Share

Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih
Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih
Penulis: Aiko Arawati

Bab 1

“Hentikaaan! Kamu siapa?” tanya Anis yang memiliki paras manis sambil menghunuskan pedang. Sementara sosok hitam tinggi besar dengan wajah bertaring merah sudah lama berdiri di depan Anis.

Ketika sosok hitam tinggi besar yang mengerikan itu mendekati gadis bernama Anis, tiba-tiba saja wajahnya berubah menjadi sosok lelaki yang sangat rupawan. Sosok itu menampilkan senyum menyeringai yang cukup membuat siapapun akan luluh. Jika sosok tampan itu ada di dunia nyata, mungkin akan mirip Gong Yoo Oppa. Ah iya, satu sosok yang benar-benar diidamkan oleh kebanyakan gadis pecinta Drakor.

“Ka-kamu mau ngapain?” Dengan polosnya Anis bertanya kepada sosok lelaki berwajah rupawan yang misterius itu mulai mendekati wajahnya.

Sosok lelaki rupawan itu menjauhkan tubuhnya dari sosok Anis. Sosok gadis itu hanya mengerjap-ngerjapkan kedua netranya.

“Anis, aku datang ke sini hanya ingin memberitahumu bahwa apid an kebahagiaan yang sangat luar biasa mendatangimu. Hanya saja, selama perjalanan itu, kamu akan harus melalui beberapa ujian. Sebenarnya, ujian tersebut bukan seperti ujian sewaktu masih sekolah.” Sosok lelaki tampan yang tidak pernah memberitahu identitasnya itu menjelaskan hal yang tidak dimengerti oleh Anis.

“Maksudmu apa?” Anis memang kebingungan dengan penjelasan dari sosok misterius itu. Hanya saja, Anis sudah tidak merasakan ketakutan yang luar biasa. Ketika memandang sosok itu, mata sang gadis tidak berkedip sedikit pun. Mungkin ia mulai terpesona oleh ketampanan dari sosok jelmaan makhluk Genderuwo.

“Dengarkan aku! Intinya, ketika kamu lahir di dunia, kamu akan dikaruniai oleh banyak sekali nikmat yang luar biasa. Gunakan nikmat itu untuk membantu apid . Oke. Aku harus pergi dulu.” Ketika sosok misterius itu akan melangkahkan kakinya untuk pergi, Anis menghentikannya.

“Tunggu dulu! Sebenarnya aku masih nggak ngerti, tapi aku akan berusaha mengikuti apa katamu.”

Sosok lelaki tampan yang misterius itu hanya melempar senyum sinis untuk ke sekian kalinya. Mungkin setiap lelaki tampan di dunia ini memang suka sekali tersenyum sinis–seolah-olah ketampanan hanya milik mereka saja. Anis yang baru menyadari sikap sosok misterius itu ingin memuntahkan sesuatu. Mungkin Anis merasa sangat muak melihat ketidakramahan sosok itu.

“Aku merasa sangat aneh. Sebenarnya aku sedang berada di mana?” Akhirnya, Anis mulai menyadari keberadaanya. Ia mulai berjalan secara perlahan ke setiap sudut tempat itu.

Sebuah tempat asing yang ditumbuhi oleh pohon hijau dengan kesejukan yang luar biasa. Angin semilir menerpa rambutnya yang hitam sedikit bergelombang. Ia pun mulai mendengar beberapa kicauan burung yang bertengger di ranting-ranting pohon. Sungai kecil yang berada di seberang utara gubuk lapuk, mengalirkan gemericik air yang membuatnya menghentikan langkah.

Anis menikmati setiap suara indah yang mengalir tenang dari sungai kecil itu. Ia merenung lalu kembali mengedarkan pandangannya ke segala arah. Ia memang sedang berada di sebuah bukit asing. Ia kembali melihat dirinya pun sedang mengenakan pakaian serba putih.

“Sebenarnya aku sedang berada di mana, Tuhan?” tanya Anis sambil mengedarkan pandangannya ke atas langit yang begitu biru.

Lalu, siapa yang akan menjawab pertanyaan gadis manis itu? Ia benar-benar merasa sendirian. Ketika tangisnya meledak, tiba-tiba saja sebuah cahaya putih besar menghantamnya. Tubuhnya seolah-olah pecah menjadi butiran-butiran partikel yang sangat kecil. Jika partikel itu dilihat melalui miskroskop, akan terlihat potongan tubuh Anis yang cukup mengerikan.

Mulai dari kulit, rambut, hingga kuku-kuku yang menghitam karena pemiliknya tidak pernah membersihkannya. Namun, gadis manis itu selalu memperhatikan penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki. Ia selalu mendapatkan perawatan kecantikan terbaik. Bahkan, ia sangat rela mengeluarkan uang puluhan juta untuk perawatan wajahnya agar tetap terlihat awet muda.

