Keduanya baru saja sampai di sebuah kafe yang dipenuhi banyak sekali bunga yang tertata sangat rapi. Kinan menjadi sangat antusias dan langsung menghampiri bunga-bunga yang tumbuh di sekitar maupun yang ditanam dalam sebuah pot. Noah sudah yakin pasti wanita itu akan menyukainya, bunga adalah benda kesukaan Kinan. "Apa pria itu ingin bertemu di sini? Bagaimana dia bisa tau kalau aku menyukai bunga?" tanya Kinan seraya mencium salah satu bunga jenis mawar yang tumbuh di sebuah pot bewarna putih.
"Aku yang memilih tempat ini," jawab Noah.
"Wah kau memang tau apa yang kusuka." Kinan tersenyum ke arah Noah, seraya mengibaskan rambutnya pelan. "Baiklah, mana pria itu."
"Namanya Ervan," kata Noah lalu kemudian mengarahkan matanya ke sosok pria yang baru saja tiba. "Dan itu dia."
Kinan mengernyit, ia memperhatikan sosok itu dari jauh. Ia seperti mengenali pria itu, seperti tidak asing terlihat. Barulah saat pria itu semakin mendekat, Kinan baru menyadari
Langit sudah hampir senja saat Kinan dan Ervan telah keluar dari kafe tersebut. Telah banyak hal seru keduanya bahasa selama hampir 8 jam lamanya. Kinan sampai merasa punggung dan mulutnya pegal. Tapi, ini cukup membahagiakan karena hari ini setelah sekian lama ia bertemu lagi dengan Ervan."Kau mau aku antarkan pulang atau—""Sudah selesai?" tanya Noah muncul secara tiba-tiba di hadapan keduanya. Kinan sampai tidak bisa mengontrol eskpresi kagetnya. Bukankah pria itu sudah pulang tadi, lalu kenapa ia bisa ada di sini lagi?"Bukannya kau sudah pulang?" tanya Kinan mengernyit heran."Aku menunggu di ujung sana, ternyata lumayan lama juga. Jadi kau ingin pulang dengan siapa?"Kinan benar-benar tidak habis pikir dengan Noah, pria itu menyebalkan sekaligus membuatnya ingin terbang ke langit. "Maaf Ervan, sepertinya aku pulang dengan Noah saja. Apalagi kau harus ke rumah sakit kan sekarang?""Oh ya sudah, aku juga sudah terlambat." Er
Noah menatap curiga ke arah Kinan yang mendadak baik padanya, wanita itu kini tengah memasak mie instan kuah di dapur dan Noah bisa melihatnya dengan duduk di meja makan."Sebenarnya ... aku ingin meminta maaf." Kinan membalikkan tubuhnya, kepalanya menunduk ke bawah. "Soal perkataan kasar padamu kemarin."Noah mengernyit, sudut bibirnya perlahan tertarik. "Aku sudah memaafkanmu, kau tidak perlu merasa bersalah."Kinan masih diam di tempatnya dengan kepala yang terus menunduk, ia tidak berani menatap pria itu, ia merasa malu. Bahkan setelah mencacinya, Noah masih memaafkannya. Ah, pria itu semakin membuat jantung Kinan berdetak lebih cepat.Noah mengembuskan napasnya panjang, seraya bangkit dari duduknya dan menghampiri Kinan. "Sampai kapan kau akan menunduk?""Aku ma—" Kinan terdiam dan refleks menjauhkan wajahnya saat ia tahu wajah pria itu tiba-tiba mendekat ke arahnya. "Apa yang kau lakukan?""Aku ingin melihat matamu," kata Noah melipat
Noah menahan tawanya kala melihat wajah memerah Kinan yang sedari tadi belum mendapatkan respon darinya. Cukup menggemaskan dan berhasil membuat Noah ingin tertawa meski ia harus menahannya demi mempertahankan sisi dingin dalam dirinya. "Kau bisa menemuiku kapanpun kau mau itu pun jika tidak ada kekasihku di sini.""Kekasih?" tanya Kinan menatap tidak percaya. Bukankah sebelumnya Noah mengatakan jika ia tidak punya kekasih? Apakah pria itu membohonginya?Noah mengangguk. "Ya, kekasihku suka datang semaunya dan aku tidak tahu pasti kapan ia akan datang.""Katamu kau tidak punya kekasih?!" Kini Kinan merasa sangat waspada, ia melihat ke arah bawah barangkali ia tidak menyadari jika seseorang telah datang.Noah menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menatap pongah. "Pria setampan diriku tidak mungkin tidak memiliki seorang kekasih. Memangnya aku ini kau!""Kau ini!" Kinan mengacak rambut
"Baiklah, makanlah lagi." Noah hanya ingin menikmati pizzanya sekarang, ia enggan untuk berdebat dengan Kinan yang sudah pasti tidak ada habisnya itu. "Sekarang aku mengerti bagaimana perasaanmu."Kinan mengambil kembali pizza yang sempat ia taruh tadi dan menyantapnya lagi. "Dan besok aku tidak ingin pergi kemana pun.""Aku juga akan sangat sibuk besok, ada tempat yang harus aku datangi." Noah beranjak ke kulkas, pria itu mengambil beberapa minuman kaleng dan menaruhnya di meja."Kemana?" tanya Kinan."Kenapa kau sangat ingin tahu?" Noah memandang sinis.Kinan mendengus. "Aku hanya penasaran."Noah tidak menanggapi lagi, ia terus melanjutkan menyantap pizzanya hingga perutnya terasa kenyang. Sudah sangat lama rasanya, lidahnya tidak lagi merasakan pizza kesukaannya itu semenjak sang kakak tinggal di Singapura."Apa aku boleh ikut?" tanya Kinan lagi.
