Usia mengantarkan kopi untuk mereka, aku gegas ke toko. Setidaknya aku bisa menghindar darinya meski berada di rumah. Kebetulan lokasi toko terpisah dari rumah meski berada tepat di samping rumah. "Arin, bibit jagung dua ya!" Akhirnya pelangga pertama datang. Pak Hari salah satu seorang petani di kampungku menjadi pelangga pertamaku hari ini."Baik, Pak!" Aku gegas mengambil dua pack bibit jagung beserta nota harga untuk Pak Hari."Ini totalnya, Pak!" Aku menyerahkan nota kepada Pak Hari sekaligus bibit jagung yang diminta. "Rin, racun rumput merek N*x*n ada?" Bu Parmi menjadi pelanggan kedua. Di belakangnya terlihat beberapa sepeda angin dan motor mulai terparkir. Benar-benar alhamdulillah cukup ramai di hari pertama. Bisa jadi karena lokasi toko berada di kampung mereka sendiri jadi lebih mudah mendapatkannya. Sebelum toko ini dibangun, warga harus pergi ke desa sebelah untuk membeli bibit, pupuk dan sebagainya. Ditambah lagi harga lebih mahal daripada yang aku jual saat ini. Enta
Akhirnya aku menuju ke teras rumah, dimana dia menyuruhku keluar. Dia benar-benar menyebalkan sekali. Aku tahu dia menatapku saat aku duduk di kursi teras. "Nih, tangkap!" HapAku berhasil menangkap sesuatu darinya. Entah apa yang dia berikan padaku. Sebuah kotak berukuran 30 x 25 cm. "Sudah, balik tidur sana!" Hanya ini saja, aku kira dia akan mengatakan sesuatu. Aku langsung balik kamar. Kupandang kotak berbungkus kertas kado yang entah isinya apa.Srek srekSuara kertas kado pembungkus kotak aku robek perlahan. Aku sangat terkejut membuka pesan yang tertulis disana. Bagaimana bisa dia ingat, padahal kenal juga tidak terlalu dekat. Mantan suami juga tidak pernah mengingat hal ini.SELAMAT ULANG TAHUN, MONYET!Sungguh aku dibuatnya terharu. Sebuah kotak berisi cokelat ditambah satu gaun yang sama saat dia berikan padaku. Apakah Mbak Mira memberikan gaun yang kukembalikan pada Rizky? Aku beranjak menemuinya lagi membawa gau yang diberikan olehnya."Aku sudah bilang, aku tidak akan
Tok tok tokAku menggeliat karena terganggu oleh suara ketukan yang cukup keras. Aku melihat jam dinding masih menunjukkan pukul tiga pagi. Entah, siapa yang mengentuk pagi-pagi seperti ini."Siapa?" "Abang, ayo bangun! Kita tahajud dulu!" Ternyata Bang Akhwan memiliki kebiasaan baik. Bangun di sepertiga malam. Sangat berbeda denganku, hanya suka rebahan jika lelah.CeklekAku juga berjalan menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan bergabung bersama Bang Akhwan di mushollah dekat dapur. Ternyata bukan Bang Akhwan saja yang menungguku, tetapi dia juga ada.Kami shalat tahajud berjamaah, Bang Akhwan yang menjadi imam kami. Abang yang dulu tidak pernah shalat, kini sudah berubah. Malah aku yang sangat malu padanya. Sering shalat tidak tepat waktu.Tidak lupa semua doa kulantunkan di atas sajadah ini. Sebenarnya aku lebih nyaman shalat sendiri di kamar. Hanya saja ini permintaan Bang Akhwan, jadi aku harus menghormatinya.Selesai shalat tahajud, hanya aku yang beranjak dari mus
Sambil mengisi waktu luang di toko, sesekali aku membuka berita di internet. Meski di rumah, aku tetap tidak boleh kudet sama sekali. Aku tetap harus tahu dunia di luar sana. Toh, semua bisa diakses dengan mudah. Apalagi Bang Akhwan juga sudah memasang jaringan internet sendiri di rumah. Memudahkan aku menjual barang melalui akun media sosial."Jika aku jual online menggunakan e-commers gimana ya?" Terlintas ide berjualan online melalui aplikasi penjualan."Sebaiknya aku bicarakan dulu dengan Bang Akhwan!" Aku gegas mencari Bang Akhwan, ternyata Bang Akhwan tengah sibuk dengan laptop miliknya di ruang tengah. Bang Akhwan selalu nyaman jika berlama-lama di atas tikar pandan."Bang!""Hmm!" Bang Akhwan melirikku selikas dan kembali fokus pada pekerjaannya."Arin boleh tidak menjual bibit melalui e-commers?" Sejenak kedua mata Bang Akhwan menatapku. Raut wajahnya bahkan terlihat sangat serius, bahkan kedua alisnya mengerut. Aku pasrah jika memang Bang Akhwan tidak menyetujuinya."Kalau e
Stella pulang dengan kondisi sangat marah setelah bertengkar dengan anak dan istri sah Priyono. Mobil yang dikendarainya sudah mulai memasuki halaman rumah yang cukup besar. Rumah pemberian Priyono tanpa sepengetahuan keluarganya. Bahkan semua kebutuhan ditanggung oleh Priyono. Setiap seminggu dua kali, Priyono akan menginap untuk meminta haknya sebagai lelaki pada Stella. BrakTanpa mengetuk pintu, Stella mendorong pintu begitu saja hingga menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga. Bahkan kaca jendela juga ikut bergetar. Stella duduk di sofa sambil memijid pangkal hidungnya."Kamu kenapa, Sayang?" Marni yang mendengar suara tersebut gegas keluar kamar."Stella habis menyerang istri Mas Pri, Bu. Stella nggak rela mereka semua mendapat harta Mas Pri. Stella harus menyingkirkan mereka semua supaya Stella bisa menikmati semua harta Mas Pri sendiri!" Nafas Stella terlihat memburu saat menceritakan kejadian barusan.CeklekTiba-tiba muncul seorang pria berusia cukup matang keluar da
[Arin, Pak Hadi dirawat di rumah sakit. Karena kabar viralnya Stella, Pak Hadi kena serangan jantung dan dilarikan ke rumah sakit semalam] Pagi ini aku mendapat kabar dari Mbak Mira tentang mantan ayah mertuaku, Pak Hadi. Aku mukai menduga jika sakitnya Pak Hadi akibat dari viralnya Stella. Apalagi tempat tinggal Pak Hadi berada di komplek yang cukup padat. Sehingga tidak memungkinkan jika kabar cepat menyebar."Apa Mas Angga tahu soal ini?" Entah kenapa aku memikirkan Mas Angga yang sudah mengetahui atau belum mengenai kabar ayahnya. Sudah beberapa hari dia tidak mengirim pesan atau sekedar berkabar. [Mas, Pak Hadi masuk rumah sakit] bodoh amat soal perasaan, yang penting aku memberi kabar mengenai ayah kandungnya. Entah dia bersedia membesuk atau tidak, itu urusan dia. Cukup aneh, pesan yang aku kirimkan kepadanya hanya centang satu berwarna abu-abu."Mungkin dia sedang sibuk!" Aku gegas menemui Bang Akhwan dan orang tuaku untuk mengatakan kabar ini. Viralnya berita Stella membuat
"Ayo masuk!" Tiba-tiba Mas Angga menggandeng tanganku."Mas!" Aku menatap tangannya yang menggenggam tanganku. Seketika dia melepaskannya."Maafkan aku, Rin. Maaf, Mas tidak sengaja!""Tidak apa-apa, Mas!" Aku dan Mas Angga masuk ke ruang rawat inap Pak Hadi. Aroma khas rumah sakit menyeruak dan lebih tajam daripada di luar ruangan. Pak Hadi terlihat memejamkan kedua matanya dan nafasnya terlihat sangat teratur. Mas Angga mengambilkan kursi untukku dan dia duduk tidak jauh dariku. "Anakku, Angga dan Arin!" Tiba-tiba kedua matanya mengerjab dan melihay kami berdua."Iya, Pak!" Sahutku. "Iya, Ayah!" Mas Angga juga menyahuti panggilan ayahnya."Maafkan Bapak. Bapak tidak bisa mendidik kalian menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah!" Lidah mendadak kelu ketika lelaki mulia di depanku menyesal karena rumah tangga kami yang berakhir cerai. Bahkan lelaki bergelar mantan Ayah mertua, lebih menyalahkan dirinya daripada kami yang menjalaninya. Beruntung sekali wanita yang memiliki mertua
"Bagaimana kabarmu, Angga!" Bang Akhwan kini beralih ke tempat duduk kami. Bang Akhwan terlihat santai saat mengobrol dengan mantan suamiku. Tidak ada raut wajah benci atau ingin membalas dendam. Kudengar berkali-kali Mas Angga meminta maaf kepada Bang Akhwan. Obrolan kami terhenti ketika Rizky tiba-tiba memanggil Bang Akhwan untuk keluar. Dia benar-benar mengesalkan sekali. Kasihan sekali nanti yang jadi pasangan hidupnya, orangnya pemarah begitu apalagi tanpa sebab."Lelaki yang bersama Bang Akhwan tadi mencintaimu, Arin!" "Apa? Mas jangan mengada-ngada deh. Sementara aku ingin sendiri dan mengembangkan usaha keluargaku. Untuk menikah lagi, sepertinya aku belum siap!" Mas Angga diam sejenak memperhatikan aku."Baiklah, Arin. Apapun jalan yang kau pilih, Mas akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu. Namun jangan lupa, jika suatu saat kamu sudah siap menikah, bisa hubungi Mas untuk bisa hadir dalam pernikahan kamu!""Tenang saja, lagian masih belum ada pikiran juga. Doanya diganti saj