Share

Kejutan cinta dari Al

"Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda di sana," ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran yang ada di sebelah lobi hotel. Lalu ia kembali ke tempatnya.

Tamu wanita? Siapakah? Dahi Eugene berkerut.

Ia berjalan ke arah restoran. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tak ada seorangpun yang dikenalnya. Hampir berbalik badan ketika sepasang lengan melingkari pinggang, memeluknya dari belakang. Eugene mengenalinya.

Mary Anne. Perempuan asia berkulit kuning, usia dua puluh delapan tahun, perawakan sedang, rambut lurus hitam legam dengan panjang sebahu. Kelopak matanya kecil khas etnis Tionghoa dengan bibir tipis kemerahan. Bentuk dan ukuran hidungnya menambah kesempurnaan. Ia mengenakan dress selutut hitam polos tanpa lengan yang membalut ketat setiap lekuk tubuhnya. Dengan alas kaki model terbuka berhak tinggi, ia terlihat seumpama boneka porselen yang mungil, cantik dan seksi.

"Rindu padaku?" Pemilik lengan ramping itu bersuara menggoda.

"Jangan, Anne. Ini bukan Taipei." Eugene melepaskan dirinya dari pelukan Anne. Lalu membalik badan, berhadapan dengannya.

"Mau apa kau kemari?" tanya Eugene dingin.

"Kau tak suka kedatanganku ya?"Anne mendengus kesal.

"Aku tak suka kejutan."

"Berhari-hari aku menghubungimu, meninggalkan pesan tapi tak ada balasan. Aku benci diabaikan. Rindu ini tak tertahankan," rajuk Anne menggelayuti lengan Eugene.

"Aku sibuk. Harusnya kau menunggu."

"Sibuk? Kupikir kau ke sini untuk liburan, bukan pekerjaan."

Eugene tidak menanggapi keheranan Anne. Ia melangkah kembali ke lobi menghampiri meja resepsionis.

"Aku tadi bermaksud memberi kejutan di kamarmu. Tapi mereka tak mengijinkan aku masuk," ujar Anne kembali masih menggelayut manja di lengan Eugene.

"Tolong bukakan satu kamar lagi untuknya. Tagihannya atas namaku," pesan Eugene pada resepsionis yang menanggapinya dengan sigap dan ramah.

"Kita tidur di kamar terpisah? Kau bercanda ya?" Anne keheranan, matanya lekat menatap Eugene mencari jawaban.

"Aku lelah, Anne. Butuh istirahat," sahut Eugene cepat.

Resepsionis menyodorkan kunci kamar pada Anne sambil tersenyum lalu mengangguk ramah pada Eugene.

Mereka berdua berjalan menuju lift, ke kamar masing-masing. Anne sudah melepaskan gelayutannya dari lengan Eugene. Mukanya cemberut.

"Aku lapar ..."

"Pesan saja dari kamar, aku yang bayar."

"Kau tidak suka kedatanganku. Kita tidur di kamar terpisah. Dan sekarang kau bahkan tidak ingin menemaniku makan. Kau ini kerasukan apa sih?" cecar Anne.

"Aku tak mau makan di hotel. Aku mau makan di luar!"

"Oke. Oke. Terserah kau."

"Jemput aku di kamar ya jam delapan, kita makan malam di luar."

"Tidak. Kita bertemu di lobi saja supaya lebih cepat berangkat." Eugene berkata dengan ekspresi muka biasa, Anne terlihat kecewa.

Lift terbuka di lantai dua, di mana kamar Anne berada. Ia menyeret koper kecilnya keluar, "Jangan lupa jam delapan!"

※※※

Di sebuah kedai yang menyajikan makanan laut, tidak jauh dari hotel. Eugene dan Anne duduk berhadapan. Ini dulu tempat favorit Elena. Letaknya di pinggir jalan besar. Selain di dalam ruko, beberapa meja dan kursi ditata sedemikian rupa di lahan kosong di dekatnya. Tanpa tenda. Jadi jika tidak hujan, mereka bisa makan di bawah langit malam. Harga menu yang tersedia rata-rata lebih mahal daripada kedai-kedai serupa lainnya. Tapi tak mengapa, dengan ukuran kepiting, udang dan ikan yang dimasak dengan kelezatan ekstra maka harganya menjadi sepadan.

Eugene memesan seporsi besar udang bakar madu, lagi-lagi menu favorit Elena. Sementara Anne memesan calamary dan kepiting soka dimasak dengan saus tiram. Eugene menikmati makanannya dengan banyak diam. Sementara Anne ramai sekali berbicara, sesekali ia tertawa pada hal-hal yang dianggapnya lucu dan Eugene hanya menarik bibirnya sedikit, tersenyum tipis.

