Udara di sekeliling mereka merapat, seperti selembar kain yang ditarik paksa ke pusat medan.
Deburan ombak di bawah tidak lagi mengikuti hukum gravitasi—ia menari ke atas, membentuk pilar spiral yang menjulang seperti ular air. Langit pecah dalam suara retakan halus, seperti tulang rapuh yang diinjak waktu. Trident Aetheryn bersinar kebiruan, dan Kinari melesat, tubuhnya ditarik oleh kekuatan pusaka itu. Kilat laut berpendar di jejak langkah Kinari, membentuk tombak-tombak air yang melesat ke arah Zhaurekh bagaikan doa kemarahan yang terpatri dalam ombak. Namun Zhaurekh hanya mengangkat telapak tangannya, lembut namun mutlak, dan seketika serangan itu berhenti—menggantung di udara. Membentuk kristal bening yang menyimpan bayang kebencian. Kinari terhenti di dalamnya, sejenak terkekang oleh pantulan dirinya sendiri. “Kau memilih melawanku, Kinari?” bisiknya, suaranya seperti desir kabut yang enggan menempel di tanah. “Padahal akulah pantulanmu yang paling jujur.” Tanpa menjawab, Kinari kembali menerjang. Trident-nya menembus kabut dan air asin, menggurat udara dengan nyala biru dari darah para leluhur. Dua Trident bersua—yang satu bercahaya lembut bak langit sebelum fajar, yang lain pekat dan sunyi seperti kedalaman malam yang belum pernah disentuh cahaya. Benturannya bergema, tak hanya di lautan, tapi di ruang-ruang tersembunyi tempat waktu dan kehendak saling menyilang. Di sisi lain medan, Kael dan Mirazûl bertarung seperti dua bayangan saling menelan. Kael menggunakan teknik tempurnya yang jernih dan presisi, sementara Mirazûl bertarung seperti makhluk yang hanya mengenal kehancuran. Tombaknya memanjang dan memendek seperti daging waktu, menghantam Kael dengan kelicikan, bukan kehormatan. Kinari sempat terdorong ke belakang. Trident-nya menusuk karang melayang, dan ia mendarat dengan lututnya menghantam permukaan yang nyaris tak nyata. Darahnya mendidih—bukan karena luka, tapi karena sesuatu dalam dirinya bergolak, dan saat ia menatap Zhaurekh, ia tahu jika itu bukan hanya musuh. Itu adalah dirinya sendiri. Zhaurekh kembali melangkah, dan saat ia berbicara, kabut di sekitarnya bergetar. “Aku lahir dari setiap keputusan yang kau buat bukan demi rakyat, tapi demi egomu. Dari setiap perintah yang kau lontarkan untuk didengar, bukan dipahami. Dari rasa takutmu menjadi lemah, hingga kau lebih memilih ditakuti.” Suaranya menggemuruh kini, seperti panggilan dari kedalaman abisal yang tak bernama. “Setiap ketidakpedulianmu. Setiap tatapan meremehkanmu pada mereka yang kau anggap lebih kecil. Aku tumbuh, seperti karang pahit di dasar laut. Dan ketika waktu mulai terkoyak, aku menyelinap melalui celah itu. Aku menunggu. Dan sekarang, aku di sini… lebih utuh darimu.” Kinari berdiri, tubuhnya gemetar karena kebenaran yang tak bisa dibantah. Trident Aetheryn kini lebih berat. Cahaya birunya berpendar lemah, seolah meragukan pemiliknya. Namun dari kejauhan, Kael mengerahkan suara terakhirnya, menggema bagai panah yang menembus kabut sihir. "Kau bukan dia, Ratu Kinari… bukan jika kau tak membiarkan kegelapan ini menang." Tubuhnya masih terguncang, menolak sepenuhnya tunduk pada kehendak Mirazûl yang membawa kehancuran. Tapi itu cukup. Satu kalimat itu—lebih dari senjata apa pun—menggetarkan dasar hatinya. Kinari memejamkan mata. Ia menarik napas dalam, membiarkan gelombang masuk dan keluar dari