Share

Bab VII: Time Diversion

Aвтор: Niskala
last update Последнее обновление: 2025-08-08 22:30:59

Kinari terhuyung sedangkan Kael mencengkeram erat dadanya.

Napas mereka tersendat, tubuh mereka ringan seperti abu. Mereka terhempas ke tanah yang tidak sepenuhnya tanah.

Permukaan itu retak dan bergerigi, seperti kulit dunia yang pernah dibakar dan dibekukan sekaligus.

Setiap langkah menimbulkan gema ganjil, bukan suara, tapi pantulan dari masa lalu yang tak pernah mereka kenal.

Sejauh mata memandang, hanya nampak padang tandus tak bernyawa.

Puing-puing berterbangan tanpa arah, melayang dalam angin tanpa suara—seakan waktu sendiri telah patah dan berubah jadi debu.

Di kejauhan, reruntuhan melingkar seperti bekas taman agung, kini menjadi makam terbuka bagi peradaban yang terlupakan.

Lalu… mereka mendongak.

Dan di atas sana—Jam-jam raksasa menggantung di langit, menjuntai dari rantai hitam yang lenyap ke balik awan merah tua.

Jarum-jarumnya bergerak perlahan, namun tidak serempak.

Masing-masing berdetak dalam irama berbeda, seolah waktu di tempat ini tidak sepakat.

Waktu telah dibelah-belah, dan setiap potongnya adalah luka.

Satu jam berdetak maju, satu lagi mundur. Sedangkan yang lainnya hanya diam, berputar dalam lingkaran seperti linglung.

Kael mengusap wajahnya, debu halus menempel di kulit seperti serbuk kaca.

"Tempat apa ini…?" gumamnya, tapi suaranya sendiri lenyap, seperti ditelan perut dunia.

Kinari jatuh berlutut.

Tidak karena luka, tapi karena rasa asing yang membakar dari dalam.

Tangannya mencari Trident—Relik kebangsaannya, simbol kekuatan dan garis darah agung.

Tapi ketika ia menariknya dari tanah yang meleleh seperti kaca, ia hampir tak mengenalinya.

Trident Aetheryn itu… berkarat.

Logam peraknya telah dilumuri warna kehijauan. Ujung-ujungnya kusam, dan permukaannya retak seperti kulit tua.

Simbol kejayaan lautan kini terlihat rapuh, rentan, tak cocok di dunia ini.

Kael menatapnya dengan mata membelalak. “Relic agung... tidak mampu menahan paparan energi tempat ini…”

Kinari lalu menggenggam gagangnya. Memastikan jika energi trisula itu masih ada.

Lalu getaran dingin menjalar dari logam ke nadinya. Tapi itu bukan ketakutan, tetapi penghakiman.

Taman ini, jika memang bisa disebut taman, bukan ladang untuk menumbuhkan, tapi untuk menghakimi, terasa begitu tak lazim dan menyimpang dari segala hukum duniawi.

Waktu tidak tumbuh, melainkan terkikis.

Dan dari balik debu, dan lipatan pasir yang berbisik, langit sedang menggantungkan waktu sebagai hukuman.

Mereka tahu, Tempat ini bukan sekadar dunia…

Ini adalah Ujung Dimensi Waktu yang tak pernah ada bagi makhluk fana.

Dan mereka—baru saja melangkah ke dalam sebuah neraca penentu segalanya.

Langit yang koyak tidak menggeram. Ia diam, menganga, dan dari celah kekosongan itu, sosok itu datang.

Ia tak melangkah, ia melayang. Tanpa suara, tanpa arah.

Siluetnya adalah bayangan dari segala yang tak pernah hidup namun tak bisa mati.

Vaethûl Khazarûn, begitulah kaum Thelévarin menyebutnya—penjaga abadi dari Temporal-Null—titik hampa di mana waktu menolak eksistensi.

Bentuknya menyerupai Grim Reaper, namun tak membawa sabit.

Sebagai gantinya, ia menggenggam erat sebuah jam pasir hitam, yang isinya bukan pasir, melainkan cahaya-cahaya kecil seperti bintang yang telah dicuri dari langit.

Kap jubahnya meliuk seperti asap terbalik, dan setiap gerakannya seakan menyentuh sisi lain dari dimensi yang tak bisa dilihat mata fana.

Ia menghampiri.

Tak ada suara langkah.

Namun udara mengencang, tanah meliuk seperti gelombang, dan napas Kinari tercekik sejenak hanya karena kehadirannya.

"Kalian... tak seharusnya di sini."

Suara itu dalam, berat, namun datang dari dalam kepala mereka—seolah suara itu dilahirkan dari ingatan mereka sendiri.

Jam pasir dalam genggamannya bergeser perlahan, dan sang pengoyak waktu mengangkat tangannya.

Jemarinya panjang, berujung runcing seperti jarum jam, dan saat ia menyentuh udara di depan Kinari dan Kael, arus waktu murni mengalir dari ujung jarinya.

Masuk ke tubuh mereka seperti arteri kosmik yang menghubungkan kembali eksistensi ke garis waktu yang stabil.

Nafas mereka kembali teratur.

Warna kulit Kinari yang semula memucat kini memanas perlahan, seiring aliran waktu yang bergerak maju merasuki jaring kehidupan mereka.

"Kalian... akan larut ke dalam kehampaan… jika tinggal terlalu lama di sini."

Kael, dengan suara serak tapi penuh ketegasan, menjawab, "Kami... dikirim oleh Tharumen."

Seketika, semua gerak berhenti.

Tetapi Vaethûl Khazarûn tidak berbicara.

Ia hanya berhenti.

Jam-jam raksasa di langit ikut membeku.

Debu tidak berjatuhan, tapi menggantung di udara. Bahkan denyut waktu itu sendiri terheningkan.

Lalu, perlahan, Vaethûl Khazarûn memutar jam pasir di belakang punggungnya—jam pasir kolosal, bertengger pada poros obsidian yang melengkung dari langit hingga ke bawah tanah.

Saat ia memutarnya, cahaya dari dalam pasir waktu itu melengkung.

Langit mengerut seperti kertas dibakar, kemudian waktu tidak lagi hanya bergerak.

Ia menggeliat, terserap ke dalam titik pusat, dan memuntahkan mereka ke dalam spiral berwarna ungu, biru, dan emas—warna dari ingatan dan masa depan yang belum terjadi.

Transisi itu bukan perpindahan.

Itu lebih seperti penghancuran.

Tubuh Kinari dan Kael terpental keras, seperti dilempar oleh tangan raksasa yang terbuat dari dimensi itu sendiri.

Tulang Kinari melengkung sejenak, tubuhnya terbanting ke pusaran ruang seperti lembaran logam yang dipukul tanpa ampun oleh gada.

Ia memuntahkan darah—biru terang, seperti esensi samudra yang terbakar.

Kael kembali terhuyung, tapi segera merangkak, menarik tubuh Kinari, menyelimuti wajahnya yang berkeringat dingin dengan jubahnya sendiri.

“Ratu… bertahanlah! Kita belum sampai…!”

Di sekeliling mereka, Temporal Realm mulai terwujud.

Pilar-pilar waktu tumbuh dari tanah seperti kristal hidup.

Langitnya berupa layar retak yang memantulkan kenangan—wajah-wajah lama, masa lalu yang belum selesai.

Waktu di sini juga ta berjalan sebagaimana mestinya—ia bernyanyi dalam gema sunyi.

Bergetar seperti senar harpa langit, dan menyayat setiap inci kesadaran yang masih tersisa.

Di tengah riuh senyap itu, tampaklah altar purba yang terjalin dari bintang-bintang yang membatu—sebuah takhta sunyi tempat Tharumen menunggu.

Di sana.. segala akar waktu berpusar, mengalir kembali ke hulu mula yang belum pernah dikenang dunia.

