Share

Bab 3

Tuhan berbaik hati karna kasi gue kesempatan buat deket sama orang yang gue suka.

- Jinny -

***

"Ma, Pa. Jinny berangkat ya," pamit Jinny pada Mama dan Papanya seraya mencium tangan mereka.

"Gak bareng abang kamu aja Jinn?" tanya Bita- Mamanya.

"Iya, atau bareng papa aja sekalian," sambung Fero- Papanya.

"Gak ah, Jinny kan pengen aja tuh naik angkot, merakyat gitulah," jawab Jinny seraya terkekeh pelan.

Mama Papanya hanya menggeleng, dalam hati mereka bersyukur mempunyai anak seperti Jinny dan Tara, walaupun dari orang yang berada, perusahaan Papanya pun dimana-mana, belum lagi dengan butik dan kafe yang dimiliki Mamanya, tapi mereka masih merasa sederhana, tak menghambur-hamburkan uang orang tuanya.

Jinny tersenyum begitu pun dengan orang tuanya. "Udah ah, Jinny berangkat dulu, jangan kangen ya sama si Imut Jinny, Assalamualaikum," pamit Jinny.

Fero dan Bita saling berpandangan lalu tertawa menanggapi ucapan anaknya itu. "Waalaikumsalam," jawab mereka setelahnya.

Jinny berjalan santai ke arah halte, sesekali ia bersenandung ria.

"Woy kecebong lumpur!"

Jinny mendengus tanpa ada niatan menatap orang yang memanggilnya, dari suaranya saja ia sudah tau bahwa itu si Jai brengsek. Jinny tetap melangkah tak acuh, setelah sampai halte ia mendudukkan pantatnya dan mulai menunggu bis atau angkot yang lewat.

"Woy kecebong lo budeg apa ya?"

Lagi-lagi Jinny mendengus, bahkan dipagi haripun Jai tak berhenti menganggunya.

"Kenapa?!"

"Wih ketus amat jawabnya,"

"Ngapain juga harus lemah-lembut sama orang kayak lo!"

Jai tersenyum sinis, lalu ia kembali membuka mulutnya dan bertanya.

"Mau bareng kagak nih?" tanya Jai.

Jinny kembali mendengus.

"Ogah!" jawabnya, kasar.

"Oh, yaudah deh!"

"Ya udah!"

Jinny kembali menunggu kendaraan yang lewat. Sedangkan Jai sudah melaju dengan motornya. Beberapa menit kemudian angkot datang, Jinny pun segera masuk ke dalamnya.

Jinny memasuki kelasnya dengan terburu buru, ia baru ingat kalau hari ini PR matematika akan dikumpul.

"Sasyaaa!!" teriak Jinny heboh.

"Ngapa lo?" tanya Sasya.

"Bagi contekan dong!" pinta Jinny.

"Contekan apaan?" tanya Sasya lagi, ia bingung contekan apa yang dimaksud Jinny.

"PR woy PR matematika," jawab Jinny, ia mulai panik.

"Astaga!!! Gue lupa ngerjainnya,"

Jinny menghela napas pasrah, ia dan Sasya mulai berpandangan, senyum ceria perlahan tercetak di wajah mereka. Ada jalan keluar.

"Dika, pinjem buku lo dong!" pinta Jinny, dengan nada memelas yang di imut- imutkan.

Dika yang tak tahan pun memberikannya.

Jai yang melihatnya hanya mendengus. Namun apa peduli Jinny, yang penting dia tak mendapat hukuman nantinya.

"Cepetan Sya, dikit lagi masuk nih," Sasya yang masih menulis pun menambah kecepatannya, sedangkan Jinny sudah selesai dari tadi. Dalam soal menulis cepat Jinny adalah jagonya dan tulisannya pun tetap rapi, enak untuk dibaca.

"Selamat pagi anak anak," sapa Bu Fatimah, guru matematika.

Sasya yang selesai bertepatan dengan masuknya Bu Fatimah bernapas lega, ia segera melempar buku contekan tadi ke arah tuannya, tanpa sepengatahuan Bu Fatimah tentunya.

"Ratih, kamu kumpulkan PR yang kemarin ibu kasih ya," perintah Bu Fatimah pada Ratih selaku ketua kelas. Ratih hanya mengangguk lalu mulai meengumpulkan buku teman sekelasnya.

Ratih itu ketua kelas di kelas Jinny, dia itu cantik dan pintar, Jinny sangat mengaguminya. Jinny ingin sekali berteman dengan Ratih, namun Ratih seolah tak menyukai Jinny, entah karena apa.

"Oke anak anak, kita lanjut materi yang kemarin, silahkan buka buku kalian masing masing," ucap Bu Fatimah. Jinny hanya pasrah, matematika adalah pelajaran yang paling dibencinya. Namun mau bagaimana lagi, sebagai siswa ia wajib menuntut ilmu dan belajar, sedangkan matematika adalah ilmu yang wajib dipelajari. Sudahlah, terima saja takdirnya.

***

Jinny berjalan terburu-buru menuju toilet, perutnya sakit, dia sudah tak tahan lagi.

"Minggir-minggir!" teriak Jinny saat beberapa siswi menghalangi jalannya.

"Lo kenapa sih Jinn?" tanya salah satu siswi yang ditabraknya dengan tak sengaja. Jinny hanya nyengir kuda, ia kembali berlari.

"Urusan genting nih, bom atom mau meledak!" teriaknya tanpa menatap siswi tadi. Setalah sampai di toilet ia buru-buru masuk dan memulai perundingannya.

