Share

BAB II Arca Keramat

Keluarga Tar dan Alex sepakat untuk membawa satu mobil saja. Tentunya kedua anak itu duduk dibangku paling belakang. Mereka masih larut dalam pemikiran masing-masing. Tar sibuk mencari cara agar Alex percaya perkataannya. Sedangkan Alex berencana memberikan kejutan spektakuler untuk sepupunya tercinta. Jalanan sepi dengan tanjakan yang berkelok-kelok. Kanan-kiri jalan yang mereka lewati adalah hutan pinus. Sesekali terlihat monyet kecil bergelantungan pada batang pohon bersama kelompoknya. Sedikit sekali jumlah mobil yang berpapasan. Hawa dingin mulai terasa hingga menembus kulit. Alex segera mengenakan sweter bergaris hitam dan putih yang sedari tadi hanya ia tempelkan dipundaknya. Dua jam kemudian samapailah dua keluarga itu pada tempat tujuan.

Alex dan Tar mulai berpisah dari orang tuanya dan mencari tempat yang cocok untuk melanjutkan obrolan mereka yang sempat terhenti.

“Aku haus. Mana soft drink yang tadi tante bawa?” Alex memecah suasana.

“Dasar bayi besar. Tangkap tasku! Ambil di bagian paling depan!” lemparan Tar tepat sasaran.

“Tempat apa dulunya ini Tar?” tanya Alex.

“Belum tahu pasti. Ada yang menyebut sebagai tempat pemujaan kepada Dewa. Ada juga yang berpendapat tempat ini sebagai pendaratan alien di bumi.”

“Mulai lagi,” Alex tidak suka dengan penjelasan tambahan tentang alien. Namun, ia juga merasa penasaran dengan relief[1] di tempat pemujaan. Ada manusia kera, manusia burung, dan lain sebagainya.

“ya sudah lah kalau tidak percaya.”                  

“Bukan begitu Tar. Ayo kita mendekat ke arca seberang jalan!” pinta Alex.

“Arca setengah manusia setengah burung itu?” telunjuk Tar mengarah ke sebuah arca bersayap tanpa kepala.

“Iya, aku penasaran dimana kepalanya. Yuk kita cari!” Alex asal membual

“Jaga ucapanmu Lex! Arca itulah yang kumaksudkan. Kepalanya patah. Sekarang disimpan di museum agar tidak dicuri orang. Bentuknya mirip relief yang terukir di dinding candi sebelah utara.”

            Alex semakin penasaran. Ia berlari ke arah arca itu. Tar tampak ketakutan dan mengikutinya dari belakang. Sampai di sana Alex memegang sayap kanan arca itu dan melakukan selfi. Sebelum Tar mendekat, Alex meludah di atas kaki arca. Tampak dari kejauhan Tar terkejut. Ia menghentikan langkahnya. Mulutnya menganga. Sedetik kemudian ia meraih tangan Alex dan menyeretnya menjauh dari arca itu. Tar memukul Alex dua kali. Alex jatuh tersungkur tanpa melawan.

“Apa yang kau perbuat? Bukankah aku menyuruhmu untuk berhati-hati? Kenapa kau melakukan pelecehan seperti itu?” Tar hilang kendali.

“Cukup! Dongeng pengantar tidurmu tidak menarik sama sekali. Lihat, aku baik-baik saja kan? Kutukan apa yang bisa dilalukan oleh batu pahat? Ceritamu hanya sebatas imajinasi.”

            Tiba-tiba banyak orang mendekat untuk melihat perkelahian mereka. Tar segera sadar. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian pengunjung lain. Terlebih lagi gadis-gadis mulai berbisik dan memandangi mereka secara bergantian. Tar membantu Alex berdiri dan membawanya pergi.

“Mama, ayo kita ke penginapan sekarang!” pinta Tar.

“Kenapa tiba-tiba? Ya ampun, apa yang terjadi dengan Alex? Pipinya membiru,” Mama Tar tampak khawatir.

“Aku baik-baik saja tante. Hanya sedikit lelah dan ingin segera tidur,” Alex merasa tidak nyaman dengan keadaannya. Ia tidak menyangka Tar bakal semarah ini dan sangat paranoid dengan kutukan.

            Akhirnya keluarga Alex dan Tar segera menuju ke penginapan. Mulailah ketidak normalan yang dirasakan Alex. Setibanya di villa Alex merasa begitu lapar. Ia membuka bekal makanan dari dalam wadah besar. Ada sandwich isi daging asap kesukaannya. Begitu satu gigitan masuk ke dalam mulut, Alex`segera memuntahkannya. Rasanya sangat aneh dan membuatnya mual. Ia mencari makanan lainnya. Ada pizza masih di dalam boxnya. Ia mengambil sepotong dan mencicipinya. Sekali lagi ia muntahkan makanannya. Lau Alex mengambil air mineral. Wajahnya pucat. Kemudian ia asal memakan buah pisang. Ia mengambil satu dan ternyata masih kurang. Tidak terasa ia sudah menghabiskan empat buah.

“Alex apa kau baik-baik saja?” tanya Tar.

“Seperti yang terlihat, aku hanya sedang menikmati makananku,” jawab Alex singkat.

“Sejak kapan kau bisa makan pisang? Bukankah sedari kecil kau tidak tahan baunya? Bahkan kau muntah saat mencoba mencicipi sedikit,” Tar mulai khawatir.

            Alex menghentikan makannya. Ia teringat apa yang Tar ucapkan. Benar, selama ini ia sangat membenci buah pisang. Aromanya membuat perutnya bergejolak. Mama pun tidak pernah membeli pisang karena tahu Alex alergi baunya. Namun, baru saja ia melahap buah pisang dan baik-baik saja.

“Aku tidak tahu. Pisang ini rasanya enak. Oh ya, sandwich sudah basi. Pizzanya juga membuatku muntah. Jangan dimakan Tar!” Alex` memberi saran.

“Masa sih? Mama yang membuat sandwich itu sebelum kau datang. Aku memesan pizza langgananku,” Tar  tidak percaya dengan ucapan sepupunya. Ia mencicipi kedua makanan itu bergantian. Pizzanya ia makan dengan cepat. Sandwichnya ia lahap hanya dengan dua suapan. “Lihat Lex, ini enak sekali. Aku baik-baik saja. Ini sangat lezat. Mungkin kau memang harus istirahat,”

Alex merasa agak was-was. Ada apa dengan lidahnya? Pizza itu terasa seperti lendir dan roti isi daging asapnya sangat pahit dan sedikit asam di mulutnya.

“Apa yang salah dengan diriku Tar?”

“Istirahatlah! Mari aku antar.”

Tar dan Alex pergi dari ruangan itu menuju ke kamar. Mereka melewati teras belakang. Terlihat jelas villa lainnya dengan jarak lima meter. Hari ini tempat penginapan banyak yang penuh. Setelah itu mereka memasuki ruang tengah. Tiba-tiba Alex mendengar sesuatu. Percakapan di dalam ruangan.

“Lihat tampangnya! Anak ingusan itu pantas mendapatkannya!”

“Karma memang tidak pernah salah. Malam ini akan ada pertunjukkan spektakuler.”

            Alex melihat ke segala arah. Ia mencari dari mana asal sumber suara. Rasanya begitu dekat. Namun, tidak seorangpun dilihatnya. Ia berbalik, tetapi tetap nihil.

“Kenapa lagi Lex?” Tar ikut kebingungan melihat tingkah laku Alex.

“Suara itu Tar. Siapa yang mengobrol? Sepertinya di dalam ruangan ini,” mata Alex masih mencari-cari seperti ketakutan.

“Tidak ada orang selain kita berdua. Mama Papa kita masih berjalan-jalan mengelilingi kompleks villa.”

“Apakah kau tidak mendengar seseorang berbicara tentang karma?”

“Karma? Apalagi sih Lex? Daritadi hanya kicauan burung yang terdengar,” Tar menjawab sambil menunjuk ke arah dua burung dalam sangkar berbeda yang letaknya berdekatan dengan lampu.