Dari meja kasir, dua insan itu tidak menyadari sepasang mata yang mengamati mereka dari jauh. Pandangan terluka namun tetap berusaha tegar. 'Can't find someone like me eh?' katanya dalam hati mencibir sinis.

Elena kebetulan sedang mampir juga ke kedai yang sama ketika matanya menangkap bayangan Eugene dan Anne. Malam itu Al ingin makan kerang dan udang rebus.

Setelah membayar pesanannya untuk dibawa pulang. Elena menuliskan sesuatu di secarik kertas lalu menyodorkannya pada seorang pelayan, "Tolong sampaikan ini pada lelaki bule yang duduk bersama perempuan berbaju hitam di meja luar sana."

"Baik, bu."

Elena menggandeng tangan Al yang tidak menyadari kehadiran Eugene, keluar dari kedai dan pulang.

Pelayan yang dititipi Elena mendekati meja Eugene. Menyerahkan dengan sopan secarik kertas yang digulung serupa sebatang rokok kepada Eugene sambil tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Lalu berlalu pergi.

Eugene menatap punggung belakang pelayan itu lalu beralih pada kertas di genggamannya. Keheranan.

"Kau mengenalnya?" tanya Anne.

Eugene menggeleng pelan. Tangannya membuka gulungan kertas itu perlahan. 'Sudah kuduga tak sesulit itu mencari penggantiku. Aku senang akhirnya kita berdua bisa melanjutkan hidup masing-masing.'

Elena! Dalam sepersekian detik setelah membaca isi kertas itu, Eugene bangkit terburu-buru sehingga kursi yang didudukinya hampir saja terjungkal. Ia berlari keluar kedai, menghambur ke arah jalan raya.

"Elena! Elena! Elena!" Eugene memanggil-manggil Elena sambil mencari-cari ke segala arah. Ia tidak menemukan siapa-siapa.

Dengan gontai Eugene kembali masuk ke dalam kedai. Melewati kasir dan beberapa orang pelayan juga belasan pasang mata pengunjung lainnya yang keheranan. Fix, lagi-lagi ia menjadi bahan tontonan. Kedua tangannya meremas rambutnya kesal sementara wajahnya terlihat kusut masai.

"Kau mencari siapa?" selidik Anne.

"Cepat selesaikan makanmu. Kita kembali ke hotel. Aku lelah!" Eugene tidak menggubris pertanyaan Anne, rahangnya mengeras menahan sesuatu dalam dadanya yang bergejolak.

※※※

Hampir semalaman Elena terjaga, ia benar-benar tidak menyangka melihat Eugene kembali ... dan tidak sendiri. Berbagai perasaan campur aduk dalam hatinya membuat napasnya sesak seolah apa yang di dalam rongga dadanya hampir meledak.

Menjelang adzan shubuh, diambilnya air wudhlu. Dirasakannya setiap bulir air dingin yang masuk ke dalam pori-porinya. Sejuknya sampai ke dalam dada, satu ikatan seperti terlepas menjadikan ia sedikit lebih lega.

Dihamparkannya sajadah, ia mendirikan sholat sunnah dua rakaat kemudian dilanjut sholat fardhu shubuh. Ia merasa satu lagi ikatan seolah terlepas dari dadanya. Semakin lega.

Elena mengambil kitab suci Al Quran, diciumnya beberapa kali sebelum akhirnya membukanya untuk melanjutkan tilawah. Ia ingat betul seseorang dalam hidupnya pernah berkata padanya, 'Al Quran itu melembutkan hati yang keras dan menyembuhkan hati yang luka'.

Sampai pada surat Az Zumar ayat 53, ia menemukan ayat yang menjadi salah satu motivasi terhebat ketika ia akhirnya memutuskan untuk bertobat.

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Elena tak sanggup lagi menahan perasaan. Disungkurkan wajahnya di atas sajadah, tangisnya pecah. Bahunya berguncang-guncang hebat, mulutnya terus-menerus beristighfar. Ia bergumam lirih, 'Ya Rabb, please don't put me back into what You once took me out from.'

Setelah menangis cukup lama, Elena tertidur di atas sajadah masih dengan mengenakan mukenah.

Seseorang masuk ke dalam kamar Elena, menyibakkan tirai. Cahaya matahari menerobos masuk dari jendela, hangatnya terasa di wajah Elena.

"Ibu. Ibu. Ayo bangun. Ibu bilang tidak baik tidur setelah sholat shubuh." Al mengelus pipi Elena, diperhatikannya bekas-bekas airmata yang mengering di wajah ibunya. Al memeluk Elena, matanya berkaca-kaca. Ia tak pernah sanggup melihat ibunya menangis.

