Tan Hoat menyelesaikan segala proses pemakaman dengan dibantu orang-orang desa. Cio San masih tetap menangis. Tetapi ia berusaha tabah. Sedikitnya Tan Hoat heran juga melihat kekuatan hati anak itu.
“Cio San..,” kata Tan Hoat, “Kau sudah mendengar sendiri kata-kata ayah-ibumu, bukan? Mulai sekarang aku adalah gihumu”.
“Iya, Gihu....,” kata Cio San.
“Karena kau sudah tak ada keluarga lagi, maka ikutlah aku ke Bu Tong. Kau akan kuangkat menjadi muridku,” kata Tan Hoat perlahan.
Cio San menjatuhkan diri dan berlutut. Ia mengangkat tangan ke dada, “Gihu..., Gihu adalah orang yang paling ‘anak’ hormati. Ayah dan Ibu sudah sering bercerita tentang Gihu”.
Lanjutnya, “Bukannya ‘anak’ kurang ajar, tetapi ‘anak’ tidak menyukai ilmu silat. Ayah pun sering mengajarkan bahwa perkelahian itu tidak baik. Gihu, ampuni ‘anak’...”
Tan Hoat hanya memandangnya kagum. Ia tidak menyangka anak sekecil ini sudah begitu paham adat dan sopan santun.
Cio San lalu melanjutkan lagi, “Apakah boleh ‘anak’ belajar ilmu sastra saja? ‘Anak’ mendengar bahwa Guru Besar Thio Sam Hong adalah tokoh yang dalam sekali ilmu agama, ilmu surat, dan ilmu-ilmu lainnya selain ilmu silat. Sekali lagi maaf, Gihu.”
Sambil berkata begitu ia bersoja (bersujud).
“Sudahlah anakku. Tidak ada yang akan memaksamu untuk belajar silat kalau kau tidak mau. Sudah... Sudah.. Bangunlah kau... Bangunlah kau....”
Mereka kemudian tinggal di situ selama beberapa hari sebagai tanda berkabung. Lalu berangkat menuju Bu Tong-san. Para penduduk melepas mereka dengan hati haru dan sedih. Entah apa lagi nanti yang akan dialami oleh anak sekecil itu.
Banyak penduduk yang memberikan bekal dan makanan. Juga baju-baju untuk mereka pakai. Tan Hoat dan Cio San menerimanya dengan hormat. Setelah mengucapkan salam perpisahan, akhirnya kedua orang itu berangkat. Tan Hoat masih terkagum-kagum dengan sopan santun Cio San. Tidak percuma ia menjadi anak dari Cio-siucai (Sastrawan Cio) dan Li-liehap (Pendekar Wanita Li).
Perjalanan ke Bu Tong-san memakan waktu sekitar 7 hari. Tan Hoat memilih menggunakan kuda supaya lebih cepat, dan juga mengingat ia sedang membawa anak kecil berusia 7 tahun. Untunglah sepanjang perjalanan Cio San tidak rewel. Hanya sesekali ia meneteskan airmata jika teringat nasib ayah-ibu dan keluarganya. Tapi jika menangis, Cio San melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Ia tidak ingin gihunya menganggapnya cengeng. Lebih-lebih, ia tidak ingin menyusahkan hati gihunya.
Tan Hoat bukan tidak tahu perbuatan Cio San ini. Diam-diam ia kagum, dan menganggap anak kecil ini sungguh keras hatinya. Tapi lama-lama ia berkata juga.
“Cio San, kehilangan keluarga itu adalah hal yang menyedihkan, maka tidak apa jika engkau menangis. Menangis bahkan membuat perasaan lebih lega, dan terasa lebih lapang,” kata Tan Hoat.
“Iya, Gihu. ‘Anak’ hanya mencoba menguatkan hati. Biar nanti tidak menyusahkan Gihu,” jawab Cio San.
“Menyusahkan aku? Mengapa aku harus susah melihatmu menangis?” tanya Tan Hoat sambil tersenyum.
“Gihu baru kehilangan seorang Guru Besar. Gihu juga baru kehilangan keluarga angkat Gihu. Keluargaku bukankah juga keluarga Gihu? Sudah begitu, Gihu masih ketambahan lagi mengurusi seorang anak cengeng,” kata Cio San.
“Hahahahahaaha…. Anak pintar...” Tan Hoat terbahak-bahak, lanjutnya “Aku malah sama sekali tidak repot mengurusi engkau. Sekarang bukankah aku harusnya bahagia memiliki anak yang pintar?”
“’Anak’ belum lagi melakukan apa-apa untuk Gihu, sudah dibilang pintar.”
“Ah, kau ini memang pintar. Persis ayahmu...”
Ia lalu menatap langit dan berkata pelan,
“Cio Kim.. Cio Kim, umurmu pendek, tapi semoga kau bangga jika anakmu bisa menjadi orang besar nanti.”
“Anak jadi teringat Thia (Ayah).” Cio San menunduk.
“Oh.. maafkan gihumu ini, anakku. Aku.. aku tak sengaja,” Tan Hoat terbata-bata.
“Tak apa, Gihu.” Cio San tersenyum. “’Anak’ cuma teringat kata-kata Thia setelah mendengar ucapan Gihu tadi...,” lanjut Cio San.
“Ucapanku yang mana?” tanya Tan Hoat heran.
“Tentang ‘anak’ menjadi orang besar kelak,” jawab Cio San.
“Apa kata-kata Thia mu itu?” tanya Tan Hoat lagi.
“Thia berkata, menjadi orang besar tidaklah harus melakukan perbuatan-perbuatan besar. Karena sejarah tidak ditentukan oleh orang-orang besar, para kaisar, para raja, para jenderal perang, atau pendekar-pendekar ternama. Sejarah dilakukan oleh kita, orang-orang kecil, rakyat jelata yang namanya tidak tertulis dalam kitab-kitab,” terang Cio San.
“...dalam sekali maknanya,” Tan Hoat berkata sambil menerawang.
“’Anak’ sendiri tidak begitu mengerti artinya, tapi....”
“Tapi apa...,” Tan Hoat penasaran.
“Rasa-rasanya ‘anak’ sudah menangkap sedikit....”
“Coba jelaskan...,” kata Tan Hoat.
“Waktu ‘anak’ ditolong oleh orang desa, mereka itu orang-orang biasa, tidak punya ilmu silat. Mereka dengan sukarela menolong. Membersihkan ‘anak’, memberi pakaian, memberi makan. Coba kalo mereka tidak ada, pasti Gihu dan ‘anak’ akan kelaparan, dan mengurusi pemakaman Ayah-Ibu sendirian saja.”
“Hahahaha... Pintar…, pintar... Lanjutkan…, lanjutkan.” Tan Hoat tertawa senang.
“Kalau nanti seumpama ‘anak’ jadi orang besar, maka sebenarnya orang-orang desa itu punya andil paling besar. Karena jika mereka tidak ada, ‘kan ‘anak’ tidak mungkin bisa selamat dari lapar, dan haus, dan lainnya,” lanjut Cio San.
“Bukan main!” Saking senangnya, Tan Hoat menepuk pundak Cio San keras sekali, sampai ia terbatuk-batuk.
“Maaf..., maaf.. Ahhahaha…. Aku terlalu senang mendapatkan anak secerdas kau, Cio San”
Cio San pun tersenyum. Senyumnya yang pertama sejak keluarganya dibantai.
Tan Hoat memilih untuk secepatnya sampai ke Bu Tong, sehingga ia tidak terlalu lama beristirahat. Istirahat hanya dilakukan jika mereka benar-benar lelah, atau kudanya yang butuh istirahat. Suatu saat ketika mereka sedang beristirahat di sebuah penginapan, Tan Hoat terkaget-kaget mendengar cerita dari Cio San.