Kinan kemudian menurut dengan pria itu, akhirnya seluruh kakinya telah dibersihkan hingga sabun pencuci piring itu tak lagi membasahi seluruh kakinya. "Padahal aku baik-baik saja," katanya seraya menatap Noah yang berjongkok di hadapannya."Ini salahku," balas Noah. Pria itu kemudian bangkit dan menghampiri lemari yang berada di sudut ruangan. "Kau harus mengganti pakaianmu. Tapi, kau tidak punya pakaian lagi di sini. Sepertinya aku punya pakaian yang bisa kau pakai, sebentar.""Noah ...." Kinan tidak mengerti kenapa sikap Noah jadi seperti itu, mendadak pria itu jadi seorang yang sangat perhatian kepadanya."Kau bisa kedinginan." Noah kembali membawakan pakaian tidur miliknya dan menaruhnya di samping wanita itu. "Gantilah, aku akan menunggu di luar. Katakan kalau sudah."Kinan menghela napas pasrah, ia mencoba berdiri untuk melepaskan pakaian di tubuhnya. "Sudah kubilang aku baik-baik saja, Ah!" ringis Kinan spontan. Kakinya memang tidak dalam bai
Noah telah sampai di apartemennya, saat melangkah masuk ia langsung disambut oleh senyum hangat Kinan yang tampak sedang melakukan sesuatu di dapur. Noah mengernyit, ia melepas sepatunya dan beranjak mendekat. "Apa kakimu sudah sembuh?""Sudah agak mendingan," jawab Kinan kemudian menunjukkan sop buntut yang baru saja selesai ia panaskan. "Kau pasti lapar, aku sudah menyiapkan makan malam."Noah kembali mengernyit, ia melihat beberapa hidangan telah tersusun di meja makan. "Kau memasak semua ini?""Tidak." Kinan berjalan tertatih ke arah meja makan dan menaruh mangkuk berisi sup di tangannya ke atas meja. "Tadi Ibu datang kemari, katanya ia memasak banyak hari ini.""Ibu datang kemari?" Wajah Noah sedikit terkejut."Maaf jika aku tak meminta izin terlebih dulu padamu karena mengizinkan Ibu dan Andin masuk ke apartemenmu," ucap Kinan merasa tidak enak karena ia membiarkan keluarganya begitu saja ke apartemen milik orang lain."Ah
Kinan sudah terbaring di atas tempat tidur, ia melihat ke arah pria itu sinis. Tapi, kaki kanannya yang terasa nyeri bukan main membuatnya langsung meringis pelan. "Bagaimana aku bisa berjalan, kalau seperti ini." "Bukankah sudah kukatakan kau menginap saja di sini?" Noah duduk di atas ranjang, di ujung kaki Kinan. "Lihat kakimu semakin parah." Kinan mendengus kesal, lebih baik ia tidur saja sekarang dan berharap kakinya bisa segera sembuh besok. "Aku ingin tidur saja, keluarlah!" Noah mengembuskan napasnya panjang, ia bangkit dan menarik selimut untuk menutupi tubuh wanita itu. "Kalau kau butuh sesuatu, bisa panggil aku." "Aku haus," kata Kinan serak. "Sebentar, akan aku ambilkan." Noah beranjak keluar dari kamar dan menuju ke dapur. Ia menuangkan segelas air putih lalu kembali masuk ke dalam kamar. "Ini." "Terima kasih." Kinan duduk bersandar, lalu kemudian mengambil gelas tersebut dan menegak air putih tersebut hingga tinggal
Kinan bergeming, keduanya saling pandang. Perlahan senyumnya kecilnya terbit, ia melirik ke arah Noah yang juga ikut memandanginya. Sepertinya Noah tidak masalah, jika kakaknya yang tampan itu masuk ke dalam kandidat pria yang akan ia kencani. "Kupikir Noah setuju, jadi ya tentu.""Kapan aku mengatakan setuju?" tanya Noah. Ia belum mengatakan sepatah katamu sejak beberapa detik yang lalu, lalu dari mana wanita itu bisa menyimpulkan bahwa Noah setuju."Ah, ayolah. Kau juga harus membiarkan aku berkencan," kata Rey membuat perhatian Noah teralih. "Aku juga ingin menikah.""Tapi, wanita itu tidak," ucap Noah spontan. Rey sempat terdiam beberapa saat, memandangi Kinan dan Noah secara bergantian dengan wajah bingung."Aku tidak sedang mengajaknya menikah." Rey mencoba meluruskan, ia sedang mengajak wanita yang terbaring di sana untuk berkencan dengannya karena ia merasa tertarik. "Aku hanya mengajaknya berkencan, apa hal itu salah?""Tidak ada gunanya."