Share

Tercederai

Author: Elle Ryu
last update Last Updated: 2021-05-30 21:44:35

Dingin terasa menyerap masuk menusuk tulang tubuh ringkih yang masih terbaring di lantai tanpa alas. Matanya masih terpejam, masih pingsan setelah pukulan yang meninggalkan tanda biru kehitaman juga kemerahan di kulit putihnya. Tapi tidak terlalu lama kemudian, tubuh itu bergerak menggeliat lalu tersentak dan menggeliat lebih pelan dengan mata terpejam dan wajah berkerut saat merasa tubuhnya sangat sakit.

“Oh...  Astaga...” Bibirnya mendesis kecil.

Matanya terbuka perlahan saat mendengar bebunyian mendesir. Dia pikir itu bunyi hujan, tapi rupanya hanya bebunyian kendaraan yang seperti menyatakan hari telah dimulai. Namun langit tampak gelisah, menampilkan gumpalan-gumpalan tebal keabuan dengan latar biru yang menyejukkan.

“Bangun, Pemalas!”

Rena sudah membuka matanya. Ia sudah benar-benar terbangun meski masih merasa pening. Tapi mimpi buruk dari bilik memori masih menghampirinya. Terasa menghantam kepalanya yang membuatnya kembali menutup mata dan mendesis lebih keras karena pening lebih hebat yang tiba-tiba mendengungkan telinganya.

Tapi degungan itu hanya sebentar, membuat Rena membuka matanya lagi. Rena mencoba bangun dengan tangan kiri memegang kepalanya dan tangan kanan menopang tubuhnya yang berpegang pada meja di dekatnya. Tangannya tampak kurus dan gemetar seperti ranting kering yang rapuh, mungkin sedikit saja ditekan itu akan patah.

Prank!

Sebuah vas kaca yang berada di atas meja itu tersinggung tangannya lalu jatuh dan pecah. Tapi ia tidak menyadari apapun karena ia terlalu fokus pada usahanya untuk berdiri. Ia terlalu lemas karena tidak memakan apapun sejak kemarin.

“Sa-kit...” Rena mendesis lagi. Ia tengah mencoba untuk bangun.

Tiba-tiba tubuh kurusnya menegang.

Reflek tangan kirinya menuju ke depan bibirnya saat merasakan sesuatu mendesak keluar melalui kerongkongannya. Rena terengah-engah dengan wajah memerah dan mengeluarkan suara seperti lolongan kesakitan yang terdengar sangat kecil karena usaha mengeluarkan muntahannya. Tepat setelah cairan itu keluar, mata bermanik cokelat Rena melebar.

Ia memuntahkan banyak cairan bening berasa asam. Cukup membuat untuk Rena ingat kalau dirinya tidak makan apapun sejak kemarin siang dan pingsan sejak malam hingga pagi. Tubuh ringkih itu mencoba bangun lagi dengan wajah basah berkerut dan tubuh gemetar hebat. Setidaknya Rena mencoba memusatkan seluruh tenaganya untuk berdiri. Tanpa Rena sadari sebenarnya tangan kanannya menekan keras pecahan vas kaca di lantai dan membuatnya terluka dengan darah yang mengalir deras. 

Bibir pucat itu kembali mengeluarkan ringisan. Sementara peluh sudah menetes-netes dari keningnya. Hingga akhirnya Rena berdiri dengan tubuh yang limbung. Tubuhnya membungkuk dan matanya nyaris terpejam. 

Tapi tiba-tiba kepalanya terasa pening dan berputar. Rena menutup matanya, tangan kirinya menjambak rambutnya sendiri dan kepalanya menggeleng-geleng gelisah. Lalu setelah melangkah sekali ke belakang karena limbung, semua pening yang dirasakannya hilang. Rena mencoba membuka matanya dan pupil matanya bergetar dan mengecil secara menakutkan. Di sana, di dekat sofa, ibu dan kakaknya berdiri dengan ekspresi sekeras batu.

“Darahmu, Sialan! Bersihkan tanpa sisa! Atau aku akan menggosok wajahmu di jalanan agar terlihat merah menggoda.” Kakaknya berbicara dengan nada dingin, memberi kesan tanpa ampun. Membuat tubuh Rena gemetar semakin hebat.

“A-a-ku k-kerjakan...” Rena tergagap lalu menyeret tubuhnya meraih tisu di meja.

