Share

Bab 3

Author: Aiko Arawati
last update Last Updated: 2021-09-23 17:39:48

“Nduk Warti, ayo kita pergi angon kambing. Jangan lupa bawa nasi, tahu, tempe sama sambelnya ada di dalam rantang.” Nyimas Sekar mengingatkan untuk kesekian kalinya. Meskipun Warti seorang gadis yang keras kepala, tetapi ia sangat penurut jika membantu ibunya.

Saat ini, pekerjaan keluarga mereka memang angon kambing dan pergi ke ladang. Mereka tidak pernah sedikit pun mengeluhkan tentang kondisi yang menurut sebagian orang menderita. Warti memberikan makanan pada empat kambingnya dengan senang hati.

“Bu, kalau kambing-kambingnya sudah dewasa, apakah bakal dijual?” tanya Warti ketika duduk di antara rerumputan hijau, sedangkan kambing-kambingnya makan rumput secara mandiri.

“Yo tentu aja, War. Kambing-kambing ini yang nantinya bakalan buat biaya pernikahannya masmu.”

“Lho, kapan Mas Sutrisno akan menikah, Bu?” tanya Warti sambil menatap wajah ibunya keheranan.

“Nduk Warti. Ibu tadi sudah bilang kalau kambing-kambingnya sudah dewasa, baru masmu Sutrisno bisa menikah.”

“Masih lama, Bu.”

“Iya, memang masih lama.”

“Ibu juga heran, akhir-akhir ini kesehatan bapakmu semakin menurun,” ucap Nyimas Sekar sambil menundukan wajahnya. Terlihat jelas gurat kesedihan.

“Padahal bapak kan sudah minum obat dan jamu-jamuan setiap harinya.”

“Benar. Tapi bapakmu butuh perawatan yang sangat baik di rumah sakit.”

“Kita nggak punya biaya lebih buat berobat ke rumah sakit, Bu.”

“Duh, anak ibu yang satu ini memang sangat pintar.”

“Masa ibu baru ngerti kalau Warti memang sudah pintar sejak lahir.”

“Ha ha ha ha.”

“Bu, terima kasih banyak sudah merawat Warti dengan baik.” Tiba-tiba saja keadaan menjadi sangat mellow.

“Yo memang, kamu harusnya sering berterima kasih sama ibumu ini yang sudah melahirkanmu ke dunia. Kalau nggak ada ibumu ini, kamu nggak mungkin lahir ke dunia.”

Jleb! Rasanya seolah-olah belati menggores kulitnya. Perih sekaligus terharu dengan kalimat yang terlontar dari bibir tipis sang ibu. Ibu. Yah, seorang wanita yang tidak pernah habis untuk dibahas dari zaman ke zaman. Nama ibu memang sangat harum yang tidak bisa diibaratkan oleh apapun.

“Aku kok jadinya mau nangis ya, Bu.”

“Lho kenapa mau nangis?” tanya sang ibu.

“Aku terharu punya ibu seprti ibu.”

“Kita memang harus selalu bersyukur yo, Nduk.”

“Iyo Bu. Aku juga bersyukur bisa berhenti sekolah.”

“Lho?” Sejenak ibunya melongo.

“Kalau saat ini aku masih sekolah, pasti ibu sama bapak pusing mikirin biaya beli buku, beli seragam kenaikan sekolah, uang jajanku, dan sebagainya. Aku sadar sama keadaan kita yang memang begini.”

Nyimas Sekar memeluk Warti cukup erat. Ada buliran hangat yang terjatuh mengenai kulit tangan Nyimas Sekar. Warti meneteskan air mata. Bukan, bukan air mata kesedihan, melainkan Warti sangat bersyukur memiliki ibu seperti Nyimas Sekar. Sama seperti seorang ibu yang lainnya, tangan Nyimas Sekar yang putih bersih, tetapi sudah mulai terlihat keriputnya, mengusap sisa air mata sang anak.

Cahaya kemuning yang berasal dari ufuk barat mulai tenggelam. Sejenak, Warti menengadahkan tangannya sambil menutup kedua bola matanya. Mulutnya berkomat-kamit seperti merapalkan mantra. Namun, bukan mantra, tetapi doa-doa menjelang malam dengan kegelapan yang akan menyelimuti seluruh bumi.

Ia sangat berharap jika suatu hari nanti Warti akan menemukan kebahagiannya yang sejati. Setiap manusia yang terlahir ke dunia akan mendapatkan kebahagian. Namun, kebahagiaan yang dimaksud sangat berbeda dari satu orang dengan orang lainnya. Hanya saja, manusia mampu menciptakan kebahagiaannya sendiri tanpa terpengaruh oleh apapun.

***

            8 tahun kemudian …

Waktu memang berjalan sangat cepat. Seorang lelaki yang dulunya muda, kini mulai merenta. Tubuhnya mulai kurus kering. Lelaki itu bernama Raden Mas Cokro yang terbaring lemah di atas dipan ruang tamu. Rumahnya yang berdesain joglo dengan ruang tamu yang multifungsi–dimanfaatkan menjadi beberapa ruangan, mulai dari ruang tamu, ruang makan, sekaligus ruang istirahat dengan dipan ukiran khas Jepara.

Sementara Warti mulai tumbuh menjadi seorang remaja 17 tahun yang selalu tersenyum setiap kali melihat wajah ibunya. Ia pun masih senang bermain bersama anak-anak sebayanya. Meskipun teman-temannya ada yang melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi atau sekolah menengah ke atas, Warti tidak pernah merasa berbeda atau minder. Gadis itu selalu punya cara sendiri untuk bahagia.

“Bu, aku sedih melihat kondisi bapak, ya.” Perkataan dari Warti memang sangat benar. Ia sedih melihat kondisi Raden Mas Cokro yang sering batuk dengan riak darah cukup mengerikan. Keluarga itu hanya memberikan ramuan jamu-jamuan untuk mengurangi rasa sakit yang diderita oleh Raden Mas Cokro.

Sementara kedua anak lelaki di rumah itu, lebih memilih bekerja sebagai kuli bangunan di kota lain. Hasilnya memang cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari di dalam keluarga Priyayi tersebut. Toh, semua asset di rumahnya sudah dijual dan tidak tersisa sedikit pun. Keluarga mereka benar-benar menjadi miskin.

“Kita banyak doa saja ya, Warti. Semoga bapakmu segera pulih.”

“Iya, Bu.”

Tanpa Warti ketahui, air mata Nyimas Sekar kembali meleleh. Seorang ibu sekaligus istri akan merasa perih dengan kondisi tersebut. Mereka sedang berada diambang kematian, karena kondisi sang kepala keluarga semakin memburuk. Mungkin, Raden Mas Cokro sudah sangat kelelahan bekerja hampir tiap waktunya sebagai petani sekaligus mengurus kambing-kambing yang mulai tumbuh dewasa.

Kambing-kambing itu pernah dijanjikan oleh ibunya untuk biaya menikah sang kakak yaitu Sutrisno. Namun, suatu hari Sutrisno sudah memberikan pemahaman kepada keluarga kecilnya tersebut, bahwa ketika Sutrisno akan menikah, lelaki muda nan tampan itu akan menggunakan biaya dari hasil bekerjanya sebagai kuli bangunan untuk biaya menikah. Lebih baik, kambing-kambing itu untuk biaya pernikahannya Warti saja.

Sepertinya waktu menjawab permintaan dari Sutrisno begitu cepat. Begitu Raden Mas Cokro dinyatakan meninggal dunia. Nyimas Sekar menjodohkan Warti dengan salah satu anak pedagang kaya di desanya.

“Tapi, Bu aku masih ingin bermain sama teman-teman. Usiaku baru 17 tahun, lho.”

“Mau gimana lagi, War. Ibumu sudah mulai menua. Kamu juga nggak ada yang merawat. Masmu yang nomer satu sudah menikah dan tinggal di kota.”

“Tapi, Bu … aku nggak suka sama anak pedagang kaya tersebut.”

“Nanti kalau sudah terbiasa juga jadi suka. Dulu ibumu ini juga kurang suka sama bapakmu. Tapi lama kelamaan menjadi suka.”

“Apa aku akan hidup bahagia bersamanya?” tanya Warti yang masih memiliki pemikiran yang polos.

“Tentu aja kamu akan bahagia, karena dia anak orang kaya. Kamu akan menjadi seorang ratu di dalam rumahnya,” ucap Nyimas Sekar yang dibarengi dengan aliran airmata yang mengalir dari sudut matanya.

Nyimas Sekar paham. Apa yang dikatakannya sedikit menyayat hati, karena wanita itu sudah merasakan asam garam kehidupan berumah tangga. Nyimas Sekar bahagia, hanya saja pekara harta dan uang sering membuatnya menangis. Wajar. Siapapun memang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan. Bahkan, hiburan sederhana pun membutuhkan uang.  Lalu, siapa yang tidak mencintai uang dan harta? Pastinya, tanaman yang tumbuh liar tidak membutuhkan uang untuk merawat tanaman tersebut.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih   Bab 55

    Hari demi hari berlalu begitu saja. Anis sudah bisa melayani pembeli di toko pakaian Aro.“Anis, aku seneng banget bulan ini kita mendapat banyak sekali pesanan baju. Jadi, aku bisa menggajimu dengan bonus.”“Wah, makasih banyak ya, Ro.” Anis tersenyum manis yang membuat Aro membatin, ‘ternyata kalau dilihat-lihat Anis cantik juga.’“Aro?” Anis mengguncang-guncang tubuh Aro.“Eh eh, iya, Nis. Maaf ya aku malah jadi melamun. He he he.”“Iya nggak apa-apa, Ro. Takutnya kalau kamu melamun gini nanti kesambet, lho.”“Yeee malah bercanda.”Anis dan Aro tenggelam dalam gelak tawa. Tiba-tiba saja dari lubang hidung Anis keluar cairan merah. Anis mimisan.“Kamu kenapa, Nis?” tanya Aro dengan nada khawatir.“Nggak tahu nih, Ro tiba-tiba aja mimisan. Sebelumnya nggak pernah gini. Mana aku sedang hamil.”“Kamu harus periksa ke dokter, Nis.”“Gimana sama kerjaanku, Ro?”“Udah. Kamu nggak usah mikirin tentang kerjaan. Oh ya, Tomo bawa ponsel, nggak?”“Tomo nggak bawa ponsel kalau kerja, Ro. Memang

  • Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih   Bab 54

    Matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Setelah sarapan nasi dengan sambal goreng tempe, Anis segera mengantar Putri ke sekolah. Tomo seperti biasa pergi bekerja membangun rumah di desa sebelah. Pukul 07.05 WIB Anis selesai mengantar Putri ke sekolah, lalu menghentikan mesin motor di depan rumah Aro.“Kamu ke sini kok pagi banget sih, Nis?” tanya Aro yang baru selesai membuka toko pakaian.“Iya nih, Ro. Aku tadi habis mengantar Putri ke sekolah.”“Wah iya. Katanya kamu mau jadi karyawan di tokoku ya, Nis?” tanya Aro yang duduk-duduk di dalam toko. Anis kemudian duduk-duduk sambil menjawab dengan suara parau, “Iya nih, Ro. Aku bingung nyari uang tambahan untuk biaya lahiran nanti.”“Selamat juga ya atas kehamilanmu. Memangnya kamu nggak apa-apa bekerja dalam keadaan hamil begini?”“Nggak apa-apa kok, Ro. Uang dari pekerjaannya Tomo yang sebagai kuli bangunan nggak cukup buat biaya lahiran nanti.”“Jadi begitu. Mulai hari ini kamu sudah bisa bekerja kok, Nis. Ohya, suamimu tahu apa ng

  • Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih   Bab 53

    Anis teringat akan sesuatu. Ia terlambat datang bulan. Lalu ia menghitung tanggal terkahir datang bulan.“Jangan-jangan aku hamil.”Untuk memastikan kebenaran, ia membeli tespek di apotik terdekat. Setelah dilakukan tes sederhana, Anis terkejut melihat hasilnya. Ia positif hamil. Anis tersenyum bahagia.Ia membagikan kebahagiaannya melalui akun FB.“Tomo,” ucap Anis sambil melingkarkan lengannya ke punggung Tomo.“Iya, kenapa, Nis?”“Hari ini aku sangat bahagia.”“Bahagia kenapa?” Tomo melepaskan pelukannya dengan pelan.“Kamu tahu nggak kalau aku sedang hamil.”“Apa? Kamu hamil? Kita bakal punya anak lagi dong.”“Iya. Putri bakal punya adik.”“Jadi, kamu muntah-muntah waktu kemarin ternyata hamil toh.”“Iya. Kamu bahagia kan?”“Iya. Aku bahagia banget.”“Tapi, dari mana nyari uang tambahan buat biaya lahiran nanti? Juga uang tambahan buat anak kedua kita? Aku bingung.”“Kamu tenang ya, Nis. Aku akan nyari pekerjaan tambahan.”“Memangnya mau kerja apa?”“Entahlah. Kita lihat saja nant

  • Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih   Bab 52

    Anis terpaksa menghentikan aktivitasnya yang sedang menyapu. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Tomo, “Tomo, kamu udah selesai apa belum mandinya?”“Iya bentar lagi kok,” sahut Tomo dari balik pintu kamar mandi.Selesai mandi, Tomo bertanya kepada Anis, “mengapa kamu teriak kaya gitu? Ada apa? Apa kamu udah kebelet pipis?”“Enggak kok, Tom. Aku cuman mau bilang aja tadi kamu dicariin sama Diki,” jawab Anis.“Ada apa memangnya? Nunggu aku selesai mandi kan bisa. Kenapa harus teriak gitu?”“Ya maaf. Nanti malam Diki ada acara bancaan. Kamu diundang ke acara bancaan.” Anis nyengir bagai kuda yang tidak berdosa. Ia memasang wajah kuyu di depan Tomo. Lelaki ganteng itu manyun.“Ya sudah kalau gitu. Iya aku pasti datang kok.”Anis tersenyum menyeringai. Tomo membalas dengan senyuman pahit. Kemudian Anis ke kamar mengambil ponsel pintarnya. Lalu mengirim pesan WA kepada Aro.[Aro, gimana kandunganmu sehat?][Sehat kok, Nis. Alhamdulillah.][Alhamdulilla

  • Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih   Bab 51

    Anis mencuci piring lalu mengelapnya agar cepat kering. Hari semakin siang. Anis melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia segera mengenakan jilbab biru tua yang tersampir di kursi kamar. Hampir saja lupa, Anis mengambil ponsel pintarnya.Tomo belum pulang kerja. Ia harus menjemput Putri yang pulang sekolah. Namun, ia mematikan mesin motornya di depan rumah Aro.“Anis, ada apa?” tanya Aro sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.“Enggak ada apa-apa kok, Ro. Aku lagi nunggu Putri pulang sekolah kok. Kamu nggak keberatan kan aku nunggu Putri di rumahmu?” jawab Anis.“Tenang aja, Nis. Nggak masalah kok.”“Oh ya, Ro ngomong-ngomong kamu sedang hamil ya?”“Iya nih Nis. Alhamdulillah banget diberikan rezeki oleh Allah berupa janin yang akan menjadi anak.”“Udah berapa bulan kamu hamil, Ro?”“Udah tiga bulan ini, Nis.”“Wah.”“Udah jam 12 siang ya, Ro. Cepat banget.”“Iya Nis.”“Ya udah ya Ro aku mau jemput Putri.”“Iya, Nis. Hati-hati.”Anis pun menjemput Putri di sekolah. L

  • Kisah Gadis Pemburu Uang dan Lelaki Sholih   Bab 50

    Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status