Share

Bab 3

“Nduk Warti, ayo kita pergi angon kambing. Jangan lupa bawa nasi, tahu, tempe sama sambelnya ada di dalam rantang.” Nyimas Sekar mengingatkan untuk kesekian kalinya. Meskipun Warti seorang gadis yang keras kepala, tetapi ia sangat penurut jika membantu ibunya.

Saat ini, pekerjaan keluarga mereka memang angon kambing dan pergi ke ladang. Mereka tidak pernah sedikit pun mengeluhkan tentang kondisi yang menurut sebagian orang menderita. Warti memberikan makanan pada empat kambingnya dengan senang hati.

“Bu, kalau kambing-kambingnya sudah dewasa, apakah bakal dijual?” tanya Warti ketika duduk di antara rerumputan hijau, sedangkan kambing-kambingnya makan rumput secara mandiri.

“Yo tentu aja, War. Kambing-kambing ini yang nantinya bakalan buat biaya pernikahannya masmu.”

“Lho, kapan Mas Sutrisno akan menikah, Bu?” tanya Warti sambil menatap wajah ibunya keheranan.

“Nduk Warti. Ibu tadi sudah bilang kalau kambing-kambingnya sudah dewasa, baru masmu Sutrisno bisa menikah.”

“Masih lama, Bu.”

“Iya, memang masih lama.”

“Ibu juga heran, akhir-akhir ini kesehatan bapakmu semakin menurun,” ucap Nyimas Sekar sambil menundukan wajahnya. Terlihat jelas gurat kesedihan.

“Padahal bapak kan sudah minum obat dan jamu-jamuan setiap harinya.”

“Benar. Tapi bapakmu butuh perawatan yang sangat baik di rumah sakit.”

“Kita nggak punya biaya lebih buat berobat ke rumah sakit, Bu.”

“Duh, anak ibu yang satu ini memang sangat pintar.”

“Masa ibu baru ngerti kalau Warti memang sudah pintar sejak lahir.”

“Ha ha ha ha.”

“Bu, terima kasih banyak sudah merawat Warti dengan baik.” Tiba-tiba saja keadaan menjadi sangat mellow.

“Yo memang, kamu harusnya sering berterima kasih sama ibumu ini yang sudah melahirkanmu ke dunia. Kalau nggak ada ibumu ini, kamu nggak mungkin lahir ke dunia.”

Jleb! Rasanya seolah-olah belati menggores kulitnya. Perih sekaligus terharu dengan kalimat yang terlontar dari bibir tipis sang ibu. Ibu. Yah, seorang wanita yang tidak pernah habis untuk dibahas dari zaman ke zaman. Nama ibu memang sangat harum yang tidak bisa diibaratkan oleh apapun.

“Aku kok jadinya mau nangis ya, Bu.”

“Lho kenapa mau nangis?” tanya sang ibu.

“Aku terharu punya ibu seprti ibu.”

“Kita memang harus selalu bersyukur yo, Nduk.”

“Iyo Bu. Aku juga bersyukur bisa berhenti sekolah.”

“Lho?” Sejenak ibunya melongo.

“Kalau saat ini aku masih sekolah, pasti ibu sama bapak pusing mikirin biaya beli buku, beli seragam kenaikan sekolah, uang jajanku, dan sebagainya. Aku sadar sama keadaan kita yang memang begini.”

Nyimas Sekar memeluk Warti cukup erat. Ada buliran hangat yang terjatuh mengenai kulit tangan Nyimas Sekar. Warti meneteskan air mata. Bukan, bukan air mata kesedihan, melainkan Warti sangat bersyukur memiliki ibu seperti Nyimas Sekar. Sama seperti seorang ibu yang lainnya, tangan Nyimas Sekar yang putih bersih, tetapi sudah mulai terlihat keriputnya, mengusap sisa air mata sang anak.

Cahaya kemuning yang berasal dari ufuk barat mulai tenggelam. Sejenak, Warti menengadahkan tangannya sambil menutup kedua bola matanya. Mulutnya berkomat-kamit seperti merapalkan mantra. Namun, bukan mantra, tetapi doa-doa menjelang malam dengan kegelapan yang akan menyelimuti seluruh bumi.

Ia sangat berharap jika suatu hari nanti Warti akan menemukan kebahagiannya yang sejati. Setiap manusia yang terlahir ke dunia akan mendapatkan kebahagian. Namun, kebahagiaan yang dimaksud sangat berbeda dari satu orang dengan orang lainnya. Hanya saja, manusia mampu menciptakan kebahagiaannya sendiri tanpa terpengaruh oleh apapun.