"Al? Kau sudah bangun, Nak?"

"Ya, Bu. Ibu habis menangis ya?"

"Haha iya sedikit, Ibu merasa banyak dosa sama Allah jadi sedih. Al belajar terus jadi sholeh ya, Nak. Supaya kelak kau bisa menolong ibu dengan doa-doamu. Oya tadi shubuh sholat di rumah atau di masjid?"

"Iya, Bu insyaa Allaah Al jadi anak sholeh. Tadi Al sholat shubuh di masjid, berangkat naik sepeda bareng Athar sama Radit. Al udah pamit kok, Ibu tidak dengar ya?"

Elena menggeleng sambil tersenyum.

"Jam berapa ini Al? Kok belum siap-siap sekolah?"

"Ini Sabtu, Bu. Al kan libur. Ibu masih setengah tidur nih. Ayo bangun, Al mau kasih kejutan buat Ibu." Al menarik tangan Elena.

"Ya ya ya, sebentar Ibu lepas mukenah dulu."

"Aku tunggu di meja makan ya, Bu!" Al berlari kecil keluar kamar Elena yang tersenyum-senyum melihat tingkah Al. Sungguh Al adalah pelipur lara dan obat dari segala keletihannya.

"Tadaaaaaaaaa, kejutan sarapan untuk Ibu tercintaaaa!" teriak Al begitu Elena muncul.

Al menarik kursi, menuntun ibunya duduk. Sementara mata Elena terpaku melihat hidangan di atas meja. Segelas air jeruk. French Toast. Irisan strawberry dan madu. Hatinya berdesir mengingatkan ia pada seseorang tapi buru-buru ditepisnya. Ini hanya kebetulan.

"Siapa yang menyiapkan ini semua?"

"Aku!" Al mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Matanya berbinar bangga.

"Masa?" Elena masih terpana tak percaya.

"Iya, betul! Al belajar dari sekolah. Al minta tolong Ummi Izza untuk membeli bahan-bahannya dari uang tabungan Al."

"Masyaa Allaah, Al. Ibu bangga dan bahagia sekali. Jazakallaahu khayr ya, Nak." mata Elena berkaca-kaca, diraihnya Al ke dalam pelukan dan menciuminya bertubi-tubi. Al terkekeh-kekeh geli. Lalu mereka mulai makan bersama-sama.

"Kau tahu ini namanya apa Al?" Elena menunjuk pada lembaran roti di piringnya.

"Namanya susah, Al tidak ingat. Hahaha. Al kasih nama roti goreng cinta saja." Elena ikut tertawa mendengarnya.

"Ini namanya French Toast. Ibu penasaran bagaimana kau membuatnya?"

"Mudah, Bu. Al tinggal masukin semua jadi satu saja. Bahan-bahannya kan sudah ditakar Ummi Izza. Pertama Al kocok dua butir telur ayam. Lalu masukkan susu full cream, bubuk kayu manis dan garam. Aduk. Masukin roti tawar, digoreng deh pake margarine. Tunggu sampai kecoklatan, dibalik sekali terus diangkat. Sebenarnya ditambah coklat, selai atau keju pasti lebih enak. Tapi ada yang bilang kalau Ibu lebih suka dioles madu tipis-tipis."

"Siapa yang bilang?"

"Eh, siapa yang bilang ya? Al yang bilang tadi kan ... barusan." Al salah tingkah. Al tahu Eugene menyukai ibunya, tapi ia tak yakin ibunya merasakan hal yang sama.

Elena tertawa. Pikirannya ke mana-mana, menaruh curiga. Tapi ia berusaha menepisnya jauh-jauh.

Selesai sarapan, Elena membawa piring dan gelas ke belakang. Ia hampir pingsan mendapati dapurnya hancur berantakan. Elena melotot ke arah Al yang tertawa cengengesan.

※※※

Sarapan pagi yang dibuat Al menyeret ingatan Elena ke sarapan terakhir yang disajikan Eugene lebih dari tujuh tahun yang lalu.

Elena yang masih meringkuk di tempat tidur terbangun mendengar suara alat masak beradu di dapur. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam dan terkejut sendiri saat mendapati keadaan dirinya yang polos di balik selimut. 'Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan?'

Eugene datang dengan senampan sarapan, meletakkannya di hadapan Elena. Segelas jus jeruk, beberapa lembar french toast, irisan stawberry dan madu. Harumnya menggoda tapi mengingat kejadian semalam Elena mendadak tak berselera.

