“Sudahlah, Ma,” hibur Olivia seperti biasanya. “Kak Rose kan baru pulang. Seharusnya kita bergembira, bukannya bersedih. Iya kan, Nel?”
Nelly langsung menimpali, “Betul, Ma. Ayo sekarang kita antar Kak Rose ke kamar. Kak Rose sekamar sama Nelly nggak apa-apa ya, Kak?” ucap gadis itu seraya berpaling pada kakak pertamanya. “Kak Oliv tidur sama Mama soalnya.”
Rosemary mengangguk pelan. Dia tak masalah sekamar sama siapa. Yang dipikirkannya saat ini adalah bagaimana menempuh langkah selanjutnya. Dirinya adalah anak sulung. Tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga sekarang berpindah padanya. Dia tak sampai hati ibu dan adik-adiknya tinggal terus-terusan di dalam rumah sekecil ini.
Pikirannya terus berkecamuk sepanjang hari itu. Sudah tiga bulan dia dirawat di rumah sakit. Atasannya pernah datang menjenguknya sekali dan menyatakan turut berdukacita atas musibah bertubi-tubi yang menimpa dirinya.
Pria berumur empat puluhan itu memberikan sebuah amplop coklat yang berisi surat pemutusan kerja secara terhormat dari perusahaan terhadap dirinya serta tanda terima tiga bulan gajinya sebagai uang pesangon. Selain itu juga ada dua bukti transfer sejumlah uang ke rekening pribadi Rosemary. Yang pertama adalah sumbangan dari atasan dan rekan-rekan di showroom mobil tempatnya bekerja. Sedangkan yang kedua adalah donasi dari pemilik showroom.
Gadis itu mendesah. Inilah akhir karirnya selama dua tahun di tempat itu. Tempat kerjanya yang pertama kali membuatnya betah. Sebelumnya dia sempat menjalani masa percobaan di berbagai perusahaan, namun diputuskannya untuk keluar hanya dalam waktu satu-dua bulan saja.
Keluwesannya saat diwawancara, nilai-nilai akademiknya yang bagus, dan rekomendasi baik dari kampusnya membuatnya tak kesulitan menerima panggilan kerja di beberapa perusahaan bermutu. Akhirnya dia menetapkan hatinya untuk terus berkarir sebagai sekretaris di showroom mobil ternama di Surabaya itu.
Namun rupanya Tuhan berkehendak lain. Setelah dua tahun, gadis itu diberhentikan dengan hormat karena terlalu lama absen bekerja akibat kecelakaan lalu lintas yang menimpanya.
Sepertinya aku sudah tak berhasrat lagi bekerja ikut orang, batin gadis itu mengambil hikmah dari kejadian itu. Berisiko tinggi dipecat kalau lama tidak masuk kerja, apapun alasannya. Haizzz….
Siang itu keluarga yang semua anggotanya perempuan itu makan bersama. Hidangannya sederhana. Hanya sup ayam kampung masakan Martha. Namun Rosemary sudah sangat bersyukur. Sejujurnya dia sudah kangen sekali menikmati masakan ibunya yang lezat.
“Maafkan Mama ya, Rose. Kepulanganmu hanya disambut dengan masakan sederhana ini. Tidak ada menu-menu lain yang berlimpah seperti di rumah kita dulu,” kata ibunya sendu. Matanya kembali berkaca-kaca.
Rosemary langsung menimpali, “Rose kangen makan sup ayam buatan Mama, kok. Enak.”
Sang ibu tersenyum. Ia terharu sekali putrinya menghargai jerih payahnya. Martha memang harus berhemat agar uangnya cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari mereka sekeluarga.
Sementara itu Rosemary mulai menyadari bahwa adik-adiknya yang biasanya makan dengan porsi banyak kini hanya mengambil nasi dan sup sedikit. Ya Tuhan, setragis inikah nasib keluargaku sekarang? Bahkan untuk makan saja sampai harus berhemat!
Dia jadi sungkan menambah sup ayam. Padahal perutnya masih sanggup diisi beberapa suap lagi. Namun tak sampai hati rasanya dia sebagai kakak memuas-muaskan dirinya menyantap masakan ibunya sementara adik-adiknya menghemat makan sedemikian rupa!
“Kalian sudah selesai makan?” tanyanya pada Olivia dan Nelly. Piring-piring mereka sudah kosong. Kedua gadis itu mengangguk.
“Kakak lanjutin makan aja,” kata Olivia seraya bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Aku sama Nelly sudah kenyang.”
Sementara Rosemary dan Martha menyelesaikan makan siang mereka, Nelly membawa piring-piring kotor ke dapur untuk dicuci. Olivia lalu muncul sambil membawa sehelai lap meja.
Rosemary tersenyum. Baru kali ini dia menyaksikan adik-adiknya melakukan pekerjaan rumah tangga. Dulu ada tiga orang pembantu rumah tangga yang siap sedia melayani mereka sekeluarga di rumah.
“Aku sudah selesai makan,” ucap gadis itu kepada Olivia. “Biar aku saja nanti yang membersihkan meja. Taruh saja kain lapnya di sini.”
“Oh, kalau gitu biar piring kotor Kakak aku taruh di dapur.”
“Terima kasih, Oliv.”
“Sama-sama, Kak,” jawab Olivia sambil tersenyum. Dia lalu berpaling pada ibunya. “Mama sudah selesai juga? Piring kotornya Oliv bawa sekalian ke dapur, ya.”
Martha mengangguk mengiyakan. Dia lalu menatap Rosemary sendu. “Nanti malam kita makan sup ayam ini lagi nggak apa-apa ya, Rose,” ucapnya memohon pengertian putri sulungnya.
Sang putri mengangguk sambil tersenyum tulus. “Iya, Ma. Nggak apa-apa. Sup buatan Mama enak, kok. Bikin Rose ketagihan,” pujinya demi menyenangkan hati ibunya.
“Terima kasih, Nak,” jawab Martha lega. “Mama sekarang mau istirahat dulu di kamar. Kamu juga, Rose. Jangan terlalu capek. Kesehatanmu kan baru pulih.”
Ucapan ibunya bagaikan angin segar yang menyejukkan hati Rosemary. Ironis sekali. Dulu di saat materi keluarga kami masih berlimpah-ruah, jarang sekali terjadi pembicaraan semanis ini di meja makan, pikir gadis itu. Acara makan bersama seolah-olah hanya sekadar untuk mengisi perut belaka. Hidangan yang disajikan memang melimpah, tapi kalah nikmat rasanya dengan masakan Mama yang cuma satu macam hari ini!
Tiba-tiba Rosemary merasakan sebuah hikmah yang berarti dari kejatuhan keluarganya. Perasaan kekeluargaan di antara mereka kini terasa lebih kuat. Mudah-mudahan aku dapat melengkapinya dengan membangun kembali kondisi finansial keluarga kami, harapnya dalam hati. Tak usah sampai berlebih-lebih seperti dulu ketika Papa masih hidup. Tapi setidaknya Mama dan adik-adikku bisa makan kenyang dan tak perlu berhemat separah sekarang!
***
“Rose mau pergi ke Surabaya, Ma,” kata Rosemary malam harinya kepada ibunya. Olivia dan Nelly sudah tidur di dalam kamar masing-masing. Rosemary sengaja mencari waktu berduaan dengan ibunya agar bisa bercakap-cakap dengan leluasa sebagai orang dewasa.
“Apakah kondisimu sudah cukup kuat pergi ke Surabaya sendirian, Rose?” tanya ibunya. “Atau kamu ingin Mama temani? Tapi katakan dulu apa tujuanmu ke sana. Mau mengambil mobil Expander dan barang-barangmu di kos saja atau ada keperluan lain? Pemilik kos-mu tempo hari bilang tak masalah barang-barang dan mobilmu diambil kapan saja sampai kamu benar-benar sembuh. Katanya kamu selalu disiplin membayar uang kos tiga bulan di muka. Tidak pernah terlambat seperti anak-anak kos lainnya.”
Rosemary mengangguk. “Kalau dihitung-hitung. Rose sekarang cuma menunggak satu bulan uang kos, Ma. Akan Rose lunasi dan sekalian menjual mobil Expander.”
Martha kaget mendengarnya. “Kamu yakin mau menjualnya, Rose? Itu kan hadiah dari papamu.”
Sang putri tersenyum kecil. “Keluarga kita sedang dalam kondisi prihatin, Ma. Mobil itu biaya perawatannya nggak murah. Tiap tahun juga mesti diasuransikan buat berjaga-jaga kalau ada apa-apa di jalan. Nggak efisien rasanya. Lebih baik dijual saja, Nanti uangnya Rose kasihkan Mama semua buat ditabung.”
