“Maaf karena saya datang terlambat.” Rena memasuki apartemennya dengan gerak tubuh sedikit membungkuk sebagai bentuk permintaan maaf. Seharusnya ia datang lebih cepat dan dapat memberikan pelayanan yang terbaik untuk tamu-tamunya. Tapi untung saja ia gemar memasak sehingga cookies yang berada di atas meja makan bisa kakaknya sajikan untuk tamu-tamu mereka.
“Tidak apa-apa. Nak, ayo bergabung bersama kami.” Sebuah suara yang lembut menyambutnya. Rena segera mengangkat wajahnya dan menemukan wanita paruh baya asing yang berwajah ramah.
Rena segera tersenyum dan wanita itu juga menyahutnya dengan senyum yang lembut. Rena dengan cepat meletakkan bokongnya di sebuah kursi di dekat kakaknya saat menemukan seorang pria paruh baya menatap arlojinya beberapa kali. Sepertinya mereka memiliki pekerjaan yang penting.
“Kami tidak akan lama karena pekerjaan menuntut kami untuk segera pergi. Kalian tentu tahu bahwa anak-anak ini akan segera menikah dan kurasa memperkenalkan mereka lebih dahulu akan lebih baik.” Pria paruh baya itu memulai dengan cepat. Ia sangat sibuk sehingga bertele-tele hanya akan membuang waktunya.
“Tentu, Tuan Armstrong. Kurasa mereka harus mengenal satu sama lain sebelum menikah.” Ibu angkat Rena memberikan balasan dengan suara yang terdengar manis, mengejutkan Rena karena nada suara itu tidak pernah ia dapatkan.
“Baiklah. Ini adalah putraku, Luke Armstrong. Ia adalah putraku satu-satunya yang merupakan seorang pewaris dari perusahaanku, Armstrong Corp.” Pria paruh baya itu memulai.
“Ah, ya! Ini adalah putriku, putri bungsuku. Namanya adalah Rena Martin. Kalian tentu tahu latar belakang darimana ia berasal tanpa aku perlu menjelaskan.” Ibu angkat Rena menjelaskan dengan nada suara enggan. Rena tahu itu karena rasa malu karena ia adalah anak pungut.
Rena tidak masalah dengan itu. Tapi yang menjadi masalahnya adalah bahwa pria yang akan dijodohkan dengannya adalah seorang Armstrong. Ia bukan pria sembarangan.
“Salam kenal, aku Rena Martin. Senang berkenalan denganmu.” Rena menawarkan sebuah jabatan tangan. Setidaknya ia harus terlihat baik agar tidak mempermalukan ibu dan kakak angkatnya.
“Luke Armstrong. Aku juga senang berkenalan denganmu.” Luke membalas jabatan tangannya dan memberikan sebuah senyuman. Senyuman itu terlihat cukup tulus.
Tapi hanya satu hal yang mereka tidak tahu, kalau Luke sebenarnya menyimpan sebuah pemikiran yang hanya ia sendiri yang tahu. Tentang Rena dan apapun yang wanita mungil itu miliki. Tentang takdir dan jalan hidupnya dari eksistensinya di dunia ini.
.
.
.
“Jadi, bagaimana?” Suara lembut Nyonya Armstrong membuat Rena mengangkat wajahnya. Nyonya Armstrong terlihat cantik dengan wajah lembutnya. Terlebih hal yang melekat padanya adalah sesuatu yang mahal hingga membuatnya terlihat berkali lipat mempesona di usia yang tidak lagi muda.
Ia bertanya seperti itu pada Luke dan Rena setelah menyampaikan maksud semua orang tua di sana untuk segera menikahkan mereka. Mereka merasa sudah cukup saatnnya Luke dan Rena menikah karena Luke yang akan meyelesaikan pendidikannya juga akan segera diangkat menjadi pimpinan perusahaan. Hanya saja mereka tetap mempertimbangkan kesanggupan keduanya.
