Share

Bab 4

Penulis: Norman Tjio
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-16 20:14:45

Tan Hoat menyelesaikan segala proses pemakaman dengan dibantu orang-orang desa. Cio San masih tetap menangis. Tetapi ia berusaha tabah. Sedikitnya Tan Hoat heran juga melihat kekuatan hati anak itu.

“Cio San..,” kata Tan Hoat, “Kau sudah mendengar sendiri kata-kata ayah-ibumu, bukan? Mulai sekarang aku adalah gihumu”.

“Iya, Gihu....,” kata Cio San.

“Karena kau sudah tak ada keluarga lagi, maka ikutlah aku ke Bu Tong. Kau akan kuangkat menjadi muridku,” kata Tan Hoat perlahan.

Cio San menjatuhkan diri dan berlutut. Ia mengangkat tangan ke dada, “Gihu..., Gihu adalah orang yang paling ‘anak’ hormati. Ayah dan Ibu sudah sering bercerita tentang Gihu”.

Lanjutnya, “Bukannya ‘anak’ kurang ajar, tetapi ‘anak’ tidak menyukai ilmu silat. Ayah pun sering mengajarkan bahwa perkelahian itu tidak baik. Gihu, ampuni ‘anak’...”

Tan Hoat hanya memandangnya kagum. Ia tidak menyangka anak sekecil ini sudah begitu paham adat dan sopan santun.

Cio San lalu melanjutkan lagi, “Apakah boleh ‘anak’ belajar ilmu sastra saja? ‘Anak’ mendengar bahwa Guru Besar Thio Sam Hong adalah tokoh yang dalam sekali ilmu agama, ilmu surat, dan ilmu-ilmu lainnya selain ilmu silat. Sekali lagi maaf, Gihu.”

Sambil berkata begitu ia bersoja (bersujud).

“Sudahlah anakku. Tidak ada yang akan memaksamu untuk belajar silat kalau kau tidak mau. Sudah... Sudah.. Bangunlah kau... Bangunlah kau....”

Mereka kemudian tinggal di situ selama beberapa hari sebagai tanda berkabung. Lalu berangkat menuju Bu Tong-san. Para penduduk melepas mereka dengan hati haru dan sedih. Entah apa lagi nanti yang akan dialami oleh anak sekecil itu.

Banyak penduduk yang memberikan bekal dan makanan. Juga baju-baju untuk mereka pakai. Tan Hoat dan Cio San menerimanya dengan hormat. Setelah mengucapkan salam perpisahan, akhirnya kedua orang itu berangkat. Tan Hoat masih terkagum-kagum dengan sopan santun Cio San. Tidak percuma ia menjadi anak dari Cio-siucai (Sastrawan Cio) dan Li-liehap (Pendekar Wanita Li).

Perjalanan ke Bu Tong-san memakan waktu sekitar 7 hari. Tan Hoat memilih menggunakan kuda supaya lebih cepat, dan juga mengingat ia sedang membawa anak kecil berusia 7 tahun. Untunglah sepanjang perjalanan Cio San tidak rewel. Hanya sesekali ia meneteskan airmata jika teringat nasib ayah-ibu dan keluarganya. Tapi jika menangis, Cio San melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Ia tidak ingin gihunya menganggapnya cengeng. Lebih-lebih, ia tidak ingin menyusahkan hati gihunya.

Tan Hoat bukan tidak tahu perbuatan Cio San ini. Diam-diam ia kagum, dan menganggap anak kecil ini sungguh keras hatinya. Tapi lama-lama ia berkata juga.

“Cio San, kehilangan keluarga itu adalah hal yang menyedihkan, maka tidak apa jika engkau menangis. Menangis bahkan membuat perasaan lebih lega, dan terasa lebih lapang,” kata Tan Hoat.

“Iya, Gihu. ‘Anak’ hanya mencoba menguatkan hati. Biar nanti tidak menyusahkan Gihu,” jawab Cio San.

“Menyusahkan aku? Mengapa aku harus susah melihatmu menangis?” tanya Tan Hoat sambil tersenyum.

“Gihu baru kehilangan seorang Guru Besar. Gihu juga baru kehilangan keluarga angkat Gihu. Keluargaku bukankah juga keluarga Gihu? Sudah begitu, Gihu masih ketambahan lagi mengurusi seorang anak cengeng,” kata Cio San.

“Hahahahahaaha…. Anak pintar...” Tan Hoat terbahak-bahak, lanjutnya “Aku malah sama sekali tidak repot mengurusi engkau. Sekarang bukankah aku harusnya bahagia memiliki anak yang pintar?”

 “’Anak’ belum lagi melakukan apa-apa untuk Gihu, sudah dibilang pintar.”

“Ah, kau ini memang pintar. Persis ayahmu...”