***

            8 tahun kemudian …

Waktu memang berjalan sangat cepat. Seorang lelaki yang dulunya muda, kini mulai merenta. Tubuhnya mulai kurus kering. Lelaki itu bernama Raden Mas Cokro yang terbaring lemah di atas dipan ruang tamu. Rumahnya yang berdesain joglo dengan ruang tamu yang multifungsi–dimanfaatkan menjadi beberapa ruangan, mulai dari ruang tamu, ruang makan, sekaligus ruang istirahat dengan dipan ukiran khas Jepara.

Sementara Warti mulai tumbuh menjadi seorang remaja 17 tahun yang selalu tersenyum setiap kali melihat wajah ibunya. Ia pun masih senang bermain bersama anak-anak sebayanya. Meskipun teman-temannya ada yang melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi atau sekolah menengah ke atas, Warti tidak pernah merasa berbeda atau minder. Gadis itu selalu punya cara sendiri untuk bahagia.

“Bu, aku sedih melihat kondisi bapak, ya.” Perkataan dari Warti memang sangat benar. Ia sedih melihat kondisi Raden Mas Cokro yang sering batuk dengan riak darah cukup mengerikan. Keluarga itu hanya memberikan ramuan jamu-jamuan untuk mengurangi rasa sakit yang diderita oleh Raden Mas Cokro.

Sementara kedua anak lelaki di rumah itu, lebih memilih bekerja sebagai kuli bangunan di kota lain. Hasilnya memang cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari di dalam keluarga Priyayi tersebut. Toh, semua asset di rumahnya sudah dijual dan tidak tersisa sedikit pun. Keluarga mereka benar-benar menjadi miskin.

“Kita banyak doa saja ya, Warti. Semoga bapakmu segera pulih.”

“Iya, Bu.”

Tanpa Warti ketahui, air mata Nyimas Sekar kembali meleleh. Seorang ibu sekaligus istri akan merasa perih dengan kondisi tersebut. Mereka sedang berada diambang kematian, karena kondisi sang kepala keluarga semakin memburuk. Mungkin, Raden Mas Cokro sudah sangat kelelahan bekerja hampir tiap waktunya sebagai petani sekaligus mengurus kambing-kambing yang mulai tumbuh dewasa.

Kambing-kambing itu pernah dijanjikan oleh ibunya untuk biaya menikah sang kakak yaitu Sutrisno. Namun, suatu hari Sutrisno sudah memberikan pemahaman kepada keluarga kecilnya tersebut, bahwa ketika Sutrisno akan menikah, lelaki muda nan tampan itu akan menggunakan biaya dari hasil bekerjanya sebagai kuli bangunan untuk biaya menikah. Lebih baik, kambing-kambing itu untuk biaya pernikahannya Warti saja.

Sepertinya waktu menjawab permintaan dari Sutrisno begitu cepat. Begitu Raden Mas Cokro dinyatakan meninggal dunia. Nyimas Sekar menjodohkan Warti dengan salah satu anak pedagang kaya di desanya.

“Tapi, Bu aku masih ingin bermain sama teman-teman. Usiaku baru 17 tahun, lho.”

“Mau gimana lagi, War. Ibumu sudah mulai menua. Kamu juga nggak ada yang merawat. Masmu yang nomer satu sudah menikah dan tinggal di kota.”

“Tapi, Bu … aku nggak suka sama anak pedagang kaya tersebut.”

“Nanti kalau sudah terbiasa juga jadi suka. Dulu ibumu ini juga kurang suka sama bapakmu. Tapi lama kelamaan menjadi suka.”

“Apa aku akan hidup bahagia bersamanya?” tanya Warti yang masih memiliki pemikiran yang polos.

“Tentu aja kamu akan bahagia, karena dia anak orang kaya. Kamu akan menjadi seorang ratu di dalam rumahnya,” ucap Nyimas Sekar yang dibarengi dengan aliran airmata yang mengalir dari sudut matanya.

Nyimas Sekar paham. Apa yang dikatakannya sedikit menyayat hati, karena wanita itu sudah merasakan asam garam kehidupan berumah tangga. Nyimas Sekar bahagia, hanya saja pekara harta dan uang sering membuatnya menangis. Wajar. Siapapun memang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan. Bahkan, hiburan sederhana pun membutuhkan uang.  Lalu, siapa yang tidak mencintai uang dan harta? Pastinya, tanaman yang tumbuh liar tidak membutuhkan uang untuk merawat tanaman tersebut.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status