“Lalu, Nikow Bi Goat itu berasal dari golongan mana?” tanya Tan Hoat.
“Dari golongan yang setuju untuk mempelajari seluruh ilmu, termasuk di luar Go Bi-pay. Karena beliau sendiri memang ditunjuk langsung oleh ketua Go Bi-pay sebelumnya,” jawab Cio San.
“Memang dari yang ‘anak’ dengar, pertentangan ini sudah berlangsung sejak Ciangbunjin terdahulu. Cuma karena ilmu beliau begitu sakti, tidak ada yang berani melawan. Saat beliau meninggal dan menunjuk penggantinya, baru para penentang itu berani melawan.”
“Ah.. Kacau juga ini...... Eh, lalu kau tahu cerita ini dari siapa?” tanya Tan Hoat lagi.
“Ayah dan Ibu sering mengobrol,” jawab Cio San.
“Lalu kau mencuri dengar, bukan?” tanya Tan Hoat sambil tersenyum.
Cio San hanya tersenyum. Tan Hoat menjewer telinganya sambil tersenyum. “Anak nakal. Lain kali, kau tidak boleh begitu. Laki-laki sejati tidak mencuri. Tidak mencuri barang orang, tidak mencuri istri orang, tidak juga mencuri dengar pembicaraan orang.”
“’Anak’ mendengar, Gihu....”
“Sana, tidurlah kau. Besok pagi-pagi kita harus berangkat,” tukas Tan Hoat.
“Baik, Gihu. Selamat tidur, Gihu.”
Tan Hoat mematikan penerangan kamarnya.
Besoknya, pagi-pagi sekali mereka sudah siap berangkat. Perbekalan pun sudah disiapkan oleh pelayan. Tan Hoat memang memesan kepada pelayan penginapan untuk menyiapkan bekal dan membangunkannya pagi-pagi sekali. Malah Tan Hoat yang bangun duluan sebelum si pelayan.
Si pelayan kemudian tergopoh-gopoh membawakan bekal yang dipesan Tan Hoat, sambil meminta maaf karena dia sendiri terlambat bangun.
“Tidak apa-apa. Tapi lain kali jangan begitu. Nanti kamu dimarahi tamumu,” kata Tan Hoat.
Setelah sarapan pagi, mereka berangkat. Naik satu kuda. Cio San duduk dibagian depan.
“Dulu Thia-thia (Ayah) suka sekali berkuda. Dia punya kuda yang bagus, tapi katanya sudah dijual. Sayang ‘anak’ tidak sempat belajar berkuda pada Thia-thia,” kata Cio San.
“Ayahmu sempat mengajarkan apa saja padamu?” tanya Tan Hoat.
“Banyak. Yang paling sering, Ayah mengajarkan huruf-huruf. ‘Anak’ sudah mengenal banyak sekali huruf. Ayah juga sering menyuruh ‘anak’ membaca kitab-kitab kuno.” Selesai berkata begitu, ia melafalkan banyak sekali ujar-ujaran. Yang ternyata, itu merupakan isi kitab-kitab karya nabi Konghu Chu.
“Wah, hafalanmu sepertinya malah lebih banyak daripada Gihu. Hahahahha…,” Tan Hoat berkata sambil tertawa.
“Ibu kadang-kadang mengajarkan silat. Tapi ‘anak’ tidak begitu tertarik,” tukas Cio San.
“Kenapa tidak tertarik?”
“’Anak’ tidak suka memukul orang,” jawan Cio San.
“Lalu, kalau kau dipukul orang apa kau tidak membalas?” tanya Tan Hoat.
“Kalau ‘anak’ berbuat baik, mana mungkin dipukul orang?” jawab Cio San santai.
“Ah, kau..” Tan Hoat tidak bisa berkata-kata. Dia cuma bisa melanjutkan, “Kau ini masih kecil. Masih polos. Belum tahu dunia seperti apa. Nanti kalau kau sudah besar, baru tahu bahwa ilmu silat itu penting sekali.”
“Hmmm..” Cio San cuma mengangguk-angguk.
“Lalu, apa saja yang sudah diajarkan ibumu?” tanya Tan Hoat.
“Cara berdiri, cara menangkis, cara memukul.... lalu....” Cio San terdiam sebentar, kemudian melanjutkan, “Banyak sekali, Gihu. Hanya ‘anak’ yang bodoh karena tidak begitu memperhatikan.”
“Ah, aku jadi tertarik. Coba kita istirahat sebentar dibawah pohon itu. Lalu kau tunjukkan pada Gihu, apa saja yang sudah diajarkan ibumu,” tegas Tan Hoat.
“Baik, Gihu,” tukas Cio San.
Setelah mengikat kuda dan meluruskan kaki sejenak, sambil duduk bersandar dibawah pohon, Tan Hoat memerintahkan Cio San untuk menunjukkan gerakan-gerakan yang pernah dipelajarinya.
Cio San melakukannya dengan baik. Mulai dari bhesi atau ‘kuda-kuda’, yang disebutnya sebagai ‘cara berdiri’, beberapa cara menangkis, dan jurus memukul. Semuanya merupakan ilmu silat Go Bi-pay.
“Wah, bagus. Tapi kamu melakukannya tidak sungguh-sungguh. Seharusnya begini..” Tan Hoat lalu bersilat. Kesemuanya gerakan yang tadi ditunjukkan Cio San, tapi lebih tegas, lebih kuat, dan lebih cepat.
“Kenapa kau diam saja?” tanya Tan Hoat.
“’Anak’..... ‘anak’ cepat sekali capek jika disuruh bersilat..,” jawab Cio San.
“Ah, jangan berkilah. Ayo cepat lakukan seperti yang kutunjukkan tadi,” tegas Tan Hoat.
Cio San pun melakukan seperti yang diperintahkan. Namun tak beberapa lama, dia sudah mulai ngos-ngosan dan pucat. Tan Hoat segera melihat hal ini dan menyuruhnya berhenti.
“Ah, ternyata betul kau lemah,” sambil berkata begitu ia memegang urat nadi di pergelangan tangan anak itu.
“Hah?” Tan Hoat heran, “Organ dalammu banyak yang lemah. Apakah kamu pernah dipukul orang?”
“Tidak. Tapi kata Ibu, ‘anak’ lahir sebelum sembilan bulan, sejak kecil ‘anak’ sudah sakit-sakitan,” jawab Cio San.
“Ah, kasihan sekali kau.” Tak terasa Tan Hoat meneteskan airmata. Ia memeluk anak kecil itu. “Sejak lahir kau sudah menderita. Sepanjang umurmu ini sudah sakit-sakitan. Malah kau sekarang yatim piatu....”
Sejak saat itu, rasa sayang Tan Hoat terhadap Cio San lebih bertambah lagi. Ia bertekad sepenuh jiwa untuk melindungi anak itu. Melakukan apapun demi kebahagiaan Cio San. Anak dari saudara angkatnya. Anak yang sekarang yatim piatu, anak yang sakit-sakitan, anak yang sungguh patut dikasihani.
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding