Mobil detektif Devgan meluncur dengan mulus menembus kabut tipis di jalan menuju desa hutan pinus. Hawa dingin membuat Tar merasa tidak nyaman. Gaun yang ia kenakan panjang hingga mata kaki, tetapi tidak berlengan.
“Detektif, bisakah kita berganti kostum? Kita sudah cukup jauh. Setidaknya sekitar tujuh puluh kilo dari rumah Alex. Sepertinya kru tv tidak ada yang mengikuti kita hingga sejauh ini,” Tar mencoba membujuk. Badannya sungguh risih jika harus lebih lama mengenakan gaun wanita.
“Kita tetap harus waspada. Nanti memasuki kawasan desa, baru kita tanggalkan menyamaran ini. Apa masalahmu?”
“Dingin. Suhunya turun drastis sejak kita mulai menanjak. Aku sudah tidak tahan. Adakah mantel yang bisa kupinjam?”
“hmmm... sepertinya ada. Coba kau cari di kursi belakang!”
Tar segera memutar badannya dan sibuk mencari-cari mantel. Astaga, memang ada mantel, tetapi berwarna kuning telur dengan bulu-bulu menghiasi leher. Kancingnya berbentuk bunga dilengkapi tali kupu-kupu di bagian pinggang. Benarkah detektif Devgan mengoleksi benda-benda seperti ini? Atau?
“Aku membutuhkan sesuatu yang sedikit macho. Mengapa semuanya feminim?”
“Tenang sobat, hanya aku yang melihatmu. Sebagai seseorang yang profesional aku harus mempersiapkan menyamaran yang sempurna,”
“Alasan. Bilang saja ini milik pacarmu dan ketinggalan di mobil saat kalian terakhir berkencan.”
“Aih, kau masih terlalu prematur untuk mengajak obrolan ke ranah dewasa,” detektif Devgan tersenyum malu-malu.
“hei, umurku sudah 17 tahun. Jangan meremehkanku. Mungkin lebih banyak gadis yang kukencani dari pada kau,” Tar mulai menyombongkan diri.
“Begitukah? Jadi kau merasa lebih tampan dibandingkan diriku?”
“Tentu saja,” Tar memandang lurus tanpa tersenyum. Ia memakai mantel kuning dengan perasaan jengkel karena terpaksa.
Hari semakin larut. Jalanan gelap karena minimnya lampu penerangan. Belum terlihat satu rumah pun. Padahal Tar dan detektif Devgan sudah cukup jauh masuk ke arah hutan. Bulan purnama muncul dibalik rerimbunan daun pinus yang tumbuh berjajar. Tar mengantuk dan memejamkan mata. Tiba-tiba mobil berhenti mendadak dan Tar terlempar ke depan. Hampir saja kepalanya membentur kaca mobil.
“Aduh, kakiku terjepit sepatu hak tinggi sialan. Kenapa berhenti mendadak?” Tar mengeluh dengan nada sedikit membentak.
Belum ada jawaban dari teman di sebelahnya. Kini, wig yang Tar pakai sudah lepas. Penampilannya mirip banci kaleng. Kaki kanannya agak terkilir. Lengannya tergoreng pintu mobil dan terasa perih. Ia memandangi detektif Devgan yang masih mematung menatap lurus ke depan. Lalu ia menggelengkan kepala untuk mengecek apa yang sedang dilihat temannya itu. Persis di depan mobil ada seorang anak perempuan kecil membawa lentera labu hallowen.
Anak kecil itu mengenakan gaun terusan berwarna putih. Ia menunduk, sehingga poni panjangnya menutupi wajah. Hampir saja mereka menabrak seorang anak. Tar hampir membuka pintu mobil, tetapi detektif Devgan menahan tangannya sekuat tenaga. Hawa dingin masuk ke dalam mobil membuat mantel kuning berbulu sama sekali tidak hangat.
“Lepaskan tanganku! Aku ingin tahu, apakah itu baik-baik saja? Sekalian kutanyakan desa terdekat,” Tar berusaha melepaskan cengkeraman detektif Devgan.
“Diam di sini. Amati sebentar apa yang akan dilakukan oleh makhluk aneh di depan mobil!” detektif Devgan sangat serius.
“Baiklah, tetapi matikan AC mobilnya. Aku kedinginan,” Tar mencari-cari sesuatu yang bisa menghangatkan badannya.
“Jangan konyol. Mesin mobil tiba-tiba mati. Ada sesuatu yang tidak beres di sini,” pandangan detektif Devgan masih belum beralih dari anak kecil di depan mobil.
Tar mulai sadar. Sejauh mata memandang hanya jalanan sepi ke arah hutan pinus tanpa penerangan maupun aktivitas manusia. Anak kecil itu tetap berdiri di depan mereka. Namun, anak siapa yang keluyuran di malam gelap di jalanan hutan? Jangan-jangan ia bukan manusia. Keringat membahasi kening detektif Devgan meski udara sangat dingin. Tar berdebar-debar dan memegang bahu temannya. Kemudian terdengar bunyi lonceng yang tidak diketahui berasal dari mana. Suara dentingnya keras membuat suasana semakin mencekam. Lalu angin bertiup kencang menggoyang-goyangkan dedaunan. Anak kecil itu mendongakkan kepala. Poninya tersibak dan terlihat jelas mukanya hancur dengan darah bercucuran. Pemandangan yang mengerikan.
“Arrrgh...!” Tar dan detektif Devgan menjerit bersama-sama.
Anak kecil bergaun putih dengan muka yang menyeramkan itu berjalan ke arah jendela pintu Tar dan menempelkan wajahnya serta tertawa cekikikan.
“Waaa... waaa...,” Tar menjerit semakin kencang. Ia menjauhkan diri dari tempat duduknya dan menjambak rambut detektif Devgan saking takutnya.
“Tar tenangkan dirimu! Tutup matamu kalau tidak berani menatap hantu kecil itu,” detektif Devgan mencari-cari sesuatu dalam tas kecilnya. Ia menemukan selembar jimat yang ditulis dengan tinta hitam. Segera ia tempelkan ke arah kaca jendela Tar. Seketika hantu kecil itu menghilang.
“Hidupkan mesin mobilnya!” suara Tar melengking masih menyisakan ketakutan.
“Aku sudah mencoba berkali-kali, tetapi belum mau hidup. Sepertinya aku harus mengecek mesin di luar.”
“Jangan tinggalkan aku sendirian di dalam mobil!”
“Ya sudah, ayo sekarang kita keluar bersama-sama!”
“Tidak mau! Bagaimana jika hantu kecil itu kembali?”
Kata-kata Tar membuat detektif Devgan merinding. Dirinya mematung beberapa saat. Kemudian rambutnya merasa tidak nyaman.
“Tar hentikan! Mencabuti rambutku dari belakang bukan solusi dari masalah ini. Jangan bercanda di saat yang tidak tepat!” detektif Devgan mulai kesal.
“Rambut? Bagaimana aku melakukannya? Jangan asal menuduh. Dari tadi tanganku di depan karena kedinginan,” kata-kata Tar terhenti.
Detektif Devgan maupun Tar merasa tidak nyaman. Mereka berdua menunduk dan belum ada yang berani menoleh ke belakang. Sebuah sinar temaram berwarna jingga terang terlihat dari kaca kecil di depan. Mereka berdua yakin dan sangat mengenali sumber cahaya tersebut. Tiba-tiba hantu kecil tadi menanis. Awalnya suaranya terdengar jauh lalu semakin dekat. Sekali lagi dua orang di dalam mobil mendadak panik.
Tar meraih handel pintu dan mencoba membukanya. Anehnya, pintu mobil terkunci. Susah sekali dibuka hingga Tar berencana mendobraknya. Detektif Devgan mendorong-dorong Tar agar bertindak cepat. Lalu kedua teman itu bersama-sama mendorong sekeras mungkin. Pintu mobil terbuka. Tar terlempar keluar dengan muka jatuh le tanah. Kakinya dari lutut ke bawah masih berada di dalam mobil. Ia berusaha berdiri dan siap lari sejauh mungkin.
Detektof Devgan secepat kilat segera memegangi gaun Tar. Tar terseok-seok berusaha melepaskan cengkeraman detektif Devgan. Akhirnya gaunnya sobek. Tar berlari sekencang mungkin tanpa menoleh lagi ke belakang. Terdengar teriakan detektif Devgan meminta tolong dan menyebut namanya untuk menunggu. Pikiran Tar kacau balau. Ia terus berlari dalam kegelapan dengan tetap memakai sepatu hak tinggi. Lalu ia terjungkal dan masuk ke dalam lubang yang agak berlumpur. Sekarang ia merasa terlalu lelah untuk bangkit. Ketakutannya belum hilang. Ia terduduk dalam kubangan dengan badan gemetar dan napas tersengal-sengal. Tiba-tiba sebuah telapak tangan dingin menyentuh pundaknya.
“Arrrrrgh...!” sekali lagi Tar menjerit ketakutan.
“Ssstttt... Diam! Kenapa kau meninggalkanku bodoh?” hardik detektif Devgan kepada Tar dengan nada keras.
“Astaga kupikir hantu kecil tadi. Maaf aku terlalu takut untuk menolongmu,” Tar mengatur napas dan mengendalikan dirinya.
“Sial sekali. Ternyata jimat yang ku bawa sama sekali tidak berguna. Padahal aku sudah membayar mahal untuk mendapatkannya,” detektif Devgan menyesal.
“Sekarang, apa yang sebaiknya kita lakukan?” Tar sudah kehabisan tenaga.
“Tidak mungkin aku menghubungi rekan detektif lain dalam situasi seperti ini. Aku jelas melanggar aturan. Apalagi kita mencari seorang cenayang untuk mendapatkan petunjuk. Investigasiku bisa dianggap gagal. Parahnya lagi aku bisa saja dikeluarkan dalam penanganan kasus Alex. Kondisi kita buruk. Akses jalan keluar kita tidak tahu. Di mana kita berada juga tidak terdeteksi. Mungkin sebaiknya kita menunggu matahari terbit di tempat ini,” kata detektif Devgan.
Tar menghela napas panjang. Dirinya sama selaki tidak nyaman berada di tempat lembab, sedikit berair dan berlumpur. Tidak menutup kemungkinan ada hewan melata seperti cacing, belut, atau bahkan ular yang berada dalam lubang yang sama dengannya. Tempat tersebut terlalu beresiko.
“Detektif, apa tidak sebaiknya kita mencari tempat persembunyian yang lebih kering?” usul Tar.
“Kendala kita adalah penerangan. Sangat gelap di sekitar sini. Kita tidak tahu ada tempat yang lebih aman atau malah jauh lebih berbahaya. Apa kau mau mengambil resiko yang lebih besar? Jatuh ke dalam jurang misalnya?”
“Tapi bisa saja ada ular di dalam tanah berlumpur ini. Bagaimana jika salah satu dari kita ada yang tergigit?”
“Baiklah jika kau memaksa. Namun, hanya di atas lubang ini. Jangan melangkah lebih jauh!”
“Oke. Aku sudah tidak tahan dengan bau lumpur dan tanah lembab ini.”
Sepatu hak tinggi pembawa sial, Tar lemparkan sejauh mungkin. Tanpa alas kaki ia berusaha naik ke atas. Detektif Devgan mengikuti di sampingnya. Mereka berhasil naik dengan selamat. Keduanya merebahkan diri di atas rerumputan basah. Lima menit terasa sangat lama bagi mereka. Lalu sebuah cahaya datang mendekat diikuti langkah kaki. Siapa lagi yang datang ke tempat semacam ini di saat gelap? Apakah ia manusia? Atau justru hantu kecil yang kembali?
Ah, benar-benar minim pengetahuan. Kinara menghirup napas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan. Ia ingin merelaksasi diri. Bisakah ia melakukan koprol di sini? Tentu saja tidak akan ada yang berkomentar tentang perilakunya yang aneh. Huh, pernyataan Camazotz membuatnya tidak berkutik. Seandainya Rhara tidak hilang, ia tidak harus menanggung malu.“Kinara, aku ada urusan sebentar. Temuilah manusia angsa lebih dulu. Nanti kita berkumpul lagi di tempat manusia cumi-cumi tinggal,” Harpi meminta ijin.“Memangnya ada keperluan apa? Mengapa kita tidak pergi bersama-sama?” tanya Kinara penasaran.“Ada hal pribadi yang mau aku urus. Menyangkut masalah perempuan. Aku tidak melibatkanmu dalam masalah ini,” Harpi tersipu malu.“Maaf, kupikir hal biasa.” Kinara jadi salah tingkah. “Yang terpenting nanti kita bisa bertemu lagi tepat waktu. Jangan sampai kita terpisah. Kau paham kan? Aku masih trauma dengan kejadi
Keceriaan manusia kelinci yang selalu mengisi hari-hari Kinara, kini menguap bagai air yang mendidih, menyusut, lalu habis tanpa sisa. Cita-cita besar untuk bisa kembali ke dunia asal bersama-sama seakan terputus. Kinara merasa seperti ulat yang gagal bermetamorfosis sebagai kupu-kupu. Berbagai tahapan telah dilalui dengan baik. Sayangnya, takdir berkata lain.“Ku rasa, kita memang harus melanjutkan perjalanan. Jika terus-menerus di sini, aku tetap mengingat Rhara.” Kinara bangkit dan mengepakkan sayapnya. Harpi membimbing Kinara agar terbang berdampingan. Mereka menuju gua harapan. Kinara sekarang berpikir lebih logis. Ia beruntung memiliki teman dekat seperti Harpi. Selain cantik, Harpi cepat move on dari peristiwa kelam yang dilaluinya. Ia tetap sedih, tapi tidak terlarut-larut. Mungkin Harpi sadar bahwa tindakan seperti itu menghabiskan energi.