            Alex menatap ke arah burung itu. Lalu sesuatu yang membuat bulu romanya berdiri terjadi.

“hai bung, selamat datang!” salah satu burung menyapa Alex.

            Alex belum percaya dengan apa yang dialaminya. Ini pasti hanya halusinasi. Tidak mungkin burung itu berbicara padanya. Selama ini hidupnya sangat normal. Tiba-tiba burung di sebelahnya ikut memberi salam.

“hai bocah! Salam kenal. Memang benar ada yang berbicara tentang karma. Kami yang kau cari.”

            Alex mundur dua langkah. Lalu menjerit sekencang-kencangnya. Spontan Tar memegangi saudaranya yang dalam sekejab berubah histeris. Ia mencoba menenangkan Alex sekaligus menahan rasa takut yang menyergapnya.

“Sadar Lex1 apakah kau kerasukan? Alex, aku Tar. Aku masih bersamamu,” Tar mencoba menyadarkan Alex dengan menepuk pipinya berkali-kali.

            Jeritan Alex semakin kencang disertai dengan tangisan. Beberapa menit kemudian ia jatuh pingsan. Orang tuanya kembali ke villa dengan penuh tanda tanya. Mereka bersama-sama membawa Alex ke dalam kamar. Tar menjelaskan kejadian yang dialaminya dengan terbata-bata. Dua keluarga itu sepakat membawa Alex ke dokter setelah ia bangun. Tar masih ketakutan hingga memilih menunggu di ruang tv.

            Menjelang malam Alex baru tersadar. Ia sendirian di dalam kamar. Terdengar suara tv disertai obrolan orang tuanya serta tante dan om. Ia hendak keluar. Namun, kedua lengannya terasa amat gatal. Ia menggaruk, terus menggaruk tanpa terkendali. Bibirnya juga mendadak kaku. Kakinya seperti kram. Keadaannya begitu payah. Akhirnya ia memutuskan untuk memanggil Tar. Anehnya, yang keluar dari mulutnya justru pekikan. Suaranya mendadak lucu.

Tar mendengar suara berisik yang tidak biasa dari kamar tempat Alex`tidur. Meski masih ketakutan, ia memberanikan diri mengecek ke dalam kamar sendirian. Semua persiapannya lengkap. Tangan kanannya memegang sebuah benda yang dianggapnya begitu penting. Perlahan-lahan Tar membuka pintu kamar. Betapa kagetnya saat pintu terbuka sedangkan Alex sudah tidak ada. Ia malah melihat makhluk mengerikan setengah burung setengah manusia sedang duduk di atas kasur. Seketika Tar berteriak kencang.

“Mama...Papa.. monster! Ada monster di kamar!” sambil masih berteriak minta tolong, Tar melempar bubuk putih yang ada di dalam toples kecil ke arah makhluk aneh yang dilihatnya.

            Seketika bau bawang putih memenuhi ruangan. Tar tidak bohong. Bubuk putih itu memang bawang. Makhluk aneh itu terperanjat mendengar teriakan Tar. Ia juga tidak suka dengan bubuk bawang yang kini menempel di seluruh badannya. Tiba-tiba makhluk itu mendekat ke arah Tar. Namun, Tar segera melemparinya dengan semua jimat yang sengaja ia bawa dari rumah. Saat suasana semakin kacau, makhluk itu reflek menghadap ke arah cermin. Lucunya, makhluk aneh itu justru histeris dan terkejut melihat bayangannya dari pantulan cermin. Lalu lari menjauh keluar villa.

            Keadaan bertambah gaduh. Suara Tar membuat para penyewa villa lainnya berhamburan keluar. Beberapa di anatara mereka juga sempat melihat langsung wujud monster yang dimaksud oleh Tar. Makhluk aneh itu lari ke arah hutan pinus. Jeritan tentang monster semakin riuh. Ada beberapa orang pemberani mulai mengejar sosok mengerikan setengah manusia setengah burung dengan membawa penerangan dan senjata tajam.

[1] Seni pahat dan ukiran 3 dimensi yang biasanya dibuat di atas batu. Banyak ditemukan pada candi-candi periode hindu budha.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status