Home / Fantasi / Kinari dan Benang Waktu / Bab IV: Twisted Reality

Share

Bab IV: Twisted Reality

Author: Niskala
last update Last Updated: 2025-05-23 01:45:35

Retakan yang menganga di ujung jari Tharumen perlahan menguncup.

Bukan seperti pintu yang ditutup, melainkan seperti luka yang dijahit oleh jarum waktu itu sendiri.

Dinding istana kembali mengeras, bentuknya stabil, dan arus-arus air kembali mengalir di sekitar takhta.

Waktu kembali berdenyut.

Di samping tahta, Kael terhuyung lemah.

Para penjaga mengerjapkan mata mereka, dan suara desiran koral kembali terdengar.

Tapi semuanya tahu… bahwa sesuatu telah berubah.

Tharumen menundukkan wajahnya sedikit ke arah Kinari, matanya yang redup kini tak lagi keras, namun tetap membawa berat sejarah tak tertahankan.

“Retakan itu belum sempurna. Ia masih muda, belum tumbuh menjadi luka yang memanggil kehampaan.

Tapi bila dibiarkan, ia akan menelan seluruh Velâthun Thalé, menyalurkan racun waktu ke dunia atas dan bawah, dan membangunkan apa yang seharusnya tak pernah bangun.”

Ia menatap Kinari, yang perlahan mengatur napasnya, jemari tangannya kembali dapat digerakkan.

“Kau, keturunan murni Auryn… yang terakhir dari garis pelindung. Hanya darahmu yang bisa menutup retakan itu, karena hanya darahmu yang menjadi bagian dari perjanjian. Kau harus menjahitnya kembali, dengan tanganmu sendiri.”

Kinari membuka mulutnya, suaranya masih parau. “Aku… sendiri?”

Tharumen menggeleng pelan. “Kau boleh membawa seorang. Satu yang kau percaya. Tapi hanya itu saja, karena waktu tidak akan menoleransi lebih. Terlalu banyak kehadiran akan membuat retakan tumbuh, bukan tertutup.”

Kael, yang berdiri tak jauh, menegang.

Matanya menyapu bergantian antt

ara Kinari, dan Tharumen.

Ia tahu apa yang akan terjadi, dan dadanya bergetar dengan emosi yang tak mampu diucapkan.

Kinari memejamkan mata sejenak, mendengar suara Trident yang berdetak seperti jantung dunia. Lalu membuka mata lagi.

“Kalau begitu… aku akan melakukannya.”

Suaranya tidak lagi semburan ego, melainkan keteguhan yang lahir dari pemahaman.

Bukan penguasa yang mengamuk, tapi penjaga yang memilih untuk berdiri di hadapan kehancuran.

Dari ujung jemari Tharumen, merekah pusaran halus—seperti tetesan air yang mengoyak langit senyap.

Di baliknya, tersingkap samudra yang tak bertepi, langit gelap bertabur lubang cahaya, dan kilatan petir yang menjalin lambang-lambang purba Aumeta.

Waktu di sana tidak mengalir, melainkan bergeming.

Dan di dalam diam itu, menganga sebuah retakan—menanti untuk dijahit kembali.

“Saat kau melangkah melewati ini, kau tak akan lagi sama. Tapi jika kau gagal... tidak ada laut yang akan mengenal namamu lagi.”

Kinari menggenggam Trident-nya erat. Ia menoleh ke arah Kael.

Untuk sesaat, tatapan itu bukan lagi perintah. Tapi sebuah permohonan ikhlas dari sang ratu.

“Bersamaku, Kael?”

Tangan kanan Kinari hanya menunduk dalam diam, lalu melangkah tanpa ragu ke sisi sang ratu.

Mereka berdiri bersama, di ambang pusaran dunia yang koyak oleh luka-luka waktu purba, bersiap menembus batas yang tak lagi mengenal arah.

Langkah pertama melintasi pusaran terasa seperti dicelupkan ke dalam air yang tak memiliki suhu, tak memiliki arah.

Dunia di seberang bukan sekadar berbeda—ia terbalik. Di sana, hukum-hukum realitas bukanlah penguasa, melainkan tamu yang ditoleransi.

Begitu Kinari dan Kael menembus pusaran, mereka tiba dalam bentuk Sea Realm yang asing—seperti refleksi dunia mereka yang direndam dalam tinta waktu dan ditinggalkan membusuk.

Langit di atas tak lagi biru atau abu-abu, tapi retak.

Cahaya menyelinap melalui celah-celahnya, tak bertindak sebagai sinar, melainkan serpihan waktu yang mulai runtuh.

Lautan di bawah kaki mereka tidak lagi memantulkan dunia, melainkan menelan bayangan, menampakkan wajah lain yang bergerak dengan penundaan aneh.

Awan menggulung dari empat arah, seperti napas naga purba yang sedang menggeliat dalam tidur panjang.

Hujan tidak menetes dari atas, tapi dari samping, dan bentuknya seperti benang tipis perak yang mencoba menjahit langit yang koyak.

“Tempat ini… seperti Velâthun Thalé yang terdistorsi waktu,” gumam Kael.

Matanya menyapu lanskap penuh reruntuhan dan struktur koral yang terpelintir oleh waktu.

Kinari lalu menggenggam Trident Aetheryn nya dengan lebih erat, merasakan energi Trident agung itu seperti berusaha melarikan diri.

Seolah tahu bahwa tempat ini tidak mengenal kerajaan atau garis keturunan.

Setiap langkah terasa berat, seakan medan ini tidak mengakui keberadaan mereka.

Mereka bergerak menuju bayangan istana.

Nampak samar dari kejauhan, bangunan yang seharusnya megah itu kini miring ke satu sisi, pilar-pilarnya dipelintir menjadi sulur waktu, dan kubah utamanya... mengambang di bagian atas, tak terikat oleh gravitasi.

Di gerbang terdapat tulisan dari bahasa Aumeta Kuno.

“Kinâri’neth vel Thalu’sénar, tha’reth veláthun réna.” yang berarti "Kinâri yang dijadikan oleh Laut Selatan, ia yang duduk di atas tahta perairan.”

Kinari menatap Aksara Kuno itu dan mendekat.

Seakan menyerap arti dari kata-kata yang telah lama terhapus dari eksistensi itu

Namun saat mereka beranjak, dunia di sekitarnya mulai menggigil.

Dari balik gerbang istana yang remuk, muncul dua sosok. Bayangan yang sangat mereka kenal.

Sosok pertama melangkah keluar—ia mengenakan mahkota yang sama, trident yang sama, tapi tubuhnya dibalut oleh jubah kabut hitam yang tak bisa ditembus mata.

Matanya tak memantulkan cahaya, hanya kehampaan.

Wajahnya adalah wajah Kinari, tapi tatapannya bukan milik sang Ratu, melainkan wajah penguasa yang telah lama melupakan siapa jati dirinya.

"I-Itu.." Ucap Kinari lirih. Nafasnya sedikit tersengal.

Zhaurekh, entitas yang tidak lahir, tetapi tercermin dari jiwa yang terlalu agung dalam pandangannya sendiri.

Di dalam mitos Thelévarin, Zhaurekh muncul bukan sebagai lawan, tapi sebagai pantulan jiwa yang gagal mengenali batasnya.

Mereka menyerupai apa yang dikaguminya… namun melampaui dan membengkokkannya menjadi bentuk yang paling mengerikan.

Di sampingnya, sosok kedua berdiri tegak, namun bayangannya seolah lebih besar dari tubuhnya sendiri.

Rambutnya terjuntai lebih panjang, matanya tajam tapi kosong.

Ia mengenakan baju perang yang telah dibasahi oleh waktu yang mengering, dan dari ujung jemarinya, aura kehampaan merayap ke tanah.

Senyumnya dingin, tapi tenang—bahkan terlalu tenang sebagai sebuah makhluk hidup

Mirazûl, ia tidak pernah memiliki satu bentuk tetap, dan selalu muncul sebagai refleksi terdistorsi dari sosok yang paling dikagumi oleh korbannya.

Sampai kau menyadari bahwa senyumnya tak pernah menyentuh mata, dan langkahnya mengabaikan segala hukum gravitasi.

Tubuhnya seperti disusun dari lapisan air dan kaca patah, wajahnya selalu berganti—kadang menyerupai sang korban, kadang menyerupai ambisinya.

Kinari menahan napas.

Trident Aetheryn berdenyut keras, bukan dalam amarah, tapi dalam ketakutan yang mengenal asalnya.

Kael di sisinya hanya bisa menatap diam, mengenali bayangannya sendiri—dirinya yang mungkin terjadi jika ia memilih kesetiaan buta pada obsesinya ke ratu Kinari.