Martha menggeleng. “Nggak usah, Rose. Mobil itu hadiah dari Papa buatmu. Jadi uang hasil penjualannya ya milikmu sepenuhnya,” katanya sambil menatap sang putri penuh haru.“Nggak, Ma. Uang itu untuk mengembalikan perhiasan-perhiasan Mama yang terpaksa dijual buat biaya pengobatan Rose di rumah sakit. Tenang saja, Rose masih punya tabungan dari gaji sebagai sekretaris dulu. Nanti Rose beli sepeda motor saja buat dipakai sehari-hari,” papar gadis itu panjang-lebar.“Sepeda motor?” tanya ibunya tak percaya. “Kamu bisa mengendarai sepeda motor?”Putrinya mengangguk. “Bisa, Ma. Diajari Owen dulu. Dia bilang mumpung masih muda, Rose sedapat mungkin mencoba segala hal yang bisa dilakukan. Karena kita tidak pernah tahu suatu saat mungkin membutuhkan keahlian mengendarai sepeda motor,” jelasnya sendu.Gadis itu jadi teringat pada sang kekasih yang te
“Maafkan pertanyaan saya ini, Pak,” potong si agen asuransi. “Apakah Bapak sudah memutuskan harga untuk membeli mobil bekas gadis itu? Sepintas lalu saya lihat mobilnya masih bagus dan terawat.”Lawan bicaranya menghela napas panjang. “Expander itu memang masih bagus dan terawat sekali, Ward. Tapi penjualan mobil bekas sedang sepi sekarang. Terus terang agak berat juga kalau aku membelinya dengan harga tinggi….”“Begini, Pak,” lanjut laki-laki necis itu. “Setelah saya perhatikan baik-baik tadi, saya akhirnya mengenali gadis itu. Dia sebenarnya adalah….”Selanjutnya si pemilik showroom mendengarkan penuturan panjang lebar agen asuransinya tersebut.***Rosemary keluar dari showroom dengan perasaan luar biasa lega. Mobil Expander-nya telah laku terjual dengan harga sesuai permintaannya. Lumayan, tujuh juta le
“Sori, Om cuma bergurau,” ujar laki-laki keren itu seraya menyalakan alarm mobil New Camry silver-nya. “Ayo masuk ke mobil. Kita berangkat sekarang. Om lapar sekali.”Sang gadis mengangguk. Beberapa saat kemudian mereka telah duduk bersebelahan. Edward menyalakan AC dan memutar lagu lawas pop romantis berbahasa Inggris. “Aku ini termasuk old fashioned dalam selera lagu, Rose. Sukanya lagu-lagu klasik ala Bryan Adams, Celine Dion, Mariah Carey, dan sejenisnya. Mereka berjaya sekali di masa muda Om. Hahaha…ketahuan ya, Om sekarang kira-kira berapa usianya? Memang udah generasi jadul, sih,” aku pria itu tanpa tedeng aling-aling. Senyumnya lebar sekali memperlihatkan sederetan gigi yang putih bersih mengkilat.Perasaan dulu dia nggak seceria ini, deh, komentar Rosemary dalam hati. Memang Om Edward selalu ramah. Maklum, dia kan marketing dan bertujuan memprospek kliennya supaya mengambil asuransi dengan
Gadis itu tersenyum kecut. “Perusahaan tempat saya bekerja dulu itu tidak menerima mobil bekas, Om,” jawabnya singkat.Mukanya tampak muram mengingat perusahaan yang memberhentikannya sepihak akibat berbulan-bulan dirawat di rumah sakit. Begitulah kalau bekerja ikut orang, sesalnya dalam hati. Bisa di-PHK kapanpun kalau dianggap tak berguna lagi.Edward yang menyadari perubahan ekspresi gadis itu berusaha memancing, “Berapa lama kamu bekerja di tempat itu, Rose?”“Dua tahun, Om.”“Lumayan juga. Kenapa berhenti?”“Saya diberhentikan, Om,” jawab gadis itu sambil menatap Edward. Sorot matanya tampak terluka. “Karena terlalu lama dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan setelah Papa meninggal itu.”“Oh, kejam sekali, ya,” komentar lawan bicaranya menunjukkan keprihatinannya. &ldqu
