Pemuda yang lengannya diringkus itu tidak terlihat melawan. Namun, dia tidak pula mengalah. "Ayo pulang!" seru si pengendara mobil. Kemudian lelaki itu beralih menghardik para pemuda yang lain, “Kalian para gabutan, pulang sana!” Masih tidak ada sedikit pun suara dari mulut orang-orang aneh tersebut. Lelaki itu mencoba menyeret tubuh terbungkus mantel merah bertudung ke kursi penumpang. Akan tetapi, alih-alih berhasil, malah dia yang terempas ke kap mobil. Lehernya tampak dicengkam tangan kurus si pemuda. Sejurus kemudian kepala bertudung merah itu bergerak mendekat ke leher lelaki tersebut. Mukanya terhalang tudung, tidak jelas yang hendak dia perbuat. Akan tetapi, gerak meronta si lelaki terkesan seolah sedang berjuang melepaskan diri dari ancaman gigitan penyerangnya. Pada saat genting si pengendara mobil berhasil menyergap serangan itu dengan tangannya yang terlihat kepayahan, sementara, suaranya terdengar parau dan tersedak ketika mencoba berteriak. Ningsih yang ketakutan,
Setelah memberi instruksi kepada Said untuk persiapan ruang rapat, Bu Asti mendatangi ruang kerja Divisi Perencanaan. Di situ dia menggantikan Andy sementara untuk menjaga komunikasi dengan Shellyn. Salah satu tugasnya sebagai sekretaris kantor adalah membantu karyawan yang sedang bermasalah. "Aku akan kembali, sepuluh menit. Aku harus mandi. Di sini ada Bu Asti, teman kerjaku. Bu Asti, ini Shellyn!" Andy menggeser sedikit tablet lipat kantornya, memperkenalkan Bu Asti kepada Shellyn. "Hai, Shellyn!" Bu Asti tersenyum lebar menatap layar tipis 17 inci. "Terima kasih sebelumnya, Bu!" ucap Andy setengah berbisik. Bu Asti memalingkan kepalanya. "Sudah cepat sana, atau saya terpaksa mengisi ulang pengharum ruangan!" "O, ya, semua sudah terkendali. Kami sudah menghubungi rumah sakit. Shellyn tinggal menunggu petugas medis datang. Dia hanya perlu ditemani agar tidak panik," cecar Andy sambil meninggalkan ruang kerjanya. Bu Asti mengangguk dan kembali menatap Shellyn di layar. "Ngomon
Bu Asti masih terkesima melihat reaksi Andy. Dari pintu muncul Wenny dengan seperangkat alat kebersihan yang dibawa oleh troli AI yang membuntutinya dari belakang. Biasanya pekerjaan Wenny di seluruh ruangan seksi Divisi Perencanaan telah rampung sebelum jam delapan. "Selamat pagi semua!" sapa Wenny, formal. Perempuan bertubuh jangkung tersebut menurunkan robot pembersih lantai berupa benda kotak ergonomis selebar timbangan badan ke lantai bermaterial kayu parket. Seksi kantor Divisi Perencanaan sendiri berbentuk memanjang dan memiliki sebuah koridor dengan ruang-ruang kerja terbuka. Luas masing-masing studio itu sembilan meter persegi yang disekat-sekat oleh dinding. "Tidak ada." Dila menjawab pertanyaan Andy. “Aku rasa peristiwa di pinggir jalan semacam itu bukan sebuah berita sebelum dilaporkan ke polisi.” "Tidak ada? Sama sekali?" "Tetapi, ada penjelasan pakar yang berkaitan dengan cerita Shellyn." "Oh, kamu mengikuti video call Shellyn? Aku lupa, tentu saja!" "Please, deh, A
Lantunan ayat Qur'an Jumat siang itu datang dari masjid di samping rumah singgah. Babah memarkir gerobaknya di luar pagar di sudut dekat tong sampah. Ningsih telah masuk ke dalam, sementara, Babah mengaso di bangku kecil di bawah pohon ceri tempat anak-anak biasa bermain. Babah belum pergi sebab hari itu dia mempunyai janji bertemu dengan Bang Amir. Rumah singgah bagi anak-anak telantar itu menyediakan ruang belajar dengan barisan meja kursi dari kayu. Ningsih selalu memilih meja di pojok dekat pintu. Ia akan duduk diam di situ memperhatikan guru yang mengajar dengan papan putih dan spidol. Hari itu yang mengajar mereka, seorang guru baru bernama Evi. Sepertinya perempuan berhijab itu seorang mahasiswi. Dia masih muda, mungkin sepantaran dengan Bang Amir. Jam pertama, Kak Evi mengajar Geografi. Dia bertanya kepada murid-murid tentang Indonesia. Para anak laki-laki dengan lantang meneriakkan jawaban yang memang mudah. Mereka rata-rata berumur 12 tahun, masih berwajah kanak-kanak teta