Zhaurekh melangkah lebih dekat.

Suaranya seperti dua gema berbicara secara bersamaan.

Suara Kinari… dan satu lagi suara kosong yang seakan memakan ujung dunia.

“Datang untuk menjahit petaka, ya?” bisiknya, suara yang menyusup langsung ke dalam benak.

“Padahal kaulah yang menciptakannya… dengan keangkuhan dan penolakan akan janji darahmu.”

Mirazûl tak berkata banyak.

Ia hanya menarik senjatanya, tombak kelam yang seolah terbuat dari tulang waktu yang membatu, lalu menunjuk Kael.

“Kau tidak akan bisa menutup Retakan itu sebelum melewati kami, kemungkinan yang kalian tolak, dan tempat ini… hanya menerima kebenaran yang lengkap.”

Langit bergemuruh. Lautan di bawah mereka memucat, dan semua warna mulai memudar dari dunia itu.

Kinari memutar Trident Aetheryn-nya dan berdiri di depan Kael.

Ia menatap cermin gelap dirinya dan tahu, jika ini bukan hanya perjalanan menutup luka dunia.

Tetapi perjalanan untuk menghadapi dirinya sendiri, yang dulu haus akan ambisi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab IX: Time Realm

    Vaethûl Khazarûn menghilang—bukan menghilang dalam arti pergi, tetapi lenyap seperti bisikan yang tidak pernah ada.Udara yang semula mencekam menjadi hampa,namun di dalam kehampaan itulah mereka tiba—di gerbang istana Tharumen.Istana itu tidak dibangun dari batu, melainkan dari pecahan waktu itu sendiri.Dinding-dindingnya terbuat dari fraktal cahaya dan bayangan, berkilau seperti jam pasir terbalik yang membeku di tengah momentum.Tangga-tangga di depan kastil mengambang, tak bersentuhan dengan tanah, melingkar seperti heliks tak berujung, dan di puncaknya berdiri satu sosok yang familiar.Tharumen.Ia tak mengenakan mahkota, karena waktu sendiri tunduk pada matanya.Kakinya tak menyentuh lantai, jubahnya berayun pelan tanpa angin, dan matanya menyimpan cahaya yang telah melihat akhir dari segala permulaan.Kael memapah Kinari.Langkah mereka pelan dan penuh kepasrahan.Setiap tarikan nafas seperti mencuri waktu dari sisa hidup mereka.Sebagian tubuh Kinari—terutama lengan kanann

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab VII: Time Diversion

    Kinari terhuyung sedangkan Kael mencengkeram erat dadanya.Napas mereka tersendat, tubuh mereka ringan seperti abu. Mereka terhempas ke tanah yang tidak sepenuhnya tanah.Permukaan itu retak dan bergerigi, seperti kulit dunia yang pernah dibakar dan dibekukan sekaligus.Setiap langkah menimbulkan gema ganjil, bukan suara, tapi pantulan dari masa lalu yang tak pernah mereka kenal.Sejauh mata memandang, hanya nampak padang tandus tak bernyawa.Puing-puing berterbangan tanpa arah, melayang dalam angin tanpa suara—seakan waktu sendiri telah patah dan berubah jadi debu.Di kejauhan, reruntuhan melingkar seperti bekas taman agung, kini menjadi makam terbuka bagi peradaban yang terlupakan.Lalu… mereka mendongak.Dan di atas sana—Jam-jam raksasa menggantung di langit, menjuntai dari rantai hitam yang lenyap ke balik awan merah tua.Jarum-jarumnya bergerak perlahan, namun tidak serempak.Masing-masing berdetak dalam irama berbeda, seolah waktu di tempat ini tidak sepakat.Waktu telah dibelah

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab VII: Time Lumination

    Sunyi.Tak ada ombak, tak ada angin. Hanya permukaan laut yang beriak pelan, memantulkan cahaya bagai cermin retak—masih menyimpan gema samar dari pertempuran yang telah usai.Di sana berdiri Kinari dan Kael, seperti dua bayang yang tercabut dari dunia yang mengenal batas dan waktu.Mereka tidak berbicara. Tidak bergerak. Hanya diam, terperangkap dalam keasingan yang nyaris tidak masuk akal.Tempat itu bukanlah Sea Realm mereka.Melainkan pantulan—atau mungkin residu dari masa yang pernah hidup, lalu dilupakan.Bangunan-bangunan karang di kejauhan tidak lagi menjulang megah. Mereka masih melengkung ganjil, seolah waktu dan gravitasi bertengkar dalam bisu.Udara di sekeliling pun terasa asing. Ada aroma samar—seperti dupa kuno yang terbawa dari kuil purba yang tak lagi dikenal dunia.Kinari menengadah.Langit di atasnya bukan langit yang ia kenali.Di balik warna laut kelam itu, tidak ada matahari, tidak pula bintang.Hanya pusaran samar yang perlahan menutup, seperti kelopak mata lang

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab VI: The Beginning of an Unknown

    Laut yang tadi kacau mulai tenang, dan pusaran waktu di sekitar mereka mulai mengering seperti tinta yang kembali masuk ke pena.Kinari jatuh berlutut, namun senyumnya tipis.Ia menatap ke arah tempat Zhaurekh menghilang. Tidak dengan bangga, tapi damai.Ketika debu kegelapan terakhir dari Zhaurekh menguap bersama hembusan arus waktu, Mirazûl pun ikut memudar.Tidak meledak, tidak menjerit. Ia menghilang seperti bayangan yang tersedot ke balik cermin—diam dan pasrah.Karena ia bukan bayangan Kael, bukan pula ciptaan hasrat buruknya.Namun bentukan semata dari ambisi tak terkendali seorang ratu, yang memaksa kesetiaan tanpa memilih kasih.Dan saat Kinari mengakui sisi rapuhnya, fondasi tempat Mirazûl berpijak pun ikut runtuh.Kael lalu berlari menghampiri sang ratu, wajahnya penuh kelegaan dan kekaguman.“Kau tak menaklukkannya dengan kekuatan,” katanya, “kau meluruhkannya dengan hati.”Kinari hanya tersenyum, lalu memandang jauh ke laut luas, di mana batas antara waktu dan kenyataan m

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab V: The Fight of Faith

    Udara di sekeliling mereka merapat, seperti selembar kain yang ditarik paksa ke pusat medan. Deburan ombak di bawah tidak lagi mengikuti hukum gravitasi—ia menari ke atas, membentuk pilar spiral yang menjulang seperti ular air. Langit pecah dalam suara retakan halus, seperti tulang rapuh yang diinjak waktu. Trident Aetheryn bersinar kebiruan, dan Kinari melesat, tubuhnya ditarik oleh kekuatan pusaka itu. Kilat laut berpendar di jejak langkah Kinari, membentuk tombak-tombak air yang melesat ke arah Zhaurekh bagaikan doa kemarahan yang terpatri dalam ombak. Namun Zhaurekh hanya mengangkat telapak tangannya, lembut namun mutlak, dan seketika serangan itu berhenti—menggantung di udara. Membentuk kristal bening yang menyimpan bayang kebencian. Kinari terhenti di dalamnya, sejenak terkekang oleh pantulan dirinya sendiri. “Kau memilih melawanku, Kinari?” bisiknya, suaranya seperti desir kabut yang enggan menempel di tanah. “Padahal akulah pantulanmu yang paling jujur.” Tanpa menjaw

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab IV: Twisted Reality

    Retakan yang menganga di ujung jari Tharumen perlahan menguncup.Bukan seperti pintu yang ditutup, melainkan seperti luka yang dijahit oleh jarum waktu itu sendiri.Dinding istana kembali mengeras, bentuknya stabil, dan arus-arus air kembali mengalir di sekitar takhta. Waktu kembali berdenyut.Di samping tahta, Kael terhuyung lemah.Para penjaga mengerjapkan mata mereka, dan suara desiran koral kembali terdengar.Tapi semuanya tahu… bahwa sesuatu telah berubah.Tharumen menundukkan wajahnya sedikit ke arah Kinari, matanya yang redup kini tak lagi keras, namun tetap membawa berat sejarah tak tertahankan. “Retakan itu belum sempurna. Ia masih muda, belum tumbuh menjadi luka yang memanggil kehampaan.Tapi bila dibiarkan, ia akan menelan seluruh Velâthun Thalé, menyalurkan racun waktu ke dunia atas dan bawah, dan membangunkan apa yang seharusnya tak pernah bangun.”Ia menatap Kinari, yang perlahan mengatur napasnya, jemari tangannya kembali dapat digerakkan.“Kau, keturunan murni Auryn…

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status