Beberapa menit setelahnya Jinny selesai, ia berjalan santai dikoridor, semua jam pelajaran lagi free, semua guru sedang rapat, entah membahas apa, yang jelas bukan urusan Jinny lah.

Seseorang yang entah datangnya darimana menabrak Jinny sehingga ia pun tersungkur ke lantai, lututnya terasa nyeri, untuk berdiripun ia tak sanggup, mungkin karna tabrakannya yang terlalu keras.

Tangan seseorang terulur di depannya, Jinny mendongak, matanya melotot, Kak Aldi! Teriaknya dalam hati, mimpi apa dia semalam bisa tabrakan sama kakak kelas cogan. Kalo gini tiap hari mah Jinny rela ditabrak tiap hari, asalkan sama si Aldi.

"Hey, maaf ya. Gue gak sengaja. Sini gue bantuin,"

Jinny tak ada hentinya memandangi wajah indah Aldi, sungguh indah ciptaanmu Tuhan. Aldi yang merasa tak ada respon dari Jinny segera mengangkat Jinny kegendongannya, sontak membuat para siswi menjerit heboh.

"Pengen dong digendong juga,"

"Kak Aldi ngapain gendong dia sih?"

"Mending gendong aku aja kali kak, masih cantikan aku jugak,"

Dan masih banyak lagi jeritan dari para siswi.

Jinny tersadar.

"Eh kak, turunin gue aja kak, malu diliatin banyak orang," ucap Jinny, pipinya sudah semerah tomat sekarang, ia merasa malu, gugup, takut, semuanya melebur jadi satu.

"Diem! Gak usah peduliin orang lain, liat aja tuh lutut lo yang memar, pasti tadi gue nabrak lo terlalu keras,"

"Tapi i-"

"Udah diem aja gue bilang, dikit lagi nayampe di UKS,"

Jinny pun terdiam, entah mengapa ia merasa panas dingin, jantungnya berpacu dengan kecepatan di atas rata-rata. Aldi adalah sosok yang mengagumkan baginya, sudah sejak kelas 10 saat Aldi masih menjabat sebagai ketua osis, Jinny mengaguminya. Dan sekarang ia berada digendongan Aldi, anugrah tersendiri baginya.

Setelah sampai di UKS, Aldi segera membaringkan Jinny di kasur lalu mulai mencari kotak P3K. Ia merasa khawatir karna lutut Jinny yang membiru. Sungguh ia tak sengaja menabraknya tadi.

Setelah menumukannya, sesegara mungkin Aldi mengobati luka Jinny.

Jinny hanya diam mematung, ia mungkin bermimpi, ia mencubit lengannya, sakit! berarti ini bukan sebuah mimpi. Perlahan Jinny tersenyum.

"Lo Jinny kan?" tanya Aldi setelah selesai mengobati Jinny.

Jinny mengangguk, "iya,"

"Maaf ya, tadi gue gak sengaja nabrak lo," ucap Aldi tulus.

"Udah kali kak, gak sengaja ini. Gak usah dipikirin, gue mau balik ke kelas aja dah," ucap Jinny, ia sudah tak tahan berada di posisi seperti ini. Jinny mulai bangkit lalu berjalan ke arah pintu namun tangannya dicekal.

"Boleh gue minta Id Line lo?" tanya Aldi.

Jinny tersenyum cerah, ia mengangguk lalu memngetikkan Id line-nya di ponsel Aldi.

"Makasih, ayo gue anterin kekelas lo,"

Jinny kembali mengangguk, Aldi bergerak ingin merangkul Jinny namun Jinny menepis tamgannya.

"Gak usah kak, gue bisa jalan sendiri kok," ucap Jinny.

Aldi hanya mengangguk mengerti lalu mengikuti Jinny dari belakang, takut jika nanti Jinny terjatuh, maka Aldi bisa menangkapnya dari belakang.

"Gue kekelas dulu ya kak," ucap Jinny malu-malu, Aldi hanya mengangguk lalu tersenyum manis ke arah Jinny.

Pipi Jinny kembali memerah, ia segera masuk ke kelas lalu duduk di bangkunya.

"Cie yang malu-malu abis di gendong gebetan," ejek Sasya.

"Apaan sih, B aja," ucap Jinny santai, padahal dalam hatinya ia berteriak kegirangan.

"Baru jatuh segitu aja udah manja!" sindir Jai.

"Apaan sih lo! Syirik banget jadi orang," ucap Jinny jengkel.

"Cih, syirik lo bilang? Ngapain gue syirik sama cewek kayak lo?!"

"Ya udah kali diem aja, ngapain lo nyolot ke gue!"

"Sapa yang nyolot, gue ngomong apa adanya tuh,"

"Apa adanya pala lu peang!"

"Pala gue gak peang ya, lo aja tuh yang manja banget jadi cewek!"

"Cih, terus apa urusannya sama lo? Toh, gue gak manja-manjaa gitu sama lo, kenapa lo yang sewot cobak?!"

Perkataan Jinny tepat menusuk ke hati Jai, Jinny benar, kenapa dia harus repot-repot mengurus urusan Jinny, sungguh ia pun tak tau. Perkataan itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Jai.

"Nah diem kan lo, makanya gak usah banyak Bacot deh!"

Jai mengepalkan tangannya, ia merasa kesal. Jai keluar kelas dengan perasaan jengkel, ia pergi entah kemana.

Sementara Jinny terdiam di tempatnya, ia melihat kepergian Jai dengan mata sendu, ia merasa kata-katanya sudah keterlaluan. Namun Jinny menggeleng pelan, untuk apa ia peduli, semua itu kan salahnya Jai.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status