Sejak berumur enam tahun, Bandit sudah dipaksa memasuki dunia kriminal. Tugas pertamanya adalah mengantarkan paket berisi narkoba dengan aman. Ayahnya adalah orang yang mendapatkan keuntungan atas semua kerja keras di masa kecilnya itu.
Hidup berdua dengan sang ayah saat ibunya sudah meninggal membuat Bandit tak masalah melakukan itu asal dia bisa membeli pakaian, makan dan juga membeli bunga untuk dia letakkan di makam ibunya.
Di umurnya yang ke-15 tahun, seorang perempuan datang bersama anak gadis yang umurnya tak jauh berbeda dengan Bandit. Mereka diperkenalkan sebagai istri baru Ayah dan juga anak tirinya.
Bukannya senang ataupun benci karena posisi ibunya sekarang terisi oleh perempuan lain, Bandit malah merasa kasihan. Karena sang ayah bukanlah laki-laki bertanggung jawab yang akan memberikan kebahagiaan untuk mereka.
Renata dan ibunya mengalami penyiksaan yang selama ini Bandit dapatkan. Rumah mereka yang kecil hanya diisi dengan suara bantingan botol alkohol, jeritan dan raungan kemarahan. Darah terus meluberi lantai. Setiap hari.
Lima tahun kemudian, ibu Renata bunuh diri. Tak sanggup mengalami semua penyiksaan yang tiada henti itu. Mungkin menurutnya neraka akhirat lebih baik ketimbang neraka yang diciptakan oleh suaminya sendiri.
Bandit bekerja lebih keras. Untuk melindungi Renata, membayar biaya sekolah Renata sampai kuliah pun Bandit melakukan segalanya untuk membiayai pendidikan gadis itu. Tujuannya hanya satu. Membuat Renata menemukan jalan yang lebih baik. Tak apa jika dia harus melakukan kejahatan demi kejahatan, meski itu pembunuhan sekalipun.
"Kenapa Kakak melakukan itu?" Pandangan Renata teramat pedih saat melihat Bandit yang lagi-lagi pulang di saat fajar dengan wajah babak belur, tangan bersimbah darah dan pakaian yang sobek-sobek.
Bandit sama sekali tak memedulikan terlihat seperti apa dirinya sekarang. "Kau harus keluar dari sini. Dengar. Selesaikan kuliahmu. Lalu keluar dari sini. Cari tempat yang jauh dan hiduplah dengan baik."
Waktu itu Renata menunduk. Raut wajahnya terlalu rumit untuk dipahami oleh Bandit. Sebelum ayahnya bangun dan membuat ulah lagi, cepat-cepat Bandit mendorong Renata keluar rumah.
"Jangan pulang sebelum aku menjemputmu. Tinggallah dulu di tempat temanmu."
Selalu begitu. Bandit selalu melarang Renata pulang jika urusannya di kampus sudah selesai. Ia akan menjemput sang adik saat semua pekerjaannya sudah dia lakukan. Tak ingin Renata bertemu dengan ayahnya saat dia tidak ada di rumah.
Tapi malam itu saat Bandit hendak menjemput sang adik, temannya mengatakan bahwa Renata telah pulang.
"Ada laki-laki tua yang mengaku sebagai ayahnya, dan Renata mengakui. Jadi aku biarkan mereka pulang."
Secepat kilat Bandit berlari, mengabaikan pikirannya yang mencoba menenangkan, bahwa tak apa. Mungkin ayahnya sudah sadar dari pengaruh alkohol dan obat-obatan. Tak apa-apa. Bandit sepenuhnya mengabaikan kata-kata penenang itu. Jantungnya berdebar tak karuan. Pikirannya berkecamuk.
Saat dia masuk ke rumah, yang dilihatnya adalah Renata yang luruh di lantai bersimbah air mata, gemetar ketakutan dan juga babak belur. Pakaiannya sobek, dan dikelilingi beberapa pria besar yang tersenyum culas dan kotor.
Bandit menerjang. Menghabisi orang-orang berwajah busuk itu. Kendati dirinya berdarah-darah sebab senjata tajam mereka terkadang mengenai tubuh Bandit.
"SIALAN! HEH ANAK SETAN! KAU TAHU SIAPA MEREKA? MEREKA AKAN MEMBAYARKU 20 KALI LIPAT JIKA ANAK INI BISA MELAYANI MEREKA!"
Wajah Bandit yang dihiasi dengan noda darah semakin menegang. Digendongnya Renata pergi. Embusan napasnya begitu kasar, seperti bom yang akan meledak sebentar lagi.
"Kau mau pergi? Aku bisa menemukan kalian di mana pun kalian bersembunyi! Berikan anak itu padaku."
Langkah Bandit yang hampir mencapai pintu berhenti.
"Kau pikir pelangganku cuma mereka? Aku sudah mempromosikan anak itu ke mana-mana. Banyak yang mengantri untuk mendapatkan keperawanannya. Ke mana pun kau membawanya, dia akan tetap dikejar oleh seluruh preman kenalanku."
Bandit berbalik. Dengan Renata yang gemetar dalam gendongannya, dihunusnya ayahnya berang.
"Kau tak bisa menghindar. Coba saja. Kau hanya akan membuatnya sengsara seumur hidup."
Bandit menggeram. "Tak ada yang boleh menyakitinya. Akan kubunuh semuanya."
"Oh ya? Sayangnya mereka akan tetap mengejar gadis itu. Puluhan ah tidak, ratusan orang akan mengejar untuk mendapatkannya. Karena ini adalah taruhan yang kubuat."
Taruhan konyol sekaligus kotor tentang siapa yang bisa mendapatkan keperawanan anak gadis yang sangat cantik itu, maka semua uang taruhan akan terbagi dua. Sebagian untuk ayah Bandit sebagian lagi untuk sang pemenang.
Malam itu Bandit putus asa. Geraman amarahnya memenuhi setiap sudut rumah kecil mereka. Diperbaikinya posisi Renata dalam gendongannya, seperti menggendong seorang balita. Lalu dengan pecahan botol di atas lantai, ditusuknya jantung sang ayah secepat kilat sambil terus mempertahankan agar Renata tak melihat aksinya.
Ia benar-benar muak. Tak peduli dirinya harus masuk penjara dunia ataupun penjara akhirat. Bandit sudah tidak tahan dengan semua kelakukan bejat ayahnya.
Si ayah keparat itu akhirnya mati. Mereka terbebas, tapi hanya ada dalam angan bandit. Mereka dikejar di mana-mana. Oleh polisi dan juga oleh preman-preman yang mengincar keperawanan Renata.
"Jangan memaafkanku karena aku harus melakukan ini. Setelah semua ini selesai, pergilah yang jauh. Kau boleh membenciku, tapi hiduplah dengan baik."
Bandit melakukan hal yang paling kejam, mengambil keperawanan Renata di malam saat mereka kembali melarikan diri dari kejaran orang-orang menyeramkan itu, semata agar Renata terbebas dari jerat para preman gila itu. Meskipun ia tahu, luka yang ia berikan kepada gadis itu tidaklah kecil.
Renata menangis. Mungkin menyesal telah mempercayai penjahat keparat seperti Bandit yang tega membujuknya untuk melakukan perbuatan keji itu. Meski ia tahu semua ini dilakukan sang kakak untuk membuatnya terbebas.
Renata terbebas, dari jerat preman sedangkan Bandit merelakan dirinya untuk masuk ke dalam jeruji besi.
Tak ada yang mengejarnya lagi sebab keperawanannya sudah raib, tak lagi menarik bagi preman-preman itu. Taruhan konyol itu sudah bubar.
"Kenapa kau ke tempat ini? Aku bilang hiduplah dengan baik, bukan seperti ini."
Tangan Renata masih dicengkeram oleh Bandit. Saat ini ia tahu bahwa Bandit begitu marah.
"Bukan urusanmu. Baik atau tidaknya hidup yang kujalani tak ada hubungannya denganmu."
"Renata." Napas Bandit berembus kasar. "Pergi yang jauh. Jalani hidup yang kau inginkan, bukan begini caranya untuk membenciku."
Lelaki kasar dan urakan ini benar. Renata membenci segala yang ada dalam kehidupannya dulu, termasuk dirinya sendiri.
"Aku akan mengurusnya, jadi pergilah malam ini. Ke mana saja asal jangan di tempat seperti ini."
"Jangan bodoh! Pergi ke mana saja bukan berarti aku akan aman dan hidup dengan baik! Kau saja yang pergi, jalani hidupmu sebagai pembunuh bayaran dan menyingkir dariku selamanya."
Renata alias Serina si wanita penghibur kelas atas, yang pernah menjadi adik yang begitu ingin dilindungi oleh Bandit, berbalik pergi setelah menghempaskan genggaman tangan Bandit.
Bandit mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Ia menggeram sebelum mengucapkan janji itu. "Aku akan menjemputmu."
Halo, ini author Mustacis. Terima kasih sudah mengikuti dan mendukung Izora dan Bandit. Jangan sungkan untuk kasih masukan yang berarti supaya aku bisa terus memperbaiki tulisan aku dan mempersembahkan yang terbaik untuk kalian 😘 Cerita Pembunuh Suamiku adalah tantangan kedua yang aku berikan kepada diri sendiri setelah 'Tertawan Dua Suami' juga tamat. Semoga kalian bisa terhibur, ada sedikit pelajaran yang bisa diambil dan puas dengan cerita ini. Kalau kalian suka dengan cerita-cerita aku, kalian bisa pantengi akun F4ceb00k aku: Mustacis Kim untuk dapet info-info seputar cerita aku. Terima kasih banyak. Jangan lupa masukkan komentar yang banyak supaya cerita ini bisa masuk di beranda promosi dan Izora-Bandit bisa semakin dikenal banyak pembaca 🙏🏻 Sampai jumpa di karya-karya aku selanjutnya ❤️❤️
“Dia sudah tidur?”Bandit mengintip dari balik bahu Izora, pada Ciara yang sudah telentang nyenyak. Kedua tangan kecilnya mengepal di sisi kepala dan napasnya berembus hangat dengan teratur.Sedang Izora menyangga kepala dengan sebelah tangan dan tangan yang lain masih menepuk pelan paha Ciara. Ia menoleh sebentar kepada Bandit.“Dia baru saja tidur,” bisiknya.Bandit mengangguk lalu menyandarkan dagunya pada lengan Izora. Menatap pemandangan Ciara yang tertidur damai tidak punya beban dan ketakutan apa pun.“Dia sangat menggemaskan.”Izora menyetujui dengan senyuman. Entah sejak kapan dia seringkali tersenyum konyol, tapi saat ini pikirannya sama dengan pikiran sang suami.Suami.Dulu dia membenci kata itu, sekarang ia menyanjungnya. Menghitung berapa banyak istri yang bahagia di dunia ini seperti dirinya.Bisakah ia sebut ini sebagai keluarga?Keluarga
Bhanu mengamati dua pusara yang berbaris rapi itu dengan nanar. Padahal baru satu minggu yang lalu dia datang ke sini dan dia harus datang lagi hari ini.Ia menarik napas dalam, merasa déjà vu melihat dua makam yang berdampingan itu. Segalanya berakhir tragis. Hidup sang tuan yang diperjuangkan selama dua tahun akhirnya menemui ajal.Mungkin inilah hukuman yang selalu ditunggu-tunggu sang nyonya. Bhanu merasa sangat sayang. Padahal mereka semua bisa hidup dengan baik.Rumput-rumput di bawah kakinya menyusut ketika ia melangkah meninggalkan area pemakaman yang sudah sepi. Di dalam kepalanya ia masih mengingat pusara yang bertuliskan nama Darius Farzan dan Raline Maharani yang baru saja dia tinggalkan.Ia masuk mobil, bukan lagi milik Farzan. sudah sejak lama Bhanu tidak memakai lagi fasilitas Farzan. Ia sendirian sekarang, tak ada pengawal lain atau bawahan yang bisa ia komando.Bersama dengan sang pemimpin keluarga yang ti