Ternyata Go Bi-pay-ciangbunjin (Ketua Partai Silat Go Bi) sudah meninggal. Kedudukannya digantikan oleh Ciangbunjin yang baru. Sebelum meninggal ia telah menunjuk pengganti yang baru bernama Bi Goat–nikow (Bhiksu Wanita : Nikow). Tetapi penunjukan itu ditentang oleh banyak pihak dalam perguruan Go Bi-pay. Bahkan pertentangan itu berubah menjadi perkelahian untuk memperebutkan posisi Ciangbunjin.
Dalam Go Bi-pay sendiri, memang sudah terjadi pergesekan antar murid sejak lama. Ini dimulai sejak jaman pengusiran bangsa Goan dulu, beberapa puluh tahun yang lalu.
Dulu, Ciangbunjin yang sekarang telah meninggal itu, menemukan kitab rangkuman ilmu-ilmu yang tinggi, sakti dan rahasia. Ilmu-ilmu yang sangat tinggi, dan bahkan melegenda dalam dunia persilatan. Ciangbunjin itu kemudian memutuskan untuk mengajarkan ilmu-ilmu itu dalam perguran Go Bi-pay.
Pertentangan timbul karena ternyata ilmu-ilmu itu tidak hanya berasal dari ilmu kaum lurus, tapi juga ada ilmu-ilmu kaum sesat. Pihak yang menentang merasa bahwa, perguruan Go Bi-pay harus terus mempertahankan ilmu asli mereka yang berasal dari leluhur pendiri Go Bi-pay. Sedangkan pihak yang setuju merasa bahwa ilmu adalah ilmu, tergantung siapa yang menggunakannya, dan digunakan untuk apa.
“Lalu, Nikow Bi Goat itu berasal dari golongan mana?” tanya Tan Hoat.“Dari golongan yang setuju untuk mempelajari seluruh ilmu, termasuk di luar Go Bi-pay. Karena beliau sendiri memang ditunjuk langsung oleh ketua Go Bi-pay sebelumnya,” jawab Cio San.“Memang dari yang ‘anak’ dengar, pertentangan ini sudah berlangsung sejak Ciangbunjin terdahulu. Cuma karena ilmu beliau begitu sakti, tidak ada yang berani melawan. Saat beliau meninggal dan menunjuk penggantinya, baru para penentang itu berani melawan.”“Ah.. Kacau juga ini...... Eh, lalu kau tahu cerita ini dari siapa?” tanya Tan Hoat lagi.“Ayah dan Ibu sering mengobrol,” jawab Cio San.“Lalu kau mencuri dengar, bukan?” tanya Tan Hoat sambil tersenyum.Cio San hanya tersenyum. Tan Hoat menjewer telinganya sambil tersenyum. “Anak nakal. Lain kali, kau tidak boleh begitu. Laki-laki sejati tidak mencuri. Tidak mencuri barang orang, tidak mencuri istri orang, tidak juga mencuri dengar pembicaraan orang.”“’Anak’ mendengar, Gihu....”“Sa
Beberapa hari kemudian, mereka sudah sampai di Bu Tong-san. Tan Hoat langsung menuju ke makam Thio Sam Hong. Di sana, ia berlutut dan bersujud lama sekali. Di sana, ia menumpahkan air mata. Saudara-saudara seperguruannya pun membiarkan saja. Sepertinya memang hal itu sudah sering terjadi saat anak murid Bu Tong-pay yang baru mendengar kabar kematian itu tiba di kuburan.Setelah puas menumpahkan kesedihan dan penghormatannya, Tan Hoat baru membersihkan diri dan beristirahat sejenak. Ingin ia bertemu dengan Ciangbunjinnya yang baru, tapi Lau-ciangbunjin berada di biliknya dan tidak keluar dari pagi sampai sore. Berhubung saat itu masih pagi, Tan Hoat menggunakan waktunya itu untuk menemui murid-murid yang lain. Bercengkerama dan bertukar cerita. Sekaligus memperkenalkan Cio San sebagai muridnya, dan juga menceritakan asal-usulnya.Semua orang kagum mendengar bahwa anak itu adalah cucu dari Cio Hong Lim. Panglima terkenal yang taktik perangnya banyak berhasil mengusir pasukan penjajah Go
