Share

Bab 2

Warti membuang tasnya secara serampangan. Gadis kecil itu langsung mengambil salah satu koleksi kebaya pengantin milik ibunya. Nyimas Sekar memang seorang perias pengantin yang cukup terkenal di desa. Bahkan, ibunya sering menerima pesanan dari luar kota. Salah satu penyebab mereka menjadi salah satu keluarga terkaya di desa tersebut, karena memang Nyimas Warti seorang perias dan suaminya seorang petani cukup sukses.

Kedua kakaknya Warti yaitu Warno dan Sutrisno hanya bekerja membantu ayahnya mengurus sawah dan ladang.

“Lho, Nduk lepasin kebayanya. Cepat sana ganti bajumu yang biasanya dan makan siang. Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaanmu.” Ibunya yang mengetahui hal tersebut segera memaksa Warti untuk melepaskan kebaya hijau itu.

“Aku nggak mau, Bu! Aku ingin mencobanya sekali lagi. Sepertinya aku sangat pantas memakai kebaya ini.” Warti memang cukup keras kepala mengenai segala keinginannya. Ia tidak memedulikan teguran dari ibunya, lalu kembali bercermin.

“Kamu ini yo dibilangin nggak ngerti-ngerti juga!”

“Aku bukannya nggak ngerti, Bu. Tapi, aku nggak mau! Aku bener-bener naksir sama kebaya ini. Aku pun berharap bahwa suatu hari nanti aku bisa memakai kebaya ini.”

“Tentu aja, Nak kamu akan memakai kebaya tersebut di hari yang tepat. Sekarang, kamu harus fokus dulu sama sekolah, ya.”

“Janji ya, Bu! Baju yang kupakai ini harus ibu rawat dengan baik.” Pada akhirnya, Warti harus menyerah untuk melepaskan kebaya hijau dengan payet kuning keemasan.

Nyimas Sekar hanya tersenyum tipis memandang wajah sang putri. Warti pun akhirnya menurut untuk mengganti pakaiannya dengan model baju bermain biasa, lalu pergi makan siang bersama sang ibu.

“Bu, besok masak orek tempe lagi, ya! Makanannya benar-benar enak.”

“Tentu aja ibumu ini akan memasak makanan kesukaanmu setiap harinya.”

“Oh iya, Bu. Ngomong-ngomong bapak ke mana, ya?” tanya Warti yang tiba-tiba meletakkan sendok di atas piring.

“Bapak sama kedua masmu masih ada di ladang. Ibu juga ada kabar gembira buat kita semua.”

“Apa, Bu?” Warti bertanya penuh dengan ketidaksabaran. Ia mendongakkan wajahnya. Sang ibu yang melihat kepolosan sang anak, sunggu tidak tega. Nyimas Sekar pun menyungging senyum tipis untuk meredakan sedikit kekepoan sang anak.

“Begini, Nduk. Sebentar lagi kita akan panen ketela. Nah, hasil dari kebun ketela tersebut akan ibu jadikan tabungan buat kita nanti jalan-jalan ke Kota Semarang. Ibumu ini sudah bilang sama bapakmu. Jadi, kamu jangan pernah merasa khawatir, ya!”

Seketika Warti melonjak senang. Bahkan, ia tidak menyadari kalau sendoknya terpelanting jatuh. Namun, Nyimas Sekar yang melihatnya tidak memedulikan hal tersebut.

“Asiiik! Jadi nanti aku bakalan naik delman kan, Bu?” tanya Warti dengan wajah penuh binar.

“Tentu aja, Sayang. Bahkan, nanti kita akan bermain di sekitar danau yang indah.”

“Aku bisa membayangkannya, Bu. Pas main disekitar danau, pastinya akan merasa sangat senang dan damai.”

“Ibumu ini lebih paham apa maumu.”

“Ibu sama bapak memang benar-benar the best deh! Siapa dulu dong, ibunya Warti. He he he,” ucap Warti sambil cekikikan.

Nyimas Sekar memeluk tubuh mungil Warti cukup erat. Mereka tenggelam dalam pelukan cinta. Tiba-tiba saja terdengar amarah cukup luar biasa dari seorang lelaki teguh yang selama ini terkenal bijak dan penyabar.

“Waalaaah!! Aku pusing!!!” teriak Raden Mas Cokro sambil melempar kayu cukup besar ke sembarang arah. Beruntungnya kayu tersbeut tidak mengenai Nyimas Sekar dan Warti.

Kedua anak lelakinya juga pulang sambil meletakkan pacul di sisi pintu masuk dengan wajah yang sangat lesu. Mereka berjalan gontai menuju meja makan.

“Lho, kalian bertiga sebenarnya kenapa? Ada apa to, Pakne?” Nyimas Sekar jelas merasa keheranan dengan sikap ketiga lelakinya itu.

“Bu, kita gagal panen,” jawab Raden Mas Cokro sambil duduk di salah satu kursi makan. Sementara kedua kakaknya Warti juga duduk dengan membisu.

“Maksudmu apa to, Pak?” tanya Nyimas Sekar kembali sambil memberikan segelas air putih.

“Begini loh, Bune.” Raden Mas Cokro menjawab setelah meminum segelas air putih tersebut.

“Gimana, Pak?”

“Tadinya aku sama kedua anak lelaki kita pergi ke sawah, ternyata padinya dimakan sama hama. Bapak sebenarnya sudah ngasih banyak jebakan sama obat hama. Tapi bapak sendiri nggak ngerti kalau akhirnya jadi begini.”

“Lha, terus kita mau makan gimana, Pak? Biaya sekolahnya Si Warti juga lumayan mahal.”

“Bapak punya rencana bakalan ngejual sawah sama tanah buat beli beras, lauk sama biaya sekolahnya Warti, Bune.”

“Menurutku yo, Pak. Kalau masalah lauk kita tinggal ambil saja sayur-sayuran di kebun atau ibu bakalan minta sama tetangga.”

“Bener juga, Bu. Tapi, gimana sama biaya sekolahnya Si Warti?” tanya Nyimas Sekar yang memang betul-betul tidak mengetahuinya.

“Nah, bapak mikirnya mendingan Si Warti berhenti sekolah saja dan bantuin di rumah.”

Kalimat bapaknya sungguh membuat makanan di dalam mulut Si Warti tersedak. Uhuuuk!

“Minum dulu, Nduk!” seru Nyimas Sekar.

“Bu, yo masak aku harus berhenti sekolah. Aku masih kelas empat, Bu!! Aku juga masih ingin melanjutkan cita-citaku jadi guru.”

“Nduk, sekarang ini kita sudah menjadi orang miskin. Kasihan juga bapakmu kalau harus kelelahan banting tulang nyari duit buat keluarga, sekolahmu, baju baru, dan makan. Kamu masih punya dua kakak lelaki yang harus dikasih makan juga.” Nasihat dari Raden Mas Cokro memang berat terdengar oleh gadis kecil bernama Warti.

“Kalau ibumu ini piker-pikir lagi yo, War memang betul. Kamu harus berhenti sekolah nggak apa-apa. Apalagi biaya sekolahmu lumayan mahal ditambah sama harga buku-buku sekolah.”

“Iyo, Bu. Mau gimana lagi, aku harus nurut sama ibu.” Warti mengatakannya dengan raut wajah cukup kesal.

“Warti, meskipun kamu sudah nggak sekolah lagi. Kamu masih bisa menemani ibumu ini pergi merias pengantin. Kamu mau, kan? Ibu nanti akan ajarin kamu sedikit-sedikit gimana caranya menjadi seorang perias handal macam ibu.” Perkataannya Nyimas Sekar sungguh membuat Si Warti mengerti dan kembali tenang.

“Baiklah, Bu. Aku bakalan berhenti sekolah. Besok pagi aku bilang ke bu guru. Tapi, ibu bakalan menemani Warti, kan?” pinta Warti penuh dengan harapan.

“Yo jelas ibu akan menemanimu buat minta izin berhenti sekolah.”

“Iya, Bu. Kalau ada orang tua yang bilang kan menyakinkan.”

“Ha ha ha. Anak cerdas!!”

“Cerdas dari Hongkong!” celetuk Sutrisno seorang kakaknya yang nomer dua tidak terima dengan label “anak cerdas” yang ditujukan kepada Warti.

“Masak Mas Sutrisno baru ngerti kalau aku memang cerdas. Aku ini sudah cerdas sejak dulu. Mungkin Mas Sutrisno iri sama aku yang benar-benar cerdas.”

“Kamu ini ya selalu saja ngelawan juga ngebantah perkataan masmu ini.”

“Weeekkk!” ejek Warti sambil memeletkan lidahnya.

Seluruh sudut ruangan itu dipenuhi gelak tawa dari keluarga kecil yang sangat bahagia. Keputusan Raden Mas Cokro agar Warti berhenti sekolah di kelas 4 SD memang benar-benar menjadi kenyataan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status