dadanya. Dan dalam sekejap, ia tak lagi melihat Zhaurekh sebagai musuh, melainkan pantulan. Pantulan dari seorang pemimpin yang nyaris kehilangan arah. Ketika ia membuka mata, cahaya biru Trident-nya menyala kembali—lebih terang dari sebelumnya. “Aku memang pernah menjadi dirimu,” bisiknya pada Zhaurekh. “Tapi itu bukan berarti aku akan selalu menjadi kau.” Ia mengangkat Trident-nya, dan badai laut merespons. Air dari segala penjuru berkumpul, membentuk lingkaran yang berputar cepat. Di dalam pusaran itu, waktu sendiri mulai melengkung, menari mengikuti kehendak sang Ratu. Pertempuran belum usai, tapi kini, Kinari tidak lagi hanya bertarung demi tahta atau harga diri. Ia bertarung untuk menebus makna dari kepemimpinan sejati—dan untuk menjahit dunia yang telah koyak oleh bayangannya sendiri. Tubuh Kinari kembali terhempas ke pilar karang raksasa, membelahnya menjadi serpihan garam dan pecahan cahaya. Trident-nya terlepas, melayang jauh, ditelan pusaran air yang tidak lagi tunduk pada hukum semesta. Darah mengalir dari pelipisnya, berwarna perak kebiruan—darah bangsawan laut, darah leluhur yang dulu menaklukkan gelombang dengan tangan kosong. Di hadapannya, Zhaurekh masih berdiri, anggun, genang, tanpa goresan, tanpa nafas yang berat. Ia melangkah perlahan, jubah hitam legamnya mengibarkan kabut yang berdesir seperti jeritan makhluk dasar laut. “Kau rapuh, Kinari,” suaranya meluncur lirih, namun mengandung ribuan gema. “Kau menolak menyatu denganku, padahal akulah kekuatanmu yang sejati. Amarah. Kesombongan. Ketegasan tanpa kompromi. Aku adalah bentengmu yang tak tergoyahkan.” Kinari, dengan susah payah, bertumpu pada lututnya. Matanya menatap kosong ke atas, menembus langit kelabu yang berdenyut bagai nadi alam. Dunia di sekeliling mereka runtuh perlahan. Karang berubah menjadi puing-puing waktu, Ikan-ikan membeku dalam aliran air, seperti mosaik patah dalam lukisan dunia yang rusak. Namun dalam keheningan itu, suara lain hadir. Bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya.. "Suaramu bisa menghidupkan laut, tapi hatimu yang bisa menyelamatkannya." Mendengar panggilan itu, Kinari memejamkan mata. Tubuhnya masih meradang, raganya terkoyak, tapi dalam kegelapan kesadarannya, ia mulai merasakan sesuatu yang hangat. Bukan kekuatan. Bukan sihir. Tapi... pengakuan. Ia melihat kembali semua yang telah ia lakukan, menelaah setiap tatapan sombong, perintah tanpa belas kasih, dan kemenangan yang ia banggakan tanpa memahami luka yang tertinggal. Ia telah memimpin, ya, tapi bukan dengan cinta. Ia telah melindungi, tapi bukan dengan empati. Dan dari cela itu, Zhaurekh tumbuh. Dari ketiadaan kasih, lahir kekuasaan buta. Air mata mengalir dari mata Kinari. Air mata murni, tak berwarna. Satu tetes jatuh ke permukaan air, dan laut pun bergemuruh. “Kaulah bagian terburuk dariku,” gumamnya, pelan namun pasti. “Tapi aku tidak butuh kekuatan yang dibangun dari ketakutan akan penindasan.” Ia merentangkan tangan, bukan untuk menyerang, tapi untuk menerima. Dalam dirinya, sebuah cahaya mulai tumbuh, bukan dari Trident Aetheryn, bukan dari darah kerajaan, tapi dari pemahaman akan kesalahan masa lalu. Zhaurekh mundur selangkah. Untuk pertama kalinya, matanya memperlihatkan… keraguan. “Negatif energimu…” ucap Kinari pelan, suaranya mengalun seperti nyanyian paus purba. “akan padam oleh cahaya