"Papa kenapa, Angelo?" desak Juan.
"Papamu sudah mulai tua, tuan Juan. Tubuhnya tidak sekuat dulu lagi. Kini ia mulai sakit-sakitan. Disamping itu, pamanmu dan putranya sangat berambisi mengambil alih bisnis dan kekuasaan keluarga Maximo," jelas Angelo dengan wajah murung.
"Jika mereka mengetahui bahwa anda tidak tertarik menjalankan bisnis papamu, aku khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan," sambung Angelo dengan nada cemas.
Mendengar penjelasan Angelo, Juan hanya terdiam. Ia sesungguhnya enggan untuk melanjutkan bisnis keluarganya. Sebab ia memiliki trauma yang cukup dalam terkait bisnis keluarganya itu.
Namun, ia juga tidak bisa menolak. Karena ia satu-satunya penerus dari Keluarga Maximo.
"Jadi aku harus bagaimana?" akhirnya Juan bertanya.
Angelo memandang wajah Juan, lalu berkata "Anda harus pulang untuk bertemu dengan Tuan Dominica dan membicarakan hal ini, Tuan Juan."
"Apakah tidak ada cara lain? Aku masih enggan pulang kerumah itu," tolak Juan sambil membuang muka.
"Tidak ada cara lain, tuan. Itulah yang terbaik. Pulanglah dan temui papamu," bujuk Angelo.
"Aku harus memikirkannya terlebih dahulu, Angelo," tolak Juan.
"Tapi, tuan Juan."
"Tidak ada pembicaraan lain, Angelo. Aku tidak ingin kembali lagi kerumah yang penuh dengan kenangan menyedihkan itu. Jadi, biarkan aku memikirkannya dulu," potong Juan tegas.
"Baiklah jika itu keinginan anda, Tuan Juan. Aku akan memberimu waktu seminggu. Aku rasa cukup untukmu berpikir," putus Angelo.
"Kalau begitu, aku harus pulang sekarang. Kasihan Bu Maurice pasti tengah menunggu kepulanganku," ucap Juan.
"Aku akan mengantarmu, Tuan Juan." Angelo menawarkan dirinya.
"Tidak usah, Angelo. Aku sendiri saja," tolak Juan.
"Tapi, tuan. Diluar tidak aman, bagaimana jika anda bertemu preman-preman itu lagi?" tanya Angelo cemas.
"Terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku, tapi aku tak apa-apa. Aku bisa mengatasinya. Sampai bertemu lagi, Angelo."
Juan tak menjawab pertanyaan Angelo, melainkan berpamitan dan langsung keluar dari kamar hotel yang disewa oleh pria itu.
Pemuda itu melangkah keluar hotel dengan ekspresi termenung. Ia teringat ucapan Angelo mengenai sang ayah dan bisnisnya yang sedang diincar oleh pamannya.
Juan menghela nafas berat. Ia benar-benar tidak ingin masuk kedalam bisnis kotor papanya. Sudah cukup semua kesakitan dan kesedihan yang ia rasakan sejak kecil karena bisnis kotor ayahnya itu.
Pembunuhan, penculikan, penyerangan, selalu merasa ketakutan dan tidak pernah merasa aman walaupun banyak pengawal yang ditempatkan untuk melindungi dirinya dan juga mamanya.
Mata Juan berkaca-kaca mengingat mamanya. Tiba-tiba ia merasa sangat rindu pada sosok wanita yang telah melahirkannya itu.
"Mama, bagaimana ini?"
Kepala Juan tertunduk lesu. Ia benar-benar bingung harus mengambil keputusan seperti apa.
Sementara itu, didalam kamar hotel. Angelo, pria berkumis dan berjanggut tipis itu duduk termenung memikirkan penerus tahta Keluarga Maximo itu.
"Aku mengerti perasaanmu, Tuan Juan. Pasti ini sangat berat bagimu. Namun hanya kau seorang yang bisa menyelamatkan tahta Keluarga Maximo. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika pamanmu dan putranya yang mengambil alih kekuasaan atas Pulau Sicilia ini," gumam Angelo.
"Aku harap kau dapat mengambil keputusan dengan bijak, Tuan Juan."
****
Juan bangun pagi itu dengan tidak bersemangat. Perasaannya sangat tidak enak. Kepalanya pusing memikirkan keputusan yang harus segera dia ambil. Angelo memberikannya waktu seminggu untuk berpikir, dengan hari ini tinggal enam hari tersisa.
