Udara dipenuhi oksigen membuat paru-paru manusia yang terlalu sering menghirup zat-zat kimia berbahaya dan asap-asap kendaraan maupun pabrik menjadi lebih sehat. Cuaca hari ini sangat mendukung untuk acara tamasya keluarga. Alex bersama dengan mama papanya berkunjung ke rumah saudara sepupunya yang bernama Tar. Dua keluarga itu berencana untuk berlibur di daerah yang sejuk dan jauh dari hiruk pikuk kota. Jarak yang ditempuh kurang lebih 60km. Sepanjang perjalanan Alex hanya memandangai layar handphonenya. Jika Tar tidak ikut, Alex akan melarikan diri pulang ke rumah lagi.
Alex adalah salah satu cowok paling tampan di sekolahnya. Kurang satu tahun lagi ia harus memilih universitas serta program studi yang cocok dengan hobinya. Pengganggu terbesar dalam hidupnya adalah para gadis yang tergila-gila dengan muka gantengnya. Setiap hari valentine lokernya penuh sesak dengan berbagai jenis cokelat. Laci mejanya dijejali sampah-sampah pernyataan cinta. Terkadang ia memilih latihan basket di hari Minggu hanya untuk menghindari teriakan-teriakan pemecah gendang telinga yang selalu menyebut namanya. Begitulah, Alex seperti magnet. Namanya bagaikan mantra mujarab yang diucapkan penyihir dalam segala kondisi.
Tamasya bersama Tar, sepupu terbaiknya merupakan tawaran paling baik. Libur panjang akhir tahun terlalu berbahaya jika dihabiskan di kota. Gadis-gadis penggemarnya akan membuntuti saat ia hendak keluar rumah. Bahkan membuang sampah di tong depan rumah serasa diawasi. Media sosial yang dimilikinya tidak pernah sepi. Ia muak sekaligus penasaran dengan gadis-gadis itu. Tar adalah orang kepercayaan yang selalu tahu keluh kesahnya.
“hai Tar!” Sapa Alex seraya ber hight-five dengan sepupunya yang tidak kalah tampan darinya. Perbedaan terbesar di antara keduanya adalah Tar menanggapi semua gadis pemujanya.
“Apa kabar saudara? Bagaimana hatimu? Apakah sudah sedikit mencair? Atau masih sekeras batu?” candaan Tar hanya dibalas satu pukulan kecil di lengan kanannya.
“Mana barang-barangmu? Satu jam lagi kita akan melanjutkan trip ke tempat yang katamu menakjubkan. Aku sudah tidak sabar,” Alex mencuri koper Tar.
“hei Bung, hari ini kau terlalu bersemangat.”
“Kenapa tidak? Nanti malam kita bisa berkemah di depan villa. Biarkan orang tua kita di dalam dan kita menghabiskan malam seperti berkemah. Jangan lupa bawa gitarmu. Biolaku sudah ada di mobil.”
“Ah, aku takut. Kau semakin homo.”
“Apa? Jaga ucapanmu Tar! Aku masih normal.”
“Wow, normal? Lalu, mengapa kau masih saja menghindari para gadis itu? Cobalah sesekali makan malam diluar bersama salah satu dari mereka dan kecup bibirnya.”
“hentikan Tar1 aku bosan dengan ceritamu tentang hal itu. Katamu ada sesuatu yang menarik dan harus ku ketahui sebelum kita berangkat tamasya.”
“Astaga hampir saja aku lupa. Ayo masuk kamarku dulu!”
Tar dan Alex menaiki tangga. Langkah kaki mereka membuat suara berdebam. Lantai tangga sedikit berdebu. Kaus kaki Alex terasa lebih licin. Tangan kirinya berpegangan supaya tidak jatuh ke bawah. Perasaannya tidak enak. Tar agak aneh hari ini.
“Duduk Lex! Kali ini mama menyuruhku untuk menjagamu.”
“Tar, pantas saja dari tadi aku merasa kau agak aneh. Apa yang mau kau sampaikan padaku?” tangan Alex meraih toples kecil berisi bubuk berwarna putih yang diletakkan di atas meja belajar. Ia berusaha membuka tutupnya.
“Jangan dibuka Lex! Taruh di tempat semula!” pinta Tar dengan nada gemetar, raut mukanya berubah pucat.
“Memangnya ini apa?” Alex tidak percaya dengan reaksi Tar yang terlalu berlebihan.
“Sulit menjelaskannya padamu,” Tar mulai meredam rasa paniknya.
“Tar, jangan bilang ini narkoba,” kali ini suara Alex meninggi.
Spontan Tar merebut benda itu dari tangan Alex. Pikiran Alex bertambah kacau. Pasti para gadis yang membuat Tar berubah.
“Jelaskan padaku Tar! Apakah seorang gadis bodoh membuatmu mendadak menjadi gila?” ucapan Alex penuh kekhawatiran.
“Apa sih yang kau pikirkan?” Tar mengernyitkan keningnya. Ketampanannya semakin menjadi-jadi. Bukan hal yang mengherankan jika Alex mengkhawatirkan saudaranya itu. Tar terlalu sering berkencan dan bergonta-ganti pacar dalam waktu singkat. Siapa tahu ada yang sedang balas dendam padanya.
“Tar, jujurlah padaku! Aku akan percaya padamu!”
“Janji! Kau tidak akan menghinaku setelah ini!”
“Apa sih?” Alex mencoba tersenyum.
“Sebenarnya ini bubuk bawang putih,” ucap Tar setengah berbisik.
“Apa?” Alex mulai tertawa terpingkal-pingkal. “Bubuk bawang? Tadi aku sempat berpikir itu semacam obat untuk menggugurkan bayi.”
“Astaga Lex, aku tidak seliar yang kau bayangkan.”
“Jadi, mengapa kau menyimpannya? Apa kau mendadak menjadi penyuka herbal?”
“Percayalah Lex! Aku menyimpannya untuk melindungi diri. Siapa tahu malam ini atau malam-malam berikutnya ada vampir yang haus darah!”
“Kau semakin gila Tar. Apa yang merasukimu?”
“Aku hanya percaya bahwa mereka benar-benar ada. Apa salahnya berjaga-jaga?” Tar membela diri.
“Sekalian saja Tar, pasang jimat di jendela dan pintu kamar. Siapa tahu ada manusia serigala yang mencari daging manusia tampan,” Alex semakin gemas menanggapi kegilaan Tar.
“Tepat saranmu Lex. Aku sudah memasangnya sejak dua bulan yang lalu,” jawaban Tar membuat tawa Alex semakin keras.
“Siapa yang lucu?” Alex merasa tersinggung.
“Sejak kapan kau menjadi paranoid seperti itu Tar? Setahuku selama ini kau adalah cowok penakhluk.”
“cukup! Kali ini aku serius. Mama memintaku menjelaskan perihal ini padamu. Tempat kita tamasya nanti adalah tempat keramat. Jaga lisan kita. Jangan sampai berbicara kotor.”
“Itu saja? Tidak ada yang lain?”
“Ada satu lagi. Nanti ada arca yang tidak boleh disentuh. Bentuknya setengah manusia setengah burung. Siapa saja yang berbuat buruk didekatnya akan mendapat kutukan,” Tar berubah serius.
“Kau pikir aku percaya pada omong kosongmu Tar? Dikutuk? Yang benar saja Tar. Sebentar lagi kita masuk universitas. Cerita konyolmu hanya cocok untuk anak sekolah dasar,” sangkal Alex pada penjelasan Tar. Ia tertawa terkekeh sambil memukul-mukul pundak Tar.
“Mengapa kau tidak percaya dengan penjelasanku Lex?” raut muka Tar menandakan kesedihan.
“Aduh Tar, biasanya obrolan kita seputar perkembangan aplikasi games terbaru atau bualanmu tentang gadis-gadis bodoh yang kau kencani. Kenapa sekarang berubah menjadi hal konyol yang tidak masuk akal?”
“hentikan ocehanmu Lex! Gadis-gadis itu tidak bodoh dan cerita ini bukan bualan seperti yang kau pikirkan. Ini adalah sebuah peringatan,” tangan Tar mencengkeram bahu Alex.
“Lepaskan Tar! ini semua tidak lucu. Mana mungkin tante menyuruhmu mendongeng padaku. Beliau setiap hari di laboratorium untuk uji coba. Mana mungkin tante percaya dengan legenda semacam itu?”
“Terserah padamu. Aku sudah memberi peringatan. Lakukan apapun semaumu, tetapi jangan pernah menyesal karena mengacuhkan nasehat dariku,”
“Oke, santai saja Tar. Akan kubuktikan padamu. Cerita itu hanya sekedar mitos. Aku akan baik-baik saja. Arca itu hanya batu pahat biasa.”
“Kau terlalu kelewatan. Ingat Lex, percayalah pada kekuatan cinta dan kesetiaan.”
“Apalagi kali ini? Seorang play boy ternama menceramahiku tentang kesetiaan. Kau seperti orang mabuk Tar. Nanti aku akan selfi bersama arca yang kau maksud. Besok aku akan tetap bersamamu dan baik-baik saja.”
