Share

3

Pemuda bernama lengkap Batara Selaksa itu segera melesat turun dari mobil yang dikendarainya, memutar bola mata malas kala banyak yang memandang heran dan penasaran ke arahnya. Ck! Sudah biasa, apalagi wajah asing yang memang tampan. Batara bukan kepedean tapi itu nyata, ia memang tampan.

Pemuda yang kerap disapa Tara itu segera pergi menuju ruang kepala sekolah, risih juga lama-lama ditatap terus-menerus. Kemarin ia sudah berkeliling sekalian mengantar berkasnya, harusnya tidak susah untuk menemukannya lagi.

Senyum dengan mata menyipit membentuk bulan sabit terbit di bibirnya, akhiranya ketemu juga, ia sudah berniat meminta bantuan salah satu dari mereka kalau tidak juga menemukannya. Barata segera mengetuk pintu di depannya, tak lama ia bisa mendengar sahutan dari dalam.

"Permisi Pak, saya Batara, murid baru yang kemarin mengantar berkas ke sini," ucap Batara ketika sampai di depan meja kepala sekolah. Basa-basi seperti ini membosankan sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi.

"Oh, iya, tunggu sebentar, saya panggilkan guru yang akan mengantar kamu." Si kepala sekolah segera menelpon, entah kemana Batara tak ingin tahu.

Tak berselang lama datang seorang guru perempuan berumur sekitar 30-an. Wajahnya sedikit jutek dengan alis hitam yang kontras sekali.

"Duh, nih guru kagak punya kaca apa yak. Dandan kok aneh banget," cerca Batara dalam hati, mana berani ia bicara langsung, yang ada bisa kena masalah di hari pertama masuk.

"Nak Batara silakan ikut Bu Santi, beliau yang mengajar di kelas kamu hari ini."

Batara mengangguk, berpamitan sebentar lalu segera beranjak pergi, mengikuti guru perempuan yang ia ketahui bernama bu Santi itu.

Mereka tiba di sebuah kelas, XII- IPA 2. Bu Santi mengetuk pintu sebentar sebelum masuk ke dalam. Batara pikir mereka tidak seburuk itu, meski tampilan mereka tidak sekeren temannya dulu. Ia mengedarkan pandangannya mengamati seluruh isi kelas, kesan pertama yang di dapat adalah kelas ini tidak begitu buruk. Lumayan lah, belum tahu kalau nanti.

"Baik anak-anak, Sebelum pelajaran di mulai, Ibu ingin mengenalkan seseorang pada kalian." Bu Santi menatap Batara, masih dengan wajah judesnya, Batara yakin memang seperti itu kondisi wajahnya, tidak bisa berubah. Terlalu judes. Kasihan suaminya. 

"Silakan, perkenalkan diri kamu."

Batara mengedarkan pandangannya menatap sekitar, lalu pandangannya jatuh pada perempuan di bangku sebelah kiri beberapa detik sebelum ia kembali fokus. "Namaku Batara Selaksa, kalian bisa panggil Tara, Dulu pernah sekolah di SMA Persada Lima."

"Untuk yang punya pertanyaan silahkan nanti japri saja. Batara kamu bisa duduk disamping Harsa, Harsa bisa angkat tangan. Kita akan memulai pelajaran." Beberapa siswi yang mendengar ucapan bu Santi menggerutu, Barata tersenyum sedikit karenanya.

Saat Batara sudah duduk, ia kembali memandang gadis yang tadi menarik perhatiannya. Gadis itu, dia tidak cantik, tidak jelek juga. Dia terlihat seperti gadis biasa yang entah kenapa berbeda, seakan gadis itu punya sesuatu yang membuat seseorang menoleh kedua kali. Mungkin ini juga alasan kenapa Batara harus di sini. Bahkan Batara tak mendengarkan ocehan Harsa, yang terdengar seperti gumaman ditelinganya.

