Share

4. Izora yang Hanya Nikmat untuk Ditiduri

Peluh membasahi tubuh indah Izora. Dirinya masih sangat sadar ketika Darius semakin mempercepat hunjamannya. Ia mendesah pelan, semata untuk tak membolongi harga diri Darius.

Bahwa ia tak merasakan apa-apa.

Kendati dirinya mendesah dan merintih. Itu hanyalah palsu. 

Izora hanya berbaring diam di bawah tindihan Darius sambil menerima semua perlakuan lelaki itu. 

"Ah, Marina." 

Sudah berulang kali nama asing itu meluncur dari mulut Darius. Setiap ia kali ia berada pada puncak kewarasannya, nama itu akan selalu hadir menghiasi percintaan mereka.

"Kau sangat nikmat, Marina!" 

Tak ada usaha sedikit pun yang dilakukan Izora untuk mengoreksi kesalahan itu. Pura-pura ia memasang ekspresi rumit yang menandakan betapa hebatnya lelaki itu menggagahinya. 

Kening Izora berkerut, matanya terpejam. Ia lengkungkan punggungnya saat hunjaman Darius semakin cepat sampai tubuh lelaki itu gemetar, Izora ikut bergetar. Meski tak ada hal istimewa yang ia rasakan. Hanya kamuflase.

Badai kenikmatan mendatangi Darius. Setelah pergulatan panjang di malam itu, Darius meninggalkan tubuh Izora dan berbaring di sampingnya.

"Marina." Darius masih memejamkan mata, tampak belum sadar. Saat ia membuka kelopaknya, diliriknya Izora di sampingnya. "Ah, Izora." Tak ada raut bersalah di wajahnya setelah menyebutkan wanita lain berulang kali di depan sang istri.

Warna hijau lembut langit-langit di atasnya membuat Izora ingin muntah saat itu juga. Ia muak. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. 

"Kau selalu bisa membuatku puas, Mar—Izora."

Izora tersenyum pahit. 

Sedang Darius masih berusaha mengais kesadarannya. Menghilangkan jejak-jejak antusias yang mengikis kewarasannya. Ia tenangkan debar jantungnya, lalu pikiran rasionalnya kembali ia dapatkan.

Dalam waktu lima menit, Darius bangun. Mengambil jubah tidurnya yang tergeletak di samping ranjang lalu memakainya. 

"Malam ini kau juga sama nikmatnya seperti malam-malam sebelumnya. Katakan apa yang kau inginkan."

Izora menatapnya datar. "Kau pasti tahu."

Darius tersenyum, disertai sedikit dengusan, yang mana Izora tahu itu adalah ejekan tersirat. 

"Kalung keluaran terbaru dan terbatas?"

"Terserah. Yang penting berliannya banyak."

Kali ini senyum Darius semakin lebar. Ia menunduk, menyembunyikan tawa gemasnya. Bukan karena Izora terlihat lucu di matanya, tapi Izora makin terlihat seperti wanita pecinta  uang yang bodoh. Ia hanya meminta perhiasan, vila, dan mobil. 

Sangat berbeda dengan Marina, istrinya yang meninggal lima tahun yang lalu. 

Wanita yang lembut, ceria dan hangat. Sangat kontras dengan Izora. Tak ada sedikit pun sisi dari Izora yang sama dengan Marina.

Izora tak menyukai warna-warna pastel seperti Marina, ia lebih suka warna gelap. Ia juga lebih memilih meminta barang-barang mewah ketimbang meminta Darius menyempatkan waktu untuknya. 

Marina selalu mengatakan hal-hal yang cerdas, tapi Izora tidak. Istri pertamanya disukai oleh semua pekerja di rumah ini, tapi Izora malah sebaliknya. Ia dibenci semua orang, termasuk Darius.

Wanita ini begitu sulit untuk disukai. Tipe perempuan yang akan dihindari oleh lelaki mana pun, membosankan dan juga tak ada keinginan untuk melindungi atau memperhatikannya.

Tapi Darius tak bisa menyangkal, bahwa Izora sangat memuaskannya di atas ranjang. Satu tatapannya saja mampu membuat Darius berhasrat. 

Hanya satu kelebihannya. Begitu nikmat untuk ditiduri. Tak ada yang lain.

Karena itu dia harus memenuhi semua keinginan wanita ini. Toh, selama dia tidak meminta sejumlah saham atau aset-aset penting untuk menjadi miliknya. Hanya vila dan rumah biasa, mobil dan perhiasan.

Tipikal wanita yang menjual tubuh dengan kemewahan.

Meskipun Darius tak bisa menampik bahwa kecantikan Izora melebihi Marina. Dia mungil, rapuh, tapi di saat bersamaan juga kuat dan tegar. Ada sesuatu dalam pandangan matanya yang selalu mengusik ego Darius meskipun wanita ini selalu menuruti perintahnya. 

"Baiklah. Aku akan segera membelinya. Sekarang istirahatlah di kamarmu." 

Izora bangun. Mengambil jubah tidurnya yang tergeletak sembarangan di tengah kamar, lalu keluar dari ruangan yang penuh dengan warna hijau pastel dan juga foto-foto Marina. 

Ia kembali ke kamarnya di lantai dua. Seperti seorang putri yang dikurung di dalam menara, kamar Izora adalah satu-satunya ruangan yang ada di lantai dua. Mungkin untuk orang awam, itu adalah istimewa. Tapi tidak untuknya, sebab Izora diasingkan. Dijauhkan dari hiruk pikuk pekerja di rumah ini dan juga dari pandangan Darius.

Dia hanya dibutuhkan saat Darius butuh untuk menyalurkan hasratnya, selain itu dia hanyalah pajangan. 

Kamar Darius ada di lantai bawah. Kamar yang dulu dia tempati bersama Marina, istri pertamanya. Wanita itu suka dengan warna hijau yang lembut, maka semua perabot dan dekorasi di rumah ini dihiasi dengan warna itu, kecuali kamar Izora.

Dengan sengaja Izora membandingkan kamarnya dengan ruangan-ruangan yang lain. Hitam, pekat, dan menyesakkan, seperti kamar orang yang pesakitan.

Izora memandang lurus, mengambil ponselnya untuk membuka pesan yang baru saja masuk.

'Namanya Bandit, pembunuh bayaran kelas atas. Dia akan menyelesaikan tugas kurang dari tiga hari. Dia cepat, tangkas dan hasilnya bersih.'

Pesan berikutnya berisi alamat si pembunuh bayaran.

'Datanglah sendirian, dia tidak suka identitasnya diketahui banyak orang.'

Izora menutup pesan dari orang kepercayaannya kemudian menyimpan kembali ponselnya di atas meja yang dipenuhi buku-buku tebal, laptop dan juga kertas-kertas yang berserakan. 

Diketuknya meja itu dengan ujung jari-jarinya, matanya berkilat berbahaya. 

Senyum tipisnya merekah. "Bandit. Boleh juga."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status