Share

Menerima Kenyataan

Olivia segera memberi kode pada Nelly, si bungsu. Gadis remaja berusia lima belas tahun itu langsung mengerti. Dia bergegas keluar ruangan untuk memanggil perawat sementara Olivia berusaha menenangkan Rosemary yang shock mendengar penuturan ibu mereka tadi.

Ketika Nelly muncul kembali bersama dokter dan dua orang perawat, para ahli medis itu dengan sigap menaklukkan si pasien yang masih histeris. Para perawat memegangi kepala dan tubuh Rosemary yang berguncang-guncang, sementara dokter menyuntikkan obat penenang ke dalam infus gadis itu.

Beberapa saat kemudian kepala pasien yang sudah tak berdaya itu terkulai lemas. Matanya tertutup rapat. Terdengar napasnya yang tenang dan teratur. Dia telah tertidur pulas.

Martha terisak-isak menyaksikan keadaan putrinya. Ya, Tuhan, batinnya merana. Kenapa cobaan dariMu tak ada habis-habisnya? Suamiku serong terus meninggal dunia. Harta kami ludes, lalu anakku mengalami kecelakaan dan terluka parah. Bukan hanya fisiknya, tapi juga psikisnya. Kapan keluargaku bisa hidup normal kembali seperti dulu?!

Nelly merangkul ibunya yang masih menangis tersedu-sedu. Sementara itu dokter meminta penjelasan dari Olivia kenapa pasien bisa sampai terguncang seperti tadi. Gadis itu berkata bahwa ibunya tadi keceplosan memberitahu Rosemary bahwa kekasihnya telah meninggal dunia. Dokter menghela napas panjang. Dia menatap keluarga itu prihatin.

“Maafkan kata-kata saya ini. Tapi sepertinya saya perlu merekomendasikan seorang psikiater untuk merawat psikis Nona Rosemary. Kondisi batinnya benar-benar terguncang. Kalau dibiarkan terus, maka pengobatan dan terapi fisik yang dijalaninya takkan mengalami kemajuan sesuai yang diharapkan,” jelasnya hati-hati pada ketiga wanita di hadapannya.

“Lakukan saja yang terbaik buat anak saya, Dokter,” tandas Martha dengan sorot mata memohon. Sang dokter mengangguk. “Baiklah kalau begitu, Bu Martha. Selanjutnya saya mohon pihak keluarga lebih berhati-hati lagi dalam menghadapi pertanyaan pasien. Kondisi psikisnya sedang tidak stabil saat ini. Harap dimaklumi.”

Martha mengangguk. Dia sendiri merasa bersalah telah memicu emosi anaknya tadi. Selanjutnya dirinya akan berhati-hati dalam bersikap dan berkata-kata di depan Rosemary.

Didekatinya putri sulungnya yang tampak damai dalam tidurnya. Barangkali dia terpukul sekali telah kehilangan dua laki-laki yang begitu penting dalam hidupnya, batin wanita itu berusaha memahami. Pertama ayah kandungnya, lalu disusul kekasihnya. Kasihan Rosemary. Di hari ulang tahunnya yang kedua puluh lima, dia mendapatkan musibah bertubi-tubi. Akan kulakukan segalanya agar dia bisa pulih kembali seperti dulu….

Dan Martha membuktikan ucapannya. Dijualnya semua perhiasan miliknya untuk membiayai perawatan putri sulungnya di rumah sakit. Dijualnya pula mobil truk bekas toko suaminya dan uangnya dipakai untuk menyewa sebuah rumah kecil selama satu tahun. Sedangkan untuk biaya sekolah Nelly dan hidup sehari-hari sekeluarga, wanita itu menggunakan uang sumbangan kematian suaminya yang diperoleh dari sanak saudara dan handai taulan.

Mendiang Lukman hanya meninggalkan uang tunai yang tak seberapa jumlahnya. Dana itu ditabung oleh Martha untuk kelanjutan biaya pendidikan Nelly di jenjang SMA dan perguruan tinggi nanti. Sedangkan Olivia sudah lama memutuskan tidak akan kuliah. Sejak dulu gadis itu memang kurang suka menempuh pendidikan akademik. Dia memutuskan untuk belajar membuat kue secara otodidak. Selama ini dia sangat suka membantu ibunya memasak di dapur. Karena itulah hubungannya dengan Martha paling dekat dibandingkan kakak dan adiknya.

Lambat-laun Rosemary dengan besar hati mampu menerima semua peristiwa buruk yang menimpa dirinya. Dokter Dewi, psikiater yang merawat kejiwaannya di rumah sakit, sangat sabar dan dapat menenangkan hati pasiennya. Setelah kondisi kejiwaan Rosemary membaik, perlahan tapi pasti terapi fisik yang dijalaninya mengalami perkembangan yang berarti.

“Terima kasih, Dokter Dewi,” ucap Rosemary penuh rasa syukur. “Berkat Dokter, saya jadi dapat memaafkan diri saya sendiri atas kepergian Owen. Juga menerima kenyataan bahwa Papa sudah tiada. Bahwa beliau adalah manusia biasa yang tidak sempurna dan dapat berbuat kesalahan. Kondisi fisik saya pun sudah pulih seperti sediakala. Saya betul-betul berhutang budi pada Dokter.”

Perempuan setengah baya di hadapannya tersenyum bijak. “Kelak di luar sana kamu akan berhadapan dengan hal-hal yang dapat membuat batinmu kembali terguncang, Rosemary. Untuk mencegah hal itu terjadi, tetaplah berlatih meditasi. Setiap pagi setelah bangun tidur dan malam hari sebelum tidur sebagaimana yang saya ajarkan. Seandainya kamu mempunyai waktu untuk berlatih yoga, itu akan lebih baik,” nasihatnya bersungguh-sungguh.

Sorot matanya begitu meneduhkan hati pasiennya. Seperti sorot mata Papa, batin Rosemary terharu. Semoga Papa dan Owen damai di surga. Rosemary Laurens sudah bangkit dan siap menjalani kehidupan normal kembali! tekad gadis itu dalam hati.

***

“Ini rumah kontrakan kita, Rose,” kata Martha pada putri sulungnya. Dia dan Olivia sama-sama menjemput Rosemary pulang dari rumah sakit. Mereka bertiga naik taksi online karena sudah tak mempunyai kendaraan pribadi lagi. Mobil Xenia yang rusak parah akibat kecelakaan yang menimpa Rosemary dulu rupanya sudah habis masa berlaku asuransinya dan tidak diperpanjang lagi oleh mendiang Lukman.

Biaya untuk memperbaiki mobil itu besar sekali. Martha memutuskan untuk membiarkannya saja. Jadilah mereka kini tak mempunyai kendaraan pribadi. Hanya Expander milik Rosemary yang masih berada di rumah kos Surabaya satu-satunya kendaraan milik keluarga itu. Namun sang ibu belum mengungkitnya mengingat keadaan putrinya yang waktu itu masih dirawat di rumah sakit.

Rosemary memandang ke segala penjuru rumah kontrakan keluarganya yang kecil. Hanya terdiri dari satu lantai. Tidak ada ruang tamu. Hanya ada ruang keluarga, ruang makan, dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, dan tempat untuk menaruh mesin cuci.

Kecil tapi bersih dan fungsional, komentar gadis itu dalam hati. Aku suka, sih. Karena di Surabaya sudah terbiasa tinggal di kos. Tapi Mama dan adik-adikku kan terbiasa tinggal di rumah kami dulu yang besar dan mewah. Bagaimana mereka bisa langsung menyesuaikan diri tinggal di rumah semungil ini?

“Semula Mama, Oliv, dan Nelly juga nggak betah tinggal di sini, Rose,” ungkap sang ibu seperti dapat membaca isi hati putri sulungnya. “Bayangkan rumah ini cuma sebesar area pembantu di rumah kita dulu! Tapi yah, mau bagaimana lagi. Kita harus menerima kenyataan bahwa untuk sementara memang sebaiknya tinggal di rumah kecil dulu demi memangkas biaya kehidupan sehari-hari. Nelly masih membutuhkan biaya untuk sekolah. Sedangkan Olivia kan cuma lulusan SMA, susah mencari pekerjaan. Mama juga cuma ibu rumah tangga biasa, tidak mengerti cara mencari uang. Papamu dulu nggak suka kalau Mama bekerja membantunya di toko. Jadilah hidup kita seperti sekarang….”

Martha mulai tersulut emosinya kembali. Air matanya mengalir tak henti-hentinya. “Semuanya gara-gara janda tak tahu malu itu! Seandainya dia tidak menggoda papa kalian dan mempengaruhinya untuk berjudi, kita semua takkan hidup susah begini….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status