Tan Hoat hanya menggeleng-geleng. Memang kesaktian Thay Suhunya itu sudah tidak bisa diukur lagi. Padahal Lau Tian Liong sudah memiliki ilmu kelas tinggi yang menempatkannya di puncak nama-nama dunia Kang Ouw, bahkan setara dengan pemimpin Siau Lim-pay (Partai Silat Shao-Lin) sekarang. Nama Lau Tian Liong mungkin sekarang termasuk 3 besar orang yang paling tinggi ilmunya di dunia Kang Ouw. Bisa dibayangkan, betapa tingginya ilmu Thio Sam Hong yang mampu mengalahkan Lau-ciangbunjin dalam satu pukulan saja!“Pikir-pikirkanlah ucapan Thay Suhu yang tadi kuceritakan padamu. Otakmu cerdas, dan pikiranmu tajam.”“Teecu sudah hafal dan akan teecu pikirkan terus, Suhu...,” kata Tan Hoat.“Baiklah, jangan kau ceritakan ini kepada murid lain. Aku menceritakan ini hanya kepadamu saja,” kata Lau-ciangbunjin.“Eh. Kenapa, Suhu?”“Ah, sungguh berat mengatakannya. Aku tak tahu harus memulainya darimana...”Lalu Lau Tian Liong melanjutkan, “Sebelum Thay Suhu meninggal, beliau bercerita bahwa di dunia
Kelima belas murid pilihan itu ternyata memang tidak mengecewakan. Hanya dalam beberapa tahun saja, ilmu silat mereka mulai terlihat istimewa. Ini mungkin karena bakat mereka memang besar. Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa hampir seluruh kelimabelas murid itu sebelumnya memang sudah digembleng ilmu silat sebelum masuk ke Bu Tong-pay. Mereka sebagian besar berasal dari keturunan ahli silat atau keluarga terpandang.Hal ini berbeda dengan Cio San, yang sama sekali berbeda latar belakangnya. Walaupun anak dari seorang ahli silat Go Bi-pay, ia tidak diajarkan silat secara mendalam oleh ibunya. Karena tubuhnya memang lemah sejak lahir. Memang ibunya pernah sedikit menunjukkan gerakan silat Go Bi-pay padanya. Tapi karena kondisi tubuhnya yang lemah, latihan silat itu tidak diteruskan. Jadi, bisa dibilang Cio San itu memang tidak bisa ilmu silat, walaupun ia paham sedikit-sedikit gerakan silat. Ayahnya pun juga bukan seorang ahli silat. Malah ayahnya adalah seorang sastrawan, yang mana g
Saat serangan pertamanya berhasil dipunahkan, A Pao menggunakan tangan kirinya untuk mengincar sebuat titik di pelipis kanan Cio San. Melihat serangan ini, Cio San hanya memutar lehernya mengikuti aliran serangan, sehingga totokan itu hanya lewat di depan matanya.Melihat dua serangannya gagal, A Pao semakin bersemangat untuk menyerang. Gerakannya semakin cepat, namun gerakan Cio San juga tak kalah cepat.Setelah beberapa lama beradu silat, keringat mulai terlihat di dahi Cio San. Ia memang gampang sekali capek. Sistem kerja organ dalam tubuhnya memang kurang baik, sehingga membuatnya susah mengendalikan pernafasan, yang membuatnya mudah letih. Itulah juga sebabnya ia masih mengulang-ngulang pelajaran pernafasan tingkat 5.Melihat lawannya sudah mulai kedodoran, A Pao melencarkan serangannya lebih cepat lagi. Bagi orang Bu Tong, gerakan kedua orang ini biasa-biasa saja. Tapi bagi orang luar, apalagi bagi orang yang tidak mengerti ilmu silat, kedua orang murid Bu Tong ini bergerak sang