Babah bangkit dari duduknya, meregangkan badan. Dia siap kembali berangkat. Masih ada yang mengganjal di benaknya seminggu ini. Babah sedang mencari sebuah benda penting untuk mobil bekas yang sedang ditukanginya di ladang mobil. Dia harus kembali berkeliling dan berharap di Pasar Besi akan menemukan benda tersebut. Pasar Besi adalah tempat jual beli suku cadang bekas pelbagai jenis mesin. “Kamu sudah akan pergi, Pak?” tanya Bang Amir. Anak muda itu berdiri menjulurkan tangannya. “Ya, eh, maaf, tanganku kotor!” Babah hendak menolak menyalami tetapi Bang Amir tetap saja menjabat tangan kasarnya. “Menemukan banyak barang rongsok pagi ini?” “Hanya beberapa kardus … ditambah panci aluminium rusak pemberian orang.” "Aku pernah berpikir coba seandainya Bapak menemukan satu tas penuh koin emas di jalan." "Kalau seperti itu … tak semudah membayangkannya. Aku hanya mengambil yang telah dibuang orang. Dan, hanya orang tidak waras yang bersedia membuang koin emas satu tas." Babah tersenyum
Kendaraan bersayap itu mendarat di landasan kecil di dekat puncak gedung. Profesor Munir keluar dari kursi belakang kabin mobil jet dan disambut seorang petugas keamanan bersetelan hitam yang dengan sigap menyiapkan tangga untuk turun. Satpam itu juga memberi tahu pengemudi mobil jet untuk kembali terbang dan menyarankan memarkir kendaraannya di lahan garasi di barat daya pulau. Hari itu ruang parkir di landasan tersebut akan dipakai oleh mobil jet petinggi Oracle. Mesin mobil jet yang baru datang itu kembali menderu. Ia terangkat vertikal ke udara, melipat kaki-kaki pendaratnya, sebelum kemudian melayang dengan halus di langit kota. Dari jauh ia tampak seperti layang-layang hitam segitiga yang pada satu momen melesat kencang serta bermanuver setengah lingkaran. Di ambang pintu kaca otomatis, Profesor Munir melepas kacamata mataharinya. Pada usia 55 tahun, lelaki setinggi 165 cm itu masih bugar. Pandangan matanya tajam, tetapi terlihat tenang. Ini bukan pertama kalinya dia datang ke
Andy tengah menyambut paramedis yang tiba di rumah orang tuanya ketika menerima telepon dari Bu Asti. Adiknya, Shellyn, keluar dari kamarnya untuk membukakan pintu sambil menggunakan head set berkamera. Tiga petugas medis itu berjalan mengikuti Shellyn menuju ruang duduk lalu ke dapur. Itu adalah pertama kalinya Andy melihat kondisi Mom. Ibunya berdiri di sisi jendela kaca, menghadap ke luar. Kaku, tak bergerak, seperti manekin. Tidak ada respons dari ibunya tatkala salah seorang petugas medis menyapanya. "Mom, Mom, please, Mom!" seru Shellyn yang secara perlahan datang mendekat. Shellyn merengkuh tangan ibunya. Mom hanya menatap lurus ke depan seakan tidak merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Andy tak dapat menyangkal bahwa ekspresi ibunya terlihat dingin, sedingin zombi. Adiknya lalu mengguncang-guncangkan tangan sang ibu, berharap dia menjadi sadar. Gadis itu tak lagi takut karena ada orang lain yang hadir untuk membantunya, bahkan suaranya bertambah kencang mengulang
Vivian yang anggun berdiri tegak dengan jemari kedua tangannya terjalin di depan badan. Sikapnya tenang dan terjaga seperti seorang ratu dalam balutan pakaian kantor. Cukup lama Vivian menatap sang profesor, seakan sedang membaca karakter beliau.Asti memahami bahwa ada makna tertentu dari diamnya seorang elite seperti Bu Vivian. Mirip adat keluarga mantan mertuanya yang keturunan ningrat, para pemimpin puncak Oracle enggan mengungkapkan sesuatu secara eksplisit. Sebagai sekretaris yang kadang kala berhadapan dengan mereka, dia dituntut untuk dapat membaca suasana. Dia harus memperhatikan ekspresi mikro, mulai dari kedut bibir, alis mata, hingga gerak tangan, termasuk juga sikap membisu para petinggi itu. Maka, setelah kecanggungan yang diciptakan Profesor Munir, Asti berupaya mencari kata-kata yang pas untuk diucapkan agar suasana menjadi cair.Namun, alih-alih, Bu Vivian lebih dahulu membuka suara. "Profesor, silakan menunggu di guest room! Anda dapat bersantai di sana setelah perja