Share

Meminta Hati Terbiasa

Rena mendesah lega saat kedua kakinya berhasil menapak di lantai datar dengan sempurna setelah berjuang dan kesakitan untuk menaiki tangga. Ia berjalan perlahan ke sebuah pintu besar yang indah. Segera membukanya saat sudah meraihnya untuk melihat sosok pria yang tengah tertidur dengan posisi tubuh duduk. Punggung tegap laki-laki itu terlihat bersandar dengan cukup nyaman di kepala ranjang.

Rena tiba-tiba merasa sedikit takut karena harus membangunkan pria berwajah tampan yang terlihat kelelahan itu. Tapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, Luke adalah calon suaminya dan Rena harus peduli padanya. Luke bisa saja sakit kalau tidak memiliki makanannya dan sebagai calon pasangan yang baik, Rena harus memperhatikan asupan makanan dan kesehatan Luke. Rena harus membuat calon suaminya merasa senang dan puas dengan pelayanannya.

“Luke.” Rena memanggil lirih dan sedikit menggoyangkan tubuh Luke, berharap dengan itu Luke akan segera terbangun. Kemudian Luke tampak terganggu dan Rena menarik tangannya dengan cepat karena rasa takut tiba-tiba memenuhi perasaannya meski Luke yang bangun dari tidurnya adalah apa yang ia harapkan.

“L-Luke.” Rena lagi-lagi mencoba menggoyangkan tubuh Luke bersamaan dengan suaranya yang terdengar lebih lirih karena Luke ternyata hanya meggeliat. Suaranya masih lirih, suara yang sebenarnya sangat tidak mungkin untuk membangunkan seseorang.

Namun perlahan tapi pasti dua manik Luke terbuka dan tampak indah seperti mekarnya kelopak bunga. Mata besar Luke yang tanpa keangkuhan mengandung banyak keindahan dan kesejukkan yang menjanjikan keamanan dan kedamaian. Rena jadi menginginkan mata itu hanya menatapnya.

“Oh... Rena?” Suara Luke yang serak menyadarkan Rena dari angan-angannya. Dengan cepat Rena menarik tangannya sebelum Luke menghempasnya dengan kasar.

“L-Luke, ma-makan malam sudah siap.” Rena menunduk saat Luke menatapnya dengan kening yang berkerut.

“Oh? Makan malam? Ah... Ya,ya.” Luke turun dari tempat tidur dan Rena mundur dua langkah dengan kepala yang masih menunduk.

“Turunlah duluan, aku ingin membasuh wajahku dulu.” Luke melangkah ke kamar mandi dengan langkah yang masih gontai. Tidak mau menatap Rena yang memasang sikap tubuh seperti pembantu.

“Ya, Luke.” Setelah jawaban lirih keluar dari bibir Rena yang mungil, Luke segera menutup pintu kamar mandinya. Ia membiarkan Rena pergi dengan sendirinya.

.

.

.

“Jeff? Kapan kamu kembali?” Luke menuruni tangga dengan langkah ringan yang mempesona. Dia hanya mengenakan pakaian santai, tapi ketampanan yang melekat padanya tidak pernah luntur.

“Apa? Memang aku kemana?” Wajah Jeffrey terlihat setengah serius setengah main-main, membuat Luke memutar matanya jengah.

Luke memilih berjalan dengan tenang, mengacuhkan Jeffrey dan pertanyaan main-mainnya. Luke tahu Jeffrey yang main-main adalah Jeffrey yang kekanakkan. Lalu Jeffrey yang kekanakkan adalah Jeffrey yang sedang merasa senang. Luke tidak ingin menghancurkan kesenangannya, meski Luke sendiri tidak tahu apa yang membuatnya merasa senang.

“Rena, berikan aku makanan.” Luke dan Rena menoleh ke arah Jeffrey. Orang itu terlalu bersemangat hingga tidak menyadari kalau ia memakai nada bicara yang biasa dipakai oleh anak kecil.

 “Tidak. Aku akan berikan ini dulu pada Luke, mengerti?” Sudut-sudut bibir Luke berkedut pada bagaimana cara Rena jadi kekanakkan juga demi menyamai tingkah Jeffrey. Sepertinya Rena memang dibesarkan untuk mengerti cara menyenangkan orang lain.

“Baiklah...” Jeffrey menjawab setelah mendengus sekali. Benar-benar seperti anak-anak.

