Share

Kisah Cinta Sang Mafia
Kisah Cinta Sang Mafia
Penulis: Sky_Earth

Awal Yang (tak) Sempurna

Duaaakkk!!!

Pria didepan Juan melayangkan tinju kewajahnya. Juanpun terpental kesamping. Tubuhnya jatuh menimpa alat-alat musik yang dipajang. 

"Auch...," Juan meringis kesakitan.

"Ini peringatan pertama! Jika kau pintar, segera jauhi nona Celeste!" seru pria itu.

"Tuan dan Nyonya Ferrari telah mencium hubunganmu dengan putrinya dan mereka sama sekali tidak senang mendengarnya!"

"Aku peringatkan sekali lagi! Jika kau masih berkeras mendekati nona Celeste, maka bersiaplah untuk menerima akibatnya!" ancam pria itu lagi.

Ia kemudian berbalik dan menganggukkan kepala, memberi kode pada kawan-kawannya yang langsung disambut oleh mereka dengan merusak alat-alat musik yang terpajang disana. Toko musik Juan diacak-acak. 

Juan yang masih dalam posisi meringkuk kesakitan segera bangkit begitu melihat toko musiknya diacak-acak oleh kelima pria itu.

"Hentikan! Hentikan! Jangan! Jangan!" teriak Juan sambil berusaha menghentikan salah satunya merusak cello yang terpajang dietalase toko.

Namun yang didapat Juan lagi-lagi sebuah tinjuan yang kini bersarang diperutnya. Tidak hanya sekali, namun berkali-kali pria itu melayangkan tinjunya ketubuh Juan hingga ia kembali tersungkur kelantai.

Melihat Juan tersungkur, pria itu ganti menendangi tubuh Juan tanpa belas kasihan. Juan hanya bisa menahan sakit seraya meringis kesakitan tanpa mampu membalas.

Setelah puas, kelima pria itu pergi meninggalkan toko musik Juan yang sudah porak poranda. Juan memandang kepergian kelima pria itu dengan mata nanar dan tubuh kesakitan.

***

"Juan, kenapa kau tidak pernah mau melanjutkan usaha papa?" tanya Don Maximo kepada Juan, putranya.

"Papa, papakan tahu jiwaku tidak disitu. Aku lebih suka musik," jawab Juan sedikit kesal.

"Papa tahu, nak. Tapi mau tidak mau kau tetap harus melanjutkan bisnis papa. Karna hanya kau satu-satunya milik papa. Siapa lagi yang akan meneruskannya kalau bukan kau, nak?" jelas papanya.

"Tapi, pa..." 

"Juan.... Juan..."

Juan belum sempat menyelesaikan kalimatnya, ia menoleh. Juan merasa ada yang memanggilnya. Ia mencari arah suara itu.

"Juan.... Juan..."

Suara itu kembali memanggil namanya. Kali ini lebih jelas, tiba-tiba tanah tempatnya berpijak bergoyang. Juam terjatuh kedalam tanah yang dipijaknya. Ia menjerit sekuat tenaga memanggil papanya.

"Papaaaaa!!!!!!"

Juan seketika terbangun dan terduduk ditempat tidur. Keringat membanjiri kemeja yang dipakainya. Matanya membelalak, wajahnya pucat. 

"Juan? Kamu sudah sadar?" tanya seorang wanita tua disampingnya.

"Kamu tidak apa-apa, Juan?" tanyanya lagi dengan nada khawatir.

Juan menoleh ke asal suara itu, dilihatnya wanita tua berusia lima puluhan yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri duduk disamping tempat tidurnya dengan wajah khawatir. 

Dengan wajah bingung, Juan menjawab pertanyaan wanita tua itu, "Ak-aku tidak apa-apa, Ibu."

"Hpf... Syukurlah... Ibu khawatir sekali tadi melihat keadaanmu, nak," nada suaranya terdengar lega setelah mendengar jawaban Juan.

Juan tersenyum kecil pada wanita yang dipanggilnya ibu itu dan berkata, "Maaf bu, karena aku sudah membuat ibu khawatir."

Dipeluknya Juan dengan penuh kasih. Wanita tua ini adalah induk semang tempat Juan tinggal, namanya Maurice. 

Ia sangat menyayangi Juan seperti anaknya sendiri. Itu dikarenakan putra satu-satunya telah meninggal disebabkan oleh kanker. Bu Maurice sangat terpukul sekali dengan kepergian anak satu-satunya itu.

Disaat ia sedang bersedih dan merasa putus asa, ia melihat Juan tengah berdiri didepan pintu rumahnya. Ia merasa Juan sangat mirip dengan putranya. Juan yang saat itu membutuhkan tempat tinggal langsung disambut oleh Bu Maurice dengan senang hati.