“Semoga ucapanmu tidak membuatmu dikutuk.”
“Sepuluh menit lagi kita berangkat anak-anak,” teriakan Mama Tar dari lantai bawah menyadarkan kedua anak laki-laki tampan itu untuk segera bergegas.
Keluarga Tar dan Alex sepakat untuk membawa satu mobil saja. Tentunya kedua anak itu duduk dibangku paling belakang. Mereka masih larut dalam pemikiran masing-masing. Tar sibuk mencari cara agar Alex percaya perkataannya. Sedangkan Alex berencana memberikan kejutan spektakuler untuk sepupunya tercinta. Jalanan sepi dengan tanjakan yang berkelok-kelok. Kanan-kiri jalan yang mereka lewati adalah hutan pinus. Sesekali terlihat monyet kecil bergelantungan pada batang pohon bersama kelompoknya. Sedikit sekali jumlah mobil yang berpapasan. Hawa dingin mulai terasa hingga menembus kulit. Alex segera mengenakan sweter bergaris hitam dan putih yang sedari tadi hanya ia tempelkan dipundaknya. Dua jam kemudian samapailah dua keluarga itu pada tempat tujuan.Alex dan Tar mulai berpisah dari orang tuanya dan mencari tempat yang cocok untuk melanjutkan obrolan mereka yang sempat terhenti.“Aku haus. Mana soft drink yang tadi tante bawa?” Alex memecah suasana.&ldq
“Tangkap monster itu!” Teriakan orang-orang semakin menggila.Kaki Alex terasa begitu sakit. Badannya pegal-pegal. Ia tidak paham bagaimana hal aneh ini bisa menimpa dirinya. Wujudnya mendadak berubah menyeramkan menyerupai monster burung. Ia menjelma menjadi manusia burung setelah bangun tidur. Tar tidak mengenalinya lagi. Alex masih trauma mengingat pantulan dirinya dari cermin yang ada di kamar villa. Bulu-bulu halus dan panjang tumbuh di bawah lengannya. Bibirnya berubah menjadi paruh kecil yang keras. Ketampanannya lenyap seketika.Cahaya bulan purnama menjadi penerang jalan satu-satunya bagi Alex. Jalanan ke arah hutan dipenuhi rumput berduri. Kaki Alex berdarah akibar tertusuk duri berkali-kali. Rasanya ia ingin menjerit sekeras-kerasnya. Namun, hal itu terlalu berbahaya bagi keselamatannya. Satu hal yang mungkin ia lakukan ialah lari lebih jauh dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi hingga wujudnya kembali seperti sedia kala. Pikirannya kaca
“Selamat datang di Falseland Kinara!” suara Medusa menyadarkan Kinara. Kinara berkedip-kedip untuk menyesuaikan diri pada cahaya terang di tempat yang amat asing. Pandangannya penuh selidik melihat ke segala penjuru. Kanan, kiri, depan, belakang, atas, bawah. Ia terkejut menatap makhluk aneh yang ada di depannya. Sepasang pegasus[1] berdiri di samping Anubis dan Medusa. Warnanya putih. Sayapnya lebar dan sangat indah. Sejenak Kinara tampak terpesona.“Kami pergi dulu. Beradaptasilah dengan baik! Ingat misimu di sini adalah untuk menjadi manusia lagi. Baiklah pada semua makhluk meski mereka tampak berbeda dari dirimu,” Anubis berkata bijak seraya naik ke punggung pegasus. Medusa menyusulnya. Sedetik kemudian keduanya terbang ke langit dan meninggalkan Kinara seorang diri. Falseland, tempat itu sangat jauh da
“Bentangkan sayapmu! Cepat!” suara Kappa sangat jelas. Kinara mencoba membentangkan tangannya. Sayapnya terbuka lebar. Sedetik kemudian ia mengambang di udara. Tepat satu meter di atas permukaan tanah. Hampir saja ia mati konyol. Seperti burung kecil yang baru belajar terbang, Kinara merasa bahagia. Kepakan sayapnya kuat dan ia segera terbang bebas ke arah langit. Pengalaman yang sangat menakjubkan. Ternyata terbang lumayan melelahkan. Ia putuskan untuk berbincang kembali dengan Kappa.“Bolehkah aku meminta sedikit air kolam ini? Aku kehausan.”“Bravo! Akhirnya kau paham Kinara. Ijin untuk meminta sesuatu sangat penting di sini,” Kappa tersenyum ramah.“Wow airnya segar. Rasanya mirip strawberry squash. Apakah ini air soda dicampur buah-buahan?” pertanyaan Kinara membuat Kappa tersenyum.“Bukan seperti itu. Selama ini air di sini
