Share

Kekhawatiran Celeste

Pagi itu Juan bangun dengan suasana hati kelabu. Wajahnya terlihat mendung dan diliputi kesedihan. Bagaimana tidak, toko musik yang sangat berharga baginya terbakar habis dalam sekejap.

Dengan gontai Juan  melangkah menuju dapur, disana sudah ada Bu Maurice yang tengah berkutat didepan kompor membuat sarapan pagi. Pemuda itu mengambil kursi dan duduk dimeja makan. Pandangan matanya kosong.

Bu Maurice yang melihat Juan hanya bisa menggelengkan kepala. Ia juga tidak tahu harus bagaimana menghibur pemuda itu. Sebab ia sangat tahu kalau Juan sangat mengasihi toko musiknya. Walaupun ia sendiri sangat tahu kalau toko musik Juan jarang menghasilkan.

Bu Maurice meletakkan sepiring Panini dan secangkir Cappuccino dimeja depan Juan sebagai sarapan. Setelah itu ia mengambil tempat duduk didepan Juan. Dilihatnya wajah Juan yang murung. Wanita tua itupun menghela nafas panjang. Ia juga turut merasakan kesedihan Juan.

"Sayang, ayo kita sarapan dulu. Setelah itu kita ketoko musikmu. Siapa tahu masih ada yang bisa kita ambil disana?" ucap Bu Maurice berusaha menghibur Juan.

Juan tidak menjawab apapun, namun tangannya bergerak meraih cangkir Cappuccino didepannya. Diteguknya perlahan isi dalam cangkir tersebut. Lalu ia mulai menghabiskan Panininya dengan tidak bersemangat. Bu Maurice semakin sedih melihat pemandangan didepannya itu.

Ia belum pernah melihat Juan seperti ini. Biasanya ia sangat riang, mereka tidak pernah melewatkan sarapan tanpa diselingi canda dan gelak tawa. Namun, pagi ini suasananya sangat berbeda.

"Juan! Juan!"

Suara seorang wanita terdengar memanggil nama Juan dari dari luar rumah.

"Juan! Apakah kau didalam?"

Tok! Tok! Tok! Tok!

"Juan! Juan!"

Wanita itu memanggil namanya kembali disertai ketukan dipintu yang sangat intens. Bu Maurice yang merasa cukup terganggu karena sedang sarapan langsung bangkit menuju pintu masuk.

"Siapa pagi-pagi begini sudah sangat berisik sekali!" gumam Bu Maurice kesal.

Ia berjalan dengan terburu-buru. Dibukanya pintu rumah, mengetahui wanita yang berdiri didepan pintu rumahnya adalah Celeste. Kekesalan Bu Maurice semakin menjadi.

"Mau apa kamu kesini, Celeste?!" tanyanya ketus.

Wanita yang bernama Celeste itu terkejut mendengar nada suara Bu Maurice. Biasanya wanita tua itu akan menyambutnya dengan hangat dan penuh senyum. Tapi ini, suaranya terdengar ketus. Wajahnyapun terlihat masam dengan kedua tangan disilangkan didepan dada.

"Ak-aku mencari Juan, apakah ia ada didalam?" tanya Celeste berusaha menghiraukan nada suara Bu Maurice yang ketus.

"Dia tidak ada didalam!" jawab Bu Maurice, lagi-lagi dengan nada ketus.

Celeste tertegun sejenak mendengar jawaban Bu Maurice lalu bertanya, "Apakah ibu tahu kemana Juan pergi?"

"Aku tak tahu kemana ia. Kenapa tidak kau tanyakan kepada kedua orangtuamu saja?! Pergilah! Aku tidak mau Juan kena masalah lagi gara-gara kau!" 

Celeste yang melihat Bu Maurice akan menutup pintu rumahnya segera maju dan menahan pintu dengan sebelah tangannya agar tidak menutup.

"Ibu... Ibu... Apa maksudnya? Kenapa ibu bicara seperti itu padaku?" tanya Celeste kebingungan.

"Sudahlah, Celeste. Pergilah!" jawab Bu Maurice masih berusaha menutup pintu.

Juan yang saat itu masih berada didapur mendengar keributan dipintu depan segera beranjak untuk melihat apa yang sedang terjadi.

"Celeste?" ucap Juan pelan.

Celeste dan Bu Maurice yang masih berebut pintu segera berhenti dan sama-sama menoleh kearah Juan. Melihat ada kesempatan, Celeste segera menyeruak masuk mendekati Juan.

Celeste langsung memeluk Juan. Didekapnya erat tubuh kekasihnya itu. Namun Juan hanya terdiam mematung. Bu Maurice sendiri langsung menghela nafas panjang. Ditutupnya pintu depan, iapun segera berlalu dari sana seraya menggelengkan kepala dan memutar bola matanya.

"Celeste," Juan memanggil nama wanita itu pelan. 

Dilepaskannya pelukan Celeste dengan lembut. Dilihatnya air mata menetes dari kedua bola mata cantik wanita yang dicintainya itu. Juan mengerutkan keningnya tak mengerti.

"Juan, apakah kau tak apa-apa?" tanya Celeste setelah melihat luka diwajah kekasihnya itu.

