Beberapa hari kemudian, mereka sudah sampai di Bu Tong-san. Tan Hoat langsung menuju ke makam Thio Sam Hong. Di sana, ia berlutut dan bersujud lama sekali. Di sana, ia menumpahkan air mata. Saudara-saudara seperguruannya pun membiarkan saja. Sepertinya memang hal itu sudah sering terjadi saat anak murid Bu Tong-pay yang baru mendengar kabar kematian itu tiba di kuburan.
Setelah puas menumpahkan kesedihan dan penghormatannya, Tan Hoat baru membersihkan diri dan beristirahat sejenak. Ingin ia bertemu dengan Ciangbunjinnya yang baru, tapi Lau-ciangbunjin berada di biliknya dan tidak keluar dari pagi sampai sore. Berhubung saat itu masih pagi, Tan Hoat menggunakan waktunya itu untuk menemui murid-murid yang lain. Bercengkerama dan bertukar cerita. Sekaligus memperkenalkan Cio San sebagai muridnya, dan juga menceritakan asal-usulnya.
Semua orang kagum mendengar bahwa anak itu adalah cucu dari Cio Hong Lim. Panglima terkenal yang taktik perangnya banyak berhasil mengusir pasukan penjajah Goan. Cio San sendiri bersikap santun dan merendah. Pada dasarnya, dia memang anak yang tidak suka tampil menonjol. Pembawaan yang sebenarnya diturunkan dari kakeknya itu.
Ayahnya, Cio-siucai, atau Sastrawan Cio, juga mewarisi sifat merendah itu. Jika kakeknya lebih suka mengucilkan diri dan menjadi petani di desa, ayah Cio San ini malah lebih suka mempelajari kitab-kitab kuno, musik, dan sastra. Ia tidak mau menjadi menjadi pegawai di ibukota. Padahal dengan gelarnya, ia bisa saja memiliki jabatan yang tinggi, bahkan bekerja di istana kaisar, mengingat jasa-jasa Cio Hong Lim. Tapi Cio-siucai malah lebih suka mendekatkan diri dengan keluarga.
Akhirnya, sifat merendah dan tidak suka menonjolkan diri itu pun mengalir jugalah ke dalam jiwa Cio San. Ia paling tidak suka dipuji. Paling tidak suka menjilat-jilat. Tapi tutur-katanya sopan, polos, dan jujur. Itulah kenapa murid-murid Bu Tong yang lain langsung suka padanya. Padahal mereka baru mengenalnya beberapa saat.
Hari itu ternyata ada tiga murid Bu Tong yang pulang ke Bu Tong-san. Selain Tan Hoat, ada juga Wan Siau Ji dan Kwee Leng. Keduanya turut membawa murid pula. Dan yang mereka lakukan persis sama dengan yang dilakukan Tan Hoat ketika pertama kali sampai ke Bu Tong-san. Yaitu bersujud di makam Thio Sam Hong. Lalu bercengkerama dan bertukar cerita. Setelah agak siang, murid-murid angkatan ke-3 yang baru pulang itu kemudian istirahat. Sambil menanti sore untuk bertemu dengan Lau-ciangbunjin, ketua mereka yang baru.
Sore pun tiba, Lau Tian Liong keluar dari biliknya. Usianya sudah sekitar 70 tahunan, tapi raut mukanya terlihat lebih muda. Benar juga kata orang yang bilang bahwa ilmu-ilmu Bu Tong-pay bisa membuat orang jadi awet muda.
Ciangbunjin partai Bu Tong ini berkeliling melihat keadaan perguruan. Dari murid-muridnya, ia mendengar bahwa tiga orang murid angkatan ke-3 sudah pulang dengan membawa muridnya masing-masing. Ia lalu berkunjung ke kamar-kamar para murid itu. Hal ini menunjukkan kerendahan hati sang Ciangbunjin. Padahal sebagai Ciangbunjin (Kepala Partai Besar), ia bisa saja memerintahkan para murid menghadapnya di biliknya sendiri.
Pintu kamar Tan Hoat diketuk orang. Padahal ia tidak mendengar langkah seorang pun yang mendekat. Seperti tersadar, ia lalu berlari cepat membuka pintu, setelah itu ia berlutut, dan berkata, “Teecu, Tan Hoat berlaku tidak sopan, tidak mengetahui kedatangan Ciangbunjin. Apakah Ciangbunjin sehat-sehat saja?”
“Ah, jangan terlalu banyak adat. Berdirilah,” sambil berkata begitu ia mengangkat Tan Hoat.
Begitu tangannya menempel ke tangan Tan Hoat, seperti ada getaran tenaga besar yang menghantam Tan Hoat. Ia sadar. Rupanya sang Ciangbunjin sedang mengujinya. Tan Hoat tidak melawan desakan tenaga besar itu, ia malah menerimanya dengan ilmu Thay Kek Kun. Ilmu lembut ciptaan Thio Sam Hong. Desakan tenaga itu malah punah seperti hilang ditelan samudra yang luas.
Lau Tian Liong tersenyum, ia berkata, “Bagus, ilmumu meningkat. Tidak percuma kau mengaku angkatan ke-3.”
“Atas petuah-petuah Suhu, teecu berhasil sampai ke tingkat 6 Thay Kek Kun.”
“Bagus.., bagus... Teruslah berlatih. Aku ini hanya berhasil mencapai tingkat 11. Aku sudah memutar otak mencari rahasia tingkat ke 12, tapi masih saja otak bebalku ini tidak bisa memecahkannya. Mudah-mudahan nanti kau yang bisa memecahkannya,” kata Lau-ciangbunjin pelan.
Ketika Tan Hoat baru membuka mulut untuk menjawab, Lau-ciangbunjin sudah memotong dengan pertanyaan, “Eh, mana muridmu? Aku belum melihatnya.”
“Dia sedang berkenalan dengan murid-murid yang lain. Teecu menyuruhnya memperkenalkan diri ke bilik-bilik murid angkatan 7 dan 6.”
“Oh.. Baiklah kalau begitu. Nanti malam aku akan kesini lagi untuk melihatnya.”
“Teecu akan menyuruhnya ke bilik Suhu saja,” kata Tan Hoat cepat. Memang sudah menjadi kebiasaan di Bu Tong-pay untuk memanggil ketua mereka sebagai ‘Suhu’ atau Guru, dan membahasakan diri sendiri sebagai ‘teecu’ atau murid.
“Tidak usah, biar aku saja yang kesini lagi. Nah, kau istirahatlah. Nanti malam kita bercerita ya..” Lau Tian Liong pun pergi. Lebih tepatnya menghilang.
“Ilmu Suhu semakin hebat saja.” Tan Hoat hanya menggeleng-geleng. “Ah, aku sampai lupa memberinya selamat atas pengangkatan menjadi Ciangbunjin...”
Malamnya, Lau-ciangbunjin memang benar-benar mengunjungi kamar Tan Hoat untuk berbincang-bincang. Cio San sudah menggunakan pakaian terbaiknya yang didapatkan dari pemberian orang-orang desa. Setelah memberi salam dan penghormatan, ia memperkenalkan dirinya.
“Teecu (murid) bernama Cio San, Ayah teecu bernama Cio Kim, dan Ibu teecu bernama Li Swat Ing,” katanya.
“She (marga) Cio, ada hubungan dengan Jenderal Cio Hong Lim?” tanya Lau-ciangbunjin.
“Beliau adalah Kong-kong (Kakek) teecu,” jawab Cio San.
“Ah, kau keturunan orang besar rupanya. Bagus…, bagus… Eh, nafasmu kenapa berat, dan wajahmu pucat,” sambil bicara begitu, Lau-ciangbunjin meraih tangan Cio San, dan memeriksa nadinya.
“Teecu dalam kandungan Ibu tidak lengkap 9 bulan. Jadi kata Ibu, tubuh teecu lemah dan sering sakit-sakitan,” kata Cio San perlahan.
“Aih.., tak apa-tak apa...” Lau-ciangbunjin seperti membatin.
“Teecu sering terkena serangan sesak nafas dan sering lemah. Harap Ciangbunjin maafkan. Jika nanti dikira teecu merepotkan Bu Tong-pay, lebih baik teecu tidak..,” ucapan Cio San itu dipotong Lau-ciangbunjin.
“Ah bicara apa kau ini. Bu Tong-pay punya ilmu hebat-hebat. Nanti pasti bisa menolong kesehatanmu jika kau rajin berlatih.”