Rena kemudian meraih piring Luke. Tangannya yang semula bergerak lincah tiba-tiba menjadi kaku dan sedikit gemetar. Rena tidak tahu kenapa tubuhnya tiba-tiba menjadi tegang saat berhadapan dengan Luke. Dia hanya tahu kalau dia selalu merasa takut, tapi tidak tahu kalau rasa takut dapat membuatnya jadi sebegini gemetarnya. Perlahan Rena mengangkat kepalanya, melihat Luke yang tengah menatapnya dengan kerutan di keningnya.

“I-ini..” Rena meletakkan piring Luke dengan apik dan terlalu hati-hati di depan pria yang sedang menunggu itu dan tangannya masih gemetar.

“Hmm.. Jeff, kemarikan piringmu.” Gerakan tangan Luke sempat terhenti sebentar karena bagaimana Rena membuat perbedaan pada cara bicaranya saat berbicara pada Luke dan Jeffrey. Terlebih, tangannya tidak lagi gemetar seperti sebelumnya. Serius, itu sangat berbeda dan cukup mengganggu. Luke jadi terlihat seperti orang yang kejam dan mengerikan, meski itu benar.

“Ini, makanlah yang banyak.” Rena menyerahkan piring Jeffery dengan tangannya yang terluka. Lalu ia berbalik dan pergi dengan langkah yang perlahan.

“Tunggu! Apa maksudmu dengan membiarkan kami hanya makan berdua?” Suara Luke yang kebingungan menghentikan langkah Rena dengan tiba-tiba.

“A-aku tidak.. Mak-maksudku, aku se-sedang tidak la-lapar.” Suara itu lagi dan gagap itu lagi, Luke sudah cukup terbiasa tapi masih sedikit terganggu.

“Apa maksudmu dengan sedang tidak lapar? Kamu sudah makan sesuatu?” Luke bertanya karena siapa tahu Rena sudah memakan sesuatu saat memasak tadi.

“Bu-bur Amora saat-“

“Maksudmu saat masih di apartemenmu tadi?” Pertanyaan itu mendapatkan anggukkan. Luke menghela napas lelah lalu menegakkan tubuhnya. Ia berupaya untuk fokus pada pembicaraan ini.

“Serius, Rena. Aku sudah lelah karena urusan studiku. Lalu bertemu dengan beberapa pengusaha tua yang botak dan tambun. Tolong jangan buat kepalaku lebih sakit. Duduk dan makanlah dengan benar.” Suara Luke terdengar keras dan penuh kekesalan hingga Rena cepat-cepat berbalik dan duduk dengan tegang. Mulai makan dengan sedikit makanan di piringnya.

.

.

.

Rena mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya bangun untuk membuka pintu dan keluar. Ia mengedarkan pandangannya dengan mata menyipit sebelum akhirnya tertuju pada Luke yang terlihat serius dengan laptop di depannya dan ponsel di tangannya. Sedangkan tubuh tegap itu tampak bersandar di sofa panjang. Laki-laki itu tengah bekerja di ruang tengah karena ruang kerjanya terasa terlalu membosankan.

“Kembalilah tidur. Sekarang masih terlalu pagi untuk bangun.” Luke berbicara setelah melihat manik Rena mengarah padanya.

“Pukul berapa sekarang?” Rena mengangkat tangannya dan menggosok wajahnya. Kegagapan dan ketakutan di nada suaranya hilang karena dia masih mengantuk.

“Pukul 6. Kamu bisa tidur lagi, tubuhmu belum pulih.” Luke mengingatkan saat seseorang itu terlihat tidak berpindah dari posisinya.

“Aku a-akan membuat s-sarapan. Apa kamu a-ada jadwal hari ini?” Rena mengacuhkan rasa sakit di tubuhnya, baginya calon suaminya adalah orang sibuk yang perlu ia urusi.

“Ya, ada. Aku akan ke kantor pagi ini dan akan ke kampus untuk menyelesaikan beberapa urusan.” Luke menjawab dengan rasa enggan di hatinya, hatinya tidak nyaman melihat perempuan itu seakan memohon pertolongan.

“Baiklah...” Rena segera berbalik sebelum sebuah suara mengintrupsinya.

“Kalau kamu memiliki jadwal hari ini, kusarankan untu tidak pergi. Atau kamu bisa minta Jeff untuk mengantarmu, tubuhmu masih belum pulih.” Luke sekali lagi menunjukkan perhatian yang hanya ia lakukan demi kewajiban sebagai calon suami. Sedangkan Rena hanya mengangguk pelan dengan kepala menunduk lalu segera menuju dapur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status