"Apa, apa kau dengar itu, Mas?" tanyaku pelan, sampai di sini aku masih tetap berusaha tenang dan berusaha berpikir dengan nalar.
"Eh, itu pasti salah dengar dari tv," ujar suamiku yang semakin gugup, dia nampak gelisah dan wajahnya kebingungan.Burung itu semakin berkicau dan setiap kali dia berkicau itu semakin menjelaskan segalanya. Semakin berkicau semakin berang suamiku, tapi seharusnya dia tidak perlu bereaksi seekstrem itu. Pada siapa dia akan marah? apa dia akan balas dendam pada burung itu karena sudah membuatku curiga.Apa setelah ini dia akan berniat menyembelih dan memanggangnya? Tidak!Kalau apa yang dikatakan burung itu adalah kebenaran, maka aku harus melindunginya agar dia bisa membongkar perbuatan siapapun yang ada di rumah ini, meski sebenarnya aku sendiri ragu apakah burung itu benar-benar mengerti apa yang dia ucapkan atau tidak."Kau tahu kan... dia cuman hewan yang tidak punya akal, dia hanya mengucapkan apa yang dia dengarkan.""Kalau begitu, dari siapa kira-kira dia meniru perkataan itu. Apakah wajar, seekor burung beo kecil bermaksud ingin mencium wanita 20 tahun, ini sudah di luar nalar Mas."Mau tidak mau aku berdebat dengan lelaki itu karena reaksinya demikian santai sementara aku mau mati oleh rasa penasaran."Fani cantik, Fani cantik, ibu jelek, ibu jelek, ayo main Fani, Mas Kangen....""Hah, Siapa yang kangen dengannya dan berani menyebut diriku jelek!" Aku membatin dalam hatiku sendiri.Lagi pula berani sekali seekor burung membully diriku.Burung itu melompat-lompat sambil mengepakkan sayapnya dan berulang kali mengatakan kalimat yang membuat Fahri langsung menendang kandangnya."Dasar burung sialan!"Burung itu terpental dari posisinya untungnya dia yang lincah bisa melindungi dirinya sendiri dari kandangnya yang nyaris terjatuh."Hei, apa yang kau lakukan Mas? Apa pantas perbuatan itu kau lakukan pada hewan."Jujur saja, tindakan Mas Fahri membuatku terkejut. Apa pantas seseorang menggila dan kami berkonflik hanya karena kicauan hewan peliharaan itu."Gara-gara dia dan kicauannya, akan terjadi badai besar dalam rumah tangga kita dan itu juga memfitnah pembantu kita. Coba lihat dia....," Ujar Mas Fahri sambil menunjuk pembantuku yang menundukkan kepala."... apa mungkin asisten yang kau percayai selama bertahun-tahun akan berbuat semacam itu?""Entahlah," jawabku sambil mengangkat bahu."... Lalu dari siapa dia meniru? "Mas' yang mana yang dimaksud oleh burung itu. Siapa lagi yang akan datang ke rumah ini lalu ujug-ujug merayu pembantu, jangan bilang kalau aku sedang tidak di rumah jadi dia berkesempatan untuk bercinta dengan Fani.""Aku tidak tahun!" Jawab suamiku sambil meremas kepalanya sendiri lelaki itu nampak frustasi dengan pertanyaan dan kecurigaanku."Haruskah aku mencurigai asisten kita kalau dia mengundang kekasihnya datang ke rumah ini di saat aku dan kamu tidak di rumah!""Tidak Bu, saya tidak pernah beg...."Ucapan Fanny langsung terhenti Karena Mas Fahri menatapnya dengan tajam. Entah Apa maksud tatapan tajam itu. Apakah dia sengaja mencegah Fani untuk buka mulut karena itu akan membahayakan.Analisanya seperti ini... Jika Fanny mengaku bahwa dia tidak pernah mengundang kekasihnya ke rumah ini maka itu sudah menjelaskan bahwa satu-satunya pelaku adalah, suamiku! Tapi dilemanya, jika wanita itu berbohong padaku, maka dia akan mendapatkan konsekuensi pemecatan serta fitnah."Aku hanya butuh kejujuran sekarang....""Kejujuran macam apa yang kau tuntut dariku? hanya karena burung itu berceloteh jadi kau lebih mempercayai dia dibandingkan dengan suamimu dan ayah anak-anakmu. Burung itu akan kuracun dan mati, tapi hubungan kita akan layu bersama kematiannya, apa kau puas!" Suamiku berteriak sambil membanting semua asbak.Prang!Benda itu pecah ke lantai berkeping-keping dan membuat putraku yang digendong Fani terkasih. Erwin menangis panik, sementara Fani berusaha menenangkannya dengan mengajaknya ke kolam ikan."Fani, aku sayang kamu, kamu