Sekalinya pembawa sial, tetep aja pembawa sial.
- Jinny -
Jinny berjalan ke kelasnya dengan langkah yang lesu. Dia sangat tak mood hari ini, semalaman ia begadang untuk menonton film drakor kesukaannya, tapi ending yang tak diharapkan terjadi. Sang tokoh utama yang notabenenya adalah fans-nya pada akhir episode malah meninggal, sungguh menyebalkan. Bahkan niatnya untuk balas dendam pada Jai lenyap sudah karna mood-nya yang buruk.
Jinny masuk ke kelas dan langsung mendudukkan pantatnya di bangku.
"Lo kenapa Jinn?" tanya Sasya kala mendapati sahabatnya yang menekuk kini tengag mukanya, sampai tak enak dipandang.
Jinny menggeleng pelan, bahkan untuk mengeluarkan suaranya saja ia malas. Sasya hanya mengangguk mengerti, jika sudah begini pasti Jinny tak ingin di ganggu, ia paham betul.
"Adawww!!" Jinny menjerit saat sebuah penghapus menimpuk kepalanya.
Jai si pelaku tertawa sangat keras.
Jai sialan! umpat Jinny dalam hati.
Jinny berdiri dari bangkunya dan hendak membalas Jai, namun Jai sudah duluan berlari ke luar kelas.
"Woy Jailani jangan kabur lo kampret!" umpat Jinny.
Dan akhirnya Jinny berlari mengejar Jai. Terjadilah aksi kejar-kejaran yang sering muncul di sinetron yang sering Jinny lihat. Jai terus berlari tanpa berhenti. Jinny mulai kehabisan napasnya, namun karna sudah terlanjur jengkel ia tak akan memaafkan Jai.
Jai pasrah, kini dihadapannya tinggal tersisa tembok pagar yang tinggi, entah apalah nanti balasan yang akan diterimanya dari Jinny, ia pasrah saja.
"Nah mampus lo!" ucap Jinny.
Jai menghela napasnya kasar. Jinny bergerak maju lalu menjewer telinga Jai. Sedangkan Jai, hanya mengadul dan mengikuti saja kemana Jinny akan pergi.
Jinny berjalan ke arah kantin, masih dengan menjewer telinga Jai. Kini keduanya menjadi pusat perhatian siswa dan siswi yang tengah berada di kantin karna jam kosong. Apa peduli Jinny, yang penting Jai mendapat balasannya.
"Sakit elah!" desis Jai.
"Emang gue pikirin," balas Jinny ketus.
"Berenti napa, telinga gue bisa copot nih. Kagak ganteng lagi nanti mah,"
"Masalah buat gue?" Jinny tersenyum sinis.
Jai diam, ia pasrah sudah, salah siapa ia menganggu macan yang sedang tidur.
"Tuh sana, lo pesenin gue minum. Yang dingin, gak pake lama," perintah Jinny.
Jai hanya mengangguk. Sedangkan Jinny duduk dengan santai di bangkunya. Namun ketika tersadar, ia memukul jidatnya pelan, ia bolos jam pertama, dan itu adalah jam pelajaran Pak Rudi, guru terdisiplin di sekolah ini, mati sudah, nasibnya tak akan baik lagi hari ini.
Jai datang membawa pesanan Jinny lalu menyerahkannya kasar.
"Tuh minuman lo!" ucapnya ketus. Setelah mengatakannya, Jai duduk di hadapan Jinny, ia membuka penutup botol lalu mulai meneguk minumannya sendiri.
"Kemarin lo ditembak cewek ya?"
"Uhuk.. uhukk..."
Jai tersedak, semua orang pun tau jika kemarin ia habis ditembak oleh adik kelas yang cantik, namun ia kaget karna Jinny yang menanyakan itu langsung kepadanya, padahal biasanya ia ogah-ogahan membahas sesuatu jika itu menyangkut Jai.
"Iya, kenapa lo? Tumben," ucap Jai.
"Gak sih, cuman kasian aja tuh sama si cewek. Lo mah jual mahal doang, sok ganteng, nolak cewek secantik Mawar,"
"Ya suka suka gue elah, hidup hidup gue ini,"
Jinny merasa tertohok dengan kata-kata terakhir Jai. Iya, hidup-hidup dia tapi kenapa Jinny mengurusinya. Entahlah, Jinny meras pusing.
"Pesenin gue makan sana! Gue laper,"
perintah Jinny."Eh lo siapa nyuru nyuru gue? Lo kata gue babu lo apa?"
"Bacot! udah sana cepetan,"
"Males ya!"
