Share

Bab 5

“Lalu, Nikow Bi Goat itu berasal dari golongan mana?” tanya Tan Hoat.

“Dari golongan yang setuju untuk mempelajari seluruh ilmu, termasuk di luar Go Bi-pay. Karena beliau sendiri memang ditunjuk langsung oleh ketua Go Bi-pay sebelumnya,” jawab Cio San.

“Memang dari yang ‘anak’ dengar, pertentangan ini sudah berlangsung sejak Ciangbunjin terdahulu. Cuma karena ilmu beliau begitu sakti, tidak ada yang berani melawan. Saat beliau meninggal dan menunjuk penggantinya, baru para penentang itu berani melawan.”

“Ah.. Kacau juga ini...... Eh, lalu kau tahu cerita ini dari siapa?” tanya Tan Hoat lagi.

“Ayah dan Ibu sering mengobrol,” jawab Cio San.

“Lalu kau mencuri dengar, bukan?” tanya Tan Hoat sambil tersenyum.

Cio San hanya tersenyum. Tan Hoat menjewer telinganya sambil tersenyum. “Anak nakal. Lain kali, kau tidak boleh begitu. Laki-laki sejati tidak mencuri. Tidak mencuri barang orang, tidak mencuri istri orang, tidak juga mencuri dengar pembicaraan orang.”

“’Anak’ mendengar, Gihu....”

“Sana, tidurlah kau. Besok pagi-pagi kita harus berangkat,” tukas Tan Hoat.

“Baik, Gihu. Selamat tidur, Gihu.”

Tan Hoat mematikan penerangan kamarnya.

Besoknya, pagi-pagi sekali mereka sudah siap berangkat. Perbekalan pun sudah disiapkan oleh pelayan. Tan Hoat memang memesan kepada pelayan penginapan untuk menyiapkan bekal dan membangunkannya pagi-pagi sekali. Malah Tan Hoat yang bangun duluan sebelum si pelayan.

Si pelayan kemudian tergopoh-gopoh membawakan bekal yang dipesan Tan Hoat, sambil meminta maaf karena dia sendiri terlambat bangun.

“Tidak apa-apa. Tapi lain kali jangan begitu. Nanti kamu dimarahi tamumu,” kata Tan Hoat.

Setelah sarapan pagi, mereka berangkat. Naik satu kuda. Cio San duduk dibagian depan.

“Dulu Thia-thia (Ayah) suka sekali berkuda. Dia punya kuda yang bagus, tapi katanya sudah dijual. Sayang ‘anak’ tidak sempat belajar berkuda pada Thia-thia,” kata Cio San.

“Ayahmu sempat mengajarkan apa saja padamu?” tanya Tan Hoat.

“Banyak. Yang paling sering, Ayah mengajarkan huruf-huruf. ‘Anak’ sudah mengenal banyak sekali huruf. Ayah juga sering menyuruh ‘anak’ membaca kitab-kitab kuno.” Selesai berkata begitu, ia melafalkan banyak sekali ujar-ujaran. Yang ternyata, itu merupakan isi kitab-kitab karya nabi Konghu Chu.

“Wah, hafalanmu sepertinya malah lebih banyak daripada Gihu. Hahahahha…,” Tan Hoat berkata sambil tertawa.

“Ibu kadang-kadang mengajarkan silat. Tapi ‘anak’ tidak begitu tertarik,” tukas Cio San.

“Kenapa tidak tertarik?”

“’Anak’ tidak suka memukul orang,” jawan Cio San.

“Lalu, kalau kau dipukul orang apa kau tidak membalas?” tanya Tan Hoat.

“Kalau ‘anak’ berbuat baik, mana mungkin dipukul orang?” jawab Cio San santai.

“Ah, kau..” Tan Hoat tidak bisa berkata-kata. Dia cuma bisa melanjutkan, “Kau ini masih kecil. Masih polos. Belum tahu dunia seperti apa. Nanti kalau kau sudah besar, baru tahu bahwa ilmu silat itu penting sekali.”

“Hmmm..” Cio San cuma mengangguk-angguk.

“Lalu, apa saja yang sudah diajarkan ibumu?” tanya Tan Hoat.

“Cara berdiri, cara menangkis, cara memukul.... lalu....” Cio San terdiam sebentar, kemudian melanjutkan, “Banyak sekali, Gihu. Hanya ‘anak’ yang bodoh karena tidak begitu memperhatikan.”

“Ah, aku jadi tertarik. Coba kita istirahat sebentar dibawah pohon itu. Lalu kau tunjukkan pada Gihu, apa saja yang sudah diajarkan ibumu,” tegas Tan Hoat.

“Baik, Gihu,” tukas Cio San.

Setelah mengikat kuda dan meluruskan kaki sejenak, sambil duduk bersandar dibawah pohon, Tan Hoat memerintahkan Cio San untuk menunjukkan gerakan-gerakan yang pernah dipelajarinya.

Cio San melakukannya dengan baik. Mulai dari bhesi atau ‘kuda-kuda’, yang disebutnya sebagai ‘cara berdiri’, beberapa cara menangkis, dan jurus memukul. Semuanya merupakan ilmu silat Go Bi-pay.

“Wah, bagus. Tapi kamu melakukannya tidak sungguh-sungguh. Seharusnya begini..” Tan Hoat lalu bersilat. Kesemuanya gerakan yang tadi ditunjukkan Cio San, tapi lebih tegas, lebih kuat, dan lebih cepat.

“Kenapa kau diam saja?” tanya Tan Hoat.

“’Anak’..... ‘anak’ cepat sekali capek jika disuruh bersilat..,” jawab Cio San.

“Ah, jangan berkilah. Ayo cepat lakukan seperti yang kutunjukkan tadi,” tegas Tan Hoat.

Cio San pun melakukan seperti yang diperintahkan. Namun tak beberapa lama, dia sudah mulai ngos-ngosan dan pucat. Tan Hoat segera melihat hal ini dan menyuruhnya berhenti.

“Ah, ternyata betul kau lemah,” sambil berkata begitu ia memegang urat nadi di pergelangan tangan anak itu.

“Hah?” Tan Hoat heran, “Organ dalammu banyak yang lemah. Apakah kamu pernah dipukul orang?”

“Tidak. Tapi kata Ibu, ‘anak’ lahir sebelum sembilan bulan, sejak kecil ‘anak’ sudah sakit-sakitan,” jawab Cio San.

“Ah, kasihan sekali kau.” Tak terasa Tan Hoat meneteskan airmata. Ia memeluk anak kecil itu. “Sejak lahir kau sudah menderita. Sepanjang umurmu ini sudah sakit-sakitan. Malah kau sekarang yatim piatu....”

Sejak saat itu, rasa sayang Tan Hoat terhadap Cio San lebih bertambah lagi. Ia bertekad sepenuh jiwa untuk melindungi anak itu. Melakukan apapun demi kebahagiaan Cio San. Anak dari saudara angkatnya. Anak yang sekarang yatim piatu, anak yang sakit-sakitan, anak yang sungguh patut dikasihani.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status