari rencana sebelumnya dan hari ini ini pernikahanku digelar. Meski hanya sebatas akad nikah saja tetapi aku sudah cukup bahagia. Bang Akhwan juga turut hadir menjadi saksi dalam pernikahan keduaku.Dalam proses akad ini, aku sengaja hanya menggunakan riasan sederhana saja. Salah satu jasa rias pengantin membantu merias wajahku supaya lebih cantik. Jujur saja, meski ini pernikahan ked