“Bisa biarkan kami beradaptasi dulu? Kurasa kami belum siap.” Jawaban Luke tanpa sengaja membuat Rena memandang orang-orang di sana dengan penuh harap.
“B-Benar. Kurasa kami membutuhkan sedikit waktu untuk saling mengenal lebih jauh.” Rena memberanikan diri untuk berbicara meski suaranya sangat lembut. Rena hanya memiliki harapan kalau kata-kata itu dapat dipertimbangkan, meski harapan itu sangat kecil.
Mengangkat tatapan dari vas bunga di meja, Tuan Armstrong memandang Luke dan Rena tanpa arti dan pelan-pelan bibirnya sedikit menukik ke atas. Ia menatap Rena yang berubah canggung saat mata mereka bertemu. Sedangkan Luke hanya menegaskan pandangannya.
“Baiklah. Tapi setelah kami menentukan, kalian harus sudah siap.” Tuan Armstrong kemudian berucap tegas.
“Kalau begitu, kami akan pergi. Perkerjaan di Jepang sudah menunggu.” Nyonya Armstrong mengintrupsi suasana yang tiba-tiba menjadi hening. Tangannya megusap lembut punggung tangan Nyonya Martin lalu tersenyum sangat ramah.
Setelah itu Rena harus cepat-cepat berdiri dan menerima pelukan dari Nyonya Armstrong yang hangat dan keibuan. Rena bisa merasakan kasih sayang di dalamnya. Rena jadi ingin menangis.
“Kami pulang, Sayang. Jaga kesehatanmu. Kau adalah perempuan mungil yang manis dan cantik, tolong jangan buat dirimu terbeban dan menjadi semakin kurus.” Setelah itu membelai pipi Rena sayang dan kembali tersenyum lembut setelah mendapat anggukan.
Tapi setelah mereka menghilang di balik pintu, Rena bisa melihat tatapan tajam ibu dan kakaknya. Kakaknya dengan sangat cepat mendekat. Setiap langkahnya diisi dengan amarah.
PLAK!!
Kakaknya memukul Rena dengan sangat keras. Tubuhnya yang memang telah lelah menjadi mudah goyah. Ia terhempas ke lantai dengan keras.
“Akhh!” Rena memekik saat merasakan sakit yang menyengat pipinya.
“Tidak tahu diri! Cukup katakan iya dan semua selesai!” Wanita itu berteriak marah lalu menedang sekali perut Rena dengan keras.
“Balas budimu, Rena. Lakukan apa yang aku mau.” Kali ini ibunya yang berbicara setelah kakaknya berhenti menyakitinya, lagi-lagi dengan suara dingin tanpa nada.
Rena terbatuk perlahan. Kakaknya memang hanya menendangnya sekali karena kesal, tapi itu sangat menyakitkan. Lalu setelahnya yang bisa Rena lihat dengan pandangan buramnya adalah kedua wanita itu berjalan keluar apartemennya tanpa menoleh sedikitpun. Terakhir, segalanya gelap.
.
.
.
Dia memasuki sebuah mobil mewah dengan gigi bergemeletak seakan dia tengah kesal. Dia adalah seorang pria muda, Luke Armstrong. Dia biasanya sangat meledak-ledak hingga menahan amarah dan kemuakan membuatnya ingin segera melampiaskannya. Demi apapun, Luke tidak tahu kalau dirinya bisa seterkendali itu. Bahwa ia dapat menahan diri untuk tidak menyalak di saat ia dan perempuan yang dijodohkan dengannya diperkenalkan. Luke hampir di seumur hidupnya tidak pernah bisa menahan amarahnya sampai seapik ini.
“Sial!” Luke menggerutu pelan. Luke memang tidak bersama orang tuanya karena mereka mengggunakan mobil mewah yang lain untuk langsung melesat menuju bandara.
“Persetan dengan perjodohan itu! Kenapa hidupku jadi seberengsek ini?!” Luke menyandarkan tubuh tegapnya. Lalu tangan kuat semenawan malaikat abadi miliknya memijat pelipisnya.
Luke menghela napasnya lalu menghempas ringan kepalanya dan menutup mata sebentar. Napasnya yang tadi terlihat memburu perlahan mulai stabil. Sementara seseorang lain di depan setir hanya bisa menggeleng jengah. Jeffrey Smith, sahabat Luke sejak kecil. Jeffrey tinggal bersama Luke dan keluarganya sejak kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat. Nyonya Armstrong yang membawanya sejak ia adalah seorang putra dari sahabat dekat.
“Jeff, bawa aku ke tempat biasa.” Luke berbicara dengan suara seraknya yang rendah. Matanya menatap ke luar jendela dengan sikap tubuh lebih tenang.
“Tidak ada alkohol, Luke. Jangan lagi.” Jeffrey menyahut dengan sama rendah, mata tajamnya memandang jalanan di depannya dengan penuh minat. Ia tidak suka Luke yang mencari pelarian stressnya dengan alkohol.
“Sialan! Kamu hanya pekerjaku!” Luke menggeram marah. Bagaimana bisa Jeffrey yang memang memiliki tugas untuk bekeja padanya dan melayaninya malah bertingkah seperti itu?
“Aku memang memiliki peran sebagai tangan kananmu. Jadi?” Jeffrey tersenyum main-main, matanya melirik Luke yang terlihat lebih marah.
“Jadi?! Jaga perkataanmu! Aku bisa saja memecatmu dan menendangmu hingga berakhir di jalanan!” Benar, Luke benar-benar marah.
“Tapi jangan pernah lupa, aku juga memiliki hak untuk mengingatkanmu karena aku sudah lebih dari sekedar pekerjamu. Aku adalah sahabatmu.” Jeffrey mengingatkan dengan lebih serius kali ini,
“Ah, ya! Kamu sahabatku! Jadi, Sahabatku, tolong ijinkan aku minum. Kepalaku mulai terasa sakit sekarang. Terlalu banyak hal yang aku pikirkan, aku hanya butuh sedikit pelarian. Kumohon.” Setelah berbicara seperti itu, Luke dapat mendengar helaan napas berat.
“Baiklah. Tapi tidak sampai kamu mabuk.” Jeffrey memutar setir menuju daerah pinggiran kota. Mencari tempat termewah dan yang paling menyenangkan bagi Luke. Jeffrey menyayangi Luke sebagai saudara. Saudara malang yang selama ini hidup tanpa kasih sayang orang tuanya.
Dingin terasa menyerap masuk menusuk tulang tubuh ringkih yang masih terbaring di lantai tanpa alas. Matanya masih terpejam, masih pingsan setelah pukulan yang meninggalkan tanda biru kehitaman juga kemerahan di kulit putihnya. Tapi tidak terlalu lama kemudian, tubuh itu bergerak menggeliat lalu tersentak dan menggeliat lebih pelan dengan mata terpejam dan wajah berkerut saat merasa tubuhnya sangat sakit.“Oh... Astaga...” Bibirnya mendesis kecil.Matanya terbuka perlahan saat mendengar bebunyian mendesir. Dia pikir itu bunyi hujan, tapi rupanya hanya bebunyian kendaraan yang seperti menyatakan hari telah dimulai. Namun langit tampak gelisah, menampilkan gumpalan-gumpalan tebal keabuan dengan latar biru yang menyejukkan.“Bangun, Pemalas!”Rena sudah membuka matanya. Ia sudah benar-benar terbangun meski masih merasa pening. Tapi mimpi buruk dari bilik memori masih menghampirinya. Terasa menghantam kepalanya yang membuatnya kembali menutup mata dan mendesis
