Share

BAB IX Hujan Api

“Bangunlah! Ayo bangun! Kumohon, jangan mati di sini!”

            Sebuah suara yang masih asing bagi Kinara terdengar dari samping kirinya. Perlahan mata Kinara mulai terbuka. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya redup yang ada di dalam ruangan sempit. Udaranya pengab dan terasa panas. Bulu-bulunya seperti mengering. Kepalanya masih pening. Tangan kanannya terasa ngilu, berat, perih, dan macam-macam bercampur menjadi satu. Alas tidurnya keras. Meski begitu terlalu hangat seperti di samping perapian. Tenaganya terkuras habis. Entah kenapa ia sangat ingin minum. Perutnya juga lapar.

“Di mana aku?” suara Kinara terdengar lirih seperti orang berbisik.

“Astaga, terimakasih. Akhirnya kau sadar juga. Kita sudah berada di tempat ini selama dua hari,” manusia kelinci memegang kakinya dan tersenyum senang.

“Kau siapa? Tempat apa ini?”

“Rupanya kau tidak ingat. Terimakasih sudah menyelamatkanku dari serangan manusia harimau. Jika kau tidak datang, mungkin tanganku sudah putus atau mungkin aku menjadi santapan siangnya dan tamat di tempat.”

“Manusia harimau?” sekelebat ingatan tentang hari mengerikan itu datang menghampiri Kinara.

“Apakah kau tidak bisa mengingatnya?”

“Tunggu! Aku sedikit ingat. Kemarin manusia harimau melompat untuk menerkammu.”

“Benar sekali. Tenanglah! Sekarang kita sudah berada di tempat yang aman. Aku membuat terowongan cadangan jika terjadi hal yang tidak diduga. Sepertinya kau belum lama tinggal di Falseland.”

“Begitu ya? Aku memang belum tahu banyak tentang tempat ini.”

“Kalau begitu aku bersedia menjadi pemandumu. Dengarkan ceritaku tentang Falseland. Dua hari yang lalu manusia harimau hendak menerkamku. Lalu kau datang seperti juru selamat. Sayangnya, manusia harimau berhasil menggigit tangan kananmu. Setelah itu hukum di Falseland ditegakkan. Ker[1] datang dengan menunggangi naga api untuk membawa manusia harimau menuju ke Blackland. Akibatnya, Falseland dilanda hujan api selama tiga hari,” manusia kelinci menjelaskan panjang lebar.

“Blackland? Apalagi itu? Terlalu banyak hal baru yang harus aku hafalkan. Sebelum kau jelaskan lebih jauh, perkenalkan namaku Kinara. Siapa namamu?”

“Panggil saja aku Rhara. Adaptasi di sini memang butuh waktu. Sabarlah! Blackland adalah tempat paling mengerikan di mana makhluk terkutuk bersemayam abadi di dalamnya. Mereka telah kehilangan semua sisi kemanusiaan yang tersisa dan sepenuhnya berubah menjadi binatang liar yang buas. Tidak ada harapan untuk menebus kesalahan dan hidup normal di dunia asal. Blackland menyerupai padang pasir tanpa tumbuhan dan air. Sebagai hukuman, penghuni Blackland hanya bisa minum jika hujan datang yang tidak bisa diprediksi kapan akan turun. Kita yang sedang menebus dosa di Falseland sangat berharap bisa kembali ke tempat asal kita. Maka, sebisa mungkin menjauhkan perilaku yang membawa kita masuk ke dalam Blackland.”

“Jadi, di luar masih hujan api?”

“Tepat, kita masih berlindung di dalam terowongan yang kubuat hingga besok. Persediaan makanan sudah kusiapkan. Sayangnya, aku tidak memiliki biji-bijian. Hanya buah-buah lunak seperti pisang dan pepaya yang ada. Semoga manusia burung sepertimu tetap bisa makan. Kita butuh tenaga untuk tetap bisa bertahan dalam segala kondisi.”

“Aku hanya pernah mengalami hujan air atau salju. Pernah juga ku dengar di belahan dunia lain yang letaknya dekat dengan khatulistiwa mengalami hujan abu akibat letusan gunung berapi. Sempat juga kulihat videonya yang tampak meresahkan. Banyak pohon yang mati, segalanya terlihat putih keabu-abuan dan membuat sesk napas. Hasil pertanian gagal panen dan ikan budi daya semua mati.”

“Hentikan! Jangan terlalu banyak menceritakan tentang dunia asal di Falseland!”

“Oh iya, aku hampir lupa. Rhara bolehkah aku melihat suasana di luar?”

“Tentu. Kau pasti penasaran dengan fenomena alam yang unik di sini. Aku sudah menyiapkan teropong khusus yang dilapisi bahan anti api untuk mengamati sekitar terowongan. Ayo kita ke depan dan silahkan gunakan teropong ini!”

            Kinara beranjak dengan setengah tergesa-gesa. Teropong itu lumayan panjang. Ia mulai mengamati hujan api yang sedang berlangsung. Flaseland sama sekali berbeda dengan dunia ajaib yang ia lihat sebelumnya. Kini langit tampak gelap. Bola-bola api sebesar buah chery berjatuhan ke atas tanah. Pohon-pohon, bunga-bunga sekalian rerumputan telah habis dilalap api. Semuanya terbakar. Bola api menyerupai kembang api yang datang bertubi-tubi tiada henti. Bara api semakin besar persis seperti kebakaran hutan yang parah. Pantas saja jika terowongan ini terasa panas. Keindahan Falseland dengan dedaunan dan warna-warni bunga sirna seketika. Hanya ada dua warna yang kini mendominasi, yaitu hitam dan merah jingga dari api yang berkobar-kobar.

            Pikiran Kinara masih terpaku pada kejadian-kejadian ajaib di sekelilingnya. Falseland tidak indah seperti yang terlihat sebelumnya. Ada banyak rahasia yang belum ia ketahui. Berbagai peristiwa dan hal-hal aneh tersimpan di dalamnya. Satu hal yang pasti, ia membutuhkan sekutu untuk bisa beradaptasi. Ia bisa mati kapanpun saja jika tidak punya pemandu. Terlalu berbahaya jika hanya mengandalkan diri sendiri. Selain itu misinya harus tuntas. Kebaikan-kebaikan tetap harus dilakukan kapanpun dan di manapun. Tujuan utama di sini adalah menemukan Kinari. Sosok misterius yang masih ambigu. Satu petunjuk khusus, makhluk mitologi itu bersayap.

            Mencari Kinari adalah kunci untuk bisa kembali ke dunia. Kinari pasti tahu di mana pohon kalpataru dan bagaimana cara menari di bawahnya serta mengundang seluruh penduduk Falseland untuk menonton pertunjukan mereka. Mungkin penampilan Kinara dan Kinari semacam opera musik yang entah di sutradarai oleh siapa. Khayalan terus muncul dalam diri Kinara. Panggung tari yang penuh cahaya warni-warni dengan lighting sempurna. Iringan musik entah modern ataupun klasik masih belum bisa ditebak. Kostumnya  mungkin dirancang khusus dengan tema back to nature. Ah, terlalu jauh Kinara membayangkan. Ia tersadar dengan keadaan Falseland yang saat ini masih hancur lebur karena kebakaran dahsyat. Falseland kehilangan aura keindahannya. Hanya abu menggunung yang menghiasi setiap sudutnya.

“Rhara aku merindukan kembali pulang ke dunia asalku. Tidak bisakah aku menceritakan kegelisahanku? Rasanya ingin kutumpahkan segala sesuatu yang membuat sesak di dalam dada. Aku juga sangat penasaran tentang kisahmu. Bagaimana kau bisa berada di tempat ini? Apakah kita sama-sama seorang pendosa?”

“Aturan tetap harus ditegakkan, bukan untuk dilanggar. Pendatang baru memang rentan terkena depresi setelah sampai di sini. Namun, lakukanlah yang terbaik untuk mengendalikan hasrat dan emosi. Jangan sampai misimu gagal hanya gara-gara tidak bisa menahan diri untuk memendam aibmu. Benar tebakanmu. Kita di sini sebagai seorang pendosa yang wajib menyelesaikan misi untuk bisa kembali berkumpul dengan keluarga kita di dunia asal. Namun, di sini bukan tempat yang tepat untuk berkeluh kesah. Aku tidak bisa membantu apa-apa agar kau cepat kembali ke duniamu.”

“Aku merasa sedih mendengarnya.”

“Tenanglah! Ada sebuah tempat khusus di dalam Falseland yang dimanfaatkan oleh makhluk-makhluk terkutuk untuk tetap bisa mengingat jati diri aslinya di kehidupan asal dan menceritakan semua hal tanpa rasa takut melanggar aturan karena memang diperbolehkan. Nama tempat itu adalah gua harapan. Di dalamnya tersimpan cerita-cerita yang penuh penyesalan dari tindakan makhluk terkutuk hingga di hukum. Mereka menuliskan cerita kehidupannya di dinding yang menyerupai relief. Aku sudah menyimpan memoriku di sana. Setiap kali ingatanku sedikit memudar, aku selalu mengunjungi gua harapan untuk terus menjaga masa laluku di dunia asal.”

“Penjelasanmu mirip cerita disney. Mengandung banyak istilah-istilah asing di dalam dunia ajaib. Sepertinya belum akan tamat. Banyak sekali tempat yang harus kuhafal. Semua terasa asing bagiku.”

            Rhara benar-benar membantu. Ia tahu banyak hal yang masih abu-abu bagi Kinara. Melihat dari gerak-geriknya, sepertinya Rhara berusaha keras mematuhi peraturan yang diterapkan di Falseland. Kinara merasa cocok karena menemukan teman yang membawanya pada kebaikan. Hal mengerikan jika gagal dalam menjalankan misi, Kinara akan tinggal di Blackland dan seutuhnya menjadi burung.

            Gua harapan mungkin saja tempat yang dirindukan oleh makhluk-makhluk penghuni Falseland. Tunggu, kata Rhara harus mengukir cerita mirip relief di dinding gua. Sayangnya, Kinara tidak tahu cara memahat. Nilai keseniannya selalu rendah. Bahkan melukis di atas kanvaspun ia tidak bisa. Bagaimana cara menggambarkan kisah hidupnya seperti relief? Sekali lagi Falseland memberikan tantangan yang memusingkan. Butuh waktu beberapa bulan untuk bisa menyelesaikan pahatannya. Bisa-bisa Kinara jamuran di dalam gua.

“Apa yang sedang kau pikirkan Kinara?” pertanyaan Rhara membuyarkan lamunannya yang sudah melampaui batas.

“Tentu aku sedang menerawang jauh ke depan. Bagaimana caraku bisa berkunjung ke tempat-tempat asing yang telah kau sebutkan? Memang di sini aku sedang di hukum, tetapi aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Aku telah memutuskan untuk mendapatkan hal baru yang bisa menjadi pengalaman menarik sebagai dongeng anak cucuku kelak.”

“hahahaha.. kau terdengar terlalu tua. Tempat ini memang menyerupai negeri dongeng. Mungkin cita-citamu itu tidak akan pernah terwujud.”

“Memangnya kenapa?” Kinara penuh tanda tanya.

[1] Dewa kematian yang kejam dari mitologi yunani kuno.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status