Share

Kebimbangan

Bella berlari kencang dengan seruan-seruan kecil di tengah napasnya yang memburu. Lalu sesaat setelah tiba, Bella berteriak dramatis sampai terdengar serak. Ia hanya terkaget melihat apa yang terjadi di dalam setelah ia membuka pintu apartemen Rena dengan kasar. 

Rena sedang terduduk di lantai dengan wajah dan tubuh yang basah. Kepalanya menoleh dengan kaku dan matanya terlihat penuh dengan ketakutan. Bibirnya pucat dan gemetar. Napasnya terengah lalu kemudian ia berubah panik dengan ekspresi yang semakin mengerikan.

“P-pergi sebelum kamu terluka. Pergi! “ Rena berteriak frustasi dengan warna wajah yang semakin tampak mati. Bella mulai menangis kemudian terhuyung ke arah Ben yang menangkapnya dengan sigap.

 “Tidak...” Bella menggeleng kuat dengan frustasi yang terdengar seperti racauan. Rena yang seperti itu, Rena yang terlihat terlalu menyedihkan.

“Pergi!” Suara Rena terdengar lebih lirih. Dua manik cokelat gelapnya bergerak-gerak dengan gelisah, seakan melihat kilatan-kilatan yang hanya dirinya sendiri yang mampu melihatnya.

 Tiba-tiba napasnya tersengal dan tangan kurusnya yang gemetar terangkat untuk memukul kepalanya sendiri dengan putus asa. Ben memberikan tatapan nanar dan gelengan lemah dengan masih menyangga tubuh Bella yang semakin gemetar. Dia juga tidak menyangka disambut dengan pemandangan ini, dia tidak menyukainya.

“Pergi! Pergi! Ku-kumohon, ja-jangan s-sakiti a-ku! La-lari, Bella! Lari!” Rena masih memukuli kepalanya. Darah dari tangan kanannya mengotori sisi wajahnya dan rambutnya yang lepek.

 “Hentikan!” Bella tiba-tiba berteriak kalap dengan rasa frustasi yang sudah di ubun-ubun. Semua ini terlalu menyakitkan.

“Sayang, tenanglah.” Ben mengusap bahu Bella lembut, wajahnya terlihat mengerut prihatin. Tapi sedetik setelahnya, Bella berlari dengan langkah yang terlihat goyah. Ia berusaha memeluk Rena yang memberontak.

“Tidak apa-apa. Tidak ada yang akan menyakitimu.” Bella dengan keras kepala tetap memeluk tubuh Rena. Ia terus membisikkan kalimat-kalimat menenangkan.

Ben masih berdiri di ambang pintu setelah tadi sempat terkejut dengan gerak tiba-tiba Bella. Salah satu tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya. Wajahnya menengadah seraya mengeluarkan suara geraman yang seperti berasal dari belakang tenggorokan. Ben prihatin, pemandangan di depannya terlalu memilukan.

“Rena! Bangun! Ya Tuhan!” Kemudian suara seperti racauan yang tinggi milik Bella terdengar. Suara itu mengagetkan Ben.

“Ben! Ben!” Bella berteriak dan Ben berjalan cepat mendekati dua tubuh di lantai itu.

“Pa-panggil seseorang! Siapapun!-“

 “Aku akan, tapi biarkan aku terlebih dahulu merebahkan tubuh Rena ke tempat yang lebih nyaman.” Ben berujar lembut, tapi masih ada ketegasan di dalamnya. Ia berjongkok dan meremas sedikit bahu Bella, mencoba menenangkan kekasihnya yang terjebak dalam kepanikan. Lalu Bella langsung berlari menuju pintu kamar Rena dan membukanya sesaat setelah Ben mengambil tubuh Rena dari pangkuannya.

Ben mengangkat Rena dengan kening berkerut, tubuh Rena terlalu mudah untuk ia angkat karena terlalu ringan. Ben berjalan menuju pintu yang sudah Bella buka lebih lebar. Ia meletakkan tubuh Rena di ranjang yang tampak rapi.

“Sekarang apa yang harus aku lakukan?! Rena terluka! Astaga! Apa yang harus-“ Teriakan di tengah sengalan itu berhenti sesaat setelah sepasang tangan meremas lembut kedua bahunya.

“Sayang.” Ben memanggil di tengah sengalan napas Bella yang berisik. Ia mengintrupsi kekasihnya yang kembali histeris.

“Ia terluka bukan, Sayang? Karena itu, obati lukanya. Bersihkan darahnya. Kamu bisa melakukan itu.” Ben lalu tersenyum menenangkan dan memberi saran.

