Share

Tercederai

Dingin terasa menyerap masuk menusuk tulang tubuh ringkih yang masih terbaring di lantai tanpa alas. Matanya masih terpejam, masih pingsan setelah pukulan yang meninggalkan tanda biru kehitaman juga kemerahan di kulit putihnya. Tapi tidak terlalu lama kemudian, tubuh itu bergerak menggeliat lalu tersentak dan menggeliat lebih pelan dengan mata terpejam dan wajah berkerut saat merasa tubuhnya sangat sakit.

“Oh...  Astaga...” Bibirnya mendesis kecil.

Matanya terbuka perlahan saat mendengar bebunyian mendesir. Dia pikir itu bunyi hujan, tapi rupanya hanya bebunyian kendaraan yang seperti menyatakan hari telah dimulai. Namun langit tampak gelisah, menampilkan gumpalan-gumpalan tebal keabuan dengan latar biru yang menyejukkan.

“Bangun, Pemalas!”

Rena sudah membuka matanya. Ia sudah benar-benar terbangun meski masih merasa pening. Tapi mimpi buruk dari bilik memori masih menghampirinya. Terasa menghantam kepalanya yang membuatnya kembali menutup mata dan mendesis lebih keras karena pening lebih hebat yang tiba-tiba mendengungkan telinganya.

Tapi degungan itu hanya sebentar, membuat Rena membuka matanya lagi. Rena mencoba bangun dengan tangan kiri memegang kepalanya dan tangan kanan menopang tubuhnya yang berpegang pada meja di dekatnya. Tangannya tampak kurus dan gemetar seperti ranting kering yang rapuh, mungkin sedikit saja ditekan itu akan patah.

Prank!

Sebuah vas kaca yang berada di atas meja itu tersinggung tangannya lalu jatuh dan pecah. Tapi ia tidak menyadari apapun karena ia terlalu fokus pada usahanya untuk berdiri. Ia terlalu lemas karena tidak memakan apapun sejak kemarin.

“Sa-kit...” Rena mendesis lagi. Ia tengah mencoba untuk bangun.

Tiba-tiba tubuh kurusnya menegang.

Reflek tangan kirinya menuju ke depan bibirnya saat merasakan sesuatu mendesak keluar melalui kerongkongannya. Rena terengah-engah dengan wajah memerah dan mengeluarkan suara seperti lolongan kesakitan yang terdengar sangat kecil karena usaha mengeluarkan muntahannya. Tepat setelah cairan itu keluar, mata bermanik cokelat Rena melebar.

Ia memuntahkan banyak cairan bening berasa asam. Cukup membuat untuk Rena ingat kalau dirinya tidak makan apapun sejak kemarin siang dan pingsan sejak malam hingga pagi. Tubuh ringkih itu mencoba bangun lagi dengan wajah basah berkerut dan tubuh gemetar hebat. Setidaknya Rena mencoba memusatkan seluruh tenaganya untuk berdiri. Tanpa Rena sadari sebenarnya tangan kanannya menekan keras pecahan vas kaca di lantai dan membuatnya terluka dengan darah yang mengalir deras. 

Bibir pucat itu kembali mengeluarkan ringisan. Sementara peluh sudah menetes-netes dari keningnya. Hingga akhirnya Rena berdiri dengan tubuh yang limbung. Tubuhnya membungkuk dan matanya nyaris terpejam. 

Tapi tiba-tiba kepalanya terasa pening dan berputar. Rena menutup matanya, tangan kirinya menjambak rambutnya sendiri dan kepalanya menggeleng-geleng gelisah. Lalu setelah melangkah sekali ke belakang karena limbung, semua pening yang dirasakannya hilang. Rena mencoba membuka matanya dan pupil matanya bergetar dan mengecil secara menakutkan. Di sana, di dekat sofa, ibu dan kakaknya berdiri dengan ekspresi sekeras batu.

“Darahmu, Sialan! Bersihkan tanpa sisa! Atau aku akan menggosok wajahmu di jalanan agar terlihat merah menggoda.” Kakaknya berbicara dengan nada dingin, memberi kesan tanpa ampun. Membuat tubuh Rena gemetar semakin hebat.

“A-a-ku k-kerjakan...” Rena tergagap lalu menyeret tubuhnya meraih tisu di meja.

“Cepat!” Kakaknya menggebrak. Sedangkan ibunya menatapnya dengan tatapan tajam yang terasa menusuk jantungnya. Membuat atmosfer terasa mendesaknya untuk ambruk detik itu juga.

“I-i-iy-iya...” Gagap Rena semakin parah. Rena semakin menyeret dengan paksa tubuhnya yang beberapa kali nyaris jatuh karena tersandung kaki sendiri.

Dengan sekuat tenaga Rena mendekati genangan darah di lantai lalu mendudukkan dirinya yang sudah terasa akan tumbang. Tangan bergetarnya menarik tisu. Lalu dengan gerakan ceroboh ia mulai menggosok lantai dengan berurai air mata. 

.

.

.

 “Sayang, sudah lama menunggu?” Bella datang dengan anggunnya lalu mengecup pipi kanan Ben.

“Tidak juga.” Ben tersenyum, ia hampir berdiri untuk menarik kursi Bella. Tapi urung setelah Bella menyatakan tidak perlu dengan gelagatnya.

