Share

agni

Aku merasa lega karena bisa duduk dengan tenang tanpa terganggu perilaku tidak mengenakan lelaki tadi.  Aku melirik sekilas pada Bos Zidan yang tampak tenang seperti tidak habis terjadi sesuatu.

Aku menggeserkan badan ke kanan dan ke kiri karena tempat ini terlalu sempit.

"Kamu bisa tenang apa tidak?"

"Hehehe iya, Pak, maaf." 

Aku kembali diam agar tidak mengganggu bos yang sudah mengeluarkan tanduknya. Namun, sepertinya kali ini aku akan sedikit merepotka. Mendadak kepalaku pusing dan perutku serasa di aduk-aduk. 

Sial! Aku mabuk pesawat ternyata. 

"Kenapa?" tanyanya yang melihatku memegangi perut dan menekuknya.

"Sa-ya pusing, pe-rut saya nggak enak," rintihku menahan mual dan sakit perut.

Dia berdiri dan mengulurkan tangannya.

"Ayo!"

"Ke-mana, Pak?" tanyaku sambil memegangi perutku.

"Kita ke belakang, kamu mau sembuh atau hanya duduk di sana dengan menangis dan merepotkan saya?" ucapnya lirih sambil menatapku tajam. Aku manut dan mengikutinya ke belakang. Aku memuntahkan isi perutku dan lagi-lagi aku harus merasakan sakit teramat sangat. Aku tak boleh pingsan di sini, siapa yang mau membantuku bangun jika pingsan. Dua orang saja sepertinya tidak kuat mengangkat berat badanku ini.

Aku keluar kamar mandi dengan wajah yang mungkin terlihat lemas.

"Nih!" Bos Zidan memberikan obat cair anti mabuk dan ini sungguh sangat membuatku ingin pindah ke planet Saturnus agar tak lagi menahan malu.

"Makasih, Pak."

"Jika ingin tak mabuk saat naik kendaraan, tidur saja. Jangan berulah lagi," ucapnya.

"Baiklah, makasih atas petuahnya, Pak Bos yang baik hati. " Aku dan Bos Zidan kembali ke kursi masing-masing. Ternyata obat mabuk tadi membuatku mengantuk.

Terlalu lama diam  juga ternyata bisa membuat mata sedikit merem melek dan akhirnya aku tertidur saking ngantuknya. Padahal ini masih sangat pagi tetapi sungguh Aku sangat mengantuk setelah meminum obat dari Pak Zidan.

Aku terbangun saat tepukan tangan Pak Zidan mengenai pipi gembulku.

"Bangun, Tra. Kita sudah sampai di Bali. Kamu mau tetap tidur di sini atau mau ikut saya turun?" ucapnya sembari beranjak meninggalkanku.

Tentu saja aku kaget dan langsung berdiri hendak mengikuti langkah bos Zidan. Bos berbalik dan menatapku tajam.

"Iler di lap dulu biar enggak bau kemana-mana." Aku langsung memeriksa wajahku dan mendapati sesuatu yang lengket di pipi. Ini sungguh hal yang memalukan, bisa-bisa nya aku tertidur dan sampai ngiler di dalam pesawat.

"Pak kita mau ke mana ini? Kenapa semua koper saya yang bawa?" protesku karena melihat si Bos hanya berjalan tanpa melihat ke arahku yang kerepotan membawakan koper miliknya.

Sepertinya dia marah. Bahkan dia sama sekali tidak merespon dan jujur aku sangat kesal karena langkahnya semakin cepat dan sulit untuk aku kejar. Karena lelah aku memilih duduk saja dan tidak mengikuti langkahnya. Pasti nanti akan berbalik dan mencariku. Rasain, emang enak aku kerjain.

Karena sudah terlalu lama duduk aku memilih berjalan kembali pelan tetapi aku kembali bingung karena tidak mempunyai arah dan tujuan.

Suara toa bandara membuatku kaget karena mengabarkan bahwa diriku sedang di tunggu oleh seseorang di ruang informasi bandara. Aku yakin itu si Bos yang kelabakan mencariku.

Aku langsung bergegas ke ruang informasi dan mencari keberadaan si Bos tetapi bukan si Bos yang kutemui melainkan seorang wanita cantik yang tersenyum ramah kepadaku.

"Hai Mbak Mantra," sapanya ramah.

"Hai juga, Mbak ini siapa ya? Kok bisa kenal sama saya," Tanyaku heran karena melihat dari penampilannya aku sedikit minder. 

"Saya, Agni. Kekasih Zidan Nadhirizky, Mbak asistennya kan?"

"Ya, saya karyawan yang merangkap sebagai asisten pribadi Bos kampret. Eh, maksud saya Bos Zidan," ucapku sampai keceplosan.

Mendengar ucapanku tadi, dia justru terkekeh kemudian menepuk bahu ku pelan.

"Tenang saja saya sudah paham dengan watak Kekasih saya yang terkadang memang sangat menyebalkan. Maafkan kesalahannya ya, nanti saya akan coba menasehatinya."

Dia sungguh terlihat baik, ramah dan tentunya mempesona dengan ucapan lembutnya yang menggoda siapa saja lawan bicaranya.

"Sama-sama, si bos kemana?" tanyaku yang tak melihat si bos ada di bandara.

"Oh, dia langsung pergi. Katanya ada urusan penting. Mbak Mantra ikut saya saja ke rumah kami."

"Rumah kami?" tanyaku bingung dengan sebutan 'kami' yang ia ucapkan.

"Kamu nggak usah bingung begitu. Mas Zie sudah memberikan satu apartemen untuk kami tinggal nanti setelah menikah. Ada rumah dan villa juga. Tetapi saya lebih suka berada di apartemen karena bebas melakukan hal apapun," ucapnya jujur.

"Mak-sudnya bebas?!"

Dia justru mencuil hidung miniku dan juga mau membawakan satu koper milik si bos.

"Bebas bertemu maksud saya. Ini koper mas Zidan ya? Biar saya bawa, Mbak." Aku mengangguk sembari tersenyum, alhamdulillah beban satu teratasi. Semoga nanti pas pulang Agni tetap baik sama aku dan juga pengertian seperti ini. Aku akan membuang jauh-jauh praduga burukku agar pikiran ini tetap aman dan berfungsi dengan sebaik-baiknya satu minggu ke depan.

Kami pergi meninggalkan bandara dengan diantar supir. Kami bahkan bercakap layaknya teman lama. Ya, Agni cukup simple dan juga humoris sama sepertiku. Dia juga tidak keberatan berkawan meskipun ya memang aku begini.

"Mbak Agni itu di Bali, kerja?" tanyaku.

"Iya, saya model. Jadi kalau pas kebetulan lagi foto shoot di tempat yang sama dengan Mas Zi begini, pasti ketemu. Dan saya memang menetap di Bali, kamu sendiri? Di Jakarta menetap atau_"

"Saya kos, sebenarnya rumah tak jauh dari tempat kerja. Hanya saja kalau bolak balik sayang bensin, sekitar setengah jam kalau dari rumah. Kalau dari kontrakan hanya sepuluh menitanlah."

"Oh, sudah lama kerja dengan Mas Zie?" 

"Sudah hampir enam tahun. Eh, kita ngobrol gini berasa saya lagi di wawancarai ini," kekehku. Dia tertawa. Wanita dengan senyum manis dan lesung pipi ini sungguh membuatku iri.

"Nggak apa, anggap saudara sendiri."

"Ogah ah. Saudara saya sudah banyak, Mbak. Kalau Mbak minta, jadi teman saya saja. Saya nggak banyak teman, hanya Tantri, Leminerale, Toto dan satu lagi Desi. Dia juga tetangga rasa saudara yang satu kampung dengan saya."

"Iyakah? Memang saudara Mbak Mantra berapa?"

"Sepuluh."

"What? Seriusan?"

"Iya, anehkan. Mungkin Bunda dulu niat bikin klub kesebelasan sepak bola kali ya, makannya bikin anak bisa sampai banyak gitu."

"Alhamdulillah kalau gitu, jadi rame kalau lebaran. Pasti pada kumpul, ya kan?"

"Saya nggak lebaran juga kumpul. Saya anak sulung, jadi saya yang menjadi patokan para adik-adik saya. Adik saya ke sembilan, delapan, tujuh, enam, kelima sudah bekerja. Sisanya masih sekolah dan kuliah. Kami para kakak-kakaknya dituntut kerja keras buat biaya sekolah para adik. Maklum, kami rakyat biasa."

Tampak dari wajahnya ia mungkin kagum. Mungkin ya, karena dia sempat diam lalu tersenyum.

"Kita dah sampai?" tanyaku saat mobil berbelok ke arah apartemen elit.

"Sudah. Ayo kita turun," ucapnya.

Aku mengikuti langkahnya turun. Mengambil koper yang tadi dibawa dan berjalan menuju lift untuk sampai ke kamar Agni.

"Ayo masuk aja nggak apa. Anggap tempat sendiri," ucap Agni setelah membuka pintu apartemennya.

Aku takjub dengan desain interior apartemen ini. Sungguh sangat indah dan juga elegant, kalau aku tinggal di sini pasti sangat betah dan nyaman. 

"Mbak Agni setiap hari di sini?" 

"Panggil Agni saja, jangan pake Mbak. Kayaknya umur kita sama," ucapnya.

"Saya kurang nyaman kalau hanya manggil nama, terkesan tak sopan. Mbak Agni tinggal di sini?"

"Baiklah, terserah kamu saja. Ini tempat bermukim ternyaman kami. Hm, kamu mau minum apa? Jus, susu atau_"

"Air putih saja," selaku. Aku tidak ingin berkesan merepotkan di hari pertama.

Dia berlalu ke belakang sedangkan aku duduk di sofa yang sangat empuk ini. Merentangkan tangan dan menikmati suasana yang nyaman ini.

"Mbak Mantra, ada telepon dari Mas Ze. Dia tanya kenapa telepon ke ponsel Mbak nggak diangkat?" ucap Agni seketika membuatku menoleh.

"Ponselku tertinggal di Jakarta." Terlihat dia menempelkan kembali ponselnya dan kemudian memberikannya padaku.

"Nih, mau ngomong penting katanya," ucap Agni. Aku menerima uluran ponsel Agni dan menempelkan pada telingaku.

"Tra, bawakan file yang ada di koper saya. File yang warna biru dan juga garapan semalam kamu. Saya lupa, cepat! Saya tunggu di lobby apartemen sepuluh menit lagi, kalau tidak_"

"Iya iya, saya langsung turun, Pak." Panggilan telepon terputus sepihak olehnya membuatku kesal. Aku langsung bergegas mengambil apa yang bos butuhkan sebelum ia mengeluarkan tanduknya.

"Loh, Mbak Mantra mau kemana?" tanya Agni bingung

"Saya mau ke bawah mengantar file ini. Bos sudah nunggu, terimakasih ponselnya," ucapku memberikan ponsel Agni

"Ish, Mas Zidan ini kebiasaan. Suka banget nyuruh tanpa perasaan," gerutu Agni saat aku hendak keluar. Dia yang melihatnya saja bisa kesal begitu, apalagi aku. Mau marah aku masih sayang karirku. Jika dipikir-pikir gajiku sebagai redaksi stasiun televisi lumayan, hanya saja sampai sekarang aku tak bisa menabung banyak. Hanya bisa menabung lemak yang semakin hari semakin berat, hadeh …

"Kamu tidur di apartemen?" tanya si bos ketus.

"Renang!" jawabku jengah.

"Masuk!"

"Pak, bukannya saya hanya disuruh mengantar file saja?" tanyaku kaget saat diminta ikut bos naik mobil.

"Kamu pikir kita ke Bali mau liburan? Kita ada urusan kerja," ucapnya tegas. Daripada berdebat di mobil, aku memilih diam dan menurut. Padahal dari tadi tenggorokan ini sangat gersang ingin disiram air minum.

"Biasakan tenang kalau duduk, Tra."

Aku yang memang sedikit bergeser kesana kemari karena ingin kencing saat ini. 

"Iya, Pak. Tapi, itu saya kebelet," ucapku jujur karena hal ini sangat menggangguku.

"Ck! Kenapa tidak di apartemen tadi? Kita sudah sangat terlambat dan kamu penyebab keterlambatan kita!" 

Huh, kenapa aku lagi yang disalahkan. Memangnya, bos ini maha benar atas segala keinginannya. Apa salahnya sih kebelet, lagian menahan baung hajat akan menyebabkan penyakit kronis. Kalau nggak caya, tanya aja sama Pak Haji.

Mobil nampak berbelok di sebuah SPBU. Akhirnya bos memberi kesempatan untukku buang air.

"Saya tunggu lima menit, jika lama kamu saya tinggal!"

Aku membulat sempurna tetapi daripada tidak bisa buang air kecil mending aku bergegas. Beruntung di toilet tak mengantri jadi aku bisa kembali dengan cepat.

Kami menuju tempat acara. Di sana aku menemani bos melakukan pertemuan dengan orang-orang penting diantaranya aku melihat ada artis papan atas. Mungkin bos sedang membahas masalah film atau iklan karena aku mendengar wanita yang ada di sana tersenyum dan mengucapkan terimakasih.

"Sudah, Pak?" tanyaku saat si bos mendekat ke arahku duduk. Ya, tadi aku hanya diminta menemai dan menunggu di meja yang lain. Nasib jadi kacung, harus ngalah. Sebenarnya diajak gabung tadi, tapi aku takut bos malu mengajakku secara aku bukan wanita yang layak untuk diajak kemanapun. Maka dari itu, aku memilih bekerja di bagian penyusun redaksi agar tak perlu bekerja di depan layar kaca.

"Kita langsung pulang?" tanyaku.

Dia tak menjawab hanya berjalan ke arah mobil. Apa boleh buat, aku ikuti saja daripada kena marah. 

Mobil melaju ke arah kami kembali. Berarti benar ini adalah jalan menuju apartemen. Akhirnya, aku bisa istirahat sejenak di sana.

Mobil sampai dan kami langsung masuk. Saat berjalan dengan bos kali ini, entah kenapa tatapannya serius dan langkahnya begitu cepat.

Saat pintu terbuka, aku melihat sesuatu yang sangat tidak pernah aku menduganya. Agni, dia sedang berada di dalam apartemen dengan seorang lelaki dan itu membuat kami terkejut. 

Baru sadar dengan kedatangan kami, Agni langsung mendekat meski dengan kancing baju yang sedikit terbuka sehingga mengekspos bagian belahan dadanya.

"Astaghfirulloh," pekikku sambil menutup wajah dengan kedua telapak tanganku.

"Pel**ur!"

"Bisa aku jelaskan, Mas. Ini tidak seperti yang Mas lihat. Aku dijebak, tidak mungkin aku melakukan hal seperti ini. Lelaki itu sudah masuk ke sini dengan paksa dan_" 

Agni tampak kacau. Ia menangis dan sungguh aku tak menyangka melihat adegan sedramatisir ini. Lelaki yang bersama Agni tadi juga tampak biasa saja. Justru dia mendekat dan memeluk pinggang ramping Agni.

"Dia pacarmu, Sayang?"

Aku melirik ke arah Pak Zidan dan nampaknya ia sangat marah terlihat dari caranya memandang Agni bersama lelaki lain.

"Tra, ambil koper kita sekarang! Cepat!"

Aku langsung bergegas mencari koperku yang tadi diletakkan di sudut kamar.

"Please dengerin aku dulu, Mas. Sam ini bukan siapa-siapa, dia hanya mampir untuk mengambil gambar saja." Agni berusaha mengahalau kepergian kami tapi keputusan bos mutlak adanya.

"Sekali saja berbuat salah, akan selamanya salah. Saya tak butuh penyangkalan karena bukti sudah jelas di depan mata! Ternyata selama ini saya salah mencintai orang. Jangan coba-coba menghubungi atau menemui saya lagi! Sia-sia sudah pengorbanan saya mencintai wanita murahan sepertimu!"

Aku mengikuti langkah bos Zidan yang hendak keluar. Namun, langkahku terhenti saat tangan Agni mencekalku.

"Tra, tolong bujuk Mas Zidan buat maafin aku. Ini semua tak seperti yang kalian pikirkan. Dia itu hanya fotografer yang sedang meminta gambar tubuhku," rengeknya.

"Akan aku usahakan. Permisi, Mbak." Lagi-lagi aku menyebutnya Mbak karena aku rasa berteman dengannya bukan sesuatu yang baik. Aku melirik bos Zidan yang tampak diam dengan wajah dinginnya. Aku tahu pasti dia sangat terpukul dan marah melihat kekasihnya yang sangat ia cintai hendak bercumbu dengan lelaki lain. Jika aku jadi dia, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Kadang meninggalkan dan melupakan adalah cara terbaik untuk menyembuhkan luka. Tetapi lelaki modelan Pak Zidan mah gampang cari penggantinya. Lah aku, bisa dapetin satu cowo aja udah beruntung dan girang banget kayak lagi menang lotre di warungnya Mpok Ijah. Kikiki

"Bapak tak apa?" tanyaku mencoba memecahkan keheningan.

"Kita ke bandara, Pak," ucap bos Zidan pada sopir yang mengantar kami.

Aku memilih diam tak bertanya. Takut membuatnya marah dan akhirnya aku diturunkan di pinggir jalan.

'Bandara?' batinku bertanya-tanya apakah kami akan langsung pulang ke Jakarta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status