Hujan deras disertai petir menggelegar membuat suasana rumah Tar bertambah suram. Sudah sebulan sejak Alex menghilang belum ada sama sekali petunjuk yang berarti. Pihak kepolisian sudah menangani kasus itu dengan usaha yang maksimal. Dua orang detektif muda masih terus mencari jejak dan bukti-bukti demi menemukan kembali orang bernama Alex yang dilaporkan hilang secara misterius di sebuah villa dekat dengan hutan pinus.“Kasus ini membuatku gila. Apakah kau percaya takhayul?” salah satu detektif yang bernama Marko bertanya kepada rekannya.“Aku tipikal orang yang selalu realistis. Bisa jadi ini kasus penculikan untuk penjualan organ vital. Susah dipecahkan karena sang pelaku sangat jeli dan teliti. jika kita mampu memecahkannya mungkin sindikat penjualan organ ini bisa segera kita ringkus,” jawab detektif Devgan.“Please! Beberapa saksi di lokasi kejadian menyebut melihat monster menyerupai manusia burung. Jika itu satu orang saksi,
Suasana hutan menjadi riuh. Burung-burung beterbangan karena kaget mendengar suara keras. Tar berlari mengikuti detektif Devgan. Hutan itu seakan menolak kehadiran mereka berdua. Akhirnya ada sebuah batu yang besar dan memiliki lubang di bagian tengah. Sepintas bentuknya mirip gua dan menjadi alternatif terbaik sebagai tempat sembunyi. Baik Tar maupun detektif Devgan belum bisa bernapas lega. Keduanya sulit berhirup oksigen dan penuh keringat dingin. Senter yang mereka bawa benar-benar berguna dalam keadaan seperti itu. Mereka berdua segera membersihkan sedikit tempat untuk sekedar duduk dan bersandar. Sebenarnya tempat itu berbau menyengat. Sisa-sisa buah busuk bercampur kotoran hewan bertebaran di mana-mana. Namun, mereka berdua tetap bertahan.“Bagaimana keadaanmu? Apakah baik-baik saja?” tanya detektif Devgan.“Buruk. Napasku masih belum stabil. Jantungku hampir copot. Suara apa itu tadi? Kenapa kita harus melarikan diri seperti ini?” Tar be
Secepatnya polisi segera di TKP (tempat kejadian perkara) penemuan tulang belulang manusia. Detektif Devgan menyalakan alarm bantuan. Kini, hutan itu menjadi semakin ramai oleh polisi bersama tim forensik dan media yang hendak meliput berita. Hewan-hewan penghuni hutan semakin kuwalahan menghadapi para manusia yang tingkat kepekaannya rendah untuk sedikit memahami tata krama saat berada di alam terbuka.“Bodoh! Mengapa kau bergerak sendiri tanpa berdiskusi dengan tim?” suara detektif Marko meninggi. Mukanya memerah karena menahan amarah.“ya, kuakui bahwa tindakanku gegabah. Namun, kau sama sekali tidak peduli dengan penuturan dari saksi kunci sehingga kita belum bisa menemukan apa-apa,” detektif Devgan merasa lelah dan banyak tanah mengotori baju serta celananya.“Mitologi lagi yang kau bahas. Sadarlah! Kau telah membawa saksi ke dalam keadaan berbahaya. Jika kerangka yang kau temukan itu adalah korban pembunuhan, berarti pelaku bi
“Bangunlah! Ayo bangun! Kumohon, jangan mati di sini!” Sebuah suara yang masih asing bagi Kinara terdengar dari samping kirinya. Perlahan mata Kinara mulai terbuka. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya redup yang ada di dalam ruangan sempit. Udaranya pengab dan terasa panas. Bulu-bulunya seperti mengering. Kepalanya masih pening. Tangan kanannya terasa ngilu, berat, perih, dan macam-macam bercampur menjadi satu. Alas tidurnya keras. Meski begitu terlalu hangat seperti di samping perapian. Tenaganya terkuras habis. Entah kenapa ia sangat ingin minum. Perutnya juga lapar.“Di mana aku?” suara Kinara terdengar lirih seperti orang berbisik.“Astaga, terimakasih. Akhirnya kau sadar juga. Kita sudah berada di tempat ini selama dua hari,” manusia kelinci memegang kakinya dan tersenyum senang.“Kau siapa? Tempat apa ini?”“Rupanya