Home / Fantasi / Kinari dan Benang Waktu / Bab VI: The Beginning of an Unknown

Share

Bab VI: The Beginning of an Unknown

Author: Niskala
last update Last Updated: 2025-08-07 14:36:03

Laut yang tadi kacau mulai tenang, dan pusaran waktu di sekitar mereka mulai mengering seperti tinta yang kembali masuk ke pena.

Kinari jatuh berlutut, namun senyumnya tipis.

Ia menatap ke arah tempat Zhaurekh menghilang. Tidak dengan bangga, tapi damai.

Ketika debu kegelapan terakhir dari Zhaurekh menguap bersama hembusan arus waktu, Mirazûl pun ikut memudar.

Tidak meledak, tidak menjerit. Ia menghilang seperti bayangan yang tersedot ke balik cermin—diam dan pasrah.

Karena ia bukan bayangan Kael, bukan pula ciptaan hasrat buruknya.

Namun bentukan semata dari ambisi tak terkendali seorang ratu, yang memaksa kesetiaan tanpa memilih kasih.

Dan saat Kinari mengakui sisi rapuhnya, fondasi tempat Mirazûl berpijak pun ikut runtuh.

Kael lalu berlari menghampiri sang ratu, wajahnya penuh kelegaan dan kekaguman.

“Kau tak menaklukkannya dengan kekuatan,” katanya, “kau meluruhkannya dengan hati.”

Kinari hanya tersenyum, lalu memandang jauh ke laut luas, di mana batas antara waktu dan kenyataan masih bercampur aduk menjadi sebuah ruang anomali.

Kini hanya Kinari dan Kael yang berdiri di antara puing waktu yang melayang.

Langit di atas mereka masih terbelah, seperti kaca kuno yang retak oleh denting waktu.

Celahnya memancarkan cahaya kelam yang bukan malam, bukan pula siang—hanya kekosongan yang menganga, menunggu untuk ditutup.

Kinari melangkah perlahan.

Buih mengambang di sekelilingnya, dan tiap langkahnya menggetarkan air, seolah dunia bawah laut mendengarkan nafas sang ratu.

Di antara reruntuhan menara istana tua yang melayang di luar logika, ia melihatnya—Trident milik Zhaurekh, menjulang dari celah karang yang terapung.

Tidak terbakar, tidak hancur, masih utuh, namun tidak lagi terasa jahat… hanya sunyi.

Tangannya meraih gagang senjata itu.

Dingin, licin seperti terbuat dari bayangan beku.

Namun saat jemarinya melingkar di sekitar tangkai hitam itu, sebuah bisikan mengalun, lembut namun menghujam jauh ke dasar jiwanya.

"Lemparkan ke Kerak Waktu, Kinari."

Itu bukan suara musuh. Bukan juga suara masa lalu yang muram.

Tapi suara dirinya sendiri—versi yang lebih jernih, lebih dalam.

Lunareth, yang selama ini tersembunyi dalam lapisan tak terlihat.

Sisi dari dirinya yang tak pernah berbicara dengan kekuatan, hanya dengan ketulusan.

Dalam genggamannya, trident itu berdenyut.

Hitam pekatnya berubah peahan, seperti tinta yang dicelup ke dalam cahaya pagi.

Arus waktu mengaliri setiap lekuknya.

Simbol-simbol kuno yang sebelumnya tak terlihat mulai bercahaya, seakan senjata itu mengingat siapa yang dulu menempa dan untuk apa ia diciptakan.

Kael berdiri di belakangnya, hanya mengangguk—tanpa kata, tapi sepenuhnya percaya.

Kinari menatap ke arah langit.

Retakan itu masih terbuka, membelah realitas seperti luka yang belum dijahit.

Cahaya hitam menetes dari sela-selanya, menodai laut seperti tinta pada gulungan perkamen tua.

Tanpa ragu, ia menarik napas panjang, dengan tubuhnya yang masih terkoyak akan pertarungannya dengan Zhaurekh ia melesat ke angkasa, memecah aliran waktu seperti pedang ilahi.

Ia melayang di antara gelombang gravitasi dan pusaran dimensi.

Rambutnya menari seperti bendera perang terakhir.

Trident bercahaya itu ia angkat tinggi-tinggi—seperti mengangkat sumpah.

Kemudian dengan teriakan yang mengguncangkan batas antara kenyataan dan kemungkinan, ia melemparkannya.

