“Bu Arina!”
Arina menoleh saat namanya disebut. Wanita itu baru saja hendak sedikit bersyukur saat mengetahui bahwa acara hari ini belum mulai karena katanya masih harus menunggu rektor yang masih menyambut tamu penting di kantornya. Tumben sekali Arina bersyukur atas adanya keterlambatan semacam ini. Biasanya dia yang akan paling sebal kalau acara tidak berjalan sesuai rundown.
Tapi belum sempat benar-benar bersyukur, Arina harus kembali menarik wajahnya untuk tersenyum saat menemukan Wakil Ketua Prodi memanggilnya dengan wajah ketat.
“Bu Arina baru sampai? Saya cari dari tadi nggak ketemu,” ujarnya jutek.
Arina menunduk, “Iya bu, maaf. Ada sedikit hal yang harus saya urus tadi,” bohongnya.
Wanita itu tahu bagaimana menyeramkannya Wakil Ketua Prodi satu ini.
“Bu, tolong hari ini gantikan Bu Widya untuk menjadi moderator acara, ya! Bu Widya mendadak harus ikut acara di fakultas sebelah,” ujar Bu Indira, si Wakil Ketua Prodi yang dia pikir akan marah-marah padanya namun ternyata justru memberinya sebuah tugas dadakan.
Alis Arina mengkerut, “Maaf, kok bisa begitu, bu? Kan beliau sudah deal dari jauh-jauh hari?”
Bu Indira nampaknya juga menyimpan kekesalan yang sama. Dia hanya bisa sedikit mendekat ke arah Arina dan berbisik, “Biasa, perintah Pak Rektor. Kita bisa apa?”
Arina bahkan sepertinya tak punya waktu untuk mengeluh sekarang sebab Bu Indira langsung memberikannya rundown dan naskah berisi daftar pertanyaan serta profil narasumber.
“Sudahlah, yang penting saya yakin ibu bisa menangani ini. Profile narsum sudah disediakan di slide, garis besar acara juga pasti ibu sudah paham. Paling pengembangannya sesuai jawaban narasumber nantinya, seperti biasa yah bu!” Tegas Bu Indira yang membuat Arina terpaksa menyembunyikan kekesalannya lagi.
Beginilah kalau jadi dosen muda. Apalagi kalau sudah diketahui bisa melakukan sesuatu, jadi dia-dia saja yang terus diminta membantu atau bahkan memaklumi. Bukan masalah tidak mau membantu, tapi kenapa sih dia selalu kebagian job dadakan?
Hidup Arina dar der dor luar