Share

04. In a kitchen

Makan malam yang riuh ricuh itu sudah berakhir, menyisakan Sharon dan Max beserta tumpukkan piring yang akan segera dicuci telah menunggu mereka.

“Sharon, istirahatlah, aku bisa mengerjakan ini dengan Tracy si pemalas itu.”

Suara tawa Sharon meluncur dari bibirnya, “kau masih saja membenci Tracy, dia anak yang manis.”

“Huek, itu kalimat yang paling menjijikkan di penghujung tahun ini,” seru Max dengan gelagat menahan muntah.

Saat Sharon dan Max asyik bercanda dan saling sikut menyikut, Max melihat ke belakang di sisi kiri Sharon yang membuat dirinya mengerti, ia mengangguk paham setelah melihat siapa yang baru saja datang.

“Aku pamit dulu, Sharon. Bersihkan semuanya sendiri, ya!”

Max berlari tanpa rasa bersalah, meninggalkan Sharon yang ingin mengejarnya dengan lap kotor.

Di depan pintu dapur, pria yang akrab dipanggil Ben itu mematung dengan sebuah gelas di tangannya.

Benedict berjalan mendekat, meletakkan gelas itu di wastafel, bergabung bersama gelas kotor yang lainnya.

Sharon tidak berkutik sedikit pun, membiarkan Benedict melakukan kegiatannya baru ia akan melanjutkan mencuci piring sialan ini.

Tapi, pria itu tidak kunjung pergi, Sharon yang menatap ke bawah akhirnya mendongakkan wajahnya, kembali beradu mata dengan pria yang mengenakan setelan serba hitam itu.

“Boleh aku membantumu?”

**

Suara air keran dan denting piring yang saling beradu membuat suasana di antara dua insani itu sedikit tertolong, tidak terlalu canggung.

Gerakan tangan Benedict yang lambat membuat Sharon mengerti apa yang dilakukan pria ini di sini. Ia menghela napas sembari tetap melakukan kegiatannya.

“Ada yang ingin kau bicarakan?” tanya Sharon, tidak mengalihkan pandangannya dari gelas yang sedang dicucinya.

Benedict menatap perempuan yang tingginya hanya sebatas dadanya itu, ikatan rambut asal-asalan membuat anak rambutnya yang tidak ikut terikat itu menambah kesan wanita itu terbiasa dengan kata sibuk.

“Aku ingin mengajukan permintaan,” balas Benedict, kali ini ia menyerah dengan tumpukkan piring yang tidak kunjung habis itu. Ia bersandar tidak jauh dari Sharon.

“Katakan saja,” balas Sharon tanpa melihat Benedict.

Suara helaan napas Benedict terdengar oleh Sharon, tentu saja ia sudah menduga ini bukanlah sesuatu yang baik. Mengingat pria itu bersikap seperti acuh tak acuh selama acara makan malam tadi.

“Aku ingin kita pura-pura, pura-pura menikah.”

Gerakan tangan Sharon terhenti, kali ini ia membalas tatapan Benedict dengan tidak suka. Ia tidak menduga bahwa pria ini mengatakan sesuatu di luar nalarnya, tidak masuk akal.

“Pura-pura menikah? Maksudmu nikah kontrak?”

Benedict mengangguk membenarkan perkataan Sharon, ia melihat ke ambang pintu masuk dapur, jaga-jaga jika ada orang yang mendengar percakapan mereka saat ini.

“Jujur saja, aku tidak mengerti apa maksudmu,” jelas Sharon, meskipun ia tahu ada seribu pertanyaan yang tidak dapat ia baca di dalam mata pria itu, ini salah satu kejutan dari Benedict yang cukup mengejutkan batin Sharon.

Ia melanjutkan aktivitasnya, suasana hatinya berubah saat mendengar permintaan pria di sampingnya ini. Bagaimana mungkin pria ini mengajaknya mempermainkan sesuatu yang sakral? 

“Kalau begitu, katakan saja kepada bibimu sebelum semuanya terlambat. Dan kenapa kau berbohong?” sambungnya, merasa jika Benedict sudah menduga jika dirinya tentu saja akan menolak permintaan konyol itu.

Benedict hanya diam tanpa ingin menjawab apa pun, ia menilai perempuan yang dijodohkan dengannya ini terlalu emosional, tercetak jelas bahwa perempuan ini pernah disakiti, menganut pemikiran kuno dan penampilan sederhana yang membuat Benedict bertanya-tanya, apakah perempuan ini benar lebih muda darinya?

Ternyata dugaan Benedict benar, percakapan ini tentu tidak akan mudah.

“Apa kau menyetujui perjodohan ini?”

Sharon mematikan keran yang membuat bising pendengarannya. Melepaskan sarung tangan dan melemparnya dengan kuat. Pertanyaan yang dilontarkan pria di sampingnya sudah cukup jelas mengolok-oloknya dirinya.

Manik berwarna abu milik Benedict beradu tatap dengan manik coklat terang milik wanita yang mendekatinya. 