¤¤¤

Jam istirahat berbunyi, meski kemarin ia sudah berkeliling, bukan berarti ia sudah hafal segala tempat. Harsa mengajaknya ke kantin, setelah memikirkannya beberapa saat, Batara memilih menerima ajakan Harsa, sekalian mengenal tempat tempat yang lain dan mengakrabkan diri. Mereka pergi bersama seorang lagi yang namanya Tirta. Cowok tampan yang sangat sempurna di mata Batara, rahang kuat, hidung mancung bagai perosotan, serta mata tajam yang mengintimindasi. Jika diibaratkan dia bagai anime yang keluar dari komik. Oke cukup, Batara masih normal, ia hanya kagum saja.

Awalnya Batara pikir, Harsa pendiam ternyata cowok itu lebih cerewet dari dugaanya, sebaliknya malah Tirta yang pendiam, dia hanya menyahut beberapa kali ketika ditanya Harsa, yang aneh bagi Batara adalah, kenapa Tirta bisa betah berteman dengan Harsa.

"Sa, ikut duduk di sini ya. Yang lain penuh," ucap seorang gadis berkulit kuning langsat.

Harsa mengangkat jempol mengiyakan. "Duduk aja, masih muat kok."

Kini mereka ketambahan anggota, dua orang siswi teman sekelas mereka ikut bergabung. Salah satunya adalah gadis yang tadi Batara tatap. Setelah ditinggal temannya, yang namanya Maharani pergi memesan makanan, gadis itu terlihat tak nyaman, beberapa kali bergerak gelisah.

"Tari, udah kenalan sama Tara belum. Duh, nama aja cocok banget. Jangan-jangan jodoh." Saat Harsa mengajaknya bicara, terlihat sekali bagaimana kikuknya gadis itu. Seakan sudah lama sekali dia tidak berbicara.

"Tadi kan udah."

Tak tega melihat gadis itu terus dipaksa, akhirnya Betara memilih memulai perkenalan, ia mengulurkan tangan ke arah gadis itu. Dia terdiam sesaat, sebelum dengan ragu-ragu menyambut uluran tangan Batara.

"Batara."

"Bestari." Setelah itu jabatan tangan mereka terlepas. Singkat, padat, dan jelas. Perkenalan itu bahkan lebih cepat daripada saat dikelas tadi. 

Well, itu sudah lebih dari cukup, kala melihat gelagat gadis itu yang tidak senang. Dan saat akhiranya ia tahu namanya, Batara yakin, ia ada di jalan yang benar. Bestari, nama itu memang secantik orangnya.

Usai makan di kantin, mereka melanjutkan dengan berkeliling sekolah, masih ada beberapa menit sebelum jam masuk. Batara suka sekolah ini, dan kemungkinan akan betah di sini.

Saat mereka kembali ke kelas, Batara melihat Bestari seperti menulis sesuatu di buku seperti buku diary, ia tersenyum geli tak menyangka di zaman modern masih ada yang memilih buku sebagai media curhat, bahkan di saat yang lain berlomba-lomba curhat di media sosial.

Bestari dan temannya tadi terlihat mengobrol serius, sebelum temannya itu fokus ke ponselnya. Batara masih diam mengawasi, sampai ia sedikit menyipitkan matanya saat melihat Bestari menangis, lalu tiba-tiba gadis itu berlari pergi keluar kelas. Maka secepat itu pula, Batara bangkit berdiri berniat mengikutinya.

"Weh, mau kemana?" tanya Harsa.

"Toilet bentar," jawab Batara singkat. Ia segera pergi mengikuti arah Bestari berjalan. Hingga terhenti di depan toilet perempuan, tidak mungkin ia masuk. Yang ada dia dituduh berbuat mesum nanti.

Batara menghela napas pasrah, dengan lunglai ia kembali.

"Kok cepet?"

