Share

6. Mom and Dad

Menara Oracle memiliki jalan masuk terbuka tanpa pagar pembatas. Andy melewati halaman berlantai batu alam berwarna kelabu dan bersamanya terlihat sejumlah karyawan yang datang dengan otopet listrik. Mereka yang energik dan tinggal dalam radius satu kilometer dari kantor, umumnya lebih memilih jalan di permukaan daripada streamline, apalagi bagi mereka yang berjiwa muda, mengendarai otopet listrik memberi kesenangan tersendiri. 

Di lahan parkir basement, Andy bertemu sekelompok karyawan yang tampak saling akrab sedang memarkir otopet mereka. Dia mengenali salah satunya, yaitu seorang perempuan petugas kebersihan di departemennya. Petugas kebersihan memang datang pagi-pagi. 

Mereka semua profesional. Di Menara Oracle tidak ada pekerjaan yang dipandang sebagai pekerjaan tenaga kasar. Petugas kebersihan seperti perempuan itu telah mengikuti pelatihan minimal selama satu bulan seperti dirinya sebelum resmi mendapatkan kartu identitas warga Betaverse. Di kartu itu status mereka tercantum sebagai warga profesional.

Dari logat yang dia tangkap, tampaknya mereka berasal dari Jawa Tengah. Empat tahun kuliah di Semarang tentu dia paham hal itu. Ada keinginan untuk bergabung, berbasa-basi dan bertanya tentang kabar keluarga mereka di Jawa. 

Masalahnya, dia bukan seorang ekstrovert, tidak mudah baginya berbasa-basi dengan orang asing tanpa konteks, tanpa sebab akibat. Menurutnya, itu adalah salah satu penyebab dia tidak mudah mendapatkan pacar.

Bahkan, satu-satunya teman di luar lingkaran rekan kerja di Divisi Perencanaan adalah Pak Bob. Petugas keamanan itu tanpa ragu menginterogasinya di lobi kantor pada hari pertama masuk kerja dengan alasan belum pernah melihat dia di Departemen Tata Kota. Lelaki itu mengaku hafal setiap wajah di departemen itu yang jumlah personelnya mencapai seratusan orang. Dia bahkan bisa mengambil kesimpulan bahwa dirinya berasal dari Jakarta dan pergi ke kantor itu mengendarai sepeda. Dia tidak sekadar melihat tapi mengamati, katanya. Sebagai penggemar kultur pop pramilenium Andy tahu omongan satpam itu sangat mirip ungkapan dari Sherlock Holmes. Belakangan setelah akrab, Pak Bob heran ketika tahu bahwa saat itu Andy merasa diinterogasi. Alih-alih, lelaki unik itu mengatakan bahwa seingatnya saat itu dia hanya sedang berbasa-basi.

Akhirnya, tanpa disengaja Andy bergabung juga dengan mereka di dalam lift. Sebelumnya dia memilih menunggu lift yang berbeda, ingin menyendiri demi menyadari bahwa kaus abu-abunya lembap karena keringat. Namun, rombongan tiga laki-laki dan seorang perempuan itu datang menahan pintu liftnya yang tiba lebih cepat. Mereka tampak sedang mengejar waktu. 

Lima orang dalam tabung yang memelesat naik itu tak bersuara. Sepertinya semuanya memiliki adab kesopanan yang sama. Tiga orang laki-laki tampak berusia beberapa tahun di atasnya. Mereka mengenakan kemeja bernuansa biru tua dengan bayangan motif batik yang baru akan terlihat jika diperhatikan dari dekat. 

Demikian pula yang perempuan, hanya warna kainnya merah marun dengan model kerah lebih lebar. Andy yakin yang mereka kenakan bukan sebuah seragam, melainkan pakaian kerja biasa. Akan tetapi, bahan kain unik yang sama tersebut cukup menarik perhatiannya. Menurutnya, pakaian seperti itu terkesan mahal, sebuah kamuflase fashion yang secara samar memasukkan unsur tradisional bermotif rumit ke dalam mode zaman sekarang yang sederhana. 

Dia tidak begitu paham tentang batik, tetapi dia tahu beberapa wilayah memiliki ciri khas batiknya masing-masing. Barangkali, keempat mereka berasal dari daerah yang sama dan telah nyaman serta terbiasa mengenakan pakaian seperti itu.   

Satu persatu mereka keluar di lantai yang dituju hingga menyisakan Andy dan perempuan yang dia kenali wajahnya. Mereka berdua sama-sama hendak ke lantai 50. Berdiri berdampingan, tinggi mereka hampir sama, Andy yang memiliki tinggi 177 cm paling-paling hanya dua-tiga senti lebih tinggi dari dia. Menurutnya, perempuan di sampingnya termasuk sangat jangkung untuk ukuran perempuan Jawa. Bahkan, teman-teman prianya tadi pun kalah tinggi. 