"Selamat pagi, sleeping beauty. Breakfast is ready" sapa Eugene sambil mengecup pipi Elena.

"Aku tak lapar ..." Elena menarik selimut yang menutup tubuhnya lebih tinggi. Ia duduk bersandar di kepala tempat tidur.

"Ayolah, kau makan terlalu sedikit. Apa kita ulang yang terjadi semalam supaya kau cukup merasa lapar untuk makan?" Eugene senang sekali mencandainya seperti itu. Lagi-lagi muka Elena memerah tapi kali ini antara malu dan marah. Ia memalingkan mukanya dari Eugene.

"Aku mau mandi." Elena menyeret selimutnya supaya tubuhnya tetap tertutupi.

Selesai mandi, ia menemukan sarapannya sudah berpindah ke meja makan. Eugene duduk di sana sambil menyeruput kopi. Elena duduk di hadapannya. Dengan sigap Eugene mengambilkan selembar french toast mengolesnya tipis dengan madu kemudian menaruh beberapa iris strawberry di atasnya.

Elena memakannya perlahan dengan diam. Eugene memperhatikannya.

"Kau menyesal?"

Elena masih diam, hati dan akalnya tidak sinkron. Harusnya ia menyesal, ini gila. Tidak seharusnya sampai sejauh ini. Tapi di lain sisi, ia juga menginginkannya. Elena menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mulai terisak.

Eugene bangkit, memeluk Elena lembut. "Maafkan aku ..."

Elena bergeming. Eugene setengah berjongkok, diputarnya kursi Elena sehingga ia berhadapan dengannya. Eugene meraih kedua tangan Elena, mengecupnya berkali-kali. Ia bisa merasakan ketakutan yang dirasakan Elena.

"Belum terlambat untuk berubah fikiran. Pergilah bersamaku, Elena. Penghasilanku cukup untuk menghidupi kita berdua. Aku mohon ..."

Elena menggeleng lemah. Airmata Elena semakin deras, ingin rasanya ia mengiyakan tapi serusak apapun dirinya saat ini ia masih cukup waras untuk tidak hidup dengan orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan.

Eugene menghela nafas berat. Lalu bangkit kembali duduk di kursinya.

"Pesawatku berangkat jam satu siang. Kau kerja hari ini?"

"Tidak. Aku ingin pulang saja setelah ini. Aku merasa tidak enak badan."

"Baiklah. Kuantar kau pulang ya?" tanya Eugene khawatir.

"Tidak usah, aku baik-baik saja."

"Maukah kau mengantarku ke bandara?"

"Baiklah. Tapi aku tidak turun dari taksi ya, aku langsung pulang setibanya kau di bandara."

"Oke. Sekarang habiskan sarapanmu. Aku bersiap-siap dulu."

Eugene mengembalikan kunci apartemen ke kantor pengelola. Lalu menggandeng tangan Elena masuk ke dalam taksi yang sudah menunggu.

"Kau meninggalkan apartemen berantakan begitu saja?"

"Oh aku sudah mengupah seseorang untuk membersihkannya," sahut Eugene sambil tertawa kecil.

"Oh ..."

Sepanjang perjalanan Eugene menggenggam erat tangan Elena. Ia seperti mencium hal-hal yang tidak ia sukai akan terjadi. Dan takut hal itu akan menyebabkan ia kehilangan Elena.

"Dengarkan aku baik-baik, Elena. Aku mencintaimu. Aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi padamu. Aku akan meneleponmu setiba di Kanada. Sekarang berjanjilah satu hal padaku ..." Eugene menyentuh pipi Elena, mengarahkan pada wajahnya sehingga ia bisa melihat jauh ke dalam bola mata Elena.

"Berjanjilah padaku kau tidak akan meninggalkan aku ..."

Elena bergeming, dari sudut-sudut matanya berjatuhan buliran bening. Eugene meraih Elena dalam dadanya memeluknya erat.

Tiba di bandara, Eugene memberikan sejumlah uang pada supir. Memintanya untuk berhati-hati berkendara dan mengantarkan Elena pulang dengan selamat. Dikecupnya beberapa kali rambut Elena. Dan membisikkan, "Aku akan kembali liburan akhir tahun nanti."

Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah.

Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di hadapannya.

— — — bersambung — — —

*can't find someone like me, eh?

(tidak bisa menemukan penggantiku, ya?)

*ya Rabb, please don't put me back into what you once took me out from.

(ya Allah, aku mohon jangan biarkan aku kembali pada apa yang telah Kau selamatkan aku daripadanya.)

*sleeping beauty (putri tidur)

*breakfast is ready (sarapan sudah siap)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status