“Hahahahaha. Aku sangat senang melihatmu melakukan hal ini, Rania. Karena itu artinya kamu tahu dimana posisimu, dimana derajatmu. Selama ini, kalian selalu bangga bukan dengan kemandirian kalian? Tapi lihatlah sekarang, semuanya sudah terpampang jelas bahwa kalian membutuhkanku. Tapi sayang sekali, aku tidak bisa membantumu atau lebih tepatnya aku tidak mau membantumu.”
Kata-kata terakhir sang paman benar-benar seakan membunuh Rania saat itu juga. Setelah semua yang sudah dia lakukan, setelah semua penghinaan pahit yang dia terima bahkan setelah dirinya terpaksa berlutut di depan kaki paman dan tantenya namun nyatanya sang paman masih tetap saja menolak untuk membantunya.
Ada apa dengan keluarga ini? kenapa mereka sangat kejam? Apa mereka tidak punya hati nurani termasuk kepada saudaranya sendiri? Apa salahku Ya Allah? Apa salah keluargaku hingga kami harus mendapatkan ujian seberat ini? ucap Rania di dalam hati.
Tubuh Rania melemas, air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Keringat dingin mulai bercucuran, bibirnya bergetar. Dia tidak menyangka sama sekali dengan keputusan pamannya itu.
"Tapi Paman, Yusuf adalah keponakanmu, bukan? Kenapa Paman tega sekali melakukan hal ini?” tanya Rania pelan. Tenggorokannya seakan tercekik dan membuatnya kesulitan untuk bersuara.“Rania... Rania... Kamu itu orang luar yang tidak tahu apa-apa. Bahkan silsilah keluarga suamimu saja, kamu tidak tahu. Apakah selama ini kamu tidak pernah berfikir kenapa kehidupan aku dan Kak Ridho ayah mertuamu sangatlah berbeda padahal kami adalah saudara kandung? Apakah selama ini kamu tidak pernah bertanya kepada ibu mertua kesayanganmu itu kenapa hubungan suaminya dengan keluarga besarnya tidak baik?” ucap paman Luki yang sudah mulai emosi.
Melihat Rania yang hanya diam saja tidak menjawab, membuat Paman Luki semakin geram saja.
“Hmm, diammu ini sudah memberiku jawaban bahwa selama ini Tyas tidak pernah menceritakan apapun kepadamu. Sudah aku duga kalau dia tidak akan berani membuka lembaran masa lalunya karena jika dia melakukan hal itu, sama saja dia membuka aib dirinya sendiri.”
Rania semakin tidak mengerti dengan maksud dari perkataan pamannya itu. Ayah mertuanya jauh dari keluarganya? Ibu mertuanya merahasiakan sesuatu, tapi sesuatu apa? Apa rahasia keluarga suaminya yang belum dia ketahui? Bukankah selama dia berhubungan dengan Yusuf, laki-laki itu sudah menceritakan semuanya kepadanya dengan sejujur-jujurnya? Atau apakah Yusuf sendiri juga tidak mengetahui tentang sebuah rahasia kedua orangtuanya?
“Apa maksud Paman?” tanya Rania kembali.
“Dengar Rania, mungkin yang kamu tahu selama ini kalau Yusuf adalah anak dari Kak Ridho, tapi satu hal yang harus kamu garis bawahi kalau Yusuf bukanlah keponakanku,” jelas Paman Luki.
“Maksudnya bagaimana Paman? Aku benar-benar tidak mengerti,” tanya Rania semakin bingung.
“Yusuf, dia tidak memiliki darah daging dari keluarga kami. Kamu tahu kenapa? Karena Ibu mertua kesayanganmu itu, Tyas, dia selingkuh dan dari hasil perselingkuhannya itu lahirlah Yusuf,” jelas Paman Luki dengan setengah berteriak.
DEG
“A... Apa? Tidak! Itu tidak mungkin, Paman.”
Hati Rania bertambah kalut mendengar ucapan dari sang Paman.“Hmm.. kaget? Kamu tidak percaya? Tapi itulah yang sebenarnya terjadi. Asal kamu tahu, sejak kecil Kak Ridho memiliki permasalahan dengan sistem reproduksinya sehingga dia dinyatakan mandul. Seluruh anggota keluarga mengetahui hal itu. Hanya Tyas saja yang tidak tahu karena Kak Ridho sangat mencintai Tyas dan dia tidak ingin wanita itu meninggalkannya kalau sampai dia mengetahui jika Kak Ridho mandul. Kak Ridho meminta seluruh anggota keluarganya untuk merahasiakan hal ini, tidak hanya dari Tyas seorang tapi dari seluruh dunia karena Kak Ridho tahu bahkan dinding di dalam rumah pun memiliki mata dan telinga,” jelas Paman Luki.
“Dan setelah satu tahun pernikahan mereka, Tyas dinyatakan hamil. Lalu apa kami harus percaya bahwa itu adalah anak kandung dari Kak Ridho? Apakah kami harus percaya bahwa Yusuf memiliki darah keturunan keluarga kami? Tidak!!!!” teriak Paman Luki sekali lagi. Dia pun berdiri hendak pergi meninggalkan ruangan itu menuju ke dalam kamarnya namun langkahnya terhenti oleh perkataan Rania.
“Tapi Paman, bukankah selama ini Paman bisa melihat kalau Ayah Ridho sangat menyayangi Yusuf. Hubungan diantara Ayah Ridho dan suamiku Yusuf tidak seperti orang asing tapi seperti layaknya orangtua kepada anaknya sendiri. Maaf Paman, tapi menurutku mungkin Pamanlah yang tidak bisa mengerti perasaan Ayah Ridho. Seharusnya jika Ayah Ridho saja sangat menyayangi Yusuf lalu mengapa Paman dan seluruh keluarganya tidak mendukungnya? Bukankah itu malah membuat Ayah Ridho semakin tertekan? Lagipula bukankah kalian orang kaya? Kenapa tidak melakukan pengobatan kepada Ayah Ridho? Bagaimana kalian tahu jika selama Ayah Ridho menikah dengan Ibu Tyas, penyakitnya masih ada di dalam tubuhnya? Bagaimana jika ternyata Ayah Ridho sudah sembuh tanpa sepengetahuan kalian dan Yusuf benar-benar anak kandung dari Ayah Ridho? Kenapa dari sejak awal kalian tidak melakukan tes DNA saja agar kalian tidak selamanya berprasangka buruk kepada Yusuf? Atau mungkin dari sejak awal kalian memang tidak pernah merestui pernikahan Ayah Ridho dan Ibu Tyas?” Rania terus saja berbicara namun masih dalam keadaan menunduk, tidak berani menatap mata sang paman.
“RANIA!!! Lancang sekali kamu.” Paman Luki semakin emosi. Dia berjalan cepat mendekat ke arah Rania. Laki-laki itu hampir saja menampar Rania namun dihalangi oleh sang istri.
“Sebaiknya kamu segera pergi dari rumah ini karena kamu sudah tahu kan apa jawaban kami. Kamu, suamimu ataupun ibu mertuamu itu tidak akan pernah diterima di dalam keluarga ini,” ucap Tante Irma yang langsung berjalan sambil menggandeng sang suami keluar dari ruangan itu.
Kini tinggalah Rania dan Bian yang masih ada di dalam ruangan tersebut. Semua penjelasan yang diungkapkan oleh Paman Luki benar-benar membuat Rania mati kata, susah bergerak dan hanya mematung. Dia tidak pernah menyangka kalau selama ini dia tidak mengetahui kejadian besar di balik keluarga suaminya itu. Akan tetapi apa benar yang diucapkan oleh Paman Luki kalau sang ibu mertua telah selingkuh? Karena selama ini Rania selalu melihat kalau mertuanya itu sangat mencintai almarhum suaminya.
"Apa aku harus bertanya langsung kepada Ibu Tyas? Tapi ini kan masa lalunya. Apakah aku memiliki hak walaupun hanya untuk sekedar bertanya tentang hal ini kepada beliau?" gumam Rania dalam hati.
Iya, sejak dari tadi Rania memang melawan Paman Luki dengan berbicara dan seolah-olah tidak mempercayai perkataan laki-laki itu dan membela seluruh keluarganya namun sebenarnya tidak dapat dipungkiri kalau perkataan sang Paman sedikitnya juga menggoyahkan ketenangan di dalam hatinya.
Lamunan Rania tiba-tiba membuyar saat menyadari kalau wajah Bian tiba-tiba saja sudah berada tepat di depan wajahnya, hanya terpisah beberapa centimeter saja. Karena kaget, dia pun memundurkan badannya ke belakang dan hampir saja terjatuh.
“A.. Aku.. Aku permisi,” ucap Rania.
Dengan cepat dia bediri dan setengah berlari untuk keluar dari rumah itu. Jujur saja walaupun dia sebenarnya mengenal Bian dari sejak dulu, bahkan dari sebelum dirinya menikah dengan Yusuf, namun tetap saja dari dulu hingga sekarang entah mengapa tapi tatapan mata Bian selalu saja membuat dirinya takut.
“Rania, dari dulu hingga sekarang kecantikanmu itu tidak pernah pudar. Aku sangat menyukainya,” gumam Bian.
***
Hari sudah beranjak sore. Jarum jam yang melingkar di tangan kiri Rania sudah menunjukkan pukul 3 sore. Rania pun menghela nafas panjang. Hmm, tinggal beberapa jam lagi sebelum mengambil keputusan untuk Yusuf. Sedangkan sampai sekarang, aku belum tahu harus bagaimana? Aku belum tahu harus pergi ke mana? Ya Allah, hamba mohon berikan petunjuk-Mu. Apa yang harus hamba lakukan? Berilah keajaiban-Mu Ya Allah. Hamba mohon, ucap Rania di dalam hatinya. Dia menangis merasakan saat ini dirinya begitu tidak berdaya, begitu lemah. Langit yang semula terlihat cerah kini tiba-tiba saja berubah menjadi mendung. Tidak tahu apa karena sudah masuk musim pancaroba ataukah sang langit juga ikut bersedih melihat apa yang sudah dialami oleh gadis itu, entahlah. Langkah Rania terhenti di salah satu sudut jalan yang masih sepi dari ribuan kendaraan. Tentu saja karena kaki Rania masih berada di dalam sebuah perumahan elite. Jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh untuk sa
Sungguh sangat berat beban yang dirasa oleh Rania saat ini. Dia benar-benar bingung bagaimana dia akan menghadapi sang ibu mertua yang sangat mempercayai dirinya akan berhasil. Dia sadar ini adalah kesalahannya yang sangat yakin akan berhasil sehingga dia pun memaksa sang ibu mertua untuk percaya kepadanya juga dan menghilangkan semua keraguan yang ada di dalam hatinya. Dia tidak tahu kalau selama ini dia tidak mengenal dengan baik bagaimana sifat dan tingkah laku keluarga dari suaminya itu. Dia hanya mengenal Ayah Ridho dan Ibu Tyas saja. Dia hanya meyakini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh bunda Nayla, Ibu panti asuhan dimana selama ini ia tinggal bahwa semarah apapun setiap anggota keluarga, rasa kasih sayang diantara mereka tidak akan pernah menghilang.Sekarang ia hanya bisa mematung di tempat ia berdiri, merasa bingung harus kemana lagi sekarang. Sebuah suara dering ponsel miliknya membuyarkan lamunan Rania saat itu. Dengan segera dia mengambil ponsel yang sedari ta
Sore hari di rumah sakit tepat dimana Yusuf masih dirawat dengan sangat intensif oleh para dokter dan juga suster yang berjaga disana. Sambil menunggu keputusan keluarga tentang langkah selanjutnya kepada pasien, Yusuf pun dipindahkan terlebih dahulu ke ruang perawatan. Hanya Ibu Tyas saja yang selalu menjaganya, di sisinya dan tak sekali pun mau meninggalkan anak tersayangnya itu. Wajah Yusuf masih sangat pucat, dengan selang oksigen yang masih menempel di hidungnya dan jarum infus yang setia menusuk di tangannya. Kembali, melihat kondisi sang anak yang sangat mengkhawatirkan, Ibu Tyas kembali menangis. Ibu Tyas mendorong kursi rodanya untuk mendekat ke arah sang anak pas di samping kepala Yusuf. Tangannya yang sudah mulai mengerut tampak mengusap kepala sang anak. Hatinya benar-benar hancur melihat anak yang selama 9 bulan berada di dalam perutnya, seorang anak yang demi kelahirannya, ia ikhlas melawan hidup dan mati. Seorang anak yang tak pernah lupa disebut naman
Senja yang sangat cerah. Langit berwarana orange dengan angin bertiup sepoy-sepoy membuat beberapa orang sangat senang menghabiskan waktunya bermain di tempat terbuka. Di sebuah taman yang cukup luas, tampak banyak sekali anak-anak kecil berlarian, bermain dengan riangnya. Seolah tidak ada permasalahan sama sekali di dalam pikiran mereka. Namun bukankah memang demikian? Pikiran seorang anak kecil hanya terbebani dengan tugas sekolah saja. Mereka belum diberi beban untuk memikirkan permasalahan dunia yang begitu rumit dan terkadang membuat diri putus asa sampai-sampai ingin mengakhiri hidup.Pikiran seorang anak kecil begitu polos. Mereka belum mengenal permainan dunia yang sangat kejam, penuh intrik dan penuh dengan kebohongan serta kejahatan. Mereka belum mengenal orang-orang munafik yang selalu baik di depan namun buruk di belakang. Mereka hanyalah seorang anak kecil. Di dalam pikiran mereka hanya bermain, bermain, dan bermain.Tiba-tiba tampak sebuah bola berwarna b
Langit yang sedari tadi tampak mendung manahan daya serap awan yang semakin berat akhirnya merasa lelah juga. Menumpahkan titik-titik air hujan yang mulai membasahi jalanan ibu kota. Debu-debu yang semula menumpuk menutupi jalanan beraspal kini menghilang seolah tersapu oleh air hujan dan memunculkan bau yang terasa sangat menyengat di dalam hidung.Orang-orang yang semula berlalu-lalang di tengah jalan mulai menepi mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk berteduh. Begitu juga beberapa motor yang sedang melaju, banyak diantaranya yang ikut menepi karena sang pengendara lupa tidak membawa jas hujan. Udara dingin mulai menyeruak menusuk ke sela-sela pori terdalam. Satu kesalahan lagi yang dilakukan oleh Rania kembali membuatnya menyesal. Sejak awal dia berangkat ke kota ini, dia lupa tidak membawa jaket ataupun payung. Rasa paniknya membuat dirinya tidak berfikir sampai ke arah situ.Alhasil Rania pun ikut berkumpul bersama orang-orang yang sedang menghindari air huja
“Halaaaahh, semua pencuri kalau sudah tertangkap pasti bilangnya terpaksa. Udah kita seret saja pencuri ini ke kantor polisi sekarang,” teriak laki-laki lainnya.Salah satu laki-laki yang posisinya paling dekat dengan Rania langsung menarik tangan gadis itu dengan kasar hendak menyeret tubuh Rania. Gadis itu pun memberontak, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman laki-laki itu yang dirasa sangat menyakitkan. Bukan hanya rasa sakit di tangan saja, namun juga rasa sakit di dalam hatinya.“Ampun, Pak. Jangan bawa saya ke kantor polisi.”Rania terus saja memohon. Dia terus berusaha menggerakan tangannya agar bisa terlepas dari genggaman laki-laki itu. Air matanya pun sudah tak terbendung lagi. Tiba-tiba saja seorang ibu-ibu paruh baya berjalan mendekati wanita itu danPLAKIbu itu pun mendaratkan sebuah tamparan yang sangat keras kepada Rania, membuat bibir wanita ini sobek dan berdarah.“Pencuri wanita seperti
Beberap tahun yang lalu.Pada suatu malam yang sangat mencekam karena sang langit tengah menurunkan hujan yang sangat deras ditemani halilintar yang berbunyi berkali-kali. Di salah satu daerah di kota B, tepatnya di sebuah panti asuhan yang bernama Panti Asuhan Generasi Mandiri, semua anak sudah tertidur dengan sangat lelap sedari tadi. Bisingnya air hujan yang jatuh di atas genting nyatanya tidak membuat para anak-anak panti itu terbangun dari tidurnya. Mata mereka tetap saja tertutup seolah sedang asyik bermain di dunia mimpi sampai tidak sadar dengan apa yang terjadi di dunia nyata.Lain halnya para anak-anak, lain juga dengan orang dewasa. Di rumah panti itu kebetulan ada tiga orang manusia dewasa yang tinggal disana. Agung, sang pemilik rumah panti, Nayla istrinya, dan Reni adik dari Nayla. Usia Reni masih muda. semenjak orangtuanya meninggal gadis ini ikut tinggal bersana sang kakak dan kakak iparnya sambil mengurus anak-anak panti itu. Selain membantu sang kakak
“Ren, tolong jaga anak-anak ya! Mbak mau ke pasar dulu sebentar,” ucap Nayla kepada sang adik yang masih sedang sibuk menata makanan di atas meja makan. Iya, mereka baru saja selesai memasak sarapan untuk anak-anak semua. Sedangkan Agung sudah berangkat dari subuh ke tempat kerjanya karena sedang menyiapkan proyekan di luar pulau bersama atasannya.“Iya Mbak. Mbak hati-hati di jalan.”Dengan berbekal sebuah keranjang sayur yang dia pegang, Nayla pun berangkat ke arah pasar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Seperti layaknya pasar-pasar tradisional lainnya, setiap pagi pasar itu pun selalu saja padat oleh para ibu-ibu yang hendak berbelanja bahan masakan.“Loh Mbak Nayla, si cantik gak diajak lagi?” tanya salah satu pedagang sayur langganan Nayla.“Gak Mbak. Anaknya gak mau ikut lagi katanya,” jawab Nayla sambil tersenyum.“Wah, susah ya Mbak mengurus anak yang tertutup seperti itu?&