Dari posturnya dia mengira si perempuan suka berolahraga. Renang, barangkali. Selain itu dia juga pantas menjadi pemain voli atau basket wanita. Andy juga tak menampik jika di Jakarta, perempuan itu bisa saja ditawari menjadi seorang model. Garis wajahnya yang tegas sangat mendukung. Andy tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia memikirkan hal itu. 

Hingga separuh perjalanan di lift, Andy belum mampu untuk sekadar menyapa. Dari pengalaman tinggal di Semarang, dia merasa sikapnya itu kurang terpuji. Dirinya akan terkesan angkuh, sesuatu yang bertolak belakang dengan sifat aslinya. 

Kemarin-kemarin dia hanya bertemu sepintas lewat dengannya. Saat itu pun si perempuan sedang dalam seragam biru petugas kebersihan dan sibuk dengan pekerjaannya. Sekarang mereka bertemu berdua di dalam lift, masih dalam kostum dan suasana santai. Hanya saling bertukar senyum, rasanya sama sekali tidak cukup. 

Dia memeriksa android di pergelangan tangannya. Pukul setengah delapan. Kali ini dia tiba di kantor lebih cepat dari biasanya.

"Biasa datang ke kantor jam segini, Mbak?"

"Eh, iya, Pak! Malah biasanya lebih awal," jawab perempuan itu sambil menebar senyum.

"Saya malah … saya biasanya keluar lift pukul delapan kurang lima belas. Hari ini entah kenapa saya kecepetan."

Perempuan itu hanya tersenyum atau malah seperti menahan tawa.

"Mbak asli mana?"

"Temanggung, Pak."

"Saya dulu kuliah di Semarang. Baru lulus tahun lalu dan sudah dua minggu kerja di sini. Tapi, di sini saya merasa sudah tua."

"Itu bukan soal umur tapi panggilan penghormatan … Mas!" balasnya tegas dengan tetap tersenyum.

"Ya, saya tahu. Tapi pas dengar Mbak-nya ngobrol sama teman-temannya di bawah, saya langsung merasa lebih enak memanggil Mbak."

"Tidak apa, kok, Mas!"

"Itu bukan berarti saya menganggap Mbak lebih tua, lo!"

Perempuan itu tertawa kecil bersamaan dengan denting pintu lift terbuka. Dia lebih dulu melangkah dengan sigap sebelum berbalik menghadap Andy, membuat rambutnya yang diikat ekor kuda yang tak seberapa panjang itu bergoyang.

"Memangnya menurut Anda berapa umur saya?" tanya perempuan itu.

"Tunggu, …  dua puluh tiga?"

"Tidak, Anda salah. Saya memang lebih tua dari Bapak. Minggu depan umur saya dua puluh enam tahun."

"Bagaimana Mbak tahu? Memangnya Mbak pikir berapa umur saya?"

"Dua puluh tiga!" jawabnya, ringan.

"Oh, ya, tadi saya ada bilang kalau saya baru lulus tahun lalu. Umumnya, siswa SMA lulus pada umur delapan belas, maka normalnya dia akan lulus kuliah pada usia dua puluh dua tahun." Andy mencoba menguraikan jawaban perempuan itu sembari berjalan bersama menuju ruang ganti di ujung lorong. "Perhitungan Mbak sangat akurat!"

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. 

"Tidak bisa begitu juga perhitungannya. Bukankah banyak mahasiswa yang terlambat masuk kuliah atau telat menyelesaikan skripsi?"

"Ya, sih! Jadi, dari mana Mbak tahu?"

"Batas usia minimal diterima sebagai warga profesional Betaverse adalah dua puluh tiga tahun. Jika Anda menunggu setahun setelah lulus untuk pindah dan bekerja di sini, itu artinya … Anda telah terpaksa menunggu agar dapat memenuhi persyaratan umur. Dan, tidak ada fresh graduate yang bisa diterima kecuali dia telah menjalin hubungan dengan HRD sejak semester akhir. Mereka telah mengincar Anda. Sebaliknya, Anda pun telah sadar bahwa pekerjaan pertama Anda di Oracle."

"Waw!" Andy tidak dapat berkata-kata.

Keduanya berhenti di depan pintu ruang ganti. Pintu pertama adalah ruang ganti wanita, baru di sebelahnya ruang ganti pria. Pengguna ruang ganti pria bisa dihitung dengan jari, yakni mereka yang hobi bersepeda, salah satunya kepala Divisi Perencanaan. Bosnya itu biasa datang sebelum pukul sembilan. Setiap hari Andy-lah orang pertama yang menggunakan ruang ganti yang dilengkapi bilik-bilik shower.

"Baiklah, Pak. Saya duluan!"

"Tunggu!"

Perempuan itu kembali memutar badannya tetapi dengan tatapan heran.

"Mbak kenapa kembali memanggil saya Bapak? Rasanya terlalu formal."

"Karena kita tidak lagi sedang berdua di dalam lift. Maaf, Pak, saya terbiasa dengan kode etik kerja. Lagi pula itu tidak masalah, bukan?"