cantik, bokongmu seksi, aku suka!" Burung itu mengucapnya berulang-ulang kali sampai melompat-lompat sementara wajah Fani sudah memerah menahan kekesalan sekaligus rasa malu."Astaghfirullah."Aku bisa kehilangan akal mendengar burung peliharaan suamiku. Mungkin, beberapa saat yang lalu dia sudah berkicau tapi aku tidak pernah memperhatikannya, kecuali hari ini. Aku tercengang melihat sejauh apa yang sudah direkam oleh burung beo itu."Siapa yang bicara seperti itu!" Refleks dan tanpa sadar aku bertanya kepada burung itu."Jack, Siapa yang ajari kamu berkata seperti itu!" ulangku.Burung itu dinamai oleh Davin anakku dengan nama Jack jadi kami sekeluarga memanggilnya dengan sebutan Jack."Apa kau sudah kehilangan akal sampai menanyai burung seperti itu!" Suamiku makin emosi dan mencengkeram kedua telapak tangan yang sambil berusaha meredakan diriku."Kalau begitu aku akan bertanya kepada Fani!""Saya tidak tahu apa-apa Bu ... sepanjang hari saya hanya mengurus rumah dan anak anak, Saya tidak mengerti kenapa burung itu bilang begitu." Fani segera membela diri.Sepertinya dua sejoli itu benar-benar kompak ingin mempermainkan akalku, sudah jelas-jelas hewan kecil itu mengatakan apa yang dia dengarkan, jadi mana mungkin seekor burung bisa membuat kosakata sendiri dan mengada-ngada.Ya Tuhan, aku yang gila atau burungnya yang terlalu pintar. Mana yang harus aku percaya, pembantuku? suamiku? atau burungku.Astaga, kenapa kami semua terlibat konflik hanya karena burung.Ah, Tuhan, mungkin aku terlalu lelah seharian ini sehingga pikiranku jadi begitu sensitif. Aku juga kelaparan dan gerah kemacetan di Jalan Raya membuat moodku semakin hancur. Ditambah kicauan burung yang membuatku emosi, rasanya aku ingin berteriak saja."Fani, pindahkan burung itu ke lantai atas biarkan dia ada di balkon atap, keberadaannya d sini meresahkan semua orang.""Tidak, burung itu tidak akan kemana-mana! Tidak bisa!" tegasku dengan tetapan tajam kepada suamiku."Kalau kau nekat memindahkannya sama artinya dengan kau mengakui apa yang dikatakan burung itu.""Apa? Aku tidak paham dengan perkataanmu Apa kau mulai menarik kesimpulan hanya karena perkataan hewan kecil?""Asumsiku hanya satu... tapi aku tidak ingin menyebutnya di bibirku karena itu adalah sesuatu yang sangat kubenci di dunia ini. Ingat Mas....""Ingat apa? Aku Apakah aku memelihara burung itu untuk menghancurkan kehidupanku sendiri. Aku yakin Fanny telah mengundang pacarnya datang kemari," ujar Mas Fahri menuduh, nampaknya, kegugupan dan bagaimana ia terbata-bata saat bicara membuatku makin yakin bahwa yang bersalah adalah dirinya.Kenapa sekarang ia memanggil asisten rumah tangga kami dan memaksanya untuk mengaku kalau wanita muda itu membawa kekasihnya dan bercinta di hadapan burung.Apa itu masuk akal? Kedengarannya memang pantas dipercaya, tapi instingku menyebutkan bahwa ada rahasia besar di balik Ini.Di dunia ini hukum alam selalu berjalan, ada pertemuan dan perpisahan, ada pernikahan dan penyatuan lalu ada kematian yang memisahkan atau perpisahan dengan cerai hidup. Dinamika kehidupan terus berputar dan berulang-ulang seperti pola alam yang teratur. Sebagai wanita yang normal, seorang wanita dewasa yang punya dua anak, aku sadar betul bahwa aku tidak bisa hidup sendirian terus-menerus. Mungkin aku butuh pendamping dan teman untuk menemani di saat sakit dan sedih atau jadi penghibur kesepianku di hari tua nanti. Kuputuskan untuk menerima lamaran, bukan karena aji mumpung atau ingin pamer pada mantan suamiku kalau aku juga bisa menikah, ini sebagai bentuk realistisnya diri ini pada kenyataan hidup. Lagipula ada pria baik baik yang mau meminang diri ini, mau menyayangi dan melindungi anak-anak serta bertanggung jawab, maka aku tak akan menolak jodoh pemberian Tuhan.**"Cantik sekali anak Ibu," ucap ibu saat beliau mendekat ke arah kaca rias dan memandang pantulan diri ini y