Bella berlari kencang dengan seruan-seruan kecil di tengah napasnya yang memburu. Lalu sesaat setelah tiba, Bella berteriak dramatis sampai terdengar serak. Ia hanya terkaget melihat apa yang terjadi di dalam setelah ia membuka pintu apartemen Rena dengan kasar. Rena sedang terduduk di lantai dengan wajah dan tubuh yang basah. Kepalanya menoleh dengan kaku dan matanya terlihat penuh dengan ketakutan. Bibirnya pucat dan gemetar. Napasnya terengah lalu kemudian ia berubah panik dengan ekspresi yang semakin mengerikan. “P-pergi sebelum kamu terluka. Pergi! “ Rena berteriak frustasi dengan warna wajah yang semakin tampak mati. Bella mulai menangis kemudian terhuyung ke arah Ben yang menangkapnya dengan sigap. “Tidak...” Bella menggeleng kuat dengan frustasi yang terdengar seperti racauan. Rena yang seperti itu, Rena yang terlihat terlalu menyedihkan. “Pergi!” Suara Rena terdengar lebih lirih. Dua manik cokelat gelapnya bergerak-gerak dengan ge
“Sudah lama menunggu?” Seorang perempuan bertanya dengan suara yang terdengar manja pada Luke. Suara itu mengejutkannya karena masih mengingat perkataan Luke sebelumnya.“A-ah! Ti-tidak juga.” Luke tertarik kembali ke dunia nyata, suara Jane berhasil menariknya. Jane, seseorang yang ia sebut kekasih.“Duduklah, Sayang.” Luke berusaha tersenyum dengan cepat, lalu ia membawa perempuan mungil itu duduk tepat di hadapannya. Apapun yang dia pikirkan, dia harus segera melupakannya. Jane telah berada di sini sekarang, dia hanya harus memberikan banyak perhatian.“Cepat sekali. Kukira akan perlu paling tidak 15 menit untuk ke sini.” Luke lalu menemukan Jane yang tertawa dengan manis.“Saat kamu menelepon, sebenarnya aku sedang berada di dekat sini.” Perempuan itu tersenyum cerah. Di dalam suaranya terselip keantusiasan.“Oh, ya? Benar begitu?” Luke menaikkan sebelah alisnya.“Iya. Aku bahkan sempat berbincang dengan Jeffrey di mobilmu.” Jane menunju
“Rena hanya shock, jangan khawatir. Tidak ada yang serius. Rena hanya perlu beristirahat dan meminum obatnya dengan teratur. Segalanya akan membaik.” Helena berucap dengan suara yang terdengar tenang dan menyenangkan. Tangannya bergerak cepat menuliskan beberapa resep lalu menyerahkannya pada kakak laki-lakinya. Kemudian dia meraih jas dokternya yang tadi tidak dia kenakan lalu menyampirkannya di tangannya. Dia segera meraih tasnya dan merapikan apa saja yang harus dirapikan. “Baiklah, kami akan pastikan kalau Rena akan meminum obatnya dengan teratur.” Wajah Amora yang manis tampak lega. Di sisinya ada Bella yang juga terlihat tidak kalah lega. “Kalau begitu aku akan pergi. Aku di rumah sakit. Jika terjadi sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungiku.” Helena tersenyum lalu berdiri perlahan. Amora adalah kekasih kakaknya. Bella adalah kekasih dari sahabat kakaknya. Sedangkan Rena akan menjadi istri dari seseorang yang ia dan kakaknya anggap sebagai saud
“Phoenix.” Ben menundukkan kepalanya patuh. Sedangkan Bella memandang Luke dengan tatapan yang tajam. Dia memang selalu tidak pernah menyukai laki-laki itu. Sementara Luke sudah terlalu terbiasa mengabaikannya. “Ben, harus berapa kali aku katakan padamu? Jangan menundukkan kepala padaku, kamu adalah keluargaku.” Luke menepuk bahu Ben dengan hangat, membuat Ben mengangkat kepalanya. Sedikit keangkuhan di wajahnya retak saat dia menatap adik sepupunya itu. “Yang datang sekarang adalah Luke Armstrong yang penuh pengawalan. Kamu yang sekarang adalah Phoenix dan Phoenix tengah menjemput calon pendampingnya. Silakan, dia sudah siap.” Ben sekali lagi menunjukkan sikap patuhnya, memiringkan tubuh dan membiarkan Luke masuk. Dia sedang sangat formal, terlalu terbiasa meletakkan dirinya di kondisi ini hingga ia sudah terlalu hapal mengenai siapa peran yang Luke ambil di kondisi-kondisi tertentu. Luke mengangkat kepalanya untuk membuat sikap angkuh dan aur
Rena menunduk dan duduk dengan tegang. Jari-jarinya yang saling bertautan tampak bergerak gelisah. Sedangkan Luke ada di sebelah kirinya. Ia tengah menyetir dengan pandangan terpaku pada jalanan yang tidak begitu ramai. “Aku akan pergi setelah mengantarmu. Jika kamu merasa perlu untuk segera beristirahat, aku bisa mengantarmu ke hotel terdekat atau kamu ingin langsung ke rumah?” Luke bertanya dengan mata melirik Rena dan menemukan orang itu terdiam dengan fokus yang terbelah. Matanya tampak menatap pangkuannya dengan dengan gamang. Apapun yang sedang dia pikirkan, Luke tidak suka diabaikan. Alis Luke tiba-tiba menukik tanda tidak suka. Tangannya mencengkram kemudi dan rahangnya mengeras. Luke tiba-tiba menukikkan mobilnya ke tepi jalan dengan brutal hingga Rena tersentak dan membelalakkan matanya. “Sialan, Rena Martin!” Luke berteriak marah sambil menarik dagu Rena agar menatapnya. Wajahnya yang mengeras tampak mengerut marah. “Sepertin
Rena mendesah lega saat kedua kakinya berhasil menapak di lantai datar dengan sempurna setelah berjuang dan kesakitan untuk menaiki tangga. Ia berjalan perlahan ke sebuah pintu besar yang indah. Segera membukanya saat sudah meraihnya untuk melihat sosok pria yang tengah tertidur dengan posisi tubuh duduk. Punggung tegap laki-laki itu terlihat bersandar dengan cukup nyaman di kepala ranjang. Rena tiba-tiba merasa sedikit takut karena harus membangunkan pria berwajah tampan yang terlihat kelelahan itu. Tapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, Luke adalah calon suaminya dan Rena harus peduli padanya. Luke bisa saja sakit kalau tidak memiliki makanannya dan sebagai calon pasangan yang baik, Rena harus memperhatikan asupan makanan dan kesehatan Luke. Rena harus membuat calon suaminya merasa senang dan puas dengan pelayanannya. “Luke.” Rena memanggil lirih dan sedikit menggoyangkan tubuh Luke, berharap dengan itu Luke akan segera terbangun. Kemudian Luke tampak terganggu dan Rena menarik
Setelah Rena selesai menyiapkan sarapan, ia segera menuju ke kamar calon suaminya. Saat membuka pintu, ia menemukan Luke yang masih terlihat sangat serius. Calon suaminya masih berkutat dengan pekerjaannya. Setelah menyiapkan diri, Rena mendekat dengan hati-hati, cukup untuk membuat orang itu menatapnya. “L-Luke, a-aku berpikir untuk menyiapkan a-ir untukmu m-mandi.” Rena sekali lagi membuat rasa tidak nyaman mulai memenuhi hati Luke. Karena Rena dan sikapnya sungguh menciptakan perasaan lain di hatinya. “Baiklah, kamu siapkan air dan aku akan menyiapkan berkasku sebentar.” Luke menyahut dengan setengah minat. Calon istrinya adalah orang yang penurut dan Luke menyukainya. Tapi bagaimana bisa orang yang akan menjadi pendamping hidupnya menjadi sangat takut padanya? Mereka akan tinggal di sisi satu sama lain sampai tidak tahu kapan dan dia tidak bisa membayangkan kalau mereka akan hidup seperti itu terus-menerus. Rena berbalik dan pergi ke kamar