"Baiklah, Bu!"

Kali ini perempuan itu tersenyum hambar. Lalu dia berkata, "Semua orang di kantor ini memanggil saya Mbak. Itu panggilan formal untuk karyawan perempuan yang lebih muda dari Ibu atau yang belum menikah. Itu seperti panggilan Miss untuk ekspatriat perempuan di sini."

"Dan semua karyawan laki-laki dipanggil Bapak atau Sir. Oh, maklumlah, saya masih baru."

"Ya, tidak apa!—Maaf, Pak! Saya harus segera bertugas."

"Baiklah, kalau begitu. Tapi, satu hal lagi. Saya sungguh-sungguh mau menanyakan hal ini. Jadi, please, tolong dijawab!"

Perempuan bertubuh bugar itu hampir terperanjat mendengar kata-kata Andy. Kedua tangan si perempuan tampak semakin erat menggenggam tali tas ranselnya. Percakapan mereka yang dimulai dengan agak canggung itu seolah akan berakhir lebih canggung lagi.

"Kamu tentu punya keluarga di Temanggung. Bagaimana kabar mereka? Apa semua baik-baik saja?"

"Maksud Bapak?"

"Ada isu lockdown seluruh Jawa di berita pagi ini. Memang belum terjadi, tapi apakah isu itu berasal dari situasi yang memburuk di sana, aku ingin tahu. Keluargaku di Jakarta. Ayah, ibu dan seorang adik perempuan. Aku belum bisa menghubungi mereka. Jadi? Bagaimana kabar di Temanggung?"

"Saya juga belum menghubungi keluarga saya di Temanggung. Tapi, sejauh ini di media sosial semua baik-baik saja."

"Mereka telah memperbarui media sosial mereka?"

"Begitulah, saya rasa!"

Dari arah lorong muncul seorang perempuan berbadan sintal dengan pakaian resmi tertutup rapat. Blazer dan celana panjang berwarna gelap membuat ujung atas blus lilanya terlihat mencolok. Dia telah berdiri di depan pintu kaca kantor yang terbuka otomatis sebelum kemudian berubah pikiran. Bu Asti, sekretaris kantor, berjalan menghampiri mereka.

"Wenny, kamu baru datang?"

"Ya, Bu! Saya terlambat. Tapi Said sudah datang setengah jam yang lalu. Mungkin dia sedang berada di dalam kantor."

"Oke. Cepatlah bersalinnya! Akan ada rapat umum seluruh departemen siang nanti. Kita harus mempersiapkan ruangan."

"Selamat pagi, Pak Andy!" sapa Bu Asti ramah, lalu berbalik pergi.

Hampir bersamaan terdengar dering panggilan telepon bernada digital yang lembut dari gelang androidnya. Andy buru-buru memasang kembali airphone-nya, sambil mengusap layar untuk menerima panggilan.

"Halo!"

Di ujung telepon terdengar isakan tangis tertahan.

"Dila, who's this? Is it Shellyn? Halo, Shellyn!"

"Shellyn, please, calm down!" ujar Dila.

Wenny telah memutar gagang pintu ruang ganti tetapi mengurungkan langkahnya untuk masuk. Perempuan itu terdorong untuk menyaksikan ekspresi emosional Andy. Walaupun hanya bisa mendengar suara Andy, dia dapat menduga bahwa Shellyn adalah adik perempuannya yang berada di Jakarta, sedangkan Dila, sangat mungkin asisten rumah tangga mereka.

Setelah beberapa saat yang menegangkan demi hanya mendengar isakan tersebut, akhirnya sepatah kata keluar dari mulut Shellyn.

"Andy!" Jeritan lirih Shellyn itu terdengar bergetar.

"Shellyn, ceritakan! Apa yang terjadi? Kamu enggak apa-apa?"

"Mom and Dad!Mom and Dad!" Jeritan lirih Shellyn berubah menjadi lengkingan kesedihan.

Kepala Andy mendadak kosong. Dia tidak siap untuk membayangkan hal buruk yang dapat terjadi pada kedua orang tuanya. Lelaki jangkung itu memeras rambut pendek lemasnya sambil terus menunduk. Kali ini dia hanya ingin menunggu kelanjutan kata-kata dari mulut Shellyn.

"Mom and Dad!" Nada suara Shellyn meninggi, campuran amarah dan ketakutan.

"Katakan saja, Shellyn! Aku di sini mendengar kamu."

"Mom and Dad … sudah berubah. Mom and Dad berubah … jadi zombi!" jerit Shellyn.

Omongan Shellyn selanjutnya semakin tidak jelas akibat terguncang-guncang oleh luapan emosi. Gadis remaja 15 tahun itu terus menangis tersedu-sedu. Dia menyaksikan sendiri pada Senin pagi yang biasanya normal, ayah ibunya berubah menjadi zombi, makhluk yang sama seperti cerita yang telah tersebar beberapa hari ini di antara teman-teman sekolahnya.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status