Udara semakin dingin. Hujan es sedikit reda. Tanah dipenuhi es padat. Terasa sakit saat kaki telanjang menginjaknya. Hawa dingin dari es memicu rasa ngilu. Suhu badanpun menurun drastis.Kinara histeris. “Rhara... Rhara!” teriaknya membabi buta.Harpi berbalik dan menggapai Kinara. “Kendalikan dirimu, Kinara! Rhara jatuh ke bawah!” Harpi memegangi tubuh Kinara yang terus berontak.“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku harus turun ke bawah. Rhara akan ku selamatkan.” Tangis Kinara pecah di sela hujan es.Harpi memeluk erat Kinara. “Ini kecelakaan. Bukan salah siapapun. Tenanglah Kinara, kumohon! Kita bisa celaka semuanya jika turun ke jurang sekarang!” Harpi ikut menangis dan berusaha menenangkan Kinara yang masih shock atas jatuhnya Rhara.“Teman terbaiku jatuh. Aku belum tahu bagaimana keadaannya. Biarkan aku mencarinya ke bawah!” Kinara tetap meronta-ronta. Kali ini pelukan Harpi lepas. Hampir sa
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Falseland, tugas utama Kinara adalah mencari Kinari. Perjalanan panjang penuh liku-liku telah dialaminya. Kemudian, ia merasa senang bisa berjuang dan dibantu dalam banyak hal oleh Rhara. Betapa sepi hidupnya jika harus berjuang seorang diri hingga ke titik ini. Naik turun gunung es tidak akan berhasil tanpa bantuan dari Rhara. Semua tentang manusia kelinci itu membawa kebaikan dan selalu mengingatkan pada keberhasilan misi. Awalnya, Harpi kelihatan polos di mata Kinara. Ia juga takut jika gadis burung itu akan merepotkan. Ternyata, tebakannya melenceng jauh. Harpi terlalu kuat, mandiri, cerdas, dan cantik. Semua itu terlalun keren bagi Kinara. Hingga pada suatu hari yang tidak ditentukan, hatinya meleleh. Setengah dari dirinya mengharapkan Harpi. Sisanya mengukir dalam nama Kinari. Makhluk mitolog
Kinara menyiapkan makanan bersama Harpi. Rhara sibuk membuat terowongan. Tugas masing-masing selesai dengan cepat. Kinara makan tidak terlalu lahap. Sesekali ia memandang ke arah Harpi. Ada getaran-getaran aneh memasuki relung hatinya. Saat mengunyah, bibir Harpi terlihat eksotis di mata Kinara. Merah muda, tipis, dan bergoyang-goyang. Lalu lidah Harpi menyapu bibirnya dengan gerakan lambat. Hal itu semakin membuat Kinara menjadi gemas.Plak! Rhara menepuk jidat Kinara dengan keras.“Aduh, sakit sekali. Kau kenapa lagi sih?” Kinara melompat saking kagetnya.“Ada nyamuk besar dijidatmu!” Rhara asal menjawab. Sebenarnya ia sedikit gerah melihat kelakuan Kinara.“Mana ada hewan seperti itu di tempat ini? Lama-lama kau ngelantur,” Kinara agak kesal.“Hmmm... kalian berulah lagi. Ini sudah larut. Ayo hentikan! Aku ingin segera tidur cantik di atas dedaunan pohon yang rindang.” Harpi bangkit menuju ke arah
Kedua tangan Kinara memegang kepalanya. Ada apa sebenarnya dengan kedua sahabat dekatnya itu? Awalnya, Kinara yang merasa keberatan dengan kehadiran Harpi. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Untungnya Rhara ramah dan mengajak mereka untuk bisa rukun serta berjuang bersama. Kali ini justru Rhara ingin Harpi pergi. Ah, masalah yang kecil mampu membuat rusak pertemanan yang dijalin dengan susah payah.Kinara merangkul Rhara dan membawanya agah menjauh.”Rhara, apa yang merasukimu? Mengapa kau mendadak kejam? Sadarlah, perjalanan kita sudah cukup jauh. Redamlah egomu dan biarkan Harpi tetap bersama kita,”“Jangan, Kinara! Perjuangan kita terlalu berharga jika rusak dan gagal hanya karena gadis burung pembohong. Aku tidak mau usaha kita berujung sia-sia. Demi impian seluruh penghuni Falseland. Buatlah keputusan yang paling bijak!”“Percayalah padaku Rhara. Aku tidak akan mengecewakan siapapun.” Kinara menjabat tangan Rhara
Waktu bergulir cepat. Kinara sudah hampir hafal semua gerakan tari kesetiaan. Rhara masih terpekur membaca buku yang tidak diketahui judulnya oleh orang lain.“Apakah kau sudah hafal bagian terakhirnya?” tanya Kinara kepada Harpi.“Se... dikit,” Harpi kehilangan kendali.“Mengapa kau begitu canggung bicara padaku?” Kinara mendekatkan badannya. Harpi mundur dua langkah. Ia tidak bisa menguasai diri. Gejolak cintanya tumbuh lebih besar. Ia ingin terbang sembari berpelukan dan bersandar pada dada Kinara yang lapang. Tidak bisakah dirinya yang melakukan tarian kesetiaan di bawah pohon kalpataru bersama Kinara? Toh sama saja ia dan Kinari adalah gadis burung.“Kinara, apakah kalian sudah selesai?” Rhara mulai merapikan buku-buku dan bersiap meninggalkan perpustakaan.“Apa yang baru saja kau baca?” Kinara sudah duduk di sa
“Apa sih yang sedang kita cari? Kenapa masih belum ditemukan juga?” Harpi menggerutu sambil memasang muka cemberut.“Buku yang sangat spesial dan menentukan masa depan Kinara,” jawab Rhara. Harpi hilang fokus mendengar jawaban temannya. Ia tidak memperhatikan senderan kayu di sampingnya yang sudah rapuh. Lalu terdengar suara kayu patah agak keras. Akibatnya senderan roboh bersama badan Harpi. Untung saja Kinara sigap dan menangkap Harpi dalam pelukannya. Mereka saling memangdang satu sama lain lumayan lama. Kinara mendekatkan wajahnya ke arah Harpi. Deg! Jantung Harpi serasa berhenti berdetak. Akankah Kinara melakukan sesuatu yang membuatnya semakin cinta? Terasa angin kecil meniup matanya. Ternyata Kinara hanya meniup alis Harpi untuk menghilangkan debu yang menempel agar tidak masuk ke dalam mata.
Tujuan utama Harpi sekarang adalah menggeser kedudukan Kinari dari hati Kinara. Ia bertekad melawan takdir. Selama Kinari belum ditemukan, rencananya bisa dijalankan dengan lembut dan hati-hati. Ia membutuhkan situasi yang mendukung agar targetnya lebih perhatian dari pada sebelumnya. Mungkin waktu yang tersisa sangat terbatas mengingat misi Kinara sudah hampir selesai. Seperti kata Ganesha, setelah melewati gunung es, maka mereka memasuki labirin maut. Selanjutnya, Kinara hanya perlu mencari petunjuk terakhir di dalam perpustakaan ini. Rhara adalah batu sandungan terbesar yang nyata. Harpi tahu bahwa posisi Rhara adalah sebagai pelindung bagi Kinara untuk tetap konsisten dalan menjalankan misi. Selain itu, Rhara juga sebagai pengingat bahwa pasangan penari burung harus segera dipertemukan. Maka, rencana Harpi harus dilakukan tanpa menimbulkan kecurigaan. Misi rahasia untuk menghapus Kinari akan terwujud denga