Share

Bab 4

Tan Hoat menyelesaikan segala proses pemakaman dengan dibantu orang-orang desa. Cio San masih tetap menangis. Tetapi ia berusaha tabah. Sedikitnya Tan Hoat heran juga melihat kekuatan hati anak itu.

“Cio San..,” kata Tan Hoat, “Kau sudah mendengar sendiri kata-kata ayah-ibumu, bukan? Mulai sekarang aku adalah gihumu”.

“Iya, Gihu....,” kata Cio San.

“Karena kau sudah tak ada keluarga lagi, maka ikutlah aku ke Bu Tong. Kau akan kuangkat menjadi muridku,” kata Tan Hoat perlahan.

Cio San menjatuhkan diri dan berlutut. Ia mengangkat tangan ke dada, “Gihu..., Gihu adalah orang yang paling ‘anak’ hormati. Ayah dan Ibu sudah sering bercerita tentang Gihu”.

Lanjutnya, “Bukannya ‘anak’ kurang ajar, tetapi ‘anak’ tidak menyukai ilmu silat. Ayah pun sering mengajarkan bahwa perkelahian itu tidak baik. Gihu, ampuni ‘anak’...”

Tan Hoat hanya memandangnya kagum. Ia tidak menyangka anak sekecil ini sudah begitu paham adat dan sopan santun.

Cio San lalu melanjutkan lagi, “Apakah boleh ‘anak’ belajar ilmu sastra saja? ‘Anak’ mendengar bahwa Guru Besar Thio Sam Hong adalah tokoh yang dalam sekali ilmu agama, ilmu surat, dan ilmu-ilmu lainnya selain ilmu silat. Sekali lagi maaf, Gihu.”

Sambil berkata begitu ia bersoja (bersujud).

“Sudahlah anakku. Tidak ada yang akan memaksamu untuk belajar silat kalau kau tidak mau. Sudah... Sudah.. Bangunlah kau... Bangunlah kau....”

Mereka kemudian tinggal di situ selama beberapa hari sebagai tanda berkabung. Lalu berangkat menuju Bu Tong-san. Para penduduk melepas mereka dengan hati haru dan sedih. Entah apa lagi nanti yang akan dialami oleh anak sekecil itu.

Banyak penduduk yang memberikan bekal dan makanan. Juga baju-baju untuk mereka pakai. Tan Hoat dan Cio San menerimanya dengan hormat. Setelah mengucapkan salam perpisahan, akhirnya kedua orang itu berangkat. Tan Hoat masih terkagum-kagum dengan sopan santun Cio San. Tidak percuma ia menjadi anak dari Cio-siucai (Sastrawan Cio) dan Li-liehap (Pendekar Wanita Li).

Perjalanan ke Bu Tong-san memakan waktu sekitar 7 hari. Tan Hoat memilih menggunakan kuda supaya lebih cepat, dan juga mengingat ia sedang membawa anak kecil berusia 7 tahun. Untunglah sepanjang perjalanan Cio San tidak rewel. Hanya sesekali ia meneteskan airmata jika teringat nasib ayah-ibu dan keluarganya. Tapi jika menangis, Cio San melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Ia tidak ingin gihunya menganggapnya cengeng. Lebih-lebih, ia tidak ingin menyusahkan hati gihunya.

Tan Hoat bukan tidak tahu perbuatan Cio San ini. Diam-diam ia kagum, dan menganggap anak kecil ini sungguh keras hatinya. Tapi lama-lama ia berkata juga.

“Cio San, kehilangan keluarga itu adalah hal yang menyedihkan, maka tidak apa jika engkau menangis. Menangis bahkan membuat perasaan lebih lega, dan terasa lebih lapang,” kata Tan Hoat.

“Iya, Gihu. ‘Anak’ hanya mencoba menguatkan hati. Biar nanti tidak menyusahkan Gihu,” jawab Cio San.

“Menyusahkan aku? Mengapa aku harus susah melihatmu menangis?” tanya Tan Hoat sambil tersenyum.

“Gihu baru kehilangan seorang Guru Besar. Gihu juga baru kehilangan keluarga angkat Gihu. Keluargaku bukankah juga keluarga Gihu? Sudah begitu, Gihu masih ketambahan lagi mengurusi seorang anak cengeng,” kata Cio San.

“Hahahahahaaha…. Anak pintar...” Tan Hoat terbahak-bahak, lanjutnya “Aku malah sama sekali tidak repot mengurusi engkau. Sekarang bukankah aku harusnya bahagia memiliki anak yang pintar?”

 “’Anak’ belum lagi melakukan apa-apa untuk Gihu, sudah dibilang pintar.”

“Ah, kau ini memang pintar. Persis ayahmu...”