"Hm." Bahkan untuk sekadar menyahuti pertanyaan Harsa saja Betara malas, ia lebih memilih menatap ke arah pintu masuk menunggu kedatangan Bestari.

Lama sekali Bestari tak muncul juga, Batara khawatir. Ia takut gadis itu kenapa-kenapa. Ia tak tahu kenapa bisa begini, apalagi di saat pertama kali mereka berjumpa, biarkan ini Batara pikir nanti, yang harus ia lakukan sekarang adalah menyusulnya. Tapi baru ia akan berdiri, Bestari terlihat masuk dengan wajah sembab dan hidung memerah. Ia bisa melihat khawatinya tekan Bestari. Meski tak bisa mendengar apa yang Bestari dan temannya bicarakan, tapi sepertinya mereka membahas soal Bestari yang menangis. Ada perasaan sesak melihat Bestari seperti itu.

"Ngelihat siapa sih, segitunya." Harsa mengikuti arah pandang Batara, dia mangguk-mangguk mengerti  saat tahu jawabannya.

"Lo suka sama Tari." Itu bukan pertanyaan itu lebih ke pernyataan.

Batara diam tak menjawab, ia rasa itu bukan urusan Harsa, lagian sepertinya ini bukan tentang ia menyukai gadis itu, ini soal lainnya. Batara masih menatap Bestari, membuat Harsa berdecak sebal.

"Mending jangan deh," Ucapan Harsa berhasil mengalihkan pandangan Batara. Ia mengangkat satu alisnya heran.

"Kenapa?"

"Dia itu gak suka cowok." Batara mengerutkan wajahnya tidak suka.

"Kata siapa? Gue lihat dia biasa aja, tuh."

"Gak tahu sih, siapa yang nyebar berita ini, tapi yang pasti dulu katanya ada cowok yang nembak dia, tapi ditolak mentah-mentah, eh sejak saat itu gosip kalau dia gak suka cowok mulai beredar." Harsa menjeda ucapannya, berusaha menggali lebih dalam ingatannya.

"Kalau kata gue sih, bukan gak suka cowok. Tapi dia cuma gak nyaman aja, soalnya selama tiga tahun sekelas sama dia, Tari itu orangnya gak kayak yang di omongin mereka. Dia masih mau kok ngomong sama cowok, buktinya dia masih mau ngomong sama gue, ya cuma itu, emang dia jaga jarak, makanya banyak yang bilang dia gak suka cowok," terang Harsa panjang.

Kalau masalah Bestari yang mau bicara sama Harsa, sepertinya itu memang Harsa yang terlalu cerewet sebagai cowok. Tapi setidaknya ia punya informasi baru sekarang.

"Thanks infonya."

Siapapun yang menyebarkan berita itu sepertinya dia kehilangan akal, mungkin dia memang tidak suka dengan Bestari makanya menyebarkan gosip tidak bermutu.

Batara akan mencari tahu asal gosip ini, dan ia akan membungkam langsung mulutnya. Kalau perlu si penyebar gosip harus speak up langsung bahwa berita itu hoax. Karena Batara yakin, Bestari gadis normal, dia tidak menyimpang. Ia bahkan tahu punya alasan kuat mengenai itu

"Oh, iya. Kalau lo beneran suka sama dia, gue dukung kok." Batara menatap Harsa tidak percaya, tadi dia sendiri yang bilang jangan, kenapa sekarang berubah.

"Tadi lo bilang jangan."

"Gue berubah pikiran, siapa tahu dengan ini bisa buktiin kalo Tari normal, dan gosip itu terbukti salah."

Benar juga kenapa Batara tidak kepikiran ke sana, itu ide yang cemerlang.

"Kalau butuh bantuan, gue siap bantu. Kapanpun lo butuh, bilang aja."

"Sekali lagi, makasih." Hari ini, di hari pertamanya sekolah, cukup banyak informasi yang Batara peroleh. Dan ini mengejutkan. Sangat mengejutkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status