“Sudah pesan sesuatu, Sayang?” Ben memandang Bella dan memberi tatapan lembut yang penuh cinta. Itu selalu membuat Bella jatuh berkali-kali ke dalam pelukannya.

“Hanya green tea, aku sedang diet.” Bella menyahut ringan. Tapi Ben malah menghela napas lelah, ia nampak khawatir.

Mereka sedang di cafe milik Amora untuk bertemu Luke yang tiba-tiba mengatakan sesuatu tentang perjodohannya. Ben adalah sepupu Luke sekaligus seorang calon sekretarisnya sehingga Ben berhak tahu. Selain itu Ben juga menjadi salah satu orang kepercayaan Luke sehingga sudah terbiasa untuk menjadi orang yang mendengar semua keluh kesah Luke.

 “Segalanya telah dibicarakan tadi malam. Kami bertamu ke apartemennya. Di sana terdapat ia, Nyonya Martin dan putri sulungnya.” Luke Membicarakan itu dengan nada suara yang tenang.

 “Mereka datang? Setahuku Nyonya Martin tinggal di Amerika dengan alasan menjaga cabang perusahaan mereka di sana. Sedangkan putri sulungnya memang tinggal di sini sejak ia sudah menikah dengan Thomas Pittman. Itu berarti mereka memang sudah merencanakannya.” Ben menyahut dengan wajah mengernyit.

“Aku tidak terlalu peduli tentang masalah itu. Hanya saja persoalan perjodohan itu selalu menggangguku.” Luke menyahut acuh. 

“Kukira tidak kamu saja yang merasakannya, Rena juga mungkin akan begitu. Selain itu ia pasti sangat terkejut karena ini terlalu cepat. Ia barus saja tahu dan tiba-tiba langsung dipertemukan. Apa yang ayah dan ibumu minta?” Bella yang menyahut selanjutnya. Ia menyelipkan rambut ke belakang telinganya lalu menatap Luke dengan menumpu dagu di tangannya, gerakannya sangat gemulai.

“Ayahku meminta kami untuk segera menikah. Itu terasa seperti menyambar jantungku dan aku yakin dia juga merasakannya. Karena saat aku meminta waktu untuk mengenal satu sama lain lebih dulu, Rena juga menyetujuinya. Aku bersyukur karena ayahku menurutinya. Setidaknya aku masih diberikan sedikit kelonggaran.” Luke melanjutkan pembicaraannya. Ia tidak menyadari ekspresi Bella yang tiba-tiba berubah panik.

 “Setelah itu kalian pergi?! Jangan bilang saat kalian meninggalkannya ia masih bersama Nyonya Martin dan putri sulungnya!” Bella tiba-tiba berteriak dengan mata melotot. Sedangkan Luke dan Ben nyaris melompat karena terkejut.

“Kami harus pergi setelah itu karena memiliki pekerjaan mendesak. Apa yang membuatmu berteriak seperti itu, Bella? Kita masih di tempat umum.” Luke menyahut dengan ekspresi wajah tidak senang.

“Kita harus ke apartemen Rena sekarang, Ben! Ayo!” Bella menarik Ben keluar dengan cepat, tidak mempedulikan pertanyaan yang Luke berikan.

Luke menjadi sangat kebingungan dengan pergerakan tiba-tiba Bella. Sedangkan Ben sempat mengangguk tanda meminta pengertian. Mereka bergerak dengan cepat, tapi Luke sempat melihat air mana menetes keluar dari mata kanan Bella.

.

.

.

Tubuh Rena masih terduduk di lantai, masih menangis sesegukan. Tangan kanan rapuhnya yang gemetar menggenggam segumpal tisu yang sudah merah pekat karena darah kepunyaannya sendiri. Tangan kiri kurusnya masih menggosok lantai. Kepalanya menunduk sangat dalam. Kalau bisa, wajahnya mungkin saja sudah menyentuh dadanya sendiri.

“A-aku se-sedang membersihkannya! J-jangan pukul a-aku!” Rena berteriak histeris dengan gagap karena ketakutan.

Wajah manisnya tampak berantakan dan sangat basah. Namun di tengah perasaan tertekan, kepalanya lagi-lagi terasa pening dan berputar. Tapi Rena tetap membuka matanya, menatap noda kemerahan yang tampak tidak begitu jelas.

“Bangunlah, Sayang. Kamu tidak pantas seperti ini.” Lembut. Sebuah suara yang Rena kenal. Sebuah suara yang ia rindukan. Membuat tubuh sekurus rantingnya gemetar lebih hebat.

“Aku merindukanmu. Kembalilah.” Rena bergumam lirih. Ia semakin menggosok lantai dengan air mata yang juga menderas.

“Harus bersih, Sialan!” Suara teriakan kakaknya kembali menghantam keras jantungnya. Suara itu tumpang tindih dengan suara lain yang muncul bersahut-sahutan di kepalanya.

“Tidak!” Rena menyahut teriakan di kepalanya dengan teriakan frustasi yang memilukan. Suaranya seperti lolongan yang terdengar terlalu menyedihkan.

“Aku akan melindungimu.” Tapi sebuah suara lembut menyentuh hangat hatinya. Suara itu adalah suara terjelas yang berhasil menutup suara lain dan sedikit menenangkannya.

“Kembalilah. Aku mohon. Kembalilah.” Suara Rena melemah, sementara tangan kurusnya terus menggosok dengan lebih brutal. Tidak menyadari lantai yang digosoknya sudah tidak lagi berwarna kemerahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status