Ia lalu menatap langit dan berkata pelan,

“Cio Kim.. Cio Kim, umurmu pendek, tapi semoga kau bangga jika anakmu bisa menjadi orang besar nanti.”

“Anak jadi teringat Thia (Ayah).” Cio San menunduk.

“Oh.. maafkan gihumu ini, anakku. Aku.. aku tak sengaja,” Tan Hoat terbata-bata.

“Tak apa, Gihu.” Cio San tersenyum. “’Anak’ cuma teringat kata-kata Thia setelah mendengar ucapan Gihu tadi...,” lanjut Cio San.

“Ucapanku yang mana?” tanya Tan Hoat heran.

“Tentang ‘anak’ menjadi orang besar kelak,” jawab Cio San.

“Apa kata-kata Thia mu itu?” tanya Tan Hoat lagi.

“Thia berkata, menjadi orang besar tidaklah harus melakukan perbuatan-perbuatan besar. Karena sejarah tidak ditentukan oleh orang-orang besar, para kaisar, para raja, para jenderal perang, atau pendekar-pendekar ternama. Sejarah dilakukan oleh kita, orang-orang kecil, rakyat jelata yang namanya tidak tertulis dalam kitab-kitab,” terang Cio San.

“...dalam sekali maknanya,” Tan Hoat berkata sambil menerawang.

“’Anak’ sendiri tidak begitu mengerti artinya, tapi....”

“Tapi apa...,” Tan Hoat penasaran.

“Rasa-rasanya ‘anak’ sudah menangkap sedikit....”

“Coba jelaskan...,” kata Tan Hoat.

“Waktu ‘anak’ ditolong oleh orang desa, mereka itu orang-orang biasa, tidak punya ilmu silat. Mereka dengan sukarela menolong. Membersihkan ‘anak’, memberi pakaian, memberi makan. Coba kalo mereka tidak ada, pasti Gihu dan ‘anak’ akan kelaparan, dan mengurusi pemakaman Ayah-Ibu sendirian saja.”

“Hahahaha... Pintar…, pintar... Lanjutkan…, lanjutkan.” Tan Hoat tertawa senang.

“Kalau nanti seumpama ‘anak’ jadi orang besar, maka sebenarnya orang-orang desa itu punya andil paling besar. Karena jika mereka tidak ada, ‘kan ‘anak’ tidak mungkin bisa selamat dari lapar, dan haus, dan lainnya,” lanjut Cio San.

“Bukan main!” Saking senangnya, Tan Hoat menepuk pundak Cio San keras sekali, sampai ia terbatuk-batuk.

“Maaf..., maaf.. Ahhahaha…. Aku terlalu senang mendapatkan anak secerdas kau, Cio San”

Cio San pun tersenyum. Senyumnya yang pertama sejak keluarganya dibantai.

Tan Hoat memilih untuk secepatnya sampai ke Bu Tong, sehingga ia tidak terlalu lama beristirahat. Istirahat hanya dilakukan jika mereka benar-benar lelah, atau kudanya yang butuh istirahat. Suatu saat ketika mereka sedang beristirahat di sebuah penginapan, Tan Hoat terkaget-kaget mendengar cerita dari Cio San.

Ternyata Go Bi-pay-ciangbunjin (Ketua Partai Silat Go Bi) sudah meninggal. Kedudukannya digantikan oleh Ciangbunjin yang baru. Sebelum meninggal ia telah menunjuk pengganti yang baru bernama Bi Goat–nikow (Bhiksu Wanita : Nikow). Tetapi penunjukan itu ditentang oleh banyak pihak dalam perguruan Go Bi-pay. Bahkan pertentangan itu berubah menjadi perkelahian untuk memperebutkan posisi Ciangbunjin.

Dalam Go Bi-pay sendiri, memang sudah terjadi pergesekan antar murid sejak lama. Ini dimulai sejak jaman pengusiran bangsa Goan dulu, beberapa puluh tahun yang lalu.

Dulu, Ciangbunjin yang sekarang telah meninggal itu, menemukan kitab rangkuman ilmu-ilmu yang tinggi, sakti dan rahasia. Ilmu-ilmu yang sangat tinggi, dan bahkan melegenda dalam dunia persilatan. Ciangbunjin itu kemudian memutuskan untuk mengajarkan ilmu-ilmu itu dalam perguran Go Bi-pay.

Pertentangan timbul karena ternyata ilmu-ilmu itu tidak hanya berasal dari ilmu kaum lurus, tapi juga ada ilmu-ilmu kaum sesat. Pihak yang menentang merasa bahwa, perguruan Go Bi-pay harus terus mempertahankan ilmu asli mereka yang berasal dari leluhur pendiri Go Bi-pay. Sedangkan pihak yang setuju merasa bahwa ilmu adalah ilmu, tergantung siapa yang menggunakannya, dan digunakan untuk apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status