Share

Ibnu, si penyabar.

*masih flashback tujuh tahun lalu*

Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena benar-benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di sejumlah papan rangkaian bunga.

'Selamat atas Pernikahan

IBNU dan ELENA'

Dan begitulah pernikahan Elena dan Ibnu didasari niat yang berbeda diawali. Keshalihan dan kesabaran Ibnu belum menyentuh kalbu Elena sama sekali. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah Elena malah terseret kembali pada lelaki yang dicintainya. Eugene. Mereka tetap berhubungan diam-diam sampai akhirnya terjebak dalam zina yang sempurna.

Elena mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair. Ingatannya dipenuhi kebaikan-kebaikan suaminya. Ibnu selalu memperlakukannya dengan kelembutan dan tak pernah memaksakan ia menjadi shalihah secara instant. Ia ingat bagaimana setiap shubuh sepulang dari masjid, suaminya membangunkannyadengan duduk di sisi tempat tidur sambil melanjutkan tilawah mengusap-usap kakinya dan tidak beranjak sampai ia benar-benar bangun untuk sholat. Ia ingat betapa banyak sepertiga malam yang telah dihabiskan oleh suaminya dalam sholat dan mendengar namanya disebut dalam doa setelahnya. Ia ingat kebiasaan suaminya mencium ubun-ubun kepalanya setiap pagi sebelum berangkat kerja, membacakan satu ayat yang sama dari Al Quran dan sampai saat ini ia tak paham apa artinya. Ia ingat entah berapa banyak gamis dan kerudung yang dihadiahkan padanya tapi hanya ucapan basa-basi terima kasih yang ia berikan sebagai balasan tanpa ada keinginan untuk mengenakannya. Pun begitu Ibnu tak pernah berlaku kasar, jika ia marah maka ia akan meninggalkannya sendirian dan tidur di kamar Maryam. Kini rasa bersalah dan menyesal mulai merasuki hatinya, 'ya Allah dosa dan maksiatku pastilah sudah sedemikian banyaknya sampai-sampai hatiku mati dan tidak peduli dengan kebaikan yang hadir di depan mata'.

Elena terisak pelan, sakit kepalanya semakin tak tertahan dan ia pun tertidur dalam kelelahan.

Beberapa jam kemudian, Elena terbangun. Ia mendengar langkah kaki yang dikenalnya mendekat tapi rasa bersalahnya menahannya untuk tetap memejamkan matanya dan pura-pura tidur.

Ibnu masuk ke dalam kamar, meletakkan segelas teh manis hangat di atas meja rias. Lalu ia duduk di tepi tempat tidur, diperhatikannya Elena yang meringkuk membelakanginya. Punggung telapak tangan kanannya terjulur ke dahi Elena, yakin istrinya tidak demam tangannya turun mengusap punggung Elena beberapa kali.

Jantung Elena berdebar merasakan pembaringannya sedikit terguncang ketika Ibnu memperbaiki posisi tubuhnya separuh berbaring, mendekatkan kepalanya ke kepala Elena. Sungguh Elena takut Ibnu bisa mencium rasa bersalahnya.

Elena bisa merasakan hangat napas Ibnu ketika mencium ubun-ubun Elena, dibisikkannya sebuah doa yang sama yang sering ia dengar sebelumnya. 'Rabbana hablana min azwajinaa wadhurriyatinaaqurrota'ayun wajalnaa lil muttaqina imamaa ...'

"Elena ... bangun," Ibnu mengguncang lembut bahu Elena.

Elena pura-pura menggeliat lalu membuka matanya perlahan dan menemukan wajah Ibnu yang tersenyum begitu dekat dengan wajahnya. Untuk kali pertama ia mampu membalas kelembutan tatapan suaminya dan menikmati keindahan itu dengan rasa syukur dan hati yang berdebar.

"Bangun, aku buatkan teh manis supaya perutmu hangat. Sholat Ashar dulu sudah jam empat lewat, aku mau mengajakmu dan Maryam ke suatu tempat."

Seperti biasa, Ibnu tak akan beranjak sebelum ia benar-benar bangkit dari tempat tidur. Disodorkannya segelas teh manis, Elena hampir meminumnya ketika tangan Ibnu menahan gelasnya. "Bismillah dulu,"

Elena tersipu. "Bismillah ..."

***

Elena, Ibnu dan Maryam tiba di sebuah pemakaman. Di sebuah gundukan tanah tanpa bata hanya sepotong papan sebagai nisan langkah mereka terhenti. Ibnu berjongkok mengusap nisan, mengucapkan salam lalu berdoa dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Maryam berjongkok dekat ayahnya, gadis kecil itu tak pernah bisa dekat dengan Elena. Bisa jadi karena Elena yang enggan. Elena hanya bisa terpaku diam memperhatikan keduanya.

Tak lama, mereka bertiga meninggalkan area pemakaman. Ibnu mengajak mereka ke sebuah taman. Sementara Maryam bermain ayunan, Elena dan Ibnu duduk berhadap-hadapan di bangku yang disediakan di bawah tenda payung. Mereka memesan minuman dan kudapan.

"Kau tahu makam siapa yang barusan kita kunjungi?"

"Mendiang istrimu ..."

Ibnu mengangguk. Lalu ia mengeluarkan dari tas pinggangnya belasan foto yang diantaranya kusam termakan waktu.

"Kau mengenalnya?"

Elena menggeleng sekilas tak yakin, tapi kemudian matanya tertarik pada sebuah foto lama. Dua orang anak kecil duduk di sebuah bangku panjang memakan es krim sambil tertawa.

"Itu aku!" Elena berseru terkejut. Tangannya meraih foto-foto yang bertebaran di atas meja mengumpulkan dalam genggamannya dan melihatnya dengan seksama satu per satu. Air matanya turun perlahan.

"Kenal?" Ibnu kembali bertanya.

Elena mengangguk-anggukkan kepalanya cepat sambil beberapa kali mengusap air matanya. Tangannya masih terus menggilir foto-foto itu.

"Ini ... Pipit, aku memanggilnya Pipit. Jadi Safitri itu Pipit ... sahabat kecilku, adalah istrimu dulu. Ia telah lama berpulang dan aku baru saja tahu ..." Elena tak kuasa menahan kesedihannya, kedua telapak tangannya ditelungkupkan di wajah piasnya. Tangisnya menghebat.

Pipit adalah sahabatnya dari kecil. Orangtuanya memiliki beberapa yayasan dan pondok pesantren. Ia mulai jarang bertemu dengannya ketika mereka mengambil tempat kuliah yang berbeda. Pipit mendalami agama sementara ia memilih bahasa asing sesuai ambisinya, keliling dunia.

Walaupun hampir tidak pernah bertemu tapi mereka seringkali bertukar kabar dan cerita melalui telepon. Kalaulah ada yang paling rajin mengingatkan hubungan tidak sehatnya dengan Eugene, Pipitlah orangnya. Jika ada yang mengingatkan untuk memegang teguh keislamannya, Pipitlah yang paling gigih. Dan bila ada yang berhasil mengurungkan niatnya untuk kabur bersama Eugene, sudah pasti Pipitlah satu-satunya yang melakukannya.

Elena berhenti pada satu foto pernikahan yang ia ada di dalamnya. Ia mendongak menatap Ibnu tak percaya.

"Aku hadir di pernikahan kalian ..." Elena mencoba mengingat-ingat, ya itulah terakhir kali ia bertemu Safitri.

"Ya, hanya sebentar saja. Kau datang terburu-buru dan bisa dibilang sama sekali tak menghiraukanku."

"Kau ... sekarang terlihat jauh berbeda dari foto ini," Elena menatap Ibnu masih tak percaya.

"Kami dulu dijodohkan. Orangtuaku memohon agar orangtua Safitri berkenan menikahkan anaknya denganku. Aku dulu bukan orang baik, Elena. Entah mengapa pada akhirnya mereka menerima lamaran orangtuaku. Saat itu Safitri hanya meminta satu syarat, agar aku tidak pernah berbohong padanya. Aku dulu tak mencintainya tapi seiring berjalannya waktu, akhirnya Allah mengijinkan keshalihannya menjadi pembuka pintu hidayah untukku. Ia mengajariku banyak hal. Dan pada saat aku benar-benar jatuh cinta padanya, Allah mengambilnya kembali." Ibnu meletakkan punggungnya ke sandaran kursi, menghela napas panjang dan dalam. Sementara Elena masih terisak.

Ibnu mengeluarkan secarik kertas yang kusut karena terlalu sering dibaca. Menyodorkannya pada Elena.

"Di hari-hari terakhirnya, ia memaksaku untuk berjanji akan menikahimu dan aku tak kuasa untuk tidak mengabulkannya," tutur Ibnu dengan suara bergetar.

Elena tiba-tiba ingat telepon konyol Pipit beberapa tahun lalu, yang memintanya menikah dengan suaminya dan menjadi adik madu. Elena cuma bisa tertawa keras dan menganggapnya tidak waras. Tentu saja ia menolak.

Elena membuka lipatan kertas yang disodorkan Ibnu, dibacanya perlahan sambil sesekali menahan napas.

— — — bersambung — — —

● Doa: 'Rabbana hablana min azwajinaa wadhurriyatinaa qurrota'ayun wajalnaa lil muttaqina imamaa'. Diambil dari QS. Al-Furqon: 74 yang artinya “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” 

(QS. Al-Furqon: 74)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status