Share

5. Bunuh Suamiku

Saat Izora turun dari mobil, yang dia lihat hanya kegelapan. Diperiksanya kembali pesan dari orang kepercayaannya, alamatnya betul di sini.

Di depan sana cuma ada gudang saat Izora menyalakan senter pada ponselnya. Ia menghela napas pelan sebelum mengangkat kaki menuju satu-satunya bangunan di tempat ini.

Hawanya lumayan mengerikan, cukup untuk membuatnya sedikit merinding. Diketuknya pintu besi yang berkarat itu dan tak ada jawaban. 

Meski sedikit ragu, Izora kembali mengetuk. Lalu memutuskan untuk menarik pegangannya saat beberapa lama masih tetap hening.

Tak terkunci. Bunyi geretan yang memekakkan telinga membuatnya mendengus sedikit kesal karena terkejut. 

Izora sudah terbiasa dengan gelap. Tak masalah baginya. Namun, ia tetap harus berjalan dengan senter ponselnya jika tak mau tersandung sesuatu atau diserang oleh seseorang yang tak dikenal, karena ini betul-betul gelap. Tak ada sedikit pun cahaya yang bisa membantunya berjalan kecuali cahaya dari ponselnya.

Cuma ada gudang yang kosong. Tak ada barang-barang ataupun tanda-tanda keberadaan seseorang. 

Izora mendengus lagi. Jangan bilang Ronald memberikan informasi yang salah. 

Meski berpikir begitu, Izora tetap maju menerjang kegelapan dan rasa sesak yang mengikuti.

Ia menyibak tirai dan masuk ke ruangan yang lain. Sama kosongnya, hanya ada sebuah kamar mandi tanpa pintu yang cuma diisi dengan ember besar dan gayung. 

Lalu di depan sana ada bangku kecil. Seseorang yang duduk di atas bangku itu membuat Izora menahan napas dan hampir menjerit kaget.

Belum sempat dia menetralkan jantungnya yang hampir berhenti, orang itu memicing tajam padanya lalu mengeluarkan suara geraman seperti singa yang baru bangun.

"Siapa kau?"

Perpaduan antara gelap yang pekat, keheningan yang menyesakkan dan suara berat yang mengerikan tak lantas membuat Izora ingin melarikan diri. 

Aura di depannya terasa begitu tajam, dengan keberadaannya saja sudah mampu memberikan ketakutan yang sangat. Tapi tidak dengan Izora. Segalanya dia abaikan dan maju mendekati pria itu.

"Bandit?"

Geraman pria itu kian terdengar. "Kutanya siapa kau?"

Ah, rasanya seperti dia tengah berada di kandang singa. Izora tak heran, karena yang ingin dia temui adalah seorang pembunuh bayaran.

"Izora Farzan. Aku datang untuk memakai jasamu."

Dari cahaya ponselnya yang menyorot wajah lelaki itu, yang terlihat hanyalah tatapan tajam yang siap menerkam Izora saat ini juga.

"Pergilah. Kau datang ke tempat yang salah."

"Aku datang bukan untuk pergi tanpa hasil. Nyalakan lampunya dan biarkan aku duduk." Tak ada getar sama sekali dalam suara Izora. Dia tangguh dan mengambil alih suasana.

"Di sini tak ada lampu."

"Bagus. Aku akan langsung ke intinya. Bunuh Suamiku."

"Aku tak mengizinkanmu tinggal lebih lama. Pergi."

"Aku memberikan penawaran yang tidak main-main."

"Pergi."

Izora mendenguskan tawa mengejek. Alunan suaranya yang lembut tapi tegas membungkam geraman Bandit. Gestur dan nada bicara wanita ini begitu percaya diri.

"Berapa bayaran tertinggi yang pernah kau dapatkan?"

"Kubilang pergi. Tempat ini tidak cocok untuk—"

"Akan kuberikan. Dua kali lipat dari bayaran tinggi yang pernah kau dapat. Bunuh suamiku kurang dari tiga hari."

Tatapan Bandit mencincang semua suara di sekitar mereka sampai yang terdengar hanyalah suara embusan napas kasarnya. Wanita itu tak bersuara lagi, bahkan desah napasnya tak terasa sama sekali.

"Pergi sebelum aku yang membunuhmu, Nyonya."

Ancaman itu sama sekali tak menyurutkan niat Izora. Ia mematikan cahaya ponselnya, lalu bersedekap angkuh. "Kau yakin? Dengan kondisi baru keluar dari penjara dan tanpa kejelasan masa depan, kupikir kau butuh uang untuk menebus wanita yang kau temui di club."

BRAK!

Secepat itu tubuh Izora terbanting ke atas kursi. Ditindih dan lehernya dicengkeram oleh tangan besar dan kasar. 

"Kau masuk ke sini seenaknya setelah menyelidikiku dengan lancang. Jangan berharap kau bisa pulang dengan utuh."

Izora tak mampu melihat eskpresi pria itu yang jelas-jelas begitu dekat dengan wajahnya. Yang ia rasakan hanya geraman marah dan intensitas cekikannya yang semakin menguat di leher Izora. Napasnya begitu berhasrat untuk membunuh Izora.

Izora jelas sudah bisa memprediksi hal ini jauh sebelum dia datang ke sini. Tak sedikit pun dia bersuara kendati napasnya tertelan oleh cengkeraman Bandit. Lehernya terasa akan remuk saat itu juga, kepalanya sepertinya akan ikut pecah.

Laki-laki ini jelas tak segan membunuhnya.

Detik menjelma menjadi menit, tak ada gerakan ataupun embusan napas yang terdengar dari wanita di bawahnya. Bandit mengernyit, mengendurkan cengkeramannya dan meraba-raba titik nadi wanita itu.

"Kenapa berhenti?" 

Kelopak mata Bandit berkerut. Seingatnya leher yang baru saja dia cengkeram begitu mungil jika dibandingkan dengan telapak tangannya.

Tidakkah leher itu seharusnya sudah remuk?

"Sepertinya kau lebih memilih membunuhku dan tidak menghasilkan apa-apa ketimbang menyelamatkan perempuan itu." 

Meski sama sekali tak bisa melihat wajahnya, Bandit bisa merasakan jika wanita itu tengah memberinya senyum penuh ejekan.

Pegangan Bandit di leher mungil itu semakin mengendur sampai akhirnya terlepas. Wanita bernama Izora itu bangun tanpa ada desahan napas berat atau suara kesakitan.

Tahu-tahu sesuatu dipukulkan ke dadanya. 

"Itu foto suamiku, Darius Farzan. Di belakang foto itu ada waktu dan alamat di mana kau harus datang. Bunuh dengan cara apa pun."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status