“Aku akan menjawab tidak setuju jika kau yang mulai menjawab tidak setuju," ujar Sharon. Pertanyaan Benedict itu sukses melukai harga dirinya.

Tatapan berani yang menyerangnya itu membuat Benedict menyadari jika perempuan ini sudah ia buat marah, buktinya perempuan ini mendekat seolah menantangnya.

“Mengapa kau menyetujuinya saat di ruangan tadi?” tanya Sharon kembali, tidak lepas menatap pria yang membuat dirinya merasa seperti dipermainkan.

Benedict tidak berniat melepaskan pandangannya terhadap wanita yang menurutnya memiliki temperamen buruk itu, menilik penampilannya dengan saksama. Mata bundar dan senyum yang manis, terlihat seperti wanita polos, yang ternyata tidak. Benedict merasa perempuan di hadapannya yang sedang meminta penjelasan itu punya emosi yang tidak stabil.

Harusnya ia mengajak bertemu bukan di dapur yang kuno ini, yang masih beralaskan kayu dan berderit saat dipijak. Mungkin mereka bisa bertemu di restoran atau di suatu tempat yang normal untuk membicarakan sesuatu yang cukup tidak masuk akal ini.

“Untuk yang satu itu, mari kita berbohong.”

Dapur yang bernuansa coklat yang minim pencahayaan itu mendadak senyap.

*** 

"HAHAHA," tawa Sharon menggelegar di kamarnya, ia menatap cermin sembari menirukan ekspresi menyebalkan pria yang membuatnya kesal. 

Sharon mendekap tangannya di dada, memasang ekspresi dingin seperti Benedict, "mari kita berpura-pura, bajingan itu!" 

Setelah meninggalkan Benedict di dapur tadi, suasana hatinya masih belum kembali menjadi ceria, seperti biasanya. Lalu, ia melanjutkan memaki-maki pria itu di kamarnya pun masih belum memberinya kepuasaan batin. 

"Dia pikir dirinya siapa? Seenaknya berbicara seperti itu." 

Tentu saja sharon merasa sakit hati, padahal mereka berdua menyetujui pernikahan ini saat mereka dipertemukan senja tadi. Entah kenapa, tiba-tiba pria itu malah mendatangi dirinya dan mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Sharon merasa terhina karena dirinya sempat bahagia saat melihat respon pria itu, tapi apa ini? Tiba-tiba berubah secepat itu. 

"Jika tahu aku akan dipermainkan seperti ini, lebih baik aku hibernasi di Kutub Utara," ujar Sharon sembari menggulung tubuhnya dengan selimut tebalnya. 

"Kau tidak bisa mundur, Sharon. Jika kau melakukan itu, Ruth akan menanggung akibatnya." 

Sharon berusaha menyakini dirinya sendiri jika pernikahan yang sebentar lagi akan terjadi ini tidak seburuk perkiraannya, terlebih lagi Kendall sangat menyukainya. Itu semua tidak akan sulit. 

"Tapi, bagaimana dengan pria itu?" 

Sharon masih bertanya-tanya apa yang membuat pria itu berani berbohong tentang pernikahan yang akan dijalani seumur hidup ini di depan bibinya? Dan mengajak dirinya untuk membuat keputusan yang bahkan dirinya belum dengar. 

Karena sudah terlanjur emosi, maka lebih baik angkat kaki bukan? Daripada kata-kata yang tidak enak meluncur dari mulutnya. 

Malam ini, Benedict dan Kendall memutuskan menginap di panti asuhan saja, karena perjalanan ke hotel cukup jauh, terlebih badai salju juga memperburuk cuaca malam ini. 

Panti asuhan yang cukup kuno ini pun juga memiliki banyak kamar, kamar yang bersih dan terawat. Berguna di situasi seperti ini. 

tiba-tiba Sharon berjengit kesal kembali saat dirinya mndengar jika Benedict menempati kamar tidur di sebelah kamarnya. Ingin sekali rasanya menerobos kamar itu dan memukul dada pria itu satu kali saja, demi kepuasaan batinnya. 

Sharon merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar yang menggelap karena lampu sudah dimatikan. Ia berusaha memejamkan mata, mengistirahatkan pikirannya dan meraup seluruh energi untuk esok hari. 

Baru sepuluh detik matanya tertutup, ketukan pintu membuatnya kembali tersadar, mengernyit siapa malam-malam yang mendatangi kamarnya. Jika itu Tracy lebih tidak mungkin, karena anak-anak jarang sekali bangun di tengah malam seperti ini. 

Sharon menjulurkan tangannya membuka kunci pintu kamar tidurnya, lalu membuka perlahan, mengintip sedikit, takut-takut jika hantu yang mengetuk pintu kamarnya. 

Sesaat ia terbelalak mendapati seseorang yang tersenyum tipis di depan pintu kamarnya, bersandar di dinding dengan membawa selimut tebal yang menutupi tubuhnya. 

"Sudah kuduga kau masih bangun, boleh aku masuk?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status