Di dunia ini hukum alam selalu berjalan, ada pertemuan dan perpisahan, ada pernikahan dan penyatuan lalu ada kematian yang memisahkan atau perpisahan dengan cerai hidup. Dinamika kehidupan terus berputar dan berulang-ulang seperti pola alam yang teratur. Sebagai wanita yang normal, seorang wanita dewasa yang punya dua anak, aku sadar betul bahwa aku tidak bisa hidup sendirian terus-menerus. Mungkin aku butuh pendamping dan teman untuk menemani di saat sakit dan sedih atau jadi penghibur kesepianku di hari tua nanti. Kuputuskan untuk menerima lamaran, bukan karena aji mumpung atau ingin pamer pada mantan suamiku kalau aku juga bisa menikah, ini sebagai bentuk realistisnya diri ini pada kenyataan hidup. Lagipula ada pria baik baik yang mau meminang diri ini, mau menyayangi dan melindungi anak-anak serta bertanggung jawab, maka aku tak akan menolak jodoh pemberian Tuhan.**"Cantik sekali anak Ibu," ucap ibu saat beliau mendekat ke arah kaca rias dan memandang pantulan diri ini y
Tiga hari sebelum aku menuju jenjang pernikahan. Tiba-tiba ada tamu yang tak diharapkan kedatangannya berdiri di hadapan pintu rumah. Saat itu aku dan beberapa teman sedang mengemasi souvenir.Rencananya pernikahan hanya akan dilangsungkan di lingkungan keluarga dan para sahabat terdekat saja jadi aku tidak akan mengadakan pesta besar, namun, menyediakan souvenir kenang-kenangan adalah hal yang ingin kulakukan untuk mengesankan para tamu undangan. Wanita itu dan suaminya tertegun melihat 4 orang temanku sedang sibuk meletakkan gelas kaca cantik ke dalam kotak souvenir. Dia berdiri dan tertegun di sana. Sedih Sudah lama tak bertemu membuatku seolah tidak mengenal gadis itu, sudah banyak perubahan di wajahnya tubuhnya berubah jadi kurus wajahnya pucat dan cekungan bola matanya menunjukkan kalau dia memang sedang sakit."Assalamualaikum." Wanita itu berucap dengan suara pelan, lirih nyaris tidak terdengar."Walaikum salam." Aku juga berdiri dan terpaku, bingung bagaimana harus memper
"Penting menegaskan pada mantan suamimu agar dia berhenti mendatangi kalian," ujar Mas Seno di mobil."Ya, Kami sudah sepakat untuk tidak bertemu lagi tapi dia datang untuk pinjam uang.""Lantas saat kau tidak mampu membantunya Kenapa lelaki itu malah murka dan berusaha menyakitimu?""Entahlah, mungkin cemburu Mas," balasku."Cemburu seakan kau tidak pantas berbahagia dan berteman dengan orang lain, begitukah?""Ya, bisa jadi.""Tapi bukankah dia sudah punya istri dan konom istrinya hamil?""Ah, dia keguguran, masuk rumah sakit dan minta bantuan biaya 2 juta dariku. Dia merasa berhak minta karena aku mewarisi sebagian besar harta gono gini.""Tapi pembagian itu bukankah adalah hak kalian dan anak-anak?""Mungkin dia merasa masih berhak memintanya.""Astaga sungguh tidak punya perasaan.""Ah, entahlah Mas.""Sepertinya kau harus pindah ke tempat di mana dia tidak menemukanmu.""Dia pasti akan menyusuri tempat tinggalku karena merasa bisa bertemu dengan anak-anak.""Kalau begitu kembali
Dua hari berikutnya sangat krusial, kudengar kabar keadaan bahwa Fanny kehilangan kesadaran, dia drop di rumah sakit karena pendarahan yang parah, menderita, kesakitan, menangis, depresi dan terguncang. Kudengar kabar itu dari salah satu temanku yang berprofesi sebagai petugas kesehatan.Dia tahu tentang peristiwa yang menimpa kehidupanku dan bagaimana wanita itu merebut suamiku, jadi dia berdiri di pihak diri ini untuk selalu memberiku kabar-kabar terbaru tentang perkembangan yang terjadi.(Dia drop, dia dirawat di ruang intensif.)(Bagaimana dengan Fahri?)(Tentu saja lelaki itu kebingungan dengan biaya... tidak lagi memiliki asuransi kesehatan, membuat lelaki itu harus membayar biaya rumah sakit dengan tarif umum. Kau tahu kan, wanita pasca abortus, dia harus mengalami operasi pembersihan dan biayanya cukup mahal belum lagi biaya rawat inap dan obat-obatan.)(Astaga....)(Aku yakin ibu mertuamu yang mantan seorang dokter harus repot menggelontorkan dana yang lebih besar, dia juga