Saat siuman, ia merasa perutnya sakit sekali. Cio San kini sedang berada di biliknya sendiri. Ia terbaring diatas tempat tidurnya. Ada bau ramuan obat. Mungkin juga bau ini yang membuatnya tersadar. Di samping tempat tidur Cio San, Tan Hoat, sang gihu duduk disebuah bangku kayu kecil.Raut wajahnya kelam sekali. Biasanya, tidak seperti ini wajah gihunya. Tan Hoat baru kembali dari tugas perguruan. Selama beberapa tahun ini, Tan Hoat memang sering sekali turun-naik gunung untuk menunaikan tugas perguruan. Melihat ada gihunya di samping, Cio San merasa senang sekali.Namun gihunya bertanya dengan ketus, “Kau sudah siuman?”“Iya, Gihu,” jawab Cio San. Ada rasa tidak enak di ulu hatinya ketika ia berbicara.“Orang-orang bilang kau menangis karena menerima serangan A Pao?”Cio San menutup matanya. Ia tidak menangis karena serangan A Pao. Ia menangis karena merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh saudara-saudara seperguruannya sendiri. Tapi bagaimana ia menceritakan ini kepada gurunya? S
Setelah mendapat sedikit perawatan dari gurunya, Cio San merasa lebih baik. Selama 3 hari, gihunya merawatnya dengan memberi obat-obatan dari ramu-ramuan rebusan daun. Pahit sekali rasanya. Tapi Cio San merasa pahitnya obat itu masih kalah pahit dengan sikap gihunya. Selama merawatnya 3 hari itu, Tan Hoat tidak pernah menyapa atau berbicara dengan Cio San sama sekali. Untuk menanyakan kabarnya saja tidak. Tan Hoat cuma meraba nadi di pergelangan tangan Cio San untuk mengetahui kondisi kesehatannya.Cio San mencoba memecah kebuntuan dengan mengajak gihunya berbicara, namun cuma dibalas dengan anggukan atau gelengan. Walaupun begitu, Cio San tetap berusaha tersenyum kepada gihunya dan bersikap selalu hormat kepadanya.Setelah 3 hari dirawat, pada pagi hari ke empat, Cio San merasa tubuhnya sudah pulih sepenuhnya. Merasa bosan selama 3 hari di kamar terus, Cio San memutuskan untuk keluar biliknya. Suasana pagi itu sangat cerah. Terdengar suara murid-murid Bu Tong-pay yang sedang berlatih
Cio San mulai melakukan gerakan. Sama indahnya dengan gerakan-gerakan yang tadi ia buat. Namun kini ia memusatkan perhatian untuk melakukan gerakan ini sebaik-baiknya. Tapi tidak sampai berapa lama, ia merasa nafasnya sesak. Ada rasa sempit di dadanya. Hal ini berbeda dengan perasaan dorongan tenaga yang tadi sempat dirasakannya. Seketika Cio San merasa kepalanya pening. Ia lalu berhenti. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya.Tan Hoat memegang nadi di pergelangan tangannya. Denyut itu agak sedikit kacau. Sang gihu berkerut dahinya.“Tingkat 5 pernafasan saja belum kau kuasai, tapi kau sudah bisa mengeluarkan jurus ke-8 Thay Kek Kun. Aneh...,” ia seperti berbicara kepada diri sendiri.“Apa yang tadi kau lakukan sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan jurus itu?” tanyanya.“Teecu hanya bergerak seenaknya saja. Tidak memikirkan macam-macam. Teecu keluar kamar dengan perasaan riang karena sudah sembuh. Teecu menikmati suasana pagi yang segar dan harumnya bunga-bunga di pagi hari. L