“Siapa Pak Burhan?” suara barithon seorang laki-laki terdengar dari balik gerbang.
Security yang diketahui bernama Pak Burhan yang sedari tadi berbicara dengan Rania langsung menghadap ke arah sumber suara. Tampak seorang laki-laki muda nan tampan sedang berjalan mendekat ke arah Pak Burhan. Jika dilihat dari segi usia mungkin sama dengan Rania. Dengan menggunakan sebuah celana jeans hitam dan kaos berwana putih yang dibalut sebuah jaket kulit membuat laki-laki itu terlihat sangat gagah. Rambutnya yang sedikit basah dan tertata seenaknya membuat siapa saja wanita yang melihatnya pastilah langsung terpesona. Apalagi dengan latar belakang keluarga orang kaya, wanita mana yang tidak tertarik dengannya?
Laki-laki itu terus saja berjalan mendekat dan pada akhirnya dia pun bisa melihat siapa yang sedang berdiri di depan gerbang rumahnya itu.
“Rania...” ucap laki-laki itu kaget.
“Bian...” kata wanita tersebut pelan.
Melihat sang majikan mengenal wanita yang sedari tadi berbicara dengannya, membuat Pak Burhan bingung.
“Tuan, apa Tuan mengenal wanita ini?” tanya Pak Burhan.
“Iya tentu saja. Aku sangat mengenal baik wanita ini,” jawab Bian dengan senyum menyeringai. Berbanding terbalik dengan Rania yang seketika menundukkan wajahnya, tidak ingin melihat ke arah Bian.
Mata Bian terus menatap Rania dari ujung kaki sampai ujung kepala. Sebuah senyum menyeringai memunculkan banyak arti disana. Pak Burhan yang mendengar kalau kedua orang itu saling mengenal, langsung berpamitan pergi untuk kembali ke dalam posnya semula.
“Sedang apa kamu di sini, KAKAK IPAR?” tanya Bian dengan menekan kata ‘kakak ipar’. Kedua tangannya dia satukan di depan perutnya. Wajahnya sengaja dia dekatkan ke arah wajah Rania, membuat Rania sedikit melangkah mundur.
“Aku... Aku mau bertemu dengan Paman,” jawab Rania masih dengan wajah yang tertunduk.
“Mau apa?”
“Ada urusan penting yang harus aku bicarakan dengan Paman.”
Bian tidak menjawab perkataan Rania. Matanya kembali memandang wanita itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ada rasa rindu tergambar jelas di mata Bian akan sosok Rania. Akan tetapi bukanlah rindu karena sayang melainkan rindu karena nafsu.
“Sudah lama tidak bertemu, kamu masih saja terlihat sangat cantik, Rania. Aku tidak percaya walaupun kini kamu sudah menikah tapi dirimu tetap saja menggoda bagiku,” ucap Bian. Salah satu tangannya hendak menyentuh wajah Rania namun sekali lagi wanita itu melangkah mundur untuk menjauhi laki-laki itu.
“Aku mohon Bian, aku tidak ada urusan denganmu. Aku kemari ingin bertemu dengan Paman, bukan denganmu.”
“Isshhh, ternyata kamu tidak pernah berubah, ya. Selalu saja menjauhiku tapi justru hal itulah yang membuat aku selalu tergoda dan semakin penasaran denganmu,” kata Bian.
Rania masih saja terdiam tanpa berani menjawab ataupun mengangkat kepalanya untuk sekedar menatap wajah Bian.
“Ya sudah ayo masuk! Aku antar kamu ketemu sama Papih,” lanjutnya.
“Terima kasih,” jawab Rania.
Bian pun mulai melangkah masuk diikuti oleh Rania dari belakang. Kini mata Rania bisa melihat dengan jelas penampakan rumah sang paman yang begitu besar. Berbanding terbalik dengan rumah yang selama ini dia tempati yang merupakan rumah dari kedua orangtua suaminya itu. Terkadang dia heran mengapa kondisi kehidupan mereka, terutama dari segi materi berbeda jauh? Padahal ayah mertuanya dan Paman Luki adalah saudara. Bukankah Ayah Ridho adalah kakak dari Paman Luki? Tapi kenapa mereka berbeda? Pertanyaan itulah yang setiap saat selalu mengganggu pikirannya. Pertanyaan itulah yang sampai sekarang belum dia temukan jawabannya.
Semakin ke dalam, mata Rania semakin dibuat takjub dengan isi rumah sang paman. Mungkin selama ini dia biasa melihat sebuah istana hanya di dalam film kartun saja akan tetapi hari ini dia menyadari bahwa rumah bak istana itu memang nyata adanya dan kini dia sedang berada di dalamnya. Semua barang-barang di dalam rumah Paman Luki tampak sangat mewah. Lampu gantung yang terbuat dari kaca dengan ukuran yang sangat besar, gordeng-gordeng yang sangat tinggi, beberapa furniture yang harganya sangat mahal, bahkan banyak hiasan-hiasan yang sengaja dibeli dari luar negeri.
Melihat wajah Rania yang sedikit bengong melihat isi rumahya, Bian kembali berbicara dengan angkuhnya.
“Kenapa? Baru pertama kali masuk ke dalam istana? Seandainya saja dulu kamu mau menikah denganku, kamu bukan hanya akan mampir tapi juga akan menjadi ratu di istanaku ini. Sayang sekali kamu terlalu bodoh, Rania. Kamu lebih memilih sebuah batu kali daripada sebuah batu permata.”
“Mana itu batu kali dan mana itu batu permata, tidak bisa dinilai hanya dari bentuk luarnya saja. Siapa yang tahu dibalik sebuah batu kali ternyata ada sebuah emas, dan dibalik sebuah batu permata hanyalah batu biasa yang dipoles agar terlihat indah. Begitu pula dengan cinta. Cinta tidak bisa berlabuh hanya dengan melihat kekayaan seseorang. Lagipula apa yang mesti dibanggakan dengan kekayaan hasil turunan orangtua? Cobalah mulai belajar dari nol agar kamu mengerti bahwa semua yang sudah kamu miliki saat ini membutuhkan banyak perjuangan dan tetes keringat sehingga ketika kamu sudah mendapatkan semuanya, kamu akan belajar menghargainya, menjaganya dan tidak berfoya-foya begitu saja.”
“KAU...” Bian menggeram. Dia merasa tersinggung dengan perkataan Rania.
“Ah sudahlah. Aku sedang malas berdebat denganmu. Papiiiihhh, coba lihat siapa yang datang!” teriak Bian saat mereka sudah sampai di ruang keluarga, tepat dimana papih dan mamihnya sedang bersantai.
“Rania? Sedang apa kamu di rumahku?” ucap Paman Luki dengan sinis. Dapat didengar dengan jelas nada tidak suka dari ucapannya.
Bian langsung meluncurkan badannya duduk di sofa, di samping sang Papih. Kini ketiga orang kaya itu sedang fokus menatap Rania yang berdiri di depan mereka dengan kondisi yang berantakkan. Pandangan mereka sangat tajam. Wajah mereka tampak tidak menyukai sama sekali dengan kehadiran wanita itu di rumahnya. Aneh memang karena sejatinya jika seseorang kedatangan saudara jauh seharusnya disambut dengan baik namun tidak dengan Rania. Kedatangannya ke rumah itu benar-benar seperti seorang gelandangan, tidak disambut sama sekali.
“Ayo cepat katakan apa maumu? Aku tidak ada waktu untuk meladenimu sepanjang hari. Lagipula tidak penting juga,” ucap Paman Luki.
“Sabar mas. Coba kamu lihat wajahnya! Sepertinya dia sangat lelah. Apa tidak sebaiknya kita memberinya minum terlebih dahulu? Tapi, jangan deh. Aku tidak mau barang-barangku yang mahal disentuh oleh wanita ini. Hahahaha,” kata Tante Irma, istri dari Paman Luki dan tidak lain adalah ibu kandung dari Bian.
Mereka bertiga tertawa seakan menikmati sebuah pertunjukkan komedi yang menggelikan. Bagi Rania hal seperti ini sudah biasa. Bahkan dia sudah menyiapkan mentalnya jauh sebelum dia memutuskan untuk datang ke rumah ini. Iya, dari dulu, dari sejak awal dirinya mengikat hubungan dengan keluarga sang suami, Rania memang sudah tahu kalau adik dari ayah mertuanya itu memiliki sifat yang sombong. Mereka selalu saja meremehkan ayah dan ibu mertuanya. Namun baik ayah ataupun ibu mertuanya selalu bersabar dalam mendidik anak laki-laki satu-satunya yang telah resmi menjadi suaminya itu agar tidak memiliki rasa marah ataupun dendam kepada keluarga Paman Luki. Hal inilah yang membuat Rania selalu kagum dengan keluarga suaminya itu.
“Paman, aku minta maaf sebelumnya. Aku datang kemari... mau... mau... mau meminjam uang.”
***
Segalanya memang butuh uang tapi uang bukanlah segalanya. Lalu apakah ketika kita menjadi orang kaya maka secara otomatis derajat kita lebih tinggi dari yang miskin? Apakah ketika kita menjadi orang kaya maka semua yang ada di alam dunia ini menjadi milik kita? Apakah ketika kita menjadi orang kaya maka saudara sendiri bahkan orangtua sendiri pun bisa kita jadikan alas kaki? Apakah ketika kita menjadi orang kaya, semua harta itu akan menjamin kita masuk surga? Apakah anda yakin bahwa semua kekayaan yang sedang anda milikki saat ini abadi hingga akhir khayat? *** Rania masih diam berdiri membiarkan Paman Luki, Tante Irma dan juga Bian tertawa atau lebih tepatnya menertawakan dirinya. Marah? Tidak! Karena memang sejak awal dia berniat untuk datang ke rumah ini menemui mereka, dirinya sudah menyiapkan mental untuk segala kemungkinan yang terjadi. Termasuk segala penghinaan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga ini. Rania hanya bisa menarik nafasnya dalam lalu ber
“Hahahahaha. Aku sangat senang melihatmu melakukan hal ini, Rania. Karena itu artinya kamu tahu dimana posisimu, dimana derajatmu. Selama ini, kalian selalu bangga bukan dengan kemandirian kalian? Tapi lihatlah sekarang, semuanya sudah terpampang jelas bahwa kalian membutuhkanku. Tapi sayang sekali, aku tidak bisa membantumu atau lebih tepatnya aku tidak mau membantumu.” Kata-kata terakhir sang paman benar-benar seakan membunuh Rania saat itu juga. Setelah semua yang sudah dia lakukan, setelah semua penghinaan pahit yang dia terima bahkan setelah dirinya terpaksa berlutut di depan kaki paman dan tantenya namun nyatanya sang paman masih tetap saja menolak untuk membantunya. Ada apa dengan keluarga ini? kenapa mereka sangat kejam? Apa mereka tidak punya hati nurani termasuk kepada saudaranya sendiri? Apa salahku Ya Allah? Apa salah keluargaku hingga kami harus mendapatkan ujian seberat ini? ucap Rania di dalam hati. Tubuh Rania melemas, air matanya sudah tidak
Hari sudah beranjak sore. Jarum jam yang melingkar di tangan kiri Rania sudah menunjukkan pukul 3 sore. Rania pun menghela nafas panjang. Hmm, tinggal beberapa jam lagi sebelum mengambil keputusan untuk Yusuf. Sedangkan sampai sekarang, aku belum tahu harus bagaimana? Aku belum tahu harus pergi ke mana? Ya Allah, hamba mohon berikan petunjuk-Mu. Apa yang harus hamba lakukan? Berilah keajaiban-Mu Ya Allah. Hamba mohon, ucap Rania di dalam hatinya. Dia menangis merasakan saat ini dirinya begitu tidak berdaya, begitu lemah. Langit yang semula terlihat cerah kini tiba-tiba saja berubah menjadi mendung. Tidak tahu apa karena sudah masuk musim pancaroba ataukah sang langit juga ikut bersedih melihat apa yang sudah dialami oleh gadis itu, entahlah. Langkah Rania terhenti di salah satu sudut jalan yang masih sepi dari ribuan kendaraan. Tentu saja karena kaki Rania masih berada di dalam sebuah perumahan elite. Jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh untuk sa
Sungguh sangat berat beban yang dirasa oleh Rania saat ini. Dia benar-benar bingung bagaimana dia akan menghadapi sang ibu mertua yang sangat mempercayai dirinya akan berhasil. Dia sadar ini adalah kesalahannya yang sangat yakin akan berhasil sehingga dia pun memaksa sang ibu mertua untuk percaya kepadanya juga dan menghilangkan semua keraguan yang ada di dalam hatinya. Dia tidak tahu kalau selama ini dia tidak mengenal dengan baik bagaimana sifat dan tingkah laku keluarga dari suaminya itu. Dia hanya mengenal Ayah Ridho dan Ibu Tyas saja. Dia hanya meyakini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh bunda Nayla, Ibu panti asuhan dimana selama ini ia tinggal bahwa semarah apapun setiap anggota keluarga, rasa kasih sayang diantara mereka tidak akan pernah menghilang.Sekarang ia hanya bisa mematung di tempat ia berdiri, merasa bingung harus kemana lagi sekarang. Sebuah suara dering ponsel miliknya membuyarkan lamunan Rania saat itu. Dengan segera dia mengambil ponsel yang sedari ta
Sore hari di rumah sakit tepat dimana Yusuf masih dirawat dengan sangat intensif oleh para dokter dan juga suster yang berjaga disana. Sambil menunggu keputusan keluarga tentang langkah selanjutnya kepada pasien, Yusuf pun dipindahkan terlebih dahulu ke ruang perawatan. Hanya Ibu Tyas saja yang selalu menjaganya, di sisinya dan tak sekali pun mau meninggalkan anak tersayangnya itu. Wajah Yusuf masih sangat pucat, dengan selang oksigen yang masih menempel di hidungnya dan jarum infus yang setia menusuk di tangannya. Kembali, melihat kondisi sang anak yang sangat mengkhawatirkan, Ibu Tyas kembali menangis. Ibu Tyas mendorong kursi rodanya untuk mendekat ke arah sang anak pas di samping kepala Yusuf. Tangannya yang sudah mulai mengerut tampak mengusap kepala sang anak. Hatinya benar-benar hancur melihat anak yang selama 9 bulan berada di dalam perutnya, seorang anak yang demi kelahirannya, ia ikhlas melawan hidup dan mati. Seorang anak yang tak pernah lupa disebut naman
Senja yang sangat cerah. Langit berwarana orange dengan angin bertiup sepoy-sepoy membuat beberapa orang sangat senang menghabiskan waktunya bermain di tempat terbuka. Di sebuah taman yang cukup luas, tampak banyak sekali anak-anak kecil berlarian, bermain dengan riangnya. Seolah tidak ada permasalahan sama sekali di dalam pikiran mereka. Namun bukankah memang demikian? Pikiran seorang anak kecil hanya terbebani dengan tugas sekolah saja. Mereka belum diberi beban untuk memikirkan permasalahan dunia yang begitu rumit dan terkadang membuat diri putus asa sampai-sampai ingin mengakhiri hidup.Pikiran seorang anak kecil begitu polos. Mereka belum mengenal permainan dunia yang sangat kejam, penuh intrik dan penuh dengan kebohongan serta kejahatan. Mereka belum mengenal orang-orang munafik yang selalu baik di depan namun buruk di belakang. Mereka hanyalah seorang anak kecil. Di dalam pikiran mereka hanya bermain, bermain, dan bermain.Tiba-tiba tampak sebuah bola berwarna b
Langit yang sedari tadi tampak mendung manahan daya serap awan yang semakin berat akhirnya merasa lelah juga. Menumpahkan titik-titik air hujan yang mulai membasahi jalanan ibu kota. Debu-debu yang semula menumpuk menutupi jalanan beraspal kini menghilang seolah tersapu oleh air hujan dan memunculkan bau yang terasa sangat menyengat di dalam hidung.Orang-orang yang semula berlalu-lalang di tengah jalan mulai menepi mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk berteduh. Begitu juga beberapa motor yang sedang melaju, banyak diantaranya yang ikut menepi karena sang pengendara lupa tidak membawa jas hujan. Udara dingin mulai menyeruak menusuk ke sela-sela pori terdalam. Satu kesalahan lagi yang dilakukan oleh Rania kembali membuatnya menyesal. Sejak awal dia berangkat ke kota ini, dia lupa tidak membawa jaket ataupun payung. Rasa paniknya membuat dirinya tidak berfikir sampai ke arah situ.Alhasil Rania pun ikut berkumpul bersama orang-orang yang sedang menghindari air huja
“Halaaaahh, semua pencuri kalau sudah tertangkap pasti bilangnya terpaksa. Udah kita seret saja pencuri ini ke kantor polisi sekarang,” teriak laki-laki lainnya.Salah satu laki-laki yang posisinya paling dekat dengan Rania langsung menarik tangan gadis itu dengan kasar hendak menyeret tubuh Rania. Gadis itu pun memberontak, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman laki-laki itu yang dirasa sangat menyakitkan. Bukan hanya rasa sakit di tangan saja, namun juga rasa sakit di dalam hatinya.“Ampun, Pak. Jangan bawa saya ke kantor polisi.”Rania terus saja memohon. Dia terus berusaha menggerakan tangannya agar bisa terlepas dari genggaman laki-laki itu. Air matanya pun sudah tak terbendung lagi. Tiba-tiba saja seorang ibu-ibu paruh baya berjalan mendekati wanita itu danPLAKIbu itu pun mendaratkan sebuah tamparan yang sangat keras kepada Rania, membuat bibir wanita ini sobek dan berdarah.“Pencuri wanita seperti