Namun setiap langkah menuju cahaya itu menuntut bayaran.

Dan harga yang dibayarkan hari ini… adalah rasa sakit yang tak dikenal bahkan oleh para dewa—rasa sakit yang membuat tubuh fana belajar bahasa derita yang lebih tua dari luka itu sendiri.

Seperti napas terakhir sebelum badai berikutnya datang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab IX: Time Realm

    Vaethûl Khazarûn menghilang—bukan menghilang dalam arti pergi, tetapi lenyap seperti bisikan yang tidak pernah ada.Udara yang semula mencekam menjadi hampa,namun di dalam kehampaan itulah mereka tiba—di gerbang istana Tharumen.Istana itu tidak dibangun dari batu, melainkan dari pecahan waktu itu sendiri.Dinding-dindingnya terbuat dari fraktal cahaya dan bayangan, berkilau seperti jam pasir terbalik yang membeku di tengah momentum.Tangga-tangga di depan kastil mengambang, tak bersentuhan dengan tanah, melingkar seperti heliks tak berujung, dan di puncaknya berdiri satu sosok yang familiar.Tharumen.Ia tak mengenakan mahkota, karena waktu sendiri tunduk pada matanya.Kakinya tak menyentuh lantai, jubahnya berayun pelan tanpa angin, dan matanya menyimpan cahaya yang telah melihat akhir dari segala permulaan.Kael memapah Kinari.Langkah mereka pelan dan penuh kepasrahan.Setiap tarikan nafas seperti mencuri waktu dari sisa hidup mereka.Sebagian tubuh Kinari—terutama lengan kanann

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab VII: Time Diversion

    Kinari terhuyung sedangkan Kael mencengkeram erat dadanya.Napas mereka tersendat, tubuh mereka ringan seperti abu. Mereka terhempas ke tanah yang tidak sepenuhnya tanah.Permukaan itu retak dan bergerigi, seperti kulit dunia yang pernah dibakar dan dibekukan sekaligus.Setiap langkah menimbulkan gema ganjil, bukan suara, tapi pantulan dari masa lalu yang tak pernah mereka kenal.Sejauh mata memandang, hanya nampak padang tandus tak bernyawa.Puing-puing berterbangan tanpa arah, melayang dalam angin tanpa suara—seakan waktu sendiri telah patah dan berubah jadi debu.Di kejauhan, reruntuhan melingkar seperti bekas taman agung, kini menjadi makam terbuka bagi peradaban yang terlupakan.Lalu… mereka mendongak.Dan di atas sana—Jam-jam raksasa menggantung di langit, menjuntai dari rantai hitam yang lenyap ke balik awan merah tua.Jarum-jarumnya bergerak perlahan, namun tidak serempak.Masing-masing berdetak dalam irama berbeda, seolah waktu di tempat ini tidak sepakat.Waktu telah dibelah

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab VII: Time Lumination

    Sunyi.Tak ada ombak, tak ada angin. Hanya permukaan laut yang beriak pelan, memantulkan cahaya bagai cermin retak—masih menyimpan gema samar dari pertempuran yang telah usai.Di sana berdiri Kinari dan Kael, seperti dua bayang yang tercabut dari dunia yang mengenal batas dan waktu.Mereka tidak berbicara. Tidak bergerak. Hanya diam, terperangkap dalam keasingan yang nyaris tidak masuk akal.Tempat itu bukanlah Sea Realm mereka.Melainkan pantulan—atau mungkin residu dari masa yang pernah hidup, lalu dilupakan.Bangunan-bangunan karang di kejauhan tidak lagi menjulang megah. Mereka masih melengkung ganjil, seolah waktu dan gravitasi bertengkar dalam bisu.Udara di sekeliling pun terasa asing. Ada aroma samar—seperti dupa kuno yang terbawa dari kuil purba yang tak lagi dikenal dunia.Kinari menengadah.Langit di atasnya bukan langit yang ia kenali.Di balik warna laut kelam itu, tidak ada matahari, tidak pula bintang.Hanya pusaran samar yang perlahan menutup, seperti kelopak mata lang

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab VI: The Beginning of an Unknown

    Laut yang tadi kacau mulai tenang, dan pusaran waktu di sekitar mereka mulai mengering seperti tinta yang kembali masuk ke pena.Kinari jatuh berlutut, namun senyumnya tipis.Ia menatap ke arah tempat Zhaurekh menghilang. Tidak dengan bangga, tapi damai.Ketika debu kegelapan terakhir dari Zhaurekh menguap bersama hembusan arus waktu, Mirazûl pun ikut memudar.Tidak meledak, tidak menjerit. Ia menghilang seperti bayangan yang tersedot ke balik cermin—diam dan pasrah.Karena ia bukan bayangan Kael, bukan pula ciptaan hasrat buruknya.Namun bentukan semata dari ambisi tak terkendali seorang ratu, yang memaksa kesetiaan tanpa memilih kasih.Dan saat Kinari mengakui sisi rapuhnya, fondasi tempat Mirazûl berpijak pun ikut runtuh.Kael lalu berlari menghampiri sang ratu, wajahnya penuh kelegaan dan kekaguman.“Kau tak menaklukkannya dengan kekuatan,” katanya, “kau meluruhkannya dengan hati.”Kinari hanya tersenyum, lalu memandang jauh ke laut luas, di mana batas antara waktu dan kenyataan m

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab V: The Fight of Faith

    Udara di sekeliling mereka merapat, seperti selembar kain yang ditarik paksa ke pusat medan. Deburan ombak di bawah tidak lagi mengikuti hukum gravitasi—ia menari ke atas, membentuk pilar spiral yang menjulang seperti ular air. Langit pecah dalam suara retakan halus, seperti tulang rapuh yang diinjak waktu. Trident Aetheryn bersinar kebiruan, dan Kinari melesat, tubuhnya ditarik oleh kekuatan pusaka itu. Kilat laut berpendar di jejak langkah Kinari, membentuk tombak-tombak air yang melesat ke arah Zhaurekh bagaikan doa kemarahan yang terpatri dalam ombak. Namun Zhaurekh hanya mengangkat telapak tangannya, lembut namun mutlak, dan seketika serangan itu berhenti—menggantung di udara. Membentuk kristal bening yang menyimpan bayang kebencian. Kinari terhenti di dalamnya, sejenak terkekang oleh pantulan dirinya sendiri. “Kau memilih melawanku, Kinari?” bisiknya, suaranya seperti desir kabut yang enggan menempel di tanah. “Padahal akulah pantulanmu yang paling jujur.” Tanpa menjaw

  • Kinari dan Benang Waktu   Bab IV: Twisted Reality

    Retakan yang menganga di ujung jari Tharumen perlahan menguncup.Bukan seperti pintu yang ditutup, melainkan seperti luka yang dijahit oleh jarum waktu itu sendiri.Dinding istana kembali mengeras, bentuknya stabil, dan arus-arus air kembali mengalir di sekitar takhta. Waktu kembali berdenyut.Di samping tahta, Kael terhuyung lemah.Para penjaga mengerjapkan mata mereka, dan suara desiran koral kembali terdengar.Tapi semuanya tahu… bahwa sesuatu telah berubah.Tharumen menundukkan wajahnya sedikit ke arah Kinari, matanya yang redup kini tak lagi keras, namun tetap membawa berat sejarah tak tertahankan. “Retakan itu belum sempurna. Ia masih muda, belum tumbuh menjadi luka yang memanggil kehampaan.Tapi bila dibiarkan, ia akan menelan seluruh Velâthun Thalé, menyalurkan racun waktu ke dunia atas dan bawah, dan membangunkan apa yang seharusnya tak pernah bangun.”Ia menatap Kinari, yang perlahan mengatur napasnya, jemari tangannya kembali dapat digerakkan.“Kau, keturunan murni Auryn…

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status