“Hei, kau Anis si gadis manis, kita akan bertemu di dunia lain. Dunia yang akan membawamu pada kenikmatan palsu. Namun, dunia itu benar-benar tempat yang tepat untuk melakukan semua kebaikan yang akan mengantarkanmu pada kenikmatan yang sesungguhnya. Kau hanya perlu membawa beberapa bekal sebelum menikmati kenikmatan yang sesungguhnya.”

Hanya kalimat itu yang masih terdengar oleh Anis sebelum gadis manis itu benar-benar menghilang.

***

Kudus, Tahun 1970

Sebuah desa Karangjawa yang berada di pinggiran Kota Kudus, Jawa Tengah telah dikaruniai satu keluarga kecil dari kalangan Priyayi. Meskipun desain rumahnya joglo terbuat dari papan. Rumah mereka terbilang mewah pada masa itu. Rumah jawa itu cukup rame dengan kehadiran tiga orang anak, satu diantaranya seorang perempuan cantik yang bernama Warti. Usianya baru 9 tahun yang tentu saja sangat senang bermain dengan teman sebayanya, tetapi ia sudah sangat terlihat dewasa dibandingkan teman-temannya.

“Lho, Pakne, beras yang ada di dalam karung ini tiba-tiba habis? Padahal baru tiga hari lalu kita habis menggiling gabah, lho.” Suara wanita bernama Nyimas Sekar Sari yang sangat lembut dengan logat khas Solo mulai menggema.

Seorang lelaki bernama Raden Mas Cokro yang masih sangat muda, usianya sekitar 35 tahun berjalan pelan menuju istrinya. Seperti hari-hari biasanya, sang suami mengenakan beskap–sebuah penutup kepala Jawa khas Solo dengan pakaian adat Solo yang khusus bagi kalangan Priyayi.

“Walaaahhh, Buneee. Aku lupa, kemaren berase diutang sama Mbok Jum.”

“Lho gimana, to, Pak! Berasnya masih tinggal sedikit malah dikasihkan sama orang lain. Lalu, kita makan pakai apaan?” Suara Nyimas Sekar Sari meskipun terdengar sangat lembut, tetapi cukup menyayat hati lantaran ketidakikhlasannya.

Semua amarah yang diluapkan oleh Nyimas Sekar Sari sangat normal. Siapapun bakalan marah jika mengetahui makanan satu-satunya sudah habis.

“Sudahlah, Bune. Pekara makanan masih bisa dicari. Kita masih punya ketela, ya. Lagipula sebentar lagi panen. Kita bisa makan pakai ketela.” Begitu sang suami menyahut perkataan Nyimas Sekar Sari, amarah wanita cantik itu secara perlahan mereda.

Bayangkan saja keluarga seorang Priyayi dari Solo harus merasakan kepahitan. Namun, mereka sudah menyatakan untuk hidup sederhana. Mereka akan sangat jarang memakan makanan seperti daging ayam, kerbau, apid an makanan yang dinilai mewah.

“Iyo, Pak. Aku sendiri sudah tua. Lagian Warti juga sudah mulai besar. Apalagi biaya sekolahnya semakin mahal,” ucap Nyimas Sekar Sari lalu duduk di tepi ranjang sambil mengelus-elus dadanya. Amarah yang tadinya meledak, kini mulai mereda. Suaminya memang sosok yang sangat layak dijadikan seorang idola keren.

“Masalah biaya sekolahnya Si Warti yo biasa saja. Nanti aku tak menjual hasil kebun ketela. Kita harus memikirkan kematian, Bu.” Perkataan sang suami yang terakhir, menyentak hati istrinya.

“Pak, kematian kita memang sangat dekat. Njenengan[1] bisa saja berkata seperti itu, tapi aku ini istrimu. Aku jelas saja nggak rela kalau njenengan yang mati duluan.”

“Ya sudah, Bu. Kita akan mati bersama.”

“Halah, bahasamu itu lho, Pak malahan persis seperti orang yang sedang main ludruk[2].”

“Tapi sampeyan akhirnya bisa tertawa juga, to?” tanya sang suami sambil mencubit hidung Nyimas Sekar.

Tawa mereka pecah yang terdengar oleh Warti–kebetulan perempuan cantik tersebut sudah pulang dari sekolah.

***

[1] Njenengan merupakan kata dari Bahasa Jawa yang artinya Anda dan bersifat formal.

[2] Ludruk merupakan sebuah acara teater Jawa yang menghadirkan lelucon-lelucon segar dan adegan lucu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status