Share

3. Pembunuh dengan Masa Lalu Kelam

Sejak berumur enam tahun, Bandit sudah dipaksa memasuki dunia kriminal. Tugas pertamanya adalah mengantarkan paket berisi narkoba dengan aman. Ayahnya adalah orang yang mendapatkan keuntungan atas semua kerja keras di masa kecilnya itu.

Hidup berdua dengan sang ayah saat ibunya sudah meninggal membuat Bandit tak masalah melakukan itu asal dia bisa membeli pakaian, makan dan juga membeli bunga untuk dia letakkan di makam ibunya. 

Di umurnya yang ke-15 tahun, seorang perempuan datang bersama anak gadis yang umurnya tak jauh berbeda dengan Bandit. Mereka diperkenalkan sebagai istri baru Ayah dan juga anak tirinya.

Bukannya senang ataupun benci karena posisi ibunya sekarang terisi oleh perempuan lain, Bandit malah merasa kasihan. Karena sang ayah bukanlah laki-laki bertanggung jawab yang akan memberikan kebahagiaan untuk mereka.

Renata dan ibunya mengalami penyiksaan yang selama ini Bandit dapatkan. Rumah mereka yang kecil hanya diisi dengan suara bantingan botol alkohol, jeritan dan raungan kemarahan. Darah terus meluberi lantai. Setiap hari.

Lima tahun kemudian, ibu Renata bunuh diri. Tak sanggup mengalami semua penyiksaan yang tiada henti itu. Mungkin menurutnya neraka akhirat lebih baik ketimbang neraka yang diciptakan oleh suaminya sendiri.

Bandit bekerja lebih keras. Untuk melindungi Renata, membayar biaya sekolah Renata sampai kuliah pun Bandit melakukan segalanya untuk membiayai pendidikan gadis itu. Tujuannya hanya satu. Membuat Renata menemukan jalan yang lebih baik. Tak apa jika dia harus melakukan kejahatan demi kejahatan, meski itu pembunuhan sekalipun.

"Kenapa Kakak melakukan itu?" Pandangan Renata teramat pedih saat melihat Bandit yang lagi-lagi pulang di saat fajar dengan wajah babak belur, tangan bersimbah darah dan pakaian yang sobek-sobek.

Bandit sama sekali tak memedulikan terlihat seperti apa dirinya sekarang. "Kau harus keluar dari sini. Dengar. Selesaikan kuliahmu. Lalu keluar dari sini. Cari tempat yang jauh dan hiduplah dengan baik."

Waktu itu Renata menunduk. Raut wajahnya terlalu rumit untuk dipahami oleh Bandit. Sebelum ayahnya bangun dan membuat ulah lagi, cepat-cepat Bandit mendorong Renata keluar rumah. 

"Jangan pulang sebelum aku menjemputmu. Tinggallah dulu di tempat temanmu." 

Selalu begitu. Bandit selalu melarang Renata pulang jika urusannya di kampus sudah selesai. Ia akan menjemput sang adik saat semua pekerjaannya sudah dia lakukan. Tak ingin Renata bertemu dengan ayahnya saat dia tidak ada di rumah.

Tapi malam itu saat Bandit hendak menjemput sang adik, temannya mengatakan bahwa Renata telah pulang. 

"Ada laki-laki tua yang mengaku sebagai ayahnya, dan Renata mengakui. Jadi aku biarkan mereka pulang."

Secepat kilat Bandit berlari, mengabaikan pikirannya yang mencoba menenangkan, bahwa tak apa. Mungkin ayahnya sudah sadar dari pengaruh alkohol dan obat-obatan. Tak apa-apa. Bandit sepenuhnya mengabaikan kata-kata penenang itu. Jantungnya berdebar tak karuan. Pikirannya berkecamuk.

Saat dia masuk ke rumah, yang dilihatnya adalah Renata yang luruh di lantai bersimbah air mata, gemetar ketakutan dan juga babak belur. Pakaiannya sobek, dan dikelilingi beberapa pria besar yang tersenyum culas dan kotor.

Bandit menerjang. Menghabisi orang-orang berwajah busuk itu. Kendati dirinya berdarah-darah sebab senjata tajam mereka terkadang mengenai tubuh Bandit. 

"SIALAN! HEH ANAK SETAN! KAU TAHU SIAPA MEREKA? MEREKA AKAN MEMBAYARKU 20 KALI LIPAT JIKA ANAK INI BISA MELAYANI MEREKA!"

Wajah Bandit yang dihiasi dengan noda darah semakin menegang. Digendongnya Renata pergi. Embusan napasnya begitu kasar, seperti bom yang akan meledak sebentar lagi.