ini. Cahaya pengakuan. Cahaya penebusan luka dan keangkuhan.” Cahaya hangat itu menyelimuti Kinari, membentuk pelindung seperti kelopak-kelopak terumbu karang yang berkilau. Saat ia berdiri, tubuhnya masih terluka, tapi jiwanya bersinar. Kinari menatap ke arah bayangan gelapnya bukan lagi dengan kebencian, namun dengan belas kasih. Zhaurekh menjerit. Kabut di sekelilingnya terbakar perlahan, luruh di bawah cahaya Kinari yang seakan membelah ruang. Zhaurekh meraung, mencoba melayangkan serangan terakhir—namun tangannya hanya menyentuh terang yang tak tersentuh, lalu melebuur menjadi buih. Lalu di dalam diam yang menyusul, badai ikut runtuh. Tubuh bayangan itu sirna, dan langit, untuk pertama kalinya, kembali bernafas dalam rona keperakan. Semuanya berakhir. Atau baru saja dimulaKael memanfaatkan keributan itu. Saat Greed melompat ke arah Wrath, Beelzebub yang teralihkan menengadah untuk menenggak makanan baru—sesuatu yang membuatnya lengah. Kael menerjang, bukan untuk membunuh, tetapi menekan bagian perut Beelzebub sehingga lendir yang memulihkan kulitnya terciprat ke sisi; reaksi itu bukan berakhir, tetapi cukup untuk membuat pembukaan yang bisa dimanfaatkan. Kael memotong tali sensor di punggung sayap serangga — memutus sedikit sinkronisasi yang memberi makan pada massanya. Di sisi lain Lucia, terjepit oleh Lust dan Envy, menutup mata dan meremat relic. Ia berbisik nyanyian yang diajarkan neneknya—lagu-lagu penenang yang mengikat rasa dengan kenangan. Lust, yang mencari hangat, melihat bayangan yang lucu: wajah muda Lucia tersenyum; sementara Envy yang meniru, melihat dirinya sendiri memantulkan bayangan lain yang tidak puas—kedua itu terbuka kelemahan mereka: kerinduan untuk memiliki yang bukan milik mereka. Lucia menempelkan relic ke tanah;
Kinari menangkis gempuran dengan seluruh tubuh yang masih berdenyut. Setiap tebasan tridentnya menimbulkan pilar air kecil yang retak; setiap ayun melepaskan jingga kilau Lunareth yang membakar kabut hitam menjadi uap dingin. Ia menahan, memutar, menangkis—tapi Wrath bukan lawan yang setengah hati. Makhluk itu menukar gerakannya dengan musik perang purba: satu kepakan sayap, dan guncangan tak bersuara merobohkan dua pohon yang berada di jalurnya, menghasilkan retakan di aspal. Kinari merasakan luka-luka itu: garis-garis sayatan yang menggores kulitnya, bau sengat yang melekat pada baja. Di garis belakang Lucia menjauh, melangkah ke sisi lapangan, menjaga jarak dengan medan pertempuran. Matanya terus mengawasi kota yang runtuh; relic tergenggam seperti obor. Di bawah, Kael bergerak seperti gelombang: menutup putaran warga yang baru “terbangun”, menolong yang tersungkur, menyingkirkan serpihan, mengangkat Deka yang terluka dan kawan-kawannya yang tersayat. Dia berjua
Untuk sesaat, semuanya tampak berhasil. Air menelan kegelapan, dan seluruh kubah berpendar—sebuah pembersihan. Lucia menitikkan air Relic ke beberapa dahi, membantu proses purifikasi, suaranya memetik lagu-lagu kurun yang membuat anak-anak menatap heran. Kael, yang berputar di kerumunan, memanfaatkan celah itu: ia menolong Deka, mengangkat tubuh teman yang terjepit, menaburkan tali pada kaki-kaki yang gemetar. Ratusan tangan saling meraih, ada pelukan, ada tangisan lega. Kota menaruh harap dalam ritme baru itu. Namun di pinggir kubah, jauh menjulang melebihi pilar air, muncul sesuatu yang tak diharapkan.Wrath — ia tidak lenyap, ia tidak tercerabut. Bayangan besar yang selama ini menggerakkan daging adalah inti dari hukum itu. Ia mengamuk; caranya berbeda dari manusia yang dirasuki: ia bukan boneka, melainkan komando. Tubuhnya membakar kabut menjadi serpih api, dan setiap kali ia menggetarkan sayap, hembusan itu seakan menguras warna dari langit. Ia berputar dengan amarah ya
Kinari menarik napas, panjang seperti gelombang yang sedang mundur sebelum melompat. Lumpur taman menempel di lututnya, rambutnya basah oleh percikan saat terhempas; namun matanya sekarang tidak lagi penuh luka, melainkan sebuah tujuan yang membatu. Lucia meraih tangannya dengan cepat, jemarinya kecil namun tegas, dan membantu sang ratu berdiri. Trident Aetheryn yang sempat terlempar bertaut kembali ke genggaman Kinari—seperti tongkat raja yang dipanggil pulang oleh kewajiban. El’Thyren di leher Kinari berdenyut; cahayanya, yang tadi samar, kini berpendar putih bersih seperti mercu suar di samudra gelap. Dari jauh, ada nada halus — bukan lagi rasa takut, melainkan panggilan purba: Lunareth. Sisi terang dari jiwa Kinari menghapus tepi amarah, memberi ruang agar sesuatu yang lebih murni mengalir. Di dalamnya, Kinari merasakan lagi bisik itu. “Kupinjamkan kekuatanku.” Bukan perintah, tetapi pemberian — sebuah warisan dari laut yang lebih tua dari sejarah. Dengan sopan,
Di ketinggian, di balik kaca berlapis yang memantulkan kota yang hancur, Harrison menonton. Di tangannya secangkir teh yang tak lagi ia minum, ia menyeringai ketika melihat warganya menjelma menjadi penghapus suara. “Hancurkan semuanya,” bisiknya kepada bayangan wrath yang menjadi perintah. “Kau sudah kuberikan tumbal. Balaskan dendam untuk setiap manusia yang menentangku.” Suaranya tipis, namun pada ucapannya ada nada komando: bukan sekadar kemarahan, melainkan kepuasan seorang penjahit yang melihat kainnya terurai lalu dirapikan menjadi pola baru. Di bawah, Wrath bergemuruh, menjalankan permintaan itu. Ia bukan lagi hanya amarah; ia adalah undang-undang yang berwujud, memerintahkan mereka yang ditelan kabut untuk menuntaskan tugasnya: mencabut akar, menghancurkan saksi, merobek cerita. Harrison menatap, matanya seperti kaca yang memantulkan bintang yang ia sendiri yang menyalakan. “Hancurkan kedua kotoran itu—Kael dan Kinari,” ia memerintah. “Buat kota ini tenang
Hari itu berat seperti batu basah. Matahari tenggelam tanpa seremonial; kota seolah menghembuskan napas panjang sebelum kembali menekuk dirinya pada malam. Wanita yang pagi tadi terperangkap dalam Water-Realm kini berangsur pulih — bekas hitam di pelupuk matanya memudar, dan ketika Lucia menyentuh dahi perempuan itu, relic mengeluarkan kilau lembut yang menempel seperti perban cahaya. Untuk sedetik, semua terasa aman. Mereka menyiapkan makanan, menunggu kabut yang datang sebagai ancaman—tetapi tidak ada yang benar-benar siap untuk apa yang penglihatan manusia sebut monster. Ketika malam mulai mencabik, kabut itu turun kembali. Bukan kabut biasa: pekatnya seperti tinta kristal, bergerak perlahan menutup jalanan, masuk ke selasar, melekat pada genting. Dari sela-sela asap, menjelma manusia-manusia yang hilang—wajah-wajah yang kemarin mereka rencanakan untuk lindungi. Mereka terhenti, lalu membuka mata—dan mata itu bukan lagi mata yang pernah tertawa; ia memekat, hitam peka