"Kelakuan lo gue laporin ke Emak lo ya? Maul lo?"
Jai segera berdiri dari tempat duduknya dan berjalan memesan makanan untuk Jinny. Jika sudah menyangkut ibunya, Jai tak bisa apa-apa lagi, ia menyerah, ia pasrah.
Jinny tersenyum menang, ia tahu betul kelemahan Jai, dalam hati ia tertawa terbahak-bahak.
Jai menepuk jidatnya pelan, ia berbalik lagi dan bertanya pada Jinny.
"Lo mau pesan apa?"
"Mie bakso sama es teh, gak pake lama!"
Dalam hati Jai merutuki kelakuan Jinny, tunggu saja saat yang tepat nanti Jai akan membalasnya.
Beberapa menit kemudian Jai datang membawa pesanan Jinny. Jinny yang merasa perutnya sudah berteriak meminta kemerdekaan segera melahap baksonya.
Jai hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Jinny, sama sekali tak menjaga image-nya sebagai perempuan.
Kalau perempuan yang lainnya kalem, manja dan suka berdandan, lain halnya dengan Jinny, ia selalu heboh, suka berteriak dan penampilannya asal-asalan, namun ia tetap terlihat cantik. Iya, Jai akui bahwa memang Jinny sangat cantik, ia bersikap apa adanya dan tak neko-neko.
Jai menggelengkan kepalanya, apa itu tadi? kenapa ia bisa-bisanya memikirkan cewek tengil di depannya ini?
"BAGI SISWA YANG BERNAMA HIJAI ALVIN FIRMANSYAH DAN SISWI YANG BERNAMA JINNY SALSABILA GIVANA DIHARAPKAN MENUJU RUANG GURU SEKARANG,"
"Mampus!" ucap Jinny.
Jinny mendengus kesal.
"Gara-gara lo nih!" lanjutnya sambil melotot kearah Jai.
"Kok gue sih?"
"Ya iyalah elo, salah siapa lo nimpuk gue pake penghapus trus lari ke luar kelas, semua ini salah lo!"
"Heh, lagian siapa juga yang nyuru lo ngejar gue, lo tuh yang bego!"
"Gue gak bego ya!"
"Lo bego!"
"Gue gak bego, lo yang pembawa sial tau gak!"
"Kok lo nyalahin gue terus sih?!"
"Cewek selalu benar!"
"Dan cowok selalu salah gitu?! Teori dari mana tuh?"
"Emang, emang lo selalu salah!"
"Cewek Egois!"
"Cowok bego!"
"SEKALI LAGI BAGI SISWA YANG TADI DISEBUT NAMANYA SEGERA MENGHADAP KERUANG GURU, SEKARANG."
Perdebatan merekapun berhenti. Penjaga kantin yang dari tadi mendengar pertengkaran merekapun bernapas lega, akhirnya.
Jinny dan Jai berjalan berjauhan sambil mendengus sinis. Jinny memasuki ruang guru duluan setelah itu Jai menyusulnya dari belakang.
"Kaliab tahu apa kesalahan kalian?" tanya seorang guru yang bernama Rudi.
"Iya. Tau Pak," jawab Jinny dan Jai bersamaan.
"Kalau begitu, pulang sekolah nanti kalian bersihkan toilet yang ada di ujung koridor!" perintah Pak Rudi.
"Baik Pak," jawab mereka bersamaan lagi.
"Kalian boleh kembali ke kelas, jangan pernah berpikir lagi untuk bolos dimata pelajaran saya,"
Jinny dan Jai mengangguk lalu berpamitan dan berjalan menuju kelas mereka, tentu saja dengan posisi berjauhan.
***
"Ya udah, gue duluan ya Jinn,"
Jinny mengangguk.
Dengan langkah gontainya ia berjalan ke arah toilet sekolah, suasananya sudah sangat sepi, semua siswa sudah pada pulang. Sebenarnya Jinny agak merasa takut, konon katanya toilet diujung koridor itu berhantu, namun ia memasang wajah tak acuh.
Jinny merasa ada yang mengikutinya dari belakang, ia mulai merinding, kakinya mulai bergetar, perlahan orang itu mendekat kearah Jinny.
"Aaaaa!!" teriak Jinny histeris kala tangan seseorang itu menyentuh pundak Jinny.
"Woy kecebong lumpur, ini gue!" ucap Jai, ia menahan tawanya saat melihat wajah Jinny yang memerah ketakutan.
"Sialan!" umpat Jinny.
"Penakut lo!" ejek Jai.
Jinny hanya mendengus jengkel.
