Share

Bab 3. Rejeki Tidak Kemana

Aku mendengar suara gemuruh seperti orang sedang marah-marah di ruang tamu. Aku bisa pastikan jika itu adalah suara Ibu mertua dan Stella.

"Assalamu alaikum," aku mengucap salam namun bukan jawaban yang kudapat. Malah tatapan tidak menyenangkan yang mereka tunjukkan padaku.

"Mana makanan kami, Arin?" Aku mengernyitkan kedua alisku mendengar pertanyaan mereka semua. Ku kira mereka semua agak amnesia termasuk suamiku sendiri.

"Makanan apa, Bu? Aku tidak memiliki uang sama sekali. Bahkan uang simpananku juga sudah kalian ambil!" Kulihat Stella dan Ibu mertua menatap nyalang padaku. Seakan tidak suka dengan jawabanku.

"Kamu tadi makan bakso, pasti kamu punya uang!" Andai aku memiliki keberanian untuk melakukan kekerasan, pasti lelaki yang bergelar suamiku ini kutendang tepat di kepalanya. Biar tidak oleng secara permanen.

"Iya. Bakso belas kasihan ayah mertua."

Aku berlalu begitu saja menjawab pertanyaan mereka. Bisa-bisa gila jika lama-lama bertahan dalam keluarga ini. Aku ke kamar dan menatap nanar ke arah jendela.

"Ariinn!" Sudah bisa kutebak jika ada teriakan dari Ibu mertua. Gegas aku keluar dari kamar dan memghampiri mereka. Terdapat tiga bungkus bakso teronggok di meja.

"Ambilkan mangkok sekarang juga!" Aku melakukan perintah Ibu mertua tanpa bisa memberontak. Entah kapan aku bisa memberontak dan membalasnya.

Mangkok sudah kuletakkan di meja. Tidak ada satupun yang menawarkan aku makan bersama mereka. Aku berlalu begitu saja karena khayalanku itu tidaklah mungkin terjadi.

"Apa yang harus kulakukan setelah ini? Aku harus mencari uang untuk biaya hidupku!" Sempat aku ingin berjualan lagi karena aku rasa berjualan di area sekolah cukup menjanjikan. Hanya saja, Ibu mertuaku pasti akan ikut campur dan membongkar semua jualanku seperti pagi tadi.

Kurebahkan bobot tubuhku di ranjang melepas penat supaya hari esok aku bisa bersemangat membuat rencana untuk masa depanku. Aku merasa percuma saja mempertahankan suami yang selalu bersembunyi di balik ketiak ibunya.

Teringat uang yang diberikan ayah padaku. Kututup pintu sebelum aku merogoh saku celanaku. Kedua mata terbelalak melihat nominal uang yang diberikan ayah mertua padaku. Lima lembar pecahan seratus ribu berada di tanganku. Allah memang adil, sudah mengganti uangku yang diambil oleh mereka.

"Alhamdulillah!" Aku bersyukur sekali hari ini. Kuabaikan rasa sakit hati hari ini pada mereka dengan bersyukur yang tidak terhingga. Uang sebanyak ini bisa kubuat modal atau untuk pegangan sebelum aku bisa keluar dari rumah ini.

Ting

[Arin, saya pesan martabak telor yang harganya dua ribuan sebanyak lima puluh biji. Tolong nanti kirimkan ke masjid dekat rumah Mbak Arin ya] pesan dari Bu Asti. Alhamdulillah sekali bisa mendapatkan pesanan meski sudah tidak menggelar lapak di area sekolahan.

[Baik, Bu Asti] Allah benar-benar mengganti rasa sakit dengan kebahagiaan untukku. Ditambah rejeki mengalir begini. Mendapat modal dan mendapat pesanan. Setidaknya jika nanti jualanku laris, aku akan mengembalikan uang ayah yang sudah diberikan padaku.

Usai subuh aku berkutat dengan pekerjaan kecuali masak. Selagi tidak ada yang memberi uang untuk berbelanja, aku akan diam saja. Aku heran dengan keluarga suamiku. Selama tingga bersama mereka, tidak pernah sekalipun mereka bangun subuh sekedar melaksanakan kewajiban. Mereka terbiasa bangun pukul tujuh pagi dengan sarapan sudah siap di meja.

Daun mangga berguguran, aku menatap ke atas dan melihat beberapa buah mangga ukuran besar-besar bergelantungan di atas. Muncul ide untuk mengolah buah mangga untuk dijadikan ladang duit.