Ia merasa Tuhan telah menolongnya dari keputusasaan karena kehilangan seorang putra dengan mendatangkan pemuda ini sebagai penghibur hatinya. Sejak saat itu, ia selalu memperhatikan kebutuhan Juan dan menganggapnya sebagai anaknya sendiri.

"Oh ya bu, siapa yang membawa aku kerumah? Bukankah aku tadi berada ditoko?" tanya Juan masih dalam pelukan Bu Maurice.

Mendengar pertanyaan Juan, Bu Mauricepun melepaskan pelukannya dan berkata, "Lucas yang membawamu kemari dalam keadaan pingsan."

"Untunglah Lucas tadi mampir ketokomu, bayangkan jika ia tidak kesana. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padamu," Bu Maurice berkata dengan nada ngeri membayangkan keadaan Juan.

"Aku harus berterima kasih pada Lucas," ucap Juan pelan.

"Ya, ya. Kau memang harus berterima kasih padanya. Karena dia sudah bersusah payah membawamu kesini sendirian," seloroh Bu Maurice.

"Ceritakan pada ibu apa yang sudah terjadi? Wajah dan tubuhmu babak belur penuh luka. Siapa yang sudah membuatmu seperti ini, sayang?" tanya Bu Maurice lembut.

Juan terdiam dan menundukkan kepalanya. Ia enggan bercerita pada Bu Maurice, karena ia tahu dengan pasti bahwa wanita itu akan menyuruhnya menghubungi polisi. Dan itu semua hanyalah pekerjaan yang sia-sia jika menyangkut nama Ferrari.

"Putraku sayang?" Bu Maurice mulai membujuknya.

Jika Bu Maurice sudah memanggilnya seperti itu, Juan tidak kuasa untuk menyembunyikan apapun pada wanita tua itu.

Akhirnya dengan lirih Juan berkata, "tokoku tadi didatangi oleh orang suruhan Tuan dan Nyonya Ferrari. Orangtua Celeste."

Bu Maurice langsung terbelalak mendengar ucapan Juan. Ia seketika bangkit berdiri seraya mengangkat kedua tangannya keudara.

"Ibu sudah bilang berapa kali padamu, Juan. Sudahi hubunganmu dengan Celeste. Kalian sangat berbeda, bagaikan langit dan bumi. Orang tua Celeste salah satu keluarga terkaya dan terpandang dikota ini, Juan. Sedangkan kau? Apa yang bisa kau tawarkan kepada orangtua Celeste, sayang?" 

Juan hanya diam menundukkan kepalanya mendengar celotehan Bu Maurice. 

"Yang kamu punya hanya toko musik yang sudah tua itu, sayang. Kedua orangtua Celeste tidak akan memandang bahkan sebelah matapun kepada dirimu," ucap Bu Maurice lagi.

Braakkkk!!!

Tiba-tiba pintu rumahnya terbuka dengan kencang. Bu Maurice melompat kaget membalikkan badannya kearah pintu. Dilihatnya Lucas muncul disana dengan wajah merah dan nafas tersengal-sengal.

Belum sempat Bu Maurice dan Juan bertanya, Lucas sudah berkata duluan dengan nafas memburu.

"Juan, hhh... kamu... hhh... harus segera... hh.. ketokomu hhhh... sekarang juga..." 

"Ada apa, Lucas?" tanya Juan dan Bu Maurice bersamaan.

"Tokomu... hhh... tokomu terbakar!" jawab Lucas susah payah.

Bu Maurice dan Juan membelalakkan matanya, terkejut dengan kabar yang dibawa Lucas. Tanpa banyak bertanya lagi, Bu Maurice dan Juan melesat pergi menuju toko musik yang berjarak sekitar 200 meter dari tempat tinggalnya. 

Sesampainya disana, mereka disambut kobaran api yang sangat dahsyat. Api sudah sangat membesar dan membumbung tinggi. Pemuda itu menatap nanar kearah api yang dengan ganasnya mulai menghabisi toko musik miliknya.

Kaki Juan lemas, ia jatuh berlutut ditrotoar menatap hampa kearah kobaran api. Tak dipedulikannya Bu Maurice yang berteriak histeris sambil menarik-narik bajunya. Pun orang yang lalu lalang didepannya berusaha memadamkan api. 

Ia kehilangan toko musik yang sangat dikasihinya hanya dalam hitungan jam. Juan menatap nanar kobaran api yang membumbung tinggi membelah langit malam nan kelam.

####

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status