“Terima kasih, Ciangbunjin,” Cio San berkata dengan penuh hormat.
“Hmmm, kau sudah memperoleh ijin dari kedua orang tuamu, bukan? Untuk menjadi anak murid Bu Tong-pay?” tanya Lau-ciangbunjin.
“Eh.. Orang tua boanpwe baru saja meninggal. Boanpwe lalu dititipkan kepada Tan-gihu (Ayah Angkat Tan),” Cio San menjawab perlahan.
“Oh..” Lau-ciangbunjin terdiam, lalu ia melanjutkan, “Kau istirahatlah, Cio San. Nanti mudah-mudahan beberapa hari lagi, kalau murid-murid baru sudah terkumpul semua, kita adakan upacara penerimaan murid. Untuk sementara, kau nikmati dulu suasana Bu Tong-san (gunung Bu Tong) ini, dan berkenalan dengan yang lain.”
“Baik, Ciangbunjin, terima kasih,” kata Cio San.
“Tan Hoat, ikutlah ke bilikku, ada beberapa hal penting yang ingin kubicarakan.”
Setelah sampai di bilik, Lau Tian Liong mulai bertanya,
“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Cio San?”
“Keluarganya semua dibantai. Kakeknya, ayah-ibunya, seluruh keluarganya dibantai dalam waktu yang hampir berdekatan,” jawab Tan Hoat.
“Hmm... Kau sudah tahu siapa pelakunya?”
“Belum, Suhu. Akan teecu selidiki nanti. Teecu masih sungkan bertanya kepada Cio San. Khawatir dia jadi sedih,” kata Tan Hoat.
“Ya.. Ya.. Selidikilah setuntas mungkin. Aku khawatir banyak orang yang dendam terhadap keluarganya. Untunglah kau menemukannya dan cepat membawanya kesini. Di Bu Tong-san kita bisa menjaganya,” kata Lau Tian Liong. Ia melanjutkan, “Ada hal penting lain yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Teecu siap menerima perintah.”
“Sebelum Thay Suhu (Guru Besar) Thio Sam Hong meninggal, beliau sebenarnya berhasil menciptakan sebuah ilmu yang jauh lebih dahsyat dari Thay Kek Kun.”
Tan Hoat hanya berdecak kagum dalam hati.
Lau-ciangbunjin berkata, “Aku sendiri sudah mencoba kedahsyatan ilmu itu. Ah..., kesaktian Thay Suhu memang tak bisa diukur lagi...,” ia berhenti sebentar, “Sayangnya, Guru belum menurunkan ilmu itu kepada siapapun...”
“Ah.....” Tan Hoat tak bisa berkata apa-apa.
“Tapi beliau sempat memberi aku petunjuk yang sampai sekarang tidak bisa kupecahkan. Beliau berkata, ‘Segala itu hampa. Memiliki ilmu sebenarnya tidak memiliki ilmu. Tidak memiliki ilmu sebenarnya yang paling sakti diantara semua.’”
“Bukankah itu ujar-ujaran kuno, Suhu?” tanya Tan Hoat.
“Benar..., tapi apa hubungannya dengan ilmu silat ciptaan Guru itu? Eh, tapi ada lagi sambungannya. Beliau berkata,‘Segala yang bukan ilmu silat, adalah ilmu silat.’”
Tan Hoat diam karena berpikir keras tentang ujar-ujaran Guru Besarnya itu.
“Eh, apakah Suhu sempat melihat bagaimana jurus-jurusnya?”
“Aku.. Aku sebenarnya sempat mencoba ilmu itu. Aku memukul Thay Suhu satu kali, hanya satu kali saja. Beliau tidak memasang kuda-kuda, tidak menangkis, juga tidak memukul...”
“Lalu....,” Tan Hoat bertanya penasaran.
“Sebelum pukulanku sampai, beliau sudah menyentuh pundakku. Saat itu sepertinya seluruh kekuatan hilang. Beliau lalu berbisik, ‘Berlatihlah terus.....’”
“Hah?”
“Iya, ilmu beliau itu seperti tanpa jurus dan kuda-kuda. Sepertinya beliau hanya berjalan saja menuju aku, menyambut pukulan itu seperti... seperti pukulanku hanya berupa uluran tangan....”
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding