Share

2. Seperti Binatang Liar

Bandit duduk diam seperti orang yang tengah disidang. Di depannya ada kepala petugas yang menatapnya tidak suka, seolah Bandit adalah parasit yang menghancurkan ketenteraman tempat ini.

Itu tidak salah. 

Sudah berapa kali dia duduk di tempat ini sejak masuk ke sini. Berkali-kali ia pindah sel dan hampir membunuh teman satu selnya.

"Kali ini karena apa?"

Bandit tak membuka mulut. Dia sudah terbiasa dalam situasi ini. Tak peduli seberapa panjang ia bercerita, segalanya akan tetap sama.

Petugas dengan tanda nama bertuliskan Budi Susanto itu mendecak sambil menggebrak meja sedikit keras. "Aku berusaha sabar selama ini dengan semua sikapmu yang seperti binatang liar itu. Siapa yang bilang kau boleh menghajar tahanan lain sesukamu?!"

Bandit masih bungkam. Kendati baju tahanan sudah terpasang kembali di tubuhnya, tak ada yang mampu menyangkal bahwa lelaki ini sangatlah berbahaya.

Pak Budi menyadari itu. Dia menekan segala amarah yang membelenggunya. Menyandarkan punggung pada kursi berbusa empuk itu sambil menghela napas berulang kali.

"Kepulanganmu akan dipercepat. Tiga hari lagi aku pastikan kau akan keluar dari sini. Tidak perlu menunggu sampai tiga minggu."

Pak Budi tampaknya sudah menyerah. Dia tak peduli apa masalah yang membuat Bandit terus saja menghajar tahanan lain, yang penting pria yang seperti binatang itu menyingkir dari hadapannya.

"Selama tiga hari kau akan tinggal di sel sendirian. Jangan berbuat ulah lagi atau masa hukumanmu akan ditambahkan."

Pak Budi tidak mengharapkan itu. Ia ingin Bandit cepat-cepat keluar dari tempat ini agar kehidupan pekerjaannya bisa tenteram. Ia sudah sangat muak.

Lelaki di depannya ini sudah seperti tembok yang penuh dengan ranjau. Jika menyentuhnya sedikit saja maka siapa pun yang ada sekitarnya akan terkena ledakan.

"Pergilah. Urusan kita sudah selesai."

Bandit berdiri, mengikuti arahan petugas lain yang membawanya ke ruang isolasi yang pengap dan menyesakkan. Sempit, berdebu dan akan menghancurkan akal sehat jika berada di dalamnya lebih dari sehari.

Tapi tidak dengan Bandit. Sudah puluhan kali ia menjajal tempat ini, sudah seperti kamar pribadi baginya. Secara alami dia masuk sembari menundukkan kepala karena pintunya lebih pendek dari tinggi tubuh Bandit. 

Ia berdiri di tengah ruangan yang hanya berisi tempat tidur dan jamban, melirik punggung tangannya yang dilumuri darah yang hampir mengering. 

Disobeknya baju tahanan yang melekat di tubuhnya kemudian melilitkan kain itu di sepanjang tangannya. Pandangannya lurus ke depan. Fokus dan bengis. 

Sama seperti Pak Budi dan para petugas lain, dia juga sudah muak berada di sini. Dia muak harus mendengar ocehan sumbang dari mulut-mulut kotor tahanan lain. Dia paling membenci memukul tanpa membunuh. Itu membuatnya frustrasi.

Di sini terlalu berbahaya untuk orang yang lemah. Perlu kekuatan untuk terus bertahan dan untuk tetap waras. Sebab begitu banyak orang jahat yang tidak punya otak. Bandit bukan orang baik, tapi dia masih punya akal sehat untuk tidak melecehkan orang lain atau bertindak asusila.

Itu sangat menjijikkan.

Tiga hari kemudian, seperti yang dijanjikan Pak Budi, Bandit akhirnya keluar dari penjara setelah tiga tahun lamanya, kendati ia merasa heran mengapa masa tahanannya begitu singkat setelah terdakwa membunuh ayahnya dan berbuat buruk di penjara.

"Kau akhirnya keluar. Senang?"

Salah satu petugas yang biasanya membina para narapidana, Pak Pandu adalah satu-satunya orang yang akan mengajak Bandit berbicara dengan santai. 

"Ya." 

Kendati respon Bandit terlihat dingin bagi orang-orang awam, Pak Pandu tetap membuka mulut, menghela napas dengan santai sambil menepuk pundak Bandit di depan gerbang keluar lapas.

"Kudengar kau habis menggebuk si Babi Johan."

"Ya." 

Alih-alih tersinggung dengan jawaban singkat Bandit, Pak Pandu malah terus berceloteh.  "Kali ini dia mengataimu apa? Mengulik orang tuamu? Keluargamu? Masa lalumu?"

Bandit tak menjawab dan Pak Pandu sudah tahu jawabannya. Ia mengambil sebungkus rokok dari saku celananya lalu menyelipkannya pada saku jaket kulit Bandit yang sudah pudar warnanya.

"Jangan ke sini lagi. Di sini penuh dengan penjahat." 

Bandit menoleh sejenak kepadanya untuk melemparkan lirikan aneh, seolah berkata 'Itu tidak masalah, karena aku juga penjahat.'

Pak Pandu menepuk pundak Bandit sebelum masuk kembali ke dalam lapas.

"Terima kasih." 

Ucapan spontan itu membuat langkah Pak Pandu yang baru saja akan melangkahi gerbang berhenti. 

"Berbahagialah."

Bandit tak menghiraukan kata itu. Asing dan mustahil baginya. Ucapan Pak Pandu hanyalah sebatas basa-basi pengantar perpisahan. 

***

Lampu remang yang berkedip liar, aroma alkohol yang menyengat, hiruk pikuk musik dan pemandangan orang-orang yang berdansa sekaligus bermesraan.

Bandit menelusuri lautan manusia yang menggila di club mewah itu. Matanya awas dan mencari-cari, tak peduli pada senggolan orang-orang yang terlena dengan musik dan minuman. 

Pada kursi tinggi di depan bartender ia duduk. Bukan untuk meminta minuman. "Di mana Renata?"

Sang bartender yang sedang meracik minuman memandangnya aneh. "Sebagai tamu?"

"Bukan. Pekerja."

"Tak ada pekerja bernama Renata di sini." Nama itu terdengar biasa saja untuk tempat hiburan seperti ini. 

"Panggil dia. Aku ingin bertemu dengannya." 

Bartender bernama Andi itu mendecak. Baru kali ini dia kedatangan tamu berpenampilan gembel, urakan dan juga seperti preman yang menyuruh seenaknya seperti orang kaya. "Tak ada yang bernama Renata di sini."

Bandit menatap Andi tajam. Jenis tatapan tajam yang buas seperti dia benar-benar akan memangsamu. 

"Baiklah. Akan kucarikan. Leon!" 

Seorang pria kurus dan tinggi datang menghampiri. 

"Apa di sini ada pekerja bernama Renata? Kau yang mengawasi mereka semua, kan?" Andi menyapu mata Leon, sepenuhnya mengalihkan tubuh dari Bandit.

Leon mengerutkan kening. "Renata? Pekerja di bagian mana?"

Pandangan Andi beralih kepada Bandit. "Apa posisinya?"

Bandit tak menjawab sekian detik. Keningnya sedikit berkerut seolah memikirkan jawaban yang sulit. "Dia ... pelayan." Raut wajah Bandit terlihat tidak enak.

"Maksudmu waitress?"

"Bukan."

Leon memiringkan kepala, mengetuk-ngetuk pelipis lalu bersuara dengan ragu. "Kalau bukan waitress apa dia penghibur? Maksudmu melayani laki-laki?"

"Ya." 

"Renata ya? Sepertinya tak ada yang bernama Renata di antara para penghibur. Kecuali jika Renata adalah nama asli. Aku mesti mengecek daftar identitas mereka dulu di tempat Bos untuk mengetahuinya."

"Kau mau melakukannya?" Ekspresi Andi tampak aneh, seolah dengan jelas mengatakan bahwa Leon tak usah repot-repot meladeni seorang preman seperti Bandit.

"Begini saja. Seperti apa orangnya. Kalau kau menyebutkan ciri-cirinya mungkin aku akan mengenalinya."

"Dia cantik."

Leon mengernyit, sedang Andi sang bartender mengibas tangan. "Sudahlah. Kau punya banyak pekerjaan, kan? Buat apa repot-repot melayani orang seperti dia." Terang-terangan Andi melirik penampilan Bandit yang hanya cocok berada di tempat pembangunan sebagai kuli.

Tapi Leon masih menatapnya biasa, tak merendahkan tapi sedikit terganggu. "Banyak perempuan cantik di sini. Berikan yang lebih spesifik."

Bandit bungkam. Sepenuhnya lupa bagaimana penampilan wanita itu sekarang. Apakah berada di tempat ini selama tiga tahun masih akan mempertahankan senyum lugunya yang manis dan juga penampilannya yang sederhana?

Bukannya memikirkan jawaban yang lebih baik, Bandit malah menunduk. Mungkin Renata tidak ada di sini. Ia berdiri dan baru saja ingin pergi ketika seorang perempuan menghampiri tempat mereka.

"Kenapa memanggilku, Leon? Aku baru saja pulang dari tempat si Broto tua bangka itu."

Bandit mematung. Matanya terfokus pada wanita seksi yang kulitnya teramat bersih dengan gaun berpotongan rendah. 

"Rena ...." 

Wanita yang ia panggil Rena itu membalas tatapannya sama. Membeku sejenak sebelum mengerjap dan menyadari sesuatu.

***

"Kenapa ke sini?" Wajah cantik yang tadi santai itu berubah menjadi dingin. 

Bandit tak melakukan apa-apa selain menatap lekat Renata. Tiga tahun bukan waktu yang singkat baginya untuk berpisah dengan wanita ini.

"Kau tak perlu mencariku. Aku sudah—"

"Pulang bersamaku, Rena."

Renata bersedekap. Dalam sorot mata nyalangnya ada sesuatu yang membuat Bandit ingin kembali ke masa lalu. Untuk pertama kalinya sejak tiga tahun yang berengsek itu saat ia melihat kembali wajah wanita ini, ia akhirnya menyesali banyak hal.

"Namaku bukan Renata, tapi Serina. Dan kau bukan keluargaku. Bukan pula siapa-siapa. Jadi pergilah dan jangan pernah datang lagi." Renata meninggalkan Bandit di halaman belakang yang gelap dan penuh dengan asap rokok. Tempat di mana orang-orang ingin menjauh dari hiruk pikuk musik dan juga melakukan hal-hal terlarang.

Tentu saja Bandit mengejar. Ditahannya tangan Renata. Wajah yang urakan itu begitu tegang, seolah di hadapannya ada tembok besar yang tak pernah bisa ia taklukkan.

"Kita saudara. Kau adikku."

Mata Renata memicing kejam. "Saudara mana yang meniduri saudaranya sendiri?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status