"Kau mau pergi? Aku bisa menemukan kalian di mana pun kalian bersembunyi! Berikan anak itu padaku."

Langkah Bandit yang hampir mencapai pintu berhenti. 

"Kau pikir pelangganku cuma mereka? Aku sudah mempromosikan anak itu ke mana-mana. Banyak yang mengantri untuk mendapatkan keperawanannya. Ke mana pun kau membawanya, dia akan tetap dikejar oleh seluruh preman kenalanku."

Bandit berbalik. Dengan Renata yang gemetar dalam gendongannya, dihunusnya ayahnya berang. 

"Kau tak bisa menghindar. Coba saja. Kau hanya akan membuatnya sengsara seumur hidup."

Bandit menggeram. "Tak ada yang boleh menyakitinya. Akan kubunuh semuanya."

"Oh ya? Sayangnya mereka akan tetap mengejar gadis itu. Puluhan ah tidak, ratusan orang akan mengejar untuk mendapatkannya. Karena ini adalah taruhan yang kubuat."

Taruhan konyol sekaligus kotor tentang siapa yang bisa mendapatkan keperawanan anak gadis yang sangat cantik itu, maka semua uang taruhan akan terbagi dua. Sebagian untuk ayah Bandit sebagian lagi untuk sang pemenang.

Malam itu Bandit putus asa. Geraman amarahnya memenuhi setiap sudut rumah kecil mereka. Diperbaikinya posisi Renata dalam gendongannya, seperti menggendong seorang balita. Lalu dengan pecahan botol di atas lantai, ditusuknya jantung sang ayah secepat kilat sambil terus mempertahankan agar Renata tak melihat aksinya.

Ia benar-benar muak. Tak peduli dirinya harus masuk penjara dunia ataupun penjara akhirat. Bandit sudah tidak tahan dengan semua kelakukan bejat ayahnya.

Si ayah keparat itu akhirnya mati. Mereka terbebas, tapi hanya ada dalam angan bandit. Mereka dikejar di mana-mana. Oleh polisi dan juga oleh preman-preman yang mengincar keperawanan Renata.

"Jangan memaafkanku karena aku harus melakukan ini. Setelah semua ini selesai, pergilah yang jauh. Kau boleh membenciku, tapi hiduplah dengan baik."

Bandit melakukan hal yang paling kejam, mengambil keperawanan Renata di malam saat mereka kembali melarikan diri dari kejaran orang-orang menyeramkan itu, semata agar Renata terbebas dari jerat para preman gila itu. Meskipun ia tahu, luka yang ia berikan kepada gadis itu tidaklah kecil.

Renata menangis. Mungkin menyesal telah mempercayai penjahat keparat seperti Bandit yang tega membujuknya untuk melakukan perbuatan keji itu. Meski ia tahu semua ini dilakukan sang kakak untuk membuatnya terbebas.

Renata terbebas, dari jerat preman sedangkan Bandit merelakan dirinya untuk masuk ke dalam jeruji besi. 

Tak ada yang mengejarnya lagi sebab keperawanannya sudah raib, tak lagi menarik bagi preman-preman itu. Taruhan konyol itu sudah bubar.

"Kenapa kau ke tempat ini? Aku bilang hiduplah dengan baik, bukan seperti ini."

Tangan Renata masih dicengkeram oleh Bandit. Saat ini ia tahu bahwa Bandit begitu marah. 

"Bukan urusanmu. Baik atau tidaknya hidup yang kujalani tak ada hubungannya denganmu."

"Renata." Napas Bandit berembus kasar. "Pergi yang jauh. Jalani hidup yang kau inginkan, bukan begini caranya untuk membenciku."

Lelaki kasar dan urakan ini benar. Renata membenci segala yang ada dalam kehidupannya dulu, termasuk dirinya sendiri.

"Aku akan mengurusnya, jadi pergilah malam ini. Ke mana saja asal jangan di tempat seperti ini."

"Jangan bodoh! Pergi ke mana saja bukan berarti aku akan aman dan hidup dengan baik!  Kau saja yang pergi, jalani hidupmu sebagai pembunuh bayaran dan menyingkir dariku selamanya."

Renata alias Serina si wanita penghibur kelas atas, yang pernah menjadi adik yang begitu ingin dilindungi oleh Bandit, berbalik pergi setelah menghempaskan genggaman tangan Bandit.

Bandit mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Ia menggeram sebelum mengucapkan janji itu. "Aku akan menjemputmu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status