"Bacot lo! Yuk dah ah kita bersihin biar cepet pulang,"
"Iya iya, sabar kali,"
Merekapun mebersihkan toilet itu bersama. Pepatah mengatakan jika suatu pekerjaan yang dilakukan oleh banyak orang akan cepet selesai, itulah yang terjadi pada mereka. Setelah beberapa menit, mereka selesai membersihkannya.
Jinny berjalan santai kearah pintu gerbang, ia berniat menunggu angkot di halte depan, namun tangannya dicekal.
"Bareng gue aja," ucap Jai.
"Lo salah minum obat ya? Tumben- tumbenan lo mau nganterin gue pulang," tanya Jinny ketus, karna tak biasanya Jai begini.
"Bacot lu ah! Mau kagak nih? Mumpung gue lagi baek," Jai mulai berbalik dan menaiki motornya.
"Iya dah, lumayan dapat tukang ojek gratis," ucap Jinny antusias lalu mulai menaiki motor Jai.
"Cuma kali ini aja deh gue jadi tukang ojek lo!"
"Iya iya, udah buruan jalan, perut gue udah pada demo nih,"
Motor Jai melaju membelah jalan, Jinny hanya terdiam di tempat duduknya, suasananya terlihat sangat canggung, Ia tak tau harus mengobrol tentabg apa dengan Jai.
Sampai tak sadar merekapun telah sampai di depan rumah Jinny.
"Makasih ye Jailani, gue masuk dulu,"
ucap Jinny lalu berlari memasuki rumahnya.Jai hanya tersenyum tipis sangat tipis.
"Heh bro, tumbenan lo didepan rumah gue," ucap Tara yang keluar dari dalam rumahnya, entah hendak pergi kemana.
"Tadi gue habis nganterin adek lo bang," balas Jai. Tara hanya ber 'oh' ria.
"Gue duluan ya bang," pamit Jai lalu ia mulai memasuki pekarangan rumahnya dan memasukkan motor gedenya ke garasi.
Kebetulan yang tak menguntungkan bagi Jinny dan Jai, mereka selalu dipertemukan di sekolah. Dan dirumah, mereka juga akan sering bertemu karna sebuah kesialan yang membuat rumah mereka bersebelahan.
"Assalamualaikum, Jai pulang Ma," sapa Jai saat sudah berada di dalam rumahnya.
"Waalaikumsalam," jawab Reni-mama Jai.
Jai tersenyum dan segera mencium tangan mamanya lalu ia beranjak pergi kekamarnya. Ia lelah, sangat lelah.
***
Butuh kesabaran ekstra buat dapetin lo, dan kini gue harap lo mau nerima cinta gue.***Jai berdiri di sana, di atas panggung, lengkap dengan gitarnya. Ia melihat Jinny dari sana sambil tersenyum, sementara yang ditatap hanya diam melotot di tempatnya. "Gue berdiri di sini, buat ngungkapin perasaan gue sama seseorang." Jai masih menatap Jinny, sementara para penonton, khususnya wanita berteriak heboh."Terimakasih untuk dia yang sudah memakai gaun biru, warna kesukaan gue." Penonton kembali berteriak heboh, apalagi mereka yang juga memakai gaun biru. Berharap saja jika yang di maksud oleh Jai adalah me
Untuk hari yang spesial, tentunya harus tampil memukau.***"BANG TARA!!"Tok. Tok.. Tok.Jinny tak ada hentinya mengetuk pintu kamar Tara, sudah sedari tadi ia teriak sampai habis suara namun sama sekali tak di dengar oleh Tara. Jinny semakin kesal dibuatnya, ia menatap pintu kamar itu lekat.Brakk.."JINNY! SUARA APA ITU?""ANJING TETANGGA NABRAK PAGAR MA." Jinny mendengus sebal sambil
Kekhawatiranmu, membuatku tersadar, apa mungkin kau juga punya rasa?***"Harusnya lo itu langsung lari aja!"Jai memarahi Jinny habis-habisan, ia merasa sangat panas saat melihat Luis memegang tangan Jinny begitu. Sedangkan Jinny hanya diam di tempatnya sambil menundukkan kepalanya."Maaf," Jai tertegun, ia menatap perempuan yang ada di hadapannya itu lekat. Jai menjulurkan tangannya dan menghapus air mata yang telah menetes di pipi Jinny. Ia benar-benar bodoh, mengapa ia bisa kelepasan seperti ini. Apalagi sampai membuat Jinny menangis begini, kalau sudah begini, apa bedanya ia dengan laki-laki brengs
Bukan gak mau, hanya mencari waktu yang tepat saja.***"Jai kampret!" Jai menutup telinganya rapat-rapat. Sudah sejak tadi Sasya terus mengomelinya, beginilah, begitulah, ia bosan, bosan dan bosan. Ia mengerti maksud dari Sasya itu baik, hanya saja dia butuh waktu yang tepat. Untuk saat ini mentalnya belum terlalu kuat."Jai, lo ngerti gak sih? Gue gemes deh sama kalian, sama-sama gengsi, udah sama-sama cinta aja masih ditutup-tutupin." Sasya mulai mendesah frustasi. Angga yang berada di sampingnya hanya terkekeh geli melihat kelakuan pacarnya itu."Iya Sya, gue ngerti." Jawab Jai.
Mungkin ini jawaban, dari lelahnya menunggu.***Jai memegang erat buku di tangannya. Dalam hati ia tak henti bersyukur, akhir dari perjuangan ini sangat memuaskan, setidaknya cinta pertamanya tak berakhir dengan kisah yang tak terbalaskan."Sasya, cepetan."Jai melotot, sesegera mungkin ia berlari ke bangkunya lalu menyembunyikan buku di tangannya ke dalam laci meja. Ia merogoh sakunya, mengambil sebuah ponsel dari sana dan pura-pura memainkannya."Sya, cepetan elah." Teriak Jinny, kini ia sudah berada di dalam kelas, dan sedikit terkejut karna melihat Jai juga ada di sana. 
Kalau memang cinta, katakan saja, kenapa harus takut? kenapa harus malu?***Sudah dua minggu sejak Jinny terbaring lemah di rumah sakit, dan kini ia bisa bersekolah seperti biasanya. Jinny menatap gerbang sekolahnya lekat, ia merindukam sekolahnya ini.Jinny melangkah memasuki sekolahnya, ia menoleh pada Pak Ujang yang sedang asyik meminum kopinya."Pagi, pak Ujang." Sapanya.Pak Ujang menoleh lalu ia tersenyum hangat pada Jinny."Eh, ada neng geulis, udah sembuh neng?"Jinny mengangguk menanggapi pertanyaan pak Ujang, setelah itu ia pamit menuju kelasnya."JINNNNNNYYY!!!" teriak Sasya, heboh, ia segera berlari dan berhambur ke pelukan sahabatnya itu."Gue kangen sama lo."Jinny berdecih. "Alay
Gak nyangka aja, lo bisa berbuat sekeji itu.***"Gue bisa bantu kalian nyari siapa pelaku sebenarnya."Jai terdiam di tempatnya, begitu pula dengan beberapa orang yang berada di sana. Tara maju mendekat ke arah Sindi."Gue harap lo serius sama kata-kata lo." Setelah mengucapkannya, Tara membuka ikatan Sindi dan membiarkannya mencari bukti siapa pelaku sebenarnya.Sementara Mawar, masih dibiarkan terikat karna ada sesuatu yang harus mereka tanyakan. Zidan menatap wajah sepupunya itu, dalam hati juga ia kasian, tapi kalo dia bersalah, Zidan tak akan segan-segan untuk menghabisinya.
Siapapun itu, gak bakal dapat maaf dari gue. Kalo dia udah nyakitin seseorang yang gue sayang.- Jai -***Jai masih duduk di bangku kantin dengan wajah lesu, ia sangat lelah, juga sangat frustasi. Sudah dua malam ia tak tidur karna terus menunggu Jinny yang berada di rumah sakit. Kata Dokter, tulang belakang Jinny mengalami keretakan akibat pukulan benda keras. Jai kembali memeras otaknya, memikirkan siapa pelaku sebenarnya.Apakah Mawar dan Sindi? Ataukah orang lain? Batin Jai terus berdebat.Sampai sebuah pukulan mendarat indah di tengkuknya. Jai mendongak dan mendapati para sahabatnya yang sudah duduk manis di tempat masing-masing."
Satu waktu, di satu tempat yang terasa hitam dan gelap, aku melihatmu sebagai cahaya yang terang.- Jinny -***Jinny mengemasi buku-bukunya dan memasukkan kedalam tas berwarna pink miliknya- hadiah dari papanya saat ia berulang tahun yang ke-16. Sesekali ia tersenyum dan tertawa menanggapi lelucon yang di lontarkan oleh Sasya."Jinn.."Jinny menoleh dan mengerutkan keningnya, menatap Sasya bingung."Pangeran lo nungguin tuh," ucap Sasya seraya menunjuk orang yang tengah bersandar di pintu kelas, menunggu Jinny."Pangeran, pala lo peang." Dengus Jinny seraya menatap orang itu jengah, namun tak sengaja matanya menatap orang yang masih dudu