Ia lalu menatap langit dan berkata pelan,

“Cio Kim.. Cio Kim, umurmu pendek, tapi semoga kau bangga jika anakmu bisa menjadi orang besar nanti.”

“Anak jadi teringat Thia (Ayah).” Cio San menunduk.

“Oh.. maafkan gihumu ini, anakku. Aku.. aku tak sengaja,” Tan Hoat terbata-bata.

“Tak apa, Gihu.” Cio San tersenyum. “’Anak’ cuma teringat kata-kata Thia setelah mendengar ucapan Gihu tadi...,” lanjut Cio San.

“Ucapanku yang mana?” tanya Tan Hoat heran.

“Tentang ‘anak’ menjadi orang besar kelak,” jawab Cio San.

“Apa kata-kata Thia mu itu?” tanya Tan Hoat lagi.

“Thia berkata, menjadi orang besar tidaklah harus melakukan perbuatan-perbuatan besar. Karena sejarah tidak ditentukan oleh orang-orang besar, para kaisar, para raja, para jenderal perang, atau pendekar-pendekar ternama. Sejarah dilakukan oleh kita, orang-orang kecil, rakyat jelata yang namanya tidak tertulis dalam kitab-kitab,” terang Cio San.

“...dalam sekali maknanya,” Tan Hoat berkata sambil menerawang.

“’Anak’ sendiri tidak begitu mengerti artinya, tapi....”

“Tapi apa...,” Tan Hoat penasaran.

“Rasa-rasanya ‘anak’ sudah menangkap sedikit....”

“Coba jelaskan...,” kata Tan Hoat.

“Waktu ‘anak’ ditolong oleh orang desa, mereka itu orang-orang biasa, tidak punya ilmu silat. Mereka dengan sukarela menolong. Membersihkan ‘anak’, memberi pakaian, memberi makan. Coba kalo mereka tidak ada, pasti Gihu dan ‘anak’ akan kelaparan, dan mengurusi pemakaman Ayah-Ibu sendirian saja.”

“Hahahaha... Pintar…, pintar... Lanjutkan…, lanjutkan.” Tan Hoat tertawa senang.

“Kalau nanti seumpama ‘anak’ jadi orang besar, maka sebenarnya orang-orang desa itu punya andil paling besar. Karena jika mereka tidak ada, ‘kan ‘anak’ tidak mungkin bisa selamat dari lapar, dan haus, dan lainnya,” lanjut Cio San.

“Bukan main!” Saking senangnya, Tan Hoat menepuk pundak Cio San keras sekali, sampai ia terbatuk-batuk.

“Maaf..., maaf.. Ahhahaha…. Aku terlalu senang mendapatkan anak secerdas kau, Cio San”

Cio San pun tersenyum. Senyumnya yang pertama sejak keluarganya dibantai.

Tan Hoat memilih untuk secepatnya sampai ke Bu Tong, sehingga ia tidak terlalu lama beristirahat. Istirahat hanya dilakukan jika mereka benar-benar lelah, atau kudanya yang butuh istirahat. Suatu saat ketika mereka sedang beristirahat di sebuah penginapan, Tan Hoat terkaget-kaget mendengar cerita dari Cio San.

Ternyata Go Bi-pay-ciangbunjin (Ketua Partai Silat Go Bi) sudah meninggal. Kedudukannya digantikan oleh Ciangbunjin yang baru. Sebelum meninggal ia telah menunjuk pengganti yang baru bernama Bi Goat–nikow (Bhiksu Wanita : Nikow). Tetapi penunjukan itu ditentang oleh banyak pihak dalam perguruan Go Bi-pay. Bahkan pertentangan itu berubah menjadi perkelahian untuk memperebutkan posisi Ciangbunjin.

Dalam Go Bi-pay sendiri, memang sudah terjadi pergesekan antar murid sejak lama. Ini dimulai sejak jaman pengusiran bangsa Goan dulu, beberapa puluh tahun yang lalu.

Dulu, Ciangbunjin yang sekarang telah meninggal itu, menemukan kitab rangkuman ilmu-ilmu yang tinggi, sakti dan rahasia. Ilmu-ilmu yang sangat tinggi, dan bahkan melegenda dalam dunia persilatan. Ciangbunjin itu kemudian memutuskan untuk mengajarkan ilmu-ilmu itu dalam perguran Go Bi-pay.

Pertentangan timbul karena ternyata ilmu-ilmu itu tidak hanya berasal dari ilmu kaum lurus, tapi juga ada ilmu-ilmu kaum sesat. Pihak yang menentang merasa bahwa, perguruan Go Bi-pay harus terus mempertahankan ilmu asli mereka yang berasal dari leluhur pendiri Go Bi-pay. Sedangkan pihak yang setuju merasa bahwa ilmu adalah ilmu, tergantung siapa yang menggunakannya, dan digunakan untuk apa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status