“Ya.” Bella menyetujuinya lalu setengah berlari menuju dapur, mencari kotak pertolongan pertama.

Ben memandang sekilas Bella yang tampak berantakan. Setelah perempuan itu tidak terlihat lagi, ia segera meraih ponselnya. Ia menekan dengan cepat layar persegi panjang itu lalu meletakkannya di telinga.

“Hendry, segera ke apartemen Rena.” Ben berbicara dengan suara rendah dan wajah yang tampak keras.

“Rena terluka... lagi.”

.

.

.

“Ya, Sayang. Aku tunggu. Tidak usah tergesa-gesa. Aku ingin kamu terlihat manis saat bertemu. Aku akan menciummu nanti, sampai jumpa.” Luke menjauhkan benda persegi panjang itu dari telinganya, bibirnya nampak menukik ke atas.

Setelah kepergian Ben dan Bella yang terlalu terburu-buru, Luke tidak memiliki rencana lain. Ia jadi ingin menghirup udara segar bersama kekasihnya. Luke sedikit tersenyum dengan wajah yang terlihat melamun.

“...Luke?” Seseorang tiba-tiba datang dan mengintrupsinya.

“Oh, Joseph?” Wajah Luke masih terlihat tidak fokus karena lamunannya.

“Kamu tidak mendengarku.” Joseph berujar santai. Dia telah memanggi Luke sedari tadi, tapi Luke sama sekali tidak memberikan respon.

“Sedang apa di sini?” Luke memulai sedikit basa-basi. Joseph adalah tangan kanan Hendry, kekasih dari adik pemilik kafe ini dan juga merupakan seorang teman.

“Menemui Irene. Bagaimana denganmu?” Joseph memainkan benda persegi panjang di tangannya, memutar-mutarnya tanpa tujuan.

“Menunggu kekasihku.” Luke mengatakannya dengan nada suara biasa tapi perkataan itu membentuk ekspresi lain di wajah Joseph. Wajah laki-laki itu mengerut-ngerut, terdapat rasa tidak percaya, meremehkan dan keacuhan di sana.

“Kekasih? Kata itu terdengar tidak berarti saat keluar dari mulutmu. Bukannya aku memulai adu argumen atau apapun yang ada di pikiranmu. Tapi kamu tidak mengerti apapun tentang cinta.” Joseph menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan gerakan lambat. Nada yang terdengar meledek di suaranya tidak berusaha ia tutupi.

“Joseph, kamu tidak berhak mengatakan padaku apa itu cinta atau hal sialan yang berkaitan dengan itu!” Luke berujar marah. Dia mengatakan kalau dia tidak mulai mengadu argumen, tapi dia malah mengguruinya.

“Lihat? Hal yang kamu sebut sialan itu adalah cinta. Tapi wajar saja kamu mengumpat pada hal itu. Nyatanya, kamu tidak tahu apa itu cinta karena kamu tidak mencintainya.” Luke tidak tahu kalau Joseph bisa sekurangajar ini.

“Jaga bicaramu!” Luke mendesis nyaring dengan garis rahang yang mengeras. Napasnya mulai terlihat tidak beraturan, sedikit terengah-engah.

“Apa? Jangan sampai rasa sayangmu membuatmu harus berpura-pura mencintainya. Sayang dan cinta itu berbeda. Kamu menyayangi dan menemaninya hanya sebagai seorang kakak, bukan sebagai kekasih. Ayolah! Berhenti membohongi dirimu sendiri! Hidup bukan kepura-puraan!” Joseph berujar gemas, sedikit banyak geram dengan Luke. Sedangkan Luke terdiam karena apa yang Joseph katakan terlalu tepat.

“Kamu punya hati malaikat, tapi kamu salah menggunakannya. Dia bukan orang yang tepat untuk menerima hati malaikatmu. Orang yang berhak mendapatkannya kelak akan datang. Untuk sekarang kamu hanya harus berhenti menipu dirimmu sendiri. Aku pergi.” Joseph berbisik, sementara Luke hanya bisa mengalihkan pandangannya. Joseph tersenyum puas lalu bangkit dan beranjak ke ruangan khusus pelayan.

Luke terdiam, perkataan Joseph terasa tepat menampar hatinya. Perkataan itu terlalu membekas. Perkataan itu mengenai perasaannya. Semua yang Joseph katakan terdengar seperti kebenaran hingga Luke hanya bisa terus diam dengan manik hitam yang bergerak-gerak dan napas yang tampak tenang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status