“Gimana kalau setelah ini kamu kuajak melihat-lihat kantor tempatku bekerja? Supaya wawasanmu semakin terbuka mengenai bisnis asuransi,” usul Edward sembari tersenyum manis sekali, Rosemary jadi semakin sungkan. Sudah dibantu menjualkan mobil dengan harga tinggi dan ditraktir makan enak, masa mau menolak permintaan sesederhana itu? cetus gadis itu dalam hati.Mau tak mau dia mengangguk. Edward senang sekali. “Good, Rose. Mumpung masih muda, kamu harus mempertimbangkan segala peluang di depan mata. Ingat, kesempatan emas jarang datang dua kali. Begitu kamu melewatkannya, orang lain yang akan menggantikan dirimu meraih kesuksesan!”Gadis itu meringis. Dia tak mengerti maksud perkataan pria ini. Bagaimana dia bisa begitu yakin aku mampu mengikuti jejak kesuksesannya di bidang yang sama sekali asing bagiku? ucap hati kecilnya penuh tanda tanya.“Maafkan saya sebelumnya, Om,” katanya hati-h
Pria di hadapannya tersenyum lebar. Terlihat deretan gigi yang putih bersih menawan, Benar-benar kinclong Om Edward ini, puji gadis itu dalam hati. Dia benar-benar merawat dirinya dengan baik dari ujung rambut sampai ke ujung kaki!“Agen-agen senior atau yang sudah menjadi manajer biasanya tak sabaran menunggu proses administrasi diselesaikan oleh pegawai resmi kantor ini. Karena harus menunggu sesuai antrian. Tidak bisa langsung beres. Karena itu kalau sudah mencapai tingkat pendapatan tertentu mereka biasanya mempekerjakan sekretaris sendiri, khusus untuk mengurus administrasi tim mereka.”Rosemary terperangah.”Digaji sendiri, Om?” tanyanya spontan.Edward mengangguk. “Betul,” jawab laki-laki itu membenarkan. “Sekretaris itu digaji sendiri oleh agen senior atau manajer yang bersangkutan. Bu Teresa cuma menyediakan ruangan kerja, fasilitas listrik, dan wifi untuk kelancaran peke
Gadis itu menggeleng. “Saya dulu cuma pernah diajak Papa pergi sekeluarga ke Singapore dan Malaysia, Om,” akunya terus terang. “Karena dekat dan nggak butuh waktu lama mengunjungi tempat-tempat wisata di sana. Papa nggak suka ninggalin tokonya lama-lama.”Edward terkekeh. “Kelak kamu akan mendapatkan kesempatan berekreasi ke negara manapun yang kamu mau, Rose. Percayalah,” ucap pria itu penuh teka-teki.Rosemary jadi penasaran dibuatnya. Dia spontan bertanya, “Oya? Gimana caranya, Om?”Pertanyaan gadis itu tak terjawab oleh Edward karena tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan menyapa laki-laki itu, “Halo, Ward. Wah, baru balik dari Tiongkok sudah langsung aktif lagi. Hebat!”“Halo, Bu Tere. Iya, saya hari ini baru aktif lagi. Tadi siang habis mampir ke tempat nasabah yang mau nambah polis. Eh, nggak sengaja ketemu sama anak mantan
Lalu dia menggoda seniornya itu, “Kamu kok selalu bisa dapetin agen cantik dan mulus kayak gitu sih, Bang? Pintar banget! Kelihatannya dia gadis yang lugu.”“Jam terbang, Bro. Jam terbang,” seloroh Edward sambil terkekeh geli. Dia memang beberapa kali merekrut gadis-gadis muda nan menawan seperti Rosemary. Namun belum ada yang berhasil mengikuti jejaknya menduduki level manajer puncak. Cuma dua orang yang akhirnya mencapai posisi manajer level 2. Sisanya mundur teratur setelah menjual beberapa polis. Ada juga yang sempat berprestasi dan mendapatkan trip gratis ke luar negeri selama satu-dua tahun pertama. Namun akhirnya menghilang juga dari bisnis asuransi karena tak berhasil mempertahankan prestasinya.“Aku mempunyai firasat yang baik tentang Rosemary, Ward,” cetus Teresa bersungguh-sungguh. Edward senang sekali mendengarnya. Berdasarkan pengalamannya, firasat big boss seringkali menjadi kenyataan. &ldquo