"Juan! Kau sudah bangun?! Ayo sarapan dulu, kopimu nanti dingin!" seru Bu Maurice dari luar kamar.
"Ya, bu! Aku segera datang!" balas Juan setengah berteriak.
Ia menatap bayangannya dicermin dan mengusap wajahnya putus asa.
"Terserahlah," ucapnya pasrah seraya bangkit dan keluar dari kamarnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah mandi Juan merasa dirinya lebih segar. Ia lalu keruang makan untuk sarapan, dilihatnya Bu Maurice sudah duduk disana menunggunya dengan wajah sedikit masam.
"Astaga! Kau lama sekali, nak. Aku sudah kelaparan. Ayo cepat duduk!" perintah wanita itu.
"Mengapa kau tak makan duluan, bu? Tak perlu menungguku," ucap Juan.
"Mana nikmat makan sendirian, anakku!" Seru Bu Maurice seraya terkekeh.
Juan tersenyum kecil, "kau memang paling terbaik, ibuku."
"Cepatlah makan! Makananmu keburu dingin," komentar Bu Maurice dengan mulut penuh oleh makanan.
Setelah sarapan, Juan pamit pada bu Maurice untuk berjalan-jalan disekitar rumah. Ia ingin menenangkan dirinya sambil menghirup udara pagi yang masih segar.
Juan berjalan disekitar lingkungan rumah, lalu menuju pasaraya yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Juan senyum-senyum sendiri melihat interaksi para pedagang dan pembeli yang tumpah ruah dipasar itu.
Juan sangat menyukai suasana pasar seperti ini. Ia merasa dirinya tak sendirian didunia ini. Itulah mengapa tiap kali ia merasa gundah ataupun sedih, Juan akan berjalan-jalan disekitar rumahnya dan berakhir dipasaraya ini.
Saat Juan tengah melanjutkan perjalanannya sambil melihat stand jualan dikiri kanannya, tiba-tiba salah satu kakinya dijegal seorang pria dari samping. Juan langsung kehilangan keseimbangan sehingga ia jatuh tersungkur kedepan.
Wajah dan pakaiannya langsung kotor oleh tanah yang basah akibat hujan tadi malam. Juam langsung bangkit dan mendengar suara tawa mengejek dirinya.
"Hahahaha!!! Bagaimana rasa tanahnya, Juan? Sedap? Hahahaha!!!"
Juan berdiri dan melihat siapa orang yang telah mengejeknya itu. Lagi-lagi para preman yang kemarin menghajarnya habis-habisan. Rasa geram langsung memenuhi dada Juan.
"Ternyata kau hebat juga, Juan! Aku pikir kau sekarang ada dirumah sakit. Ternyata kau sedang senang-senang disini," ejek pria itu yang langsung disambut tawa kawan-kawannya.
"Bagaimana? Kau sudah memutuskan untuk pergi dari hidup nona Celeste?" Tanya pria itu dengan seringai menjijikkan.
Juan yang kesal tanpa sadar menggeretakkan giginya dan menatap tajam pria itu. Kedua tangan disisi badannya mengepal erat.
"Bukan urusanmu aku masih berhubungan dengan Celeste atau tidak! Urus urusanmu sendiri" Hardik Juan.
Mendengar ucapan Juan, wajah pria itu langsung memerah. Seringai diwajahnya langsung hilang digantikan kemarahan. Tanpa banyak bicara lagi, ia memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi Juan.
"Hajar bajingan kecil itu sampai dia tak berharap lagi untuk hidup!" Seru pria itu marah.
Anak buah pria itu segera maju dan langsung menghajar Juan habis-habisan. Juan yang memang tak bisa berkelahi hanya mampu melindungi kepalanya agar tak terkena pukulan preman-preman itu.
Namun tak ayal Juan babak belur dihajar habis-habisan oleh preman-preman itu. Sebuah tonjokkan yang sangat kencang berhasil bersarang dipipinya, membuat Juan merasa rahangnya lepas seketika.
Juan sudah pasrah, ia merasa hidupnya akan berakhir ditangan preman-preman itu. Namun disaat kesadarannya akan hilang, ia melihat dengan samar-samar para preman itu dihajar orang lain.
"Siapa itu?" Ucapnya dalam hati.
"Siapa yang menolongku?"
####
"Tuan Juan, ada tak apa-apa?!" Samar-samar terdengar suara Angelo menanyakan keadaannya. Juan menatap Angelo dengan pandangan yang mulai kabur. "Cepat! Bawa tuan Juan kerumah sakit! Para preman ini biar aku yang memberinya pelajaran!" Perintah Angelo pada anak buahnya. Anak buah Angelo segera mengangkat tubuh Juan yang babak belur dan tak berdaya kedalam mobil. Setelah itu mereka segera pergi ke rumah sakit. Sebelum kesadarannya hilang, samar-samar Juan dapat melihat Angelo berdiri dengan mata menatap tajam para preman didepannya, senyum tersungging dibibir Angelo. Setelah itu kesadaran Juan menghilang. "Oke! Kalian para bajingan! Hadapi aku!" Seru Angelo dengan senyum mengejek diwajah. Pemimpin kelompok itu langsung memuncak emosinya ketika melihat senyum mengejek diwajah Angelo. Tanpa banyak bicara, ia segera memerintahkan anak buahnya menyerang Angelo yang hanya seorang diri. "Habisi pria itu! Sekarang!!!!" Ana
Perlahan Angelo memindahkan kakinya dari kepala pemimpin preman itu. Merasakan kepalanya tak lagi diinjak oleh Angelo, pria itu hendak menarik nafas lega. Namun dengan cepat Angelo menarik kencang baju pria itu hingga terduduk. "Aku butuh nama lengkapnya, sialan!" desis Angelo diwajah pemimpin preman itu. Pria itu membelalak terkejut dengan tindakan tak terduga itu. "Ce-Celeste! Celeste Ferrari! Itu nama orang yang mengirimku!" seru pria itu ketakutan. Angelo menatap tajam pria itu dan cengkramannya di kerah baju pria itu semakin kencang membuat pemimpin preman itu tercekik dan mulai kehabisan nafas. "Be-benar! Ak-aku tidak bohong! Celestelah yang mengirim kami un-untuk mengganggu pria itu!" Pemimpin preman itu berkata terburu-buru dengan leher semakin tercekik. Wajahnya semakin memerah akibat kurangnya suplai oksigen. Melihat hal itu, Angelo lalu melepaskan cengkramannya dengan kasar. Pemimpin preman itu langsung mengusa
Angelo berdiri mematung menatap Juan yang terlihat sangat terkejut. "Pemimpin preman itu memberikannya padaku," jawab Angelo. "Apa?" "Apa kau mengenalnya, tuan Juan?" Tanya Angelo kembali. "Mmm... Ti-tidak! Aku tidak mengenalnya!" Jawab Juan berbohong. "Kau yakin, tuan?" Selidik Angelo. "Cukup, Angelo! Aku ingin istirahat!" Seru Juam seraya merebahkan tubuhnya kembali di kasur. Angelo yang merasakan ada keanehan pada diri Juan masih belum beranjak dari tempatnya. Pria itu masih memperhatikan Juan dengan seksama. "Mengapa kau masih disini? Pergilah!" Usir Juan kesal. Angelo akhirnya membungkukkan badannya memberi hormat pada Jaun dan segera keluar. Diluar Angelo masih terus memikirkan sikap Juan yang berubah aneh saat ia menyebut nama Celeste Ferrari. "Aku rasa tuan Juan mengenal wanita bernama Celeste Ferrari ini," gumam Angelo dengan kening berkerut. "Sikapnya tadi sungguh aneh, ia seperti menye
Tiba-tiba kedua mata Celeste terbuka. Melihat ada seorang pria tak dikenal sangat dekat dengan wajahnya, spontan Celeste berteriak. "Aaa! Apa yang kau lakukan?!" Celeste mendorong Angelo hingga pria itu jatuh terjengkang kebelakang. Angelo yang tak menduga Celeste akan sadar dari biusnya tentu saja sangat terkejut dan sekaligus malu dengan perbuatannya tadi. "Apa yang kau lakukan padaku, hah? Mengapa kau membawaku kesini? Siapa kau sebenarnya?!" Celeste memberondong Angelo dengan beberapa pertanyaan. Sementara itu Celeste sudah berdiri disudut kamar itu dengan sangat waspada. Angelo bangkit dari jatuhnya sambil tersenyum menahan malu. Ia kemudian berjalan mendekati Celeste. "Tak kuduga kau wanita yang sangat pemberani, Celeste," puji Angelo. "Apa maumu, hah?!" Seru Celeste menyembunyikan rasa takutnya. "Jangan takut padaku. Aku tak akan menyakitimu, nona," ucap Angelo sambil menjaga jarak dengan Celeste. "