"Apakah masih sakit?" tangannya yang lentik memegang lembut luka lebam dipelipis Juan.

Juan meringis menahan sakit. Namun ia enggan membuat kekasihnya itu khawatir, jadi ia berbohong, "Tidak, aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir, Celeste."

Celeste menurunkan tangannya dari wajah Juan, kepalanya tertunduk. Dengan lirih ia meminta maaf, "Maafkan aku, Juan. Masalah  yang menimpamu semuanya karena aku."

Air mata kembali menetes diwajah cantik Celeste. Melihat wanita yang dicintainya seperti itu, Juan tidak tega. 

Dipegangnya lembut kedua bahu Celeste dan berkata lembut, "Sayangku, ini bukan karena dirimu. Memang sudah nasibku yang seperti ini."

Mendengar ucapan Juan, Celeste memeluk Juan semakin erat. Tangisannya semakin kencang didada Juan. Celeste tahu sekali jika Juan tidak akan menyalahkannya. Juan terlalu baik. Itulah mengapa ia memilih pemuda itu sebagai kekasihnya. Karena Juan tidak hanya tampan, namun semua sifat baik pria ada pada dirinya. 

Kekurangan Juan hanya satu, ia tidak sekaya keluarga Celeste. Dan kedua orangtuanya sangat membenci hal itu. Bagi kedua orangtuanya kekayaan adalah hal utama untuk bisa mendekati anak gadisnya, Celeste.

Mereka akan sangat malu jika orang-orang mengetahui bahwa kekasih putrinya adalah orang miskin yang mengelola toko musik tua kecil dan tidak diketahui asal usulnya. Keluarga Celeste merupakan keluarga yang sangat berpengaruh di kota tua Siracusa.

Ayahnya adalah seorang pengusaha sedangkan ibunya adalah sosialita papan atas. Dikota itu tidak ada yang tidak mengenal suami istri Ferrari.

Sedangkan Celeste, adalah putri pertama mereka yang terkenal diseluruh kota karena kecantikannya. Sehingga pasangan Ferrari sangat protektif serta selektif dalam memilih pasangan untuk anak gadisnya itu.

"Celeste, cukup sayang. Tolong berhentilah menangis. Aku tidak apa-apa," ucap Juan lembut sambil membelai rambut kekasihnya.

Celeste menengadahkan kepalanya lalu berkata, "Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Juan? Tokomu sudah habis terbakar."

Juan tersenyum lembut mendengar pertanyaan Celeste, "Kau tenang saja. Memang tokoku sudah habis terbakar. Namun, masih banyak pekerjaan yang bisa aku lakukan. Aku bisa mencari pekerjaan diluar sana, sayang."

Mendengar jawaban Juan, Celeste hendak melakukan protes. Namun baru saja ia akan membuka mulut, jari telunjuk Juan sudah menempel dibibir wanita itu menghentikannya untuk berbicara.

"Kaau tak perlu khawatir, sayang. Aku bisa melakukannya, dan kali ini aku akan berhati-hati agar tidak mendapatkan masalah lagi," janji Juan.

Celeste yang melihat kesungguhan diwajah Juan hanya mampu mengiyakan keinginan kekasihnya itu. Iapun memeluk Juan kembali.

***

Seorang lelaki berjas hitam berwajah tampan dengan rahang tegas khas pria italia melangkah cepat memasuki sebuah ruangan yang terlihat seperti ruang kerja.

Disana duduk seorang pria paruh baya dibalik meja kerja. Dengan raut wajah serius melihat selembar kertas ditangannya.

Mengetahui kedatangan pria berjas hitam itu, si pria paruh baya segera mengalihkan perhatiannya dan berkata, "Bagaimana, Angelo? Apakah kamu sudah tahu dimana keberadaan Juan?"

"Ya, tuan Maximo. Tapi saya belum memastikannya apakah itu Tuan Juan atau bukan," jawab pria yang dipanggil Angelo itu. 

"Kalau begitu, cepat pastikan apakah benar ia Juan atau bukan. Sudah cukup ia berkeliaran diluar sana. Ia harus segera kembali untuk meneruskan bisnis keluarga Maximo. Terlepas ia tertarik atau tidak dengan bisnis ini!" perintah Don Maximo, ayah Juan Maximo itu tegas.

"Baik, Tuan Maximo," jawab Angelo tegas sambil sedikit membungkukkan badan dan berbalik pergi.

Don Maximo bangkit dari kursinya menuju jendela besar berbingkai kayu berwarna coklat tua yang berada dibelakangnya. Ia berdiri disana dengan kedua tangan bersilang dibelakang. 

Matanya yang teduh menatap kearah kebun bunga yang terhampar dihalaman rumah keluarga Maximo yang terlihat dari jendela tempat Don Maximo berdiri.

"Juan, kau harus segera kembali kesini, nak. Harapan keluarga Maximo ada ditanganmu. Kau harus segera mengambil alih bisnis keluarga kita agar tidak ada lagi yang berani memperebutkan kekuasaan keluarga Maximo," gumam Don Maximo lirih.

####

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status