“Cepat!” Kakaknya menggebrak. Sedangkan ibunya menatapnya dengan tatapan tajam yang terasa menusuk jantungnya. Membuat atmosfer terasa mendesaknya untuk ambruk detik itu juga.

“I-i-iy-iya...” Gagap Rena semakin parah. Rena semakin menyeret dengan paksa tubuhnya yang beberapa kali nyaris jatuh karena tersandung kaki sendiri.

Dengan sekuat tenaga Rena mendekati genangan darah di lantai lalu mendudukkan dirinya yang sudah terasa akan tumbang. Tangan bergetarnya menarik tisu. Lalu dengan gerakan ceroboh ia mulai menggosok lantai dengan berurai air mata. 

.

.

.

 “Sayang, sudah lama menunggu?” Bella datang dengan anggunnya lalu mengecup pipi kanan Ben.

“Tidak juga.” Ben tersenyum, ia hampir berdiri untuk menarik kursi Bella. Tapi urung setelah Bella menyatakan tidak perlu dengan gelagatnya.

“Sudah pesan sesuatu, Sayang?” Ben memandang Bella dan memberi tatapan lembut yang penuh cinta. Itu selalu membuat Bella jatuh berkali-kali ke dalam pelukannya.

“Hanya green tea, aku sedang diet.” Bella menyahut ringan. Tapi Ben malah menghela napas lelah, ia nampak khawatir.

Mereka sedang di cafe milik Amora untuk bertemu Luke yang tiba-tiba mengatakan sesuatu tentang perjodohannya. Ben adalah sepupu Luke sekaligus seorang calon sekretarisnya sehingga Ben berhak tahu. Selain itu Ben juga menjadi salah satu orang kepercayaan Luke sehingga sudah terbiasa untuk menjadi orang yang mendengar semua keluh kesah Luke.

 “Segalanya telah dibicarakan tadi malam. Kami bertamu ke apartemennya. Di sana terdapat ia, Nyonya Martin dan putri sulungnya.” Luke Membicarakan itu dengan nada suara yang tenang.

 “Mereka datang? Setahuku Nyonya Martin tinggal di Amerika dengan alasan menjaga cabang perusahaan mereka di sana. Sedangkan putri sulungnya memang tinggal di sini sejak ia sudah menikah dengan Thomas Pittman. Itu berarti mereka memang sudah merencanakannya.” Ben menyahut dengan wajah mengernyit.

“Aku tidak terlalu peduli tentang masalah itu. Hanya saja persoalan perjodohan itu selalu menggangguku.” Luke menyahut acuh. 

“Kukira tidak kamu saja yang merasakannya, Rena juga mungkin akan begitu. Selain itu ia pasti sangat terkejut karena ini terlalu cepat. Ia barus saja tahu dan tiba-tiba langsung dipertemukan. Apa yang ayah dan ibumu minta?” Bella yang menyahut selanjutnya. Ia menyelipkan rambut ke belakang telinganya lalu menatap Luke dengan menumpu dagu di tangannya, gerakannya sangat gemulai.

“Ayahku meminta kami untuk segera menikah. Itu terasa seperti menyambar jantungku dan aku yakin dia juga merasakannya. Karena saat aku meminta waktu untuk mengenal satu sama lain lebih dulu, Rena juga menyetujuinya. Aku bersyukur karena ayahku menurutinya. Setidaknya aku masih diberikan sedikit kelonggaran.” Luke melanjutkan pembicaraannya. Ia tidak menyadari ekspresi Bella yang tiba-tiba berubah panik.

 “Setelah itu kalian pergi?! Jangan bilang saat kalian meninggalkannya ia masih bersama Nyonya Martin dan putri sulungnya!” Bella tiba-tiba berteriak dengan mata melotot. Sedangkan Luke dan Ben nyaris melompat karena terkejut.

“Kami harus pergi setelah itu karena memiliki pekerjaan mendesak. Apa yang membuatmu berteriak seperti itu, Bella? Kita masih di tempat umum.” Luke menyahut dengan ekspresi wajah tidak senang.

“Kita harus ke apartemen Rena sekarang, Ben! Ayo!” Bella menarik Ben keluar dengan cepat, tidak mempedulikan pertanyaan yang Luke berikan.

Luke menjadi sangat kebingungan dengan pergerakan tiba-tiba Bella. Sedangkan Ben sempat mengangguk tanda meminta pengertian. Mereka bergerak dengan cepat, tapi Luke sempat melihat air mana menetes keluar dari mata kanan Bella.

