Share

Masa lalu menyedihkan

***masih flashback tujuh tahun yang lalu***

Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah.

Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di hadapannya.

Lelaki itu terlelap di kursi. Wajahnya terlihat letih. Secangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya serta beberapa buku yang tergeletak di meja seperti menceritakan bahwa ia telah menunggu semalaman. Elena mengutuk dirinya sendiri, istri macam apa yang membiarkan suaminya tertidur di kursi sementara ia tidur dengan lain lelaki?

Elena memperhatikan wajah teduhnya. Alisnya hitam tebal dan saling bertaut. Hidungnya mancung. Rahangnya kokoh. Bibirnya kemerahan tak tersentuh rokok. Janggutnya terawat rapih. Sungguh bukan lelaki dengan kriteria ketampanan di bawah rata-rata. Namun mengapa ia tak kunjung mencintainya?

Elene berdehem sekali lalu mengucapkan salam, "Assalamualaykum ..."

Lelaki itu masih bergeming. Elena mendekat hendak menyelipkan bantal sofa untuk mengganjal kepalanya yang terkulai ketika tetiba ia terbangun dan memegang tangannya.

"Kau sudah pulang ... akhirnya. Alhamdulillaah. Aku khawatir sekali. Aku mencoba menghubungimu ke kantor tapi Office Boy bilang kau sudah pulang. Telepon genggammu mati semalaman. Ada apa? Apa yang terjadi?" tanyanya penuh kecemasan.

"Aku mampir ke rumah teman. Lalu merasa kurang enak badan sampai akhirnya ketiduran. Maafkan aku, Mas ..." Elena tak sanggup menatap mata teduh itu ketika ia berbohong.

"Harusnya kau mengabariku, supaya aku bisa menjemputmu. Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanyanya sambil meraba kening Elena lalu turun ke leher, tangannya terhenti pada sebentuk kalung berinisial dua huruf E yang saling bertaut.

"Aku cuma masuk angin saja," Elena menepis halus tangan suaminya dari kalung pemberian Eugene.

"Kalung baru?" suaminya bertanya penasaran.

"Iya. Kenang-kenangan dari seorang teman," jawab Elena semakin rikuh.

"Duduklah sebentar," pinta suaminya.

Elena memaksakan dirinya duduk di sofa di sebelah suaminya, menahan sakit kepala yang semakin mendera.

"Mas tidak berangkat kerja hari ini?" tanya Elena berbasa-basi.

"Bagaimana aku bisa kerja? Aku tak tenang jika kau belum pulang," ditatapnya Elena dengan sisa-sisa kecemasan dan kemarahan yang sekuat tenaga ditahan.

"Maafkan aku ..." Elena menundukkan kepala dalam-dalam.

"Jangan ulangi lagi. Kau hanya boleh pulang malam atau menginap dengan seijinku. Aku tau kau tersiksa dengan pernikahan kita. Tapi sekarang kau istriku, aku yang bertanggung jawab atasmu," suaranya melunak.

Elena mengangguk takzim. Ia memang tidak mencintai lelaki itu. Tapi ia juga tidak mempunyai alasan untuk membencinya, lelaki itu terlalu baik untuknya.

"Aku mau ke kamar, rebahan ..." ujar Elena.

"Kau sudah sarapan?"

"Sudah tadi. Mas belum sarapan?" sejurus kemudian Elena merasa itu pertanyaan bodoh. Tentu saja belum, ia tertidur semalaman dan terbangun barusan.

"Istirahatlah. Aku akan menyiapkan sarapanku sendiri. Nanti sore aku akan mengajakmu ke suatu tempat, ada yang sudah saatnya aku ceritakan padamu," ia bangkit mengelus rambut Elena sekilas lalu berjalan ke dapur.

Elena mengikuti dua langkah di belakangnya lalu ia belok masuk ke dalam kamar. Dilepaskan pakaiannya, ia tidak ingin suaminya mencium sisa-sisa aroma Eugene yang tertinggal di sana. Menggantinya dengan daster selutut tanpa lengan. Lalu merebahkan dirinya ke atas ranjang.

Dari tempatnya berbaring ia bisa melihat pigura foto pernikahan mereka yang terpajang di dinding. Keduanya terlihat tegang dan hampir-hampir tidak tersenyum di foto itu.

Sekitar enam bulan yang lalu, lelaki itu muncul sekonyong-konyong dalam kehidupannya. Tidak tanggung-tanggung, ia datang ke rumah untuk melamarnya langsung. Entah bagaimana bisa lelaki itu menjatuhkan pilihan padanya yang jelas-jelas tak sekufu.

Orangtua Elena seketika jatuh hati begitu melihat penampilan shalih lelaki itu, terlebih wajahnya yang tampan. Sejujurnya mereka berharap dengan menikahkan Elena dengannya bisa menjauhkan Elena dari Eugene dan menjadikan Elena perempuan yang shalihah. Mereka berkeyakinan Eugene membawa pengaruh buruk bagi Elena.

Tentu saja Elena menolak mentah-mentah. Pernikahan macam apa ini? Hanya dengan perkenalan sekedarnya dan beberapa lembar CV? Mata Elena melotot hampir tak percaya membaca status lelaki itu, duda berusia sepuluh tahun di atasnya, beranak satu perempuan usia lima tahun. Istrinya sudah mendahuluinya dua tahun yang lalu. Ya Tuhan, seperti tidak ada laki-laki lain yang single saja. Menjadi istri yang baik saja belum tentu sanggup, apalagi harus sekaligus menjadi ibu dalam satu waktu?

Tapi orangtua Elena bersikeras, menurut mereka duda beranak satu yang mempunyai keyakinan sama jauh lebih baik daripada lelaki single tak beragama. Elena merasa di skak mat.

Drama pertentangan itu berakhir dengan kekalahan telak di pihak Elena. Ia akhirnya mengiyakan lamaran itu setelah ibunya menjadi sakit karena terlalu memikirkan nasib putri semata wayangnya.

Tanggal dan tempat pernikahan sudah ditetapkan sementara Elena belum menemukan bagaimana hal ini harus disampaikan pada Eugene. Ia seperti berhadapan dengan buah simalakama. Memilih meminta Eugene menikahinya berarti mau tidak mau ia harus melepaskan agamanya dan keluarganya. Meninggalkan Eugene berarti ia harus menikahi orang yang baru dikenal dan sama sekali tidak dicintainya.

Seminggu sebelum pernikahan di salon tempat keduanya melakukan fitting kostum, Elena diperkenalkan kepada seorang gadis kecil. Namanya Maryam, anak dari suami dan mendiang istri pertamanya. Bertubuh montok. Kulitnya putih, matanya bulat, pipinya menggemaskan, mengenakan bergo warna merah muda. Cantik, mungkin seperti ibunya.

"Dia yang akan menggantikan, Ummi?"

"Bukan menggantikan karena Ummi tak tergantikan. Tapi menambah ruang di hati dan kehidupan kita untuk orang baru. Namanya Elena. Kau boleh memanggilnya Ummi Elena jika kau mau."

"Tidak. Tidak. Panggil Ibu atau Bunda saja," Elena menolak halus sambil tersenyum. Panggilan 'ummi' terasa terlalu berat di sandangnya.

"Kenapa ia tidak memakai kerudung?" tanya Maryam berbisik namun masih cukup terdengar jelas di telinga Elena.

"Mungkin karena ia belum merasakan nikmatnya berkerudung. Setiap orang punya waktunya masing-masing, kita tunggu saja." Ayah Maryam menjawab dengan balik berbisik.

Wajahnya memerah, baru kali ini ia merasa dipermalukan oleh anak kecil. Belum lagi sepanjang waktu, Maryam terus-menerus menatapnya. Mungkinkah ia tengah membandingkan dirinya dengan umminya? Elena jengah.

Dua hari menjelang pernikahannya, Elena memutuskan untuk memberitahukan Eugene melalui e-mail. Ia tau akan terasa sangat berat jika berbicara langsung lewat telepon dan ia khawatir akan berubah fikiran.

'Dear Eugene,

Aku akan menikah dengan lelaki pilihan orangtuaku.'

Singkat saja isinya. Tapi dua baris itu kuasa menjungkirbalikkan perasaan keduanya, Elena dan Eugene.

Tidak ada balasan apa-apa dari Eugene. Tapi ia tahu telah menghancurkan hati Eugene, begitu pula hatinya.

Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena benar-benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di sejumlah papan rangkaian bunga.

'Selamat atas Pernikahan

IBNU dan ELENA'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status