Trident itu melesat ke langit, menembus pusaran waktu seperti panah surgawi.

Saat ujungnya menyentuh retakan, cahaya meledak, bukan seperti ledakan perang, tapi seperti letusan matahari purba yang pertama kali memberi kehidupan.

Langit meraung, laut menunduk. Waktu melengkung, lalu… merapat.

Retakan itu perlahan menjahit dirinya sendiri.

Cahaya hitam terserap masuk, tertelan oleh kehendak murni sang ratu.

Pusaran berhenti, langit menjadi utuh kembali—biru kelam yang menenangkan. Trident itu tidak jatuh kembali.

Ia lenyap… kembali ke sumber eksistensinya.

Kinari terjatuh perlahan dari udara, disambut gelombang yang kini tenang dan berpendar lembut.

Ia berdiri di atas laut yang kini menjadi kelam.

Di sekelilingnya, dunia yang sempat koyak kini perlahan menjahit dirinya kembali.

Aliran waktu, yang sempat tercabik, kini kembali mengalir seperti nyanyian yang dikenali.

“Sudah selesai?” bisik Kael dari sampingnya.

Kinari memandang langit, bukan lagi sebagai penguasa, melainkan sebagai bagian darinya.

“Entahlah, Kael,” jawabnya lirih, seolah bicara kepada sesuatu yang lebih luas dari kata-kata.

Dan langit pun menjawab… dengan diam yang terasa seperti awal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LXXVI The Rise of the Kings

    Kael memanfaatkan keributan itu. Saat Greed melompat ke arah Wrath, Beelzebub yang teralihkan menengadah untuk menenggak makanan baru—sesuatu yang membuatnya lengah. Kael menerjang, bukan untuk membunuh, tetapi menekan bagian perut Beelzebub sehingga lendir yang memulihkan kulitnya terciprat ke sisi; reaksi itu bukan berakhir, tetapi cukup untuk membuat pembukaan yang bisa dimanfaatkan. Kael memotong tali sensor di punggung sayap serangga — memutus sedikit sinkronisasi yang memberi makan pada massanya. Di sisi lain Lucia, terjepit oleh Lust dan Envy, menutup mata dan meremat relic. Ia berbisik nyanyian yang diajarkan neneknya—lagu-lagu penenang yang mengikat rasa dengan kenangan. Lust, yang mencari hangat, melihat bayangan yang lucu: wajah muda Lucia tersenyum; sementara Envy yang meniru, melihat dirinya sendiri memantulkan bayangan lain yang tidak puas—kedua itu terbuka kelemahan mereka: kerinduan untuk memiliki yang bukan milik mereka. Lucia menempelkan relic ke tanah;

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LXXV Materialized Shadows

    Kinari menangkis gempuran dengan seluruh tubuh yang masih berdenyut. Setiap tebasan tridentnya menimbulkan pilar air kecil yang retak; setiap ayun melepaskan jingga kilau Lunareth yang membakar kabut hitam menjadi uap dingin. Ia menahan, memutar, menangkis—tapi Wrath bukan lawan yang setengah hati. Makhluk itu menukar gerakannya dengan musik perang purba: satu kepakan sayap, dan guncangan tak bersuara merobohkan dua pohon yang berada di jalurnya, menghasilkan retakan di aspal. Kinari merasakan luka-luka itu: garis-garis sayatan yang menggores kulitnya, bau sengat yang melekat pada baja. Di garis belakang Lucia menjauh, melangkah ke sisi lapangan, menjaga jarak dengan medan pertempuran. Matanya terus mengawasi kota yang runtuh; relic tergenggam seperti obor. Di bawah, Kael bergerak seperti gelombang: menutup putaran warga yang baru “terbangun”, menolong yang tersungkur, menyingkirkan serpihan, mengangkat Deka yang terluka dan kawan-kawannya yang tersayat. Dia berjua

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LXXVI Wrath's Terror

    Untuk sesaat, semuanya tampak berhasil. Air menelan kegelapan, dan seluruh kubah berpendar—sebuah pembersihan. Lucia menitikkan air Relic ke beberapa dahi, membantu proses purifikasi, suaranya memetik lagu-lagu kurun yang membuat anak-anak menatap heran. Kael, yang berputar di kerumunan, memanfaatkan celah itu: ia menolong Deka, mengangkat tubuh teman yang terjepit, menaburkan tali pada kaki-kaki yang gemetar. Ratusan tangan saling meraih, ada pelukan, ada tangisan lega. Kota menaruh harap dalam ritme baru itu. Namun di pinggir kubah, jauh menjulang melebihi pilar air, muncul sesuatu yang tak diharapkan.Wrath — ia tidak lenyap, ia tidak tercerabut. Bayangan besar yang selama ini menggerakkan daging adalah inti dari hukum itu. Ia mengamuk; caranya berbeda dari manusia yang dirasuki: ia bukan boneka, melainkan komando. Tubuhnya membakar kabut menjadi serpih api, dan setiap kali ia menggetarkan sayap, hembusan itu seakan menguras warna dari langit. Ia berputar dengan amarah ya

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LXXV Ocean's Purification

    Kinari menarik napas, panjang seperti gelombang yang sedang mundur sebelum melompat. Lumpur taman menempel di lututnya, rambutnya basah oleh percikan saat terhempas; namun matanya sekarang tidak lagi penuh luka, melainkan sebuah tujuan yang membatu. Lucia meraih tangannya dengan cepat, jemarinya kecil namun tegas, dan membantu sang ratu berdiri. Trident Aetheryn yang sempat terlempar bertaut kembali ke genggaman Kinari—seperti tongkat raja yang dipanggil pulang oleh kewajiban. El’Thyren di leher Kinari berdenyut; cahayanya, yang tadi samar, kini berpendar putih bersih seperti mercu suar di samudra gelap. Dari jauh, ada nada halus — bukan lagi rasa takut, melainkan panggilan purba: Lunareth. Sisi terang dari jiwa Kinari menghapus tepi amarah, memberi ruang agar sesuatu yang lebih murni mengalir. Di dalamnya, Kinari merasakan lagi bisik itu. “Kupinjamkan kekuatanku.” Bukan perintah, tetapi pemberian — sebuah warisan dari laut yang lebih tua dari sejarah. Dengan sopan,

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LXXIV The Ominous Plan of Harrison

    Di ketinggian, di balik kaca berlapis yang memantulkan kota yang hancur, Harrison menonton. Di tangannya secangkir teh yang tak lagi ia minum, ia menyeringai ketika melihat warganya menjelma menjadi penghapus suara. “Hancurkan semuanya,” bisiknya kepada bayangan wrath yang menjadi perintah. “Kau sudah kuberikan tumbal. Balaskan dendam untuk setiap manusia yang menentangku.” Suaranya tipis, namun pada ucapannya ada nada komando: bukan sekadar kemarahan, melainkan kepuasan seorang penjahit yang melihat kainnya terurai lalu dirapikan menjadi pola baru. Di bawah, Wrath bergemuruh, menjalankan permintaan itu. Ia bukan lagi hanya amarah; ia adalah undang-undang yang berwujud, memerintahkan mereka yang ditelan kabut untuk menuntaskan tugasnya: mencabut akar, menghancurkan saksi, merobek cerita. Harrison menatap, matanya seperti kaca yang memantulkan bintang yang ia sendiri yang menyalakan. “Hancurkan kedua kotoran itu—Kael dan Kinari,” ia memerintah. “Buat kota ini tenang

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab LXXIII Night of the Silent Maw

    Hari itu berat seperti batu basah. Matahari tenggelam tanpa seremonial; kota seolah menghembuskan napas panjang sebelum kembali menekuk dirinya pada malam. Wanita yang pagi tadi terperangkap dalam Water-Realm kini berangsur pulih — bekas hitam di pelupuk matanya memudar, dan ketika Lucia menyentuh dahi perempuan itu, relic mengeluarkan kilau lembut yang menempel seperti perban cahaya. Untuk sedetik, semua terasa aman. Mereka menyiapkan makanan, menunggu kabut yang datang sebagai ancaman—tetapi tidak ada yang benar-benar siap untuk apa yang penglihatan manusia sebut monster. Ketika malam mulai mencabik, kabut itu turun kembali. Bukan kabut biasa: pekatnya seperti tinta kristal, bergerak perlahan menutup jalanan, masuk ke selasar, melekat pada genting. Dari sela-sela asap, menjelma manusia-manusia yang hilang—wajah-wajah yang kemarin mereka rencanakan untuk lindungi. Mereka terhenti, lalu membuka mata—dan mata itu bukan lagi mata yang pernah tertawa; ia memekat, hitam peka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status