Izora baru saja hendak tidur ketika ponselnya bergetar di atas nakas. Nama Serina muncul di layar panggilan. Diamatinya sang suami yang tertidur pulas tanpa baju di sampingnya sambil memeluk Ciara, putri yang mereka rawat sejak kemarin malam.Namanya mirip dengan nama Ibu. Tiara. Karena Izora merindukannya. Ia merindukan sang ibu yang tak pernah lagi ia temui sejak dua tahun lalu. Mereka hanya berbicara lewat telepon sesekali.Ayah dan Adnan sudah mengira Izora meninggal dan diliputi perasaan bersalah setiap hari. Usaha Ayah bangkrut dan tentu saja mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil.Rumah yang dibelikan Izora secara diam-diam.Ayah berhenti bekerja dan Adnan menjadi pegawai kantoran biasa. Kehidupan mereka normal, hanya perasaan bersalah itu yang terus menghantui mereka.Biarlah. Anggap sebagai pembalasan dendam.Ponselnya masih berdering dan gegas Izora mengangkatnya. “Ada apa, Serina? Ini sudah larut malam.&rd
SPECIAL BAB 2PUNYA ANAK?Malam ini terasa lengang. Suara ketikan keyboard Izora mendominasi kamar sebelum dia menyadari bahwa malam sudah larut dan Kayman belum pulang.Ia menutup laptopnya dan keluar kamar. Menuruni tangga menuju ruang tengah yang hawanya cukup dingin. Angin berembus masuk lewat celah ventilasi di atas jendela, menerbangkan gorden dan meniup rambut Izora.Izora tidak menunjukkan gestur kedinginan sedikit pun. Ini sudah menjadi makanan kesehariannya. Tinggal di vila yang Darius berikan, terletak di daerah yang tinggi dan dingin. Izora sudah terbiasa kedinginan.Kayman belum pulang dan tidak memberikan kabar apa pun, membuat Izora khawatir. Jangan sampai lelaki itu pulang dalam keadaan terluka seperti yang sudah-sudah.Semoga pekerjaannya malam ini berjalan lancar. Kayman memang biasa pulang terlambat jika ada tugas penting, tapi malam ini Izora lebih khawatir dari biasanya. Firasatnya buruk.Gaun tidu
Dua tahun kemudian. “Ah, Kayman …” Tautan jari-jemari itu kian menguat ketika lagi-lagi Izora menggaungkan nama Kayman ke seluruh sudut-sudut kamar. Napasnya yang berembus panas beradu dengan napas pria yang bergerak dengan lihai di atas tubuhnya. Lelaki itu menggila, wajahnya mengeras, keningnya mengernyit menikmati gulungan gairah yang menghantamnya tanpa ampun. Hari yang cerah itu terasa sangat panas, membuat dua tubuh yang telanjang di atas ranjang bermandikan peluh. Sudah sejak tadi dan tak ada siapa pun di antara mereka yang berniat menghentikan aktivitas yang meleburkan hasrat itu. Otot-otot Bandit terdenyut-denyut menggoda Izora. Kulit kecokelatannya basah dan mengalirkan tetesan keringat berbau jantan ke perut Izora. Dari bawah, Izora bisa melihat betapa indahnya lelaki itu. Dari ekor matanya, ia bisa melihat cahaya raja siang mulai memudar dan menyiarkan semburat berwarna oranye dari balik jendela kaca. Berarti hari sud