Kuraih satu buah dan ku bawa masuk ke dapur. Usai kukupas dan kupotong dengan ukuran tertentu, kemudian kucuci sampai bersih.

Ceklek

Aku melihat Ibu mertua masih menguap diikuti Stella yang rambutnya masih acak-acakan. Benar-benar buah tidak akan jauh dari pohonnya.

"Masak apa, Rin?"

"Tidak masak apa-apa, Bu! Hanya memotong mangga ini!" Kedua matanya membola sempurna melihatku memotong mangga pagi-pagi.

"Angga!" Pasti setelah ini akan mengadu pada Mas Angga.

"Ada apa sih, Bu?" Keadaan Mas Angga sama saja. Muka bantal yang dipaksa bangun dari tidurnya.

"Nggak ada makanan, Ibu lapar! Istri kamu nggak becus sama sekali. Jam segini tidak menyiapkan makanan!" Aku lagi yang disalahkan, padahal aku tidak diberikan nafkah sama sekali. Aku kesal karena tatapan Mas Angga begitu nyalang ke arahku. Seperti ingin aku melakukan sesuatu, hanya saja aku tetap diam dan siap mendengarkan ucapannya setelah ini.

"Cepat siapkan makanan buat kami semua!" Enak sekali bicara tanpa memperhatikan tanggung jawabnya.

"Uangnya mana, Mas?" Aku menengadahkan tangan kananku untuk menerima uang belanja darinya.

"Pakai uangmu dululah!"

"Uang apa, kemarin hasil laba penjualan sudah diambil semua sama Ibu dan Stella."

"Heh, uang segitu aja diributin!" Tiba-tiba saja Stella mendorongku hingga mundur beberapa langkah.

"Uang itu bagiku cukup besar!" Aku mulai terbakar emosi.

"Besarlah, orang kamu kan orang kismin. Jadi uang segitu dianggapnya besar!" Sahutan Stella sungguh mencengangkan diiringi tawa keras bersama Ibu mertua.

Lagi-lagi mendapat hinaan pagi-pagi. Usai puas menghinaku, mereka memesan makanan untuk sarapan mereka. Tentu saja tanpa aku, siapalah aku bagi mereka.

Kembali kutatap potong mangga di piring, menurutku ini kurang beberapa buah lagi menjadi pelengkapnya.

"Ngga, minta uang dong! Ada tas bagus yang harus Ibu beli. Murah kok harganya!" Kudengar Ibu mulai merengek minta dibelikan sesuatu.

"Aku juga, Mas. Aku nanti mau ke mall beli sepatu. Ini sudah sebulan yang lalu beli, sudah waktunya aku ganti sepatu. Harganya murah kok, cuma lima ratus ribu!" Aku tercengang nominal yang harus dikeluarkan untuk sebuah sepatu.

Kulihat Mas Angga kebingungan dengan permintaan Ibu dan Adiknya. Itulah kebiasaan Mas Angga selalu menuruti permintaan Ibu dan Adiknya tanpa berpikir terlebih dahulu mana yang penting atau tidak.

"Tapi Angga--

"Kamu tidak mau menuruti permintaan Ibu? Mau jadi anak durhaka?" Selalu mengancam dengan ucapan yang sama. Padahal jika dirinya tegas, semua akan berjalan dengan baik.

"Baiklah, nanti akan Angga usahakan!"

"Kenapa nanti? Kamu bisa pinjam uang ke pinjol. Proses mudah dan cepat! Ibu tidak sabar bisa membeli tas itu, Ngga!" Begitu entengnya Ibu mertua menyarankan Mas Angga mencari pinjaman online.

Mas Angga menghela nafas berat. Diraihnya ponsel miliknya dan entah apa yang dia lakukan. Sepertinya dia mulai terhasut oleh Ibu untuk meminjam uang. Memang tidak sampai setengah jam prosesnya, tapi yang kutahu, pinjam online pasti akan ada banyak sisi buruknya.

Benar-benar sudah kuduga. Tidak sampai setengah jam, wajah Mas Angga tengah berbinar. Sudah kupastikan jika ada sesuatu yang bagus.

"Angga transfer empat juta ke rekening Ibu dan satu juta ke rekening Stella!" Keduanya begitu senang mendalat uang pagi-pagi. Apalagi hasil pinjaman.

Sebenarnya melihat mereka berencana keluar sudah cukup membuatku senang. Setidaknya aku bisa membuat pesanan Bu Asti tanpa gangguan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status