Demi kebaikan segalanya aku memutuskan untuk mengambil keputusan dan menyuruh anak-anak untuk menegaskan keputusan mereka agar Mas Fahri tidak lagi datang dan mengganggu ketentraman hidup kami.Sore itu kuantar mereka bertemu dengan papanya di rumah neneknya, kebetulan neneknya sedang keluar ke pengajian jadi hanya ada dia di sana.Melihat kami berdiri di ambang pintu gerbang lelaki itu terlonjak bahagia. Dia berlari dan hendak menyambut kami dengan penuh sukacita tapi melihat ekspresiku dan anak-anak yang datar-datar saja lelaki itu langsung menghilangkan senyum di wajahnya."Aku sudah menunggu kalian dari pagi.""Mana istrimu? Kudengar dia hamil.""Dia di rumah.""Oh, baguslah, berarti kita bisa bicara dengan leluasa saat ini.""Apa maksudmu?"Lelaki mulai terlihat khawatir dan menelan ludah."Anak anak...." Aku memberi isyarat pada anak-anak untuk bicara secara langsung pada ayah mereka. "Papa, kami tidak ingin papa mengganggu kami lagi, kami tidak ingin papa datang tanpa member
Pukul empat sore, Mereka semua pamit dari rumahku setelah menyalami dan mereka mengucapkan terima kasih atas hidangan dan keramahan tuan rumah, aku mengantarkan mereka ke mobil."Terima kasih atas makanannya ya masakanmu benar-benar enak ucap Rika sambil merangkul dan menepuk bahu kanan ini."Sering sering main ya, agar aku tidak terlalu merasa kesepian.""Eh, sekarang kan ada Seno, Jadi kalian bisa share waktu dan hari Minggu kalian berdua.""Betul itu," jawab Mas Seno sambil berkedip padaku, entah kenapa dia tiba-tiba begitu berani dan gamblang menunjukkan godaannya.Mungkin karena tadi kami sudah bicara panjang lebar tentang keinginan dan harapan masing-masing, jadi pria itu mulai merasa akrab denganku. "Aku harap kalian cocok berteman," ucap suami Rika."Iya, Mas, makasih udah dikenalin.""Mudah mudahan berjodoh," lanjutnya sambil masuk ke mobil."Apa hanya mereka yang diantarkan mobilnya dan aku tidak?" tanya pria berjas abu abu itu. Aku tergelak dan mengarahkan tangan ke mobil
"Mari masuk, Saya sudah menunggu sejak tadi dan telah menyiapkan hidangan kecil-kecilan di meja makan," ujarku memecah kecandungan diantara kami dan tatapan mata lelaki bernama Seno yang lekat.Dia nampak terkesan dengan diriku tapi aku tidak mau terlalu over percaya diri, mungkin itu hanya bentuk penghargaan pada wanita yang baru ia temui.Ku arahkan pada tamuku ke arah meja makan di mana makanan yang masih hangat terhidang di sana, ada opor ayam, gulai ikan, sate lilit, dan urap sayur terhidang di sana. Tak lupa lalapan dan sambal. "Saya menyukai makanan khas Indonesia jadi saya menghidangkannya untuk kalian.""Kami juga suka, wah, sepertinya enak," ujar Rika."Langsung saja Mas, langsung dicicipi," ujarku pada suami sahabatku. Tak lupa aku bersilakan Seno juga untuk duduk dan kupanggil anak-anak untuk bergabung di meja makan. Kulayani tamu dengan baik, dengan cara memberikan pelayanan yang baik di meja makan, mendekatkan makanan dan menuangkan minuman, serta mengajak mereka bic
"Ciee janda, cantik kali perubahannya." Itu ucapan temanku menggoda diri ini saat aku tiba di kantor dengan penampilan baru dan parfum beraroma lebih segar, para sahabatku itu menatap diri ini dengan decak kagum dan mulai saling melirik satu sama lain."Alhamdulillah aku merdeka.""Tapi sampai hari ini aku tidak percaya bahwa kalian bercerai mengingat betapa harmonis dan mesranya kalian sebelum ini," ucap Mbak Vira salah seorang teman dekat Mas Fahri."Yang namanya kehidupan, bisa saja berbalik dalam satu tepukan, Mbak Vir," jawab Rika sahabatku."Sedih aja sih, meski akhirnya kalian mengambil keputusan untuk menjalani hidup masing-masing tapi aku tetap menyayangkan itu.""Mari kita hargai saja keputusan yang diambil oleh Arimbi dan Mas Fahri, aku rasa mereka pasti sudah membicarakan ini matang-matang.""Ya, semoga saja, semoga ini yang terbaik untuk anak anak," balasnya."Ayolah teman teman, saya baik baik saja, anak-anak saya baik-baik saja, tempat tinggal kami cukup layak, kendaraa