Celeste termenung didepan jendela kamarnya. Ia memikirkan setiap kalimat yang diucapkan pria bernama Angelo itu. "Juan kekasihmu adalah putera tunggal Dominica 'Don' Maximo, nama aslinya adalah Juan Alessandra Maximo." "Maukah kau ikut bersama Juan kembali ketempat asalnya?" Celeste memijit kepalanya yang tak sakit, ia hanya sedikit pusing memikirkan pertanyaan yang diajukan oleh Angelo. Celeste tidak ingin gegabah mengambjl keputusan. Jadi ia meminta waktu pada pria itu. Celeste lalu diantar pulang kerumahnya. "Ah, memikirkan hal ini membuatku jadi ingin minum-minum," ucap Celeste dalam hati. Jadi iapun beranjak dari kamarnya menuju mini bar yang berada diruang santai dilantai satu. Celeste mengambil sebotol red wine dan membukanya. Dituangkannya cairan berwarna merah pekat itu kedalam gelas dan Celeste menyesapnya perlahan. "Hm... Pilihan apa yang harus aku ambil, Juan?" Gumam Celeste seraya melihat bayangannya digela
Wajah Celeste memerah, ekspresinya berubah marah pada sang ayah. "Papa! Apa kau sadar dengan apa yang kau ucapkan?!" seru Celeste. "Memangnya apa yang salah dari ucapanku, Celeste?" Armando balik bertanya tanpa rasa bersalah. "Papa mencoba menjualku pada pria gendut menjijikkan itu!" sembur Celeste marah. "Hahahaha! Apa maksudmu, nak? Pikiranmu terlalu jauh!" balas Armando tertawa terbahak-bahak. Celeste memandang ayahnua dengan sengit seraya memutar bola matanya. "Tentu saja aku tak menjualmu! Pikiran macam apa itu? Aku menyuruhmu menikah dengannya, sayang. Me-ni-kah! Secara RESMI," jelas Armando dengan menekankan kata 'resmi'. "Sama saja, papa. Apa bedanya?!" "Tentu saja beda, sayang. Jika aku menjualmu, kau hanya akan menjadi simapanannya. Sedangkan jika kau menikah, kau akan dikenal semua orang sebagai istri Walikota," jelas Armando seraya tersenyum puas. "Kau gila, papa. Aku anggap pembicaraan ini tak perna
"Sayang, aku tahu kau pasti akan terkejut dan tak mempercayai apa yang akan kusampaikan ini. Tapi, apa yang aku ucapkan padamu nanti adalah kenyataan sebenarnya," ucap Juan berhati-hati. "Oh, Juan. Cepat katakanlah apa itu? Kau membuatku sangat takut!" desak Celeste tak sabar. "Aku... Sebenarnya aku adalah putera dari Dominica 'Don' Maximo, mafia terbesar penguasa Sicilia," ucap Juan dengan suara pelan. Ia diam dengan kepala menunduk menunggu reaksi dari gadis yang dicintainya itu. Juan menunggu, namun tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir gadis dihadapannya itu. Juan memberanikan diri melihat Celeste dan terhenyak saat melihat sebuah senyum kecil tersungging diwajah cantik gadis itu. "Sayang, kau... tersenyum?" tanya Juan tak mengerti. "Ya. Aku memang tersenyum. Apakah aneh?" Celeste balik bertanya. "Ti-tidak. Hanya... aku tak mengerti. Mengapa kau tersenyum? Bukan ini reaksi yang kubayangkan," jawab Juan jujur.
Celeste pulang dalan suasana hati ceria. Ia masuk kekamarnya sambil bersenandung, benaknya dipenuhi bayangan hal-hal indah tentang dirinya dan Juan yang akan segera pergi menuju tempat kelahiran kekasihnya itu. "Papa!" seru Celeste terkejut. Armando Ferrari, ayah Celeste, tengah duduk didepan jendela kamar putri sulungnya itu. "Kau mengejutkanku!" rutuk Celeste. "Apa yang papa lakukan di kamarku?" Gadis itu berjalan mendekati lemari dan membukanya, ia hendak berganti pakaian. Armando tak segera menjawab pertanyaan Celeste. Pria paruh baya itu tetap diam namun matanya memperhatikan gerak-gerik putrinya itu. Sementara Celeste yang telah selesai memilih baju, tanpa mempedulikan sang ayah melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Tak lama Celeste keluar dari kamar mandi dengan pakaian rumah yang terlihat nyaman. Ia mendekati sang ayah yang masih ditempatnya, namun kini pandangan Armando