.

.

.

Tubuh Rena masih terduduk di lantai, masih menangis sesegukan. Tangan kanan rapuhnya yang gemetar menggenggam segumpal tisu yang sudah merah pekat karena darah kepunyaannya sendiri. Tangan kiri kurusnya masih menggosok lantai. Kepalanya menunduk sangat dalam. Kalau bisa, wajahnya mungkin saja sudah menyentuh dadanya sendiri.

“A-aku se-sedang membersihkannya! J-jangan pukul a-aku!” Rena berteriak histeris dengan gagap karena ketakutan.

Wajah manisnya tampak berantakan dan sangat basah. Namun di tengah perasaan tertekan, kepalanya lagi-lagi terasa pening dan berputar. Tapi Rena tetap membuka matanya, menatap noda kemerahan yang tampak tidak begitu jelas.

“Bangunlah, Sayang. Kamu tidak pantas seperti ini.” Lembut. Sebuah suara yang Rena kenal. Sebuah suara yang ia rindukan. Membuat tubuh sekurus rantingnya gemetar lebih hebat.

“Aku merindukanmu. Kembalilah.” Rena bergumam lirih. Ia semakin menggosok lantai dengan air mata yang juga menderas.

“Harus bersih, Sialan!” Suara teriakan kakaknya kembali menghantam keras jantungnya. Suara itu tumpang tindih dengan suara lain yang muncul bersahut-sahutan di kepalanya.

“Tidak!” Rena menyahut teriakan di kepalanya dengan teriakan frustasi yang memilukan. Suaranya seperti lolongan yang terdengar terlalu menyedihkan.

“Aku akan melindungimu.” Tapi sebuah suara lembut menyentuh hangat hatinya. Suara itu adalah suara terjelas yang berhasil menutup suara lain dan sedikit menenangkannya.

“Kembalilah. Aku mohon. Kembalilah.” Suara Rena melemah, sementara tangan kurusnya terus menggosok dengan lebih brutal. Tidak menyadari lantai yang digosoknya sudah tidak lagi berwarna kemerahan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kita yang Menjadi Kita   Kita Telah Menjadi Kita

    Rena bergerak ke dalam pelukan suaminya. Kulit mereka yang sama polosnya menyentuh satu sama lain. Ini adalah malam hari jadi pernikahan tahun kelima mereka. Riana dan Jeffrey membawa Edrick untuk menginap di rumah Hendry untuk bermain bersama putri Hendry dan Amora, Liliana Lewis. Mereka bermaksud memberikan waktu berdua pada Luke dan Rena untuk menikmati waktu mereka. Hingga mereka sekarang berada di atas tempat tidur, memutuskan untuk mengakhiri hari jadi pernikahan untuk saling menghangatkan.Rena tersenyum samar dan perlahan menangkup wajah suaminya. Luke terlihat tampan meski keringat mulai membasahi wajah. Menatap Luke seperti ini perlahan membuat Rena mengingat lagi tentang masa lalu mereka. Ia kembali mengingat bagaimana Luke saat dulu pertama kali menyentuhnya. Ia juga kembali mengingat bagaimana raut wajah yang ia tunjukkan. Dahulu wajah tampan itu terisi dengan belas kasihan dan sedikit rasa peduli. Tapi sekarang wajah itu menunjukkan cinta dan kebah

  • Kita yang Menjadi Kita   Utuh Lagi

    Rena hampir menangis karena air susunya tidak cukup untuk menyusui Edrick. Untung saja ibu mertuanya ikut ke rumah Ploy dan mengambil air susu di lemari pendingin. Ia sempat memerah air susunya sesaat sebelum ia berangkat untuk menyelamatkan Luke.“Sudah, tidak apa-apa. Kamu harus lebih tenang agar produksi susumu baik untuk menyusui Edrick selanjutnya. Air susu perah ini hanya cukup untuk menyusuinya sekali ini saja.” Ibu Luke yang menggendong Edrick dan membantunya meminum susunya, membiarkan Rena menenangkan dirinya sendiri.“Baik, Ibu. Aku mengerti.” Rena menyahut setelah menghela napas panjang untuk sedikit menenangkan diri. Sebenarnya ia tidak bisa tenang saat Luke harus menghadapi bahaya. Tapi ia akan berusaha karena bahkan Ibu Luke sekalipun menunjukkan sikap tubuh penuh ketenangan.“Bagus. Kamu harus tenang. Sebenarnya bukan hanya untuk Edrick tapi juga dirimu sendiri. Kalau kamu terlalu stress dan kelelahan k

  • Kita yang Menjadi Kita   Perasaannya Terbunuh

    Orang-orang itu memasuki sebuah ruangan dengan tenang, mengabaikan wajah terkejut banyak laki-laki di sana. Mereka adalah tamu yang tidak disangka akan datang. Mereka adalah Phoenix dan King. Mereka orang-orang terkejam yang sanggup membunuh untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan mereka. Terlebih, mereka datang setelah musibah yang menghampiri Phoenix dan terlihat sama sekali tidak terpengaruh oleh itu.“Ini wilayahku dan kalian masuk tanpa persetujuanku. Apa yang kalian lakukan di sini?” Suara Mark yang geram menyambut keduanya.“Bukankah kamu juga melakukan hal yang sama? Aku hanya melakukan apa yang kamu lakukan sebelumnya. Hanya saja aku lebih bermoral karena tidak memasuki wilayahmu dengan menyelundup.” Luke menyahut dengan tenang sementara matanya berpendar mencari seseorang lagi pembuat masalah. Hingga ia menemukannya, Jane yang mendekati Mark setelah keluar dari sebuah ruangan,“Sialan. Apa yang ingin kamu l

  • Kita yang Menjadi Kita   Pembalasan

    “Aku tidak bangun untuk melihatmu menangis, Rena.” Suara laki-laki yang masih terdengar lemah itu berisi dengan rasa khawatir. Ia baru saja terbangun lalu menemukan Rena yang langsung menangis.Sedangkan Rena malah menangis semakin keras karena Luke yang berupaya menenangkannya. Rasa lega yang menerjangnya terasa terlalu keras hingga ia sendiri kelimpungan dalam menanggapi. Ia hanya terlalu lega hingga kini membuat Luke yang berubah khawatir padanya.“Apa yang harus dikhawatirkan? Lihatlah! Aku baik-baik saja.” Jawaban Luke membuat ibunya menghela napas jengah.“Kamu membuatku khawatir, Luke. Kamu kehilangan kesadaran di depan wajahku. Saat tenaga medis berusaha menyelamatkanmu, kamu dalam kondisi tidak stabil karena kekurangan darah. Sedangkan di rumah sakit ini hanya tersisa satu kantong darah untukmu dan itu tidak banyak membantu. Aku panik sekali.” Kini Rena yang berbicara, nada suaranya terdengar sedikit kes

  • Kita yang Menjadi Kita   Penantian Sekian Kali

    Luke tengah berada di ruang operasi. Tenaga medis tengah melakukan operasi kecil untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya. Tapi operasi itu berjalan lama karena kondisi Luke yang tidak stabil. Ia kehilangan banyak darah, sehingga penanganannya harus sangat hati-hati.“Rena, aku tahu kamu cemas. Tapi aku mohon duduklah sebentar, kamu sudah berdiri terlalu lama. Aku tidak mau kamu pingsan saat nanti Edrick harus kau susui.” Itu Alexa yang berbicara. Ia cerewet hari ini karena melihat Rena yang terlalu ceroboh untuk dirinya sendiri. Sebenarnya ia lebih cerewet sebelumnya saat ia menyuruh Rena mengganti baju dengan baju yang Riana bawa. Ia memang sengaja meminta Riana untuk segera menyusul ke rumah sakit dengan bantuan Ben dan membawa setelan baju yang seukuran dengan tubuh kurus Rena. Ia hanya khawatir saat melihat tubuh Rena berbalut darah. Ia juga seseorang yang rela untuk sangat direpotkan saat membantu Rena untuk menghapus noda-noda dara

  • Kita yang Menjadi Kita   Demi Melindungi

    Alexa masuk bersama Hendry, Jeffrey, Joseph dan Rena. Sebenarnya Hendry, Jeffrey dan Joseph sudah meminta Alexa untuk tinggal. Tapi mereka berakhir berada di tempat itu karena Rena ingin ikut, membuat Alexa ingin menemaninya. Alexa hanya tidak ingin Rena kehilangan pengendalian diri karena ia mungkin saja masih mengingat kejadian mengerikan yang ia dan Bella hadapi hari itu.“Pelacur sialan! Bagaimana kamu bisa berada di sini?” Jane berteriak marah. Rencananya ia hanya mengundang Rena, tapi pelacur sialan ini malah ikut.“Aku tidak hanya pintar untuk menjajakan tubuhku, tapi juga menggunakan otakku. Itu yang disebut dengan pelacur yang cerdas. Tidak murahan yang memperkosa seorang laki-laki.” Alexa menjawab dengan kesombongan di nada bicaranya. Ia murka, ia tidak terima seorang teman dekat sekaligus suami sahabatnya diperlakukan sebegitu rendah.Sebenarnya tidak hanya Alexa yang merasa amarah membakarnya, terlebih lagi Rena.

  • Kita yang Menjadi Kita   Ronta Keengganan

    Meronta saat merasakan kulitnya dicengkram erat begitu tali-tali di tubuhnya dilepaskan. Ia berencana untuk melepaskan diri, tapi efek obat bius masih membuat ia cukup lemas. Sedangkan Jane hanya diam saat melihat Luke mulai berteriak frustasi. Ia memang mencintai Luke, namun ia tidak bisa diam saat rasa sakit menggigit hatinya. “Apa yang kamu rencanakan? Apa yang ingin kamu lakukan?!” Luke berteriak marah lalu mencoba memberontak. BUG! “Sialan!” Luke berteriak marah pada Mark yang tiba-tiba memukulnya. Ia benar-benar marah pada mereka serta tubuhnya yang terasa seperti bukan tubuhnya sendiri. “Kamu hanya perlu diam dan nikmati apa yang kami berikan padamu. Saatnya kamu yang kalah, Phoenix. Saatnya kau yang merasakan dipermalukan. Saatnya kamu yang merasakan perasaan tidak berdaya.” Mark tertawa setelah itu, merasa puas melihat ketidakmampuan Luke membalas pukulannya. “Hentikan ini sekarang juga! Kamu pikir apa yang akan kamu la

  • Kita yang Menjadi Kita   Budak Keegoisan

    Tubuh laki-laki itu terlihat lemas bersandar pada sebuah kursi di ruangan yang kumuh. Ia terikat oleh seutas tali tambang yang kasar. Posisi tubuhnya terlihat benar-benar tidak nyaman. Sementara orang-orang di sana hanya memandangnya dan menunjukkan wajah yang tenang. “Seberapa banyak dosis obat bius yang kamu berikan?” Seorang laki-laki bertanya pada seorang perempuan di sana. Nada suaranya mulai terdengar tidak sabar. “Bukan aku yang memberikannya, aku meminta dokter pribadiku. Kenapa kamu tidak bersabar sedikit?” Perempuan itu menyahut dengan kesal. “Jane, aku ke sini tidak untuk membuang banyak waktu. Jika aku tahu akan jadi sebegini terlambat, aku akan menunda untuk datang lebih dulu.” Tapi si laki-laki menyahut tidak kalah kesal. Ia memiliki banyak hal yang ingin ia jadikan pencapaian hingga menunggu seperti ini benar-benar terasa tidak berguna. “Lalu apa? Bukankah ini adalah apa yang juga kamu tunggu, Mark? Kamu ingin melihat dia

  • Kita yang Menjadi Kita   Pulangku Adalah Kamu

    Cahaya bintang terlihat redup saat ditatap dari taman belakang yang berisi bunga-bunga yang ditanam seorang perempuan cantik belakangan hari saat ia masih mengandung. Udara mendinging dan suara menyepi. Hari telah berubah semakin larut tapi Luke masih terjaga. Rasa rindu pada Rena semakin tidak tertahankan sedangkan ia masih harus bertahan pada kesunyian yang sama demi meluluskan diri dari ujian kesabaran yang ia buat sendiri. Rena selalu pandai bersabar, maka ia juga harus bisa. Memiliki cinta seorang malaikat membuatnya harus merubah diri walau terasa menyakitkan.“Rena, bagaimana kabarmu? Aku merindukanmu. Tidakkah kamu juga merasakan hal yang sama?” Tangan Luke terangkat untuk mencengkram dadanya sendiri. Ia telah sekarat karena rindu yang mulai berkarat.Rasa rindu teramat dalam ini seperti akan merenggut kewarasannya. Oh Tuhan, jika iblis sepertinya boleh memohon. Maka ia memohon jika saat waktu memaksa mereka untuk berpisah, ia ingin ia

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status