Share

MEMOHON

Segalanya memang butuh uang tapi uang bukanlah segalanya. Lalu apakah ketika kita menjadi orang kaya maka secara otomatis derajat kita lebih tinggi dari yang miskin? Apakah ketika kita menjadi orang kaya maka semua yang ada di alam dunia ini menjadi milik kita? Apakah ketika kita menjadi orang kaya maka saudara sendiri bahkan orangtua sendiri pun bisa kita jadikan alas kaki? Apakah ketika kita menjadi orang kaya, semua harta itu akan menjamin kita masuk surga? Apakah anda yakin bahwa semua kekayaan yang sedang anda milikki saat ini abadi hingga akhir khayat?

***

Rania masih diam berdiri membiarkan Paman Luki, Tante Irma dan juga Bian tertawa atau lebih tepatnya menertawakan dirinya. Marah? Tidak! Karena memang sejak awal dia berniat untuk datang ke rumah ini menemui mereka, dirinya sudah menyiapkan mental untuk segala kemungkinan yang terjadi. Termasuk segala penghinaan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga ini. Rania hanya bisa menarik nafasnya dalam lalu berkata...

“Paman, aku minta maaf sebelumnya. Aku datang kemari... mau... mau... mau meminjam uang.”

Walaupun dengan suara yang bergetar dan jantung yang berdegup sangat kencang namun akhirnya kata-kata itu lolos juga dari bibir Rania. Dengan susah payah dia berusaha sekuat tenaga agar air matanya tidak sampai terjatuh.

Hari ini untuk pertama kalinya dia harus menjatuhkan harga dirinya begitu dalam di hadapan orang lain. Namun harus bagaimana lagi, dia melakukan ini semua karena terpaksa dan sangat terdesak. Dia terpaksa mengambil jalan ini karena dirinya terus berlomba dan bertarung dengan sang waktu.

“Hmm, sudah aku duga. Wanita miskin sepertimu jika datang kemari pasti berhubungan dengan uang,” ucap Paman Luki sinis.

“Tapi Paman, uang itu bukan untukku. Tapi untuk keponakan Paman, Yusuf.”

“Kenapa suamimu, Yusuf?” Paman Luki bertanya dengan acuh.

“Tadi malam Yusuf mengalami kecelakaan, Paman. Sekarang dia masih berada di ruang IGD. Dia harus menjalani operasi di kepalanya karena kecelakaan itu mengakibatkan adanya gumpalan darah di otaknya. Aku mohon Paman. Aku berjanji akan segera membayarnya,” ucap Rania dengan sangat memelas.

“Sekarang saja kamu pinjam uang kepadaku lalu bagaimana ceritanya kamu akan membayar semuanya?” tanya Paman Luki.

“Aku akan mencari cara secepatnya, Paman. Aku akan bekerja ekstra agar segera bisa mengembalikan uang itu. Kali ini aku benar-benar terdesak, Paman. Yusuf harus segera melakukan operasi agar dia bisa selamat. Aku mohon, Paman. Aku mohon.”

Akhirnya air mata yang sedari tadi dia tahan, jatuh juga. Dengan kedua tangan yang dia katupkan di depan dadanya, Rania terus saja memohon dan meminta.

“Hahahaha. Kamu ini sangat lucu, Rania. Bukankah dulu dengan sombongnya kamu pernah bilang bahwa uang bukanlah segalanya. Bahwa kebahagiaan di dunia ini tidak dapat diukur dari seberapa banyak kekayaan yang dimiliki. Tapi lihatlah sekarang apa yang terjadi! Kamu merengek kepadaku, meminta uang dariku untuk menyelamatkan kebahagiaanmu,” ejek Paman Luki yang merasa bangga dengan apa yang sudah terjadi saat ini.

“Bian! Jadi ini sifat wanita yang selama ini kamu cintai? Memalukan. Seorang wanita yang menjilat ludahnya sendiri,” ucapnya lagi berkata kepada sang anak laki-lakinya.

Bian pun terus menatap Rania dengan senyum mengejek. Rania terus saja menunduk, tidak melawan. Walaupun harga dirinya kini sedang diinjak-injak oleh sang paman. Dia harus bisa bersabar menerima penghinaan demi penghinaan dari laki-laki yang berstatus sebagai adik dari ayah mertuanya itu.

“Iya Papih. Dulu aku memang sangat tergila-gila pada wanita ini. Tapi sekarang? Cih, maaf aku tidak tertarik dengan barang bekas. Apalagi barang bekas Yusuf,” ucap Bian.

“Oh iya ngomong-ngomong dimana ibu mertua kesayanganmu itu? Bukankah seharusnya dia yang datang kemari? Aku akan lebih senang jika wanita itu yang memohon seperti ini kepadaku untuk anak tunggalnya itu.”

“Ibu...”

Belum sempat Rania menyelesaikan ucapannya, Paman Luki dengan cepat memotong.

“Oh iya aku lupa. Ibu mertuamu itu sudah lama lumpuh, kan? Saat kecelakaan yang menimpa dia dan Kakakku beberapa tahun yang lalu yang akhirnya membuat Kakakku meninggal. Aaahh, terkadang sampai sekarang aku masih saja menyesal kenapa bukan Tyas ibu mertuamu saja yang waktu itu mati? Kenapa malah Kakakku yang harus pergi menghadap Tuhan? Menyebalkan!”

Tante Irma yang sedari tadi duduk terdiam, mulai membuka suaranya kembali.

“Apakah begini caranya seorang istri meminta tolong kepada seseorang demi untuk menyelamatkan suaminya?” tanya Tante Irma sinis.

“Apa maksud Tante?” tanya Rania masih dengan terisak.

“Berlutut dan memohonlah kepada kami agar kami mau membantumu!”

DEG

Rania benar-benar tidak mengerti dengan cara berfikir keluarga ini. Sepertinya mereka sangat senang jika melihat orang lain kesusahan. Sepertinya mereka sangat bahagia jika melihat orang lain berada di bawah kakinya. Mereka sangat bangga dengan segala harta kekayaan yang mereka miliki saat ini, seolah harta itu adalah bekal mereka di akherat kelak. Padahal harta yang menggunung di setiap pojok rumah itu, tidak akan mereka bawa sampai mati. Tidak akan juga bisa digunakan untuk menyogok para malaikat untuk menghapus catatan dosa mereka dan memasukkan mereka ke dalam surga.

“Kenapa? Tidak mau? Apa harga dirimu lebih berharga daripada nyawa suamimu?” ucap Tante Irma lagi.

Sebenarnya bukan masalah jika Rania harus berlutut dihadapan Paman dan juga Tantenya. Rania siap untuk melakukan hal itu. Dia bisa menganggap kalau dirinya sedang berlutut di depan orangtuanya sendiri. Akan tetapi disana juga ada Bian. Apakah dirinya harus berlutut di depan Bian juga?

Banyak sekali keraguan yang berseliweran di dalam kepala Rania namun dia sadar kalau dirinya tak punya pilihan lain. Sekali lagi, dia harus kalah oleh waktu. Demi untuk menyelamatkan sang suami, dia rela melakukan apa saja, walaupun harus berlutut bahkan jika perlu sampai mencium kaki pamannya itu pun, dia rela. Asalkan sang suami bisa terselamatkan.

Dengan perlahan, Rania pun berjalan mendekati paman dan tantenya yang sedang duduk angkuh di atas sofa. Setelah berada tepat di depan sepasang suami istri itu....

BRUK

Rania menjatuhkan badannya, memposisikan tubuhnya menjadi berlutut di depan kaki sang paman. Tangannya kembali dia satukan di depan dadanya, pandangannya menunduk dengan air mata yang jatuh sangat deras. Hatinya terasa tercabik-cabik. Dia harus melakukan sebuah adegan dimana tidak pernah sedikit pun terbesit di dalam pikirannya sama sekali.

“Paman, aku mohon tolong bantu aku untuk menyelamatkan suamiku,” lirih Rania.

Sepasang suami istri dan satu anak laki-lakinya itu pun tertawa. Mereka semua tampak bahagia bisa melakukan hal tersebut. Entahlah, mungkin hati nurani mereka memang sudah mati sehingga tidak ada sedikit pun rasa iba yang tumbuh di hati mereka.

“Hahahahaha. Aku sangat senang melihatmu melakukan hal ini, Rania. Karena itu artinya kamu tahu dimana posisimu, dimana derajatmu. Selama ini, kalian selalu bangga bukan dengan kemandirian kalian? Tapi lihatlah sekarang, semuanya sudah terpampang jelas bahwa kalian membutuhkanku. Tapi sayang sekali, aku tidak bisa membantumu atau lebih tepatnya aku tidak mau membantumu.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status