Sunyi.
Tak ada ombak, tak ada angin. Hanya permukaan laut yang beriak pelan, memantulkan cahaya bagai cermin retak—masih menyimpan gema samar dari pertempuran yang telah usai. Di sana berdiri Kinari dan Kael, seperti dua bayang yang tercabut dari dunia yang mengenal batas dan waktu. Mereka tidak berbicara. Tidak bergerak. Hanya diam, terperangkap dalam keasingan yang nyaris tidak masuk akal. Tempat itu bukanlah Sea Realm mereka. Melainkan pantulan—atau mungkin residu dari masa yang pernah hidup, lalu dilupakan. Bangunan-bangunan karang di kejauhan tidak lagi menjulang megah. Mereka masih melengkung ganjil, seolah waktu dan gravitasi bertengkar dalam bisu. Udara di sekeliling pun terasa asing. Ada aroma samar—seperti dupa kuno yang terbawa dari kuil purba yang tak lagi dikenal dunia. Kinari menengadah. Langit di atasnya bukan langit yang ia kenali. Di balik warna laut kelam itu, tidak ada matahari, tidak pula bintang. Hanya pusaran samar yang perlahan menutup, seperti kelopak mata langit yang tertidur. Dan di situ—ia berteriak, dengan suara yang mengandung kemarahan, kelelahan, dan kebingungan yang dibungkus dalam satu nada agung. “Tharumen! Sudah kututup celah itu! Aku telah melakukannya!” Gaung suaranya bergulir, memantul pada permukaan laut dan menembus ke dalam samudra seperti suara guntur yang tak menemukan hujan. Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menjawab. Namun ketika harapan mulai meluruh dari ujung lidahnya, langit kembali terbelah, pelan nan anggun, tapi menyeramkan. Seolah langit sendiri enggan mengulangi kesalahan waktu. Pusaran itu muncul kembali. Kali ini lebih tenang, namun memancarkan daya tarik yang tak bisa ditolak. Di tengah pusaran, kabut emas berkilau seperti serpihan cahaya yang dilahirkan dari ingatan masa depan. Lalu, dari kejauhan, suara itu datang. “Kau belum selesai.” Suara itu lirih—namun menggema seperti dentang takdir dari langit tertinggi. Itu suara Tharumen, meski tak keluar dari tenggorokan, tak melintas udara. Ia muncul dari celah tersembunyi antara detak jantung dan denyut waktu. Suara yang tak bisa dihindari oleh daging maupun jiwa. Kinari mengepalkan jemarinya. Nafasnya bergetar, seolah tubuhnya menggigil sebelum badai yang tak tampak menerjang Kael menoleh, pandangannya tajam namun sarat peringatan. Mereka telah menang, tapi belum dilepaskan. “Apakah ini... ujian lain?” bisik Kael, nyaris seperti doa yang gentar. Kinari tak menjawab. Tatapannya tertambat pada pusaran itu—lingkaran cahaya yang berputar pelan, tidak menunjukkan arah, tidak menjanjikan akhir. Tapi ia memanggil… seperti ingatan purba yang menuntut dipenuhi. Seolah semesta telah memutuskan, dan mereka hanya bisa melangkah. Takdir tidak selalu mengetuk pintu. Terkadang, ia hanya membuka celah—dan menunggu apakah kau berani melangkah. Langkah pertama adalah keheningan. Langkah kedua adalah keberanian. Kinari melangkah lebih dulu, jubahnya melambai bagai kabut perang yang tahu ke mana badai akan mengarah. Kael mengikuti, mata tajamnya menusuk kedalaman pusaran yang berputar pelan—bukan menuju masa depan, melainkan ke arah yang tak dikenali oleh waktu itu sendiri. Saat ujung jemari mereka menyentuh batas pusaran, tubuh mereka mulai terurai—bukan menjadi debu, tapi menjadi serpih-serpih waktu. Rambut mereka menari, kulit mereka berpendar lembut, dan dunia di sekeliling pecah menjadi mosaik—warna-warna yang tak pernah diberi nama oleh makhluk fana. Kemudian, mereka tenggelam. Sea Realm palsu runtuh di belakang mereka—pecah seperti cermin air yang dipukul cahaya. Laut terbalik, menumpahkan ribuan makhluk tanpa bentuk ke angkasa yang kini mencair, meluruh seperti cat minyak di atas kaca. Langit kehilangan warna. Udara kehilangan arah. Dan napas waktu sendiri tertahan, seolah semesta sedang menggulung dirinya, bersiap menyusun ulang takdir dengan benang yang berbeda. Ketika tubuh mereka menembus pusaran yang tak memiliki bentuk maupun batas, sesuatu mencengkram jiwa mereka. Bukan tangan, bukan cakar, bukan pula jaring mantra. Melainkan tarikan purba. Lembut, namun buas. Menyusup perlahan seperti bayangan di bawah air, dan tiba-tiba mencuri nyawa dari dalam dada, seperti angin dingin yang meniup habis nyala pelita. Sebuah kekosongan yang lapar, bukan untuk tubuh, tapi untuk kemungkinan. Mereka tak tahu ke mana mereka akan sampai. Dunia berikutnya bisa berupa apa pun—kerajaan tua yang terkubur waktu, bentang langit yang tak mengenal bintang, atau hanya kehampaan. Tapi satu hal telah ditetapkan, tercetak di jantung semesta dengan cahaya yang tak bisa dipadamkan. Luminasi Waktu telah dimulai.Kael memanfaatkan keributan itu. Saat Greed melompat ke arah Wrath, Beelzebub yang teralihkan menengadah untuk menenggak makanan baru—sesuatu yang membuatnya lengah. Kael menerjang, bukan untuk membunuh, tetapi menekan bagian perut Beelzebub sehingga lendir yang memulihkan kulitnya terciprat ke sisi; reaksi itu bukan berakhir, tetapi cukup untuk membuat pembukaan yang bisa dimanfaatkan. Kael memotong tali sensor di punggung sayap serangga — memutus sedikit sinkronisasi yang memberi makan pada massanya. Di sisi lain Lucia, terjepit oleh Lust dan Envy, menutup mata dan meremat relic. Ia berbisik nyanyian yang diajarkan neneknya—lagu-lagu penenang yang mengikat rasa dengan kenangan. Lust, yang mencari hangat, melihat bayangan yang lucu: wajah muda Lucia tersenyum; sementara Envy yang meniru, melihat dirinya sendiri memantulkan bayangan lain yang tidak puas—kedua itu terbuka kelemahan mereka: kerinduan untuk memiliki yang bukan milik mereka. Lucia menempelkan relic ke tanah;
Kinari menangkis gempuran dengan seluruh tubuh yang masih berdenyut. Setiap tebasan tridentnya menimbulkan pilar air kecil yang retak; setiap ayun melepaskan jingga kilau Lunareth yang membakar kabut hitam menjadi uap dingin. Ia menahan, memutar, menangkis—tapi Wrath bukan lawan yang setengah hati. Makhluk itu menukar gerakannya dengan musik perang purba: satu kepakan sayap, dan guncangan tak bersuara merobohkan dua pohon yang berada di jalurnya, menghasilkan retakan di aspal. Kinari merasakan luka-luka itu: garis-garis sayatan yang menggores kulitnya, bau sengat yang melekat pada baja. Di garis belakang Lucia menjauh, melangkah ke sisi lapangan, menjaga jarak dengan medan pertempuran. Matanya terus mengawasi kota yang runtuh; relic tergenggam seperti obor. Di bawah, Kael bergerak seperti gelombang: menutup putaran warga yang baru “terbangun”, menolong yang tersungkur, menyingkirkan serpihan, mengangkat Deka yang terluka dan kawan-kawannya yang tersayat. Dia berjua
Untuk sesaat, semuanya tampak berhasil. Air menelan kegelapan, dan seluruh kubah berpendar—sebuah pembersihan. Lucia menitikkan air Relic ke beberapa dahi, membantu proses purifikasi, suaranya memetik lagu-lagu kurun yang membuat anak-anak menatap heran. Kael, yang berputar di kerumunan, memanfaatkan celah itu: ia menolong Deka, mengangkat tubuh teman yang terjepit, menaburkan tali pada kaki-kaki yang gemetar. Ratusan tangan saling meraih, ada pelukan, ada tangisan lega. Kota menaruh harap dalam ritme baru itu. Namun di pinggir kubah, jauh menjulang melebihi pilar air, muncul sesuatu yang tak diharapkan.Wrath — ia tidak lenyap, ia tidak tercerabut. Bayangan besar yang selama ini menggerakkan daging adalah inti dari hukum itu. Ia mengamuk; caranya berbeda dari manusia yang dirasuki: ia bukan boneka, melainkan komando. Tubuhnya membakar kabut menjadi serpih api, dan setiap kali ia menggetarkan sayap, hembusan itu seakan menguras warna dari langit. Ia berputar dengan amarah ya
Kinari menarik napas, panjang seperti gelombang yang sedang mundur sebelum melompat. Lumpur taman menempel di lututnya, rambutnya basah oleh percikan saat terhempas; namun matanya sekarang tidak lagi penuh luka, melainkan sebuah tujuan yang membatu. Lucia meraih tangannya dengan cepat, jemarinya kecil namun tegas, dan membantu sang ratu berdiri. Trident Aetheryn yang sempat terlempar bertaut kembali ke genggaman Kinari—seperti tongkat raja yang dipanggil pulang oleh kewajiban. El’Thyren di leher Kinari berdenyut; cahayanya, yang tadi samar, kini berpendar putih bersih seperti mercu suar di samudra gelap. Dari jauh, ada nada halus — bukan lagi rasa takut, melainkan panggilan purba: Lunareth. Sisi terang dari jiwa Kinari menghapus tepi amarah, memberi ruang agar sesuatu yang lebih murni mengalir. Di dalamnya, Kinari merasakan lagi bisik itu. “Kupinjamkan kekuatanku.” Bukan perintah, tetapi pemberian — sebuah warisan dari laut yang lebih tua dari sejarah. Dengan sopan,
Di ketinggian, di balik kaca berlapis yang memantulkan kota yang hancur, Harrison menonton. Di tangannya secangkir teh yang tak lagi ia minum, ia menyeringai ketika melihat warganya menjelma menjadi penghapus suara. “Hancurkan semuanya,” bisiknya kepada bayangan wrath yang menjadi perintah. “Kau sudah kuberikan tumbal. Balaskan dendam untuk setiap manusia yang menentangku.” Suaranya tipis, namun pada ucapannya ada nada komando: bukan sekadar kemarahan, melainkan kepuasan seorang penjahit yang melihat kainnya terurai lalu dirapikan menjadi pola baru. Di bawah, Wrath bergemuruh, menjalankan permintaan itu. Ia bukan lagi hanya amarah; ia adalah undang-undang yang berwujud, memerintahkan mereka yang ditelan kabut untuk menuntaskan tugasnya: mencabut akar, menghancurkan saksi, merobek cerita. Harrison menatap, matanya seperti kaca yang memantulkan bintang yang ia sendiri yang menyalakan. “Hancurkan kedua kotoran itu—Kael dan Kinari,” ia memerintah. “Buat kota ini tenang
Hari itu berat seperti batu basah. Matahari tenggelam tanpa seremonial; kota seolah menghembuskan napas panjang sebelum kembali menekuk dirinya pada malam. Wanita yang pagi tadi terperangkap dalam Water-Realm kini berangsur pulih — bekas hitam di pelupuk matanya memudar, dan ketika Lucia menyentuh dahi perempuan itu, relic mengeluarkan kilau lembut yang menempel seperti perban cahaya. Untuk sedetik, semua terasa aman. Mereka menyiapkan makanan, menunggu kabut yang datang sebagai ancaman—tetapi tidak ada yang benar-benar siap untuk apa yang penglihatan manusia sebut monster. Ketika malam mulai mencabik, kabut itu turun kembali. Bukan kabut biasa: pekatnya seperti tinta kristal, bergerak perlahan menutup jalanan, masuk ke selasar, melekat pada genting. Dari sela-sela asap, menjelma manusia-manusia yang hilang—wajah-wajah yang kemarin mereka rencanakan untuk lindungi. Mereka terhenti, lalu membuka mata—dan mata itu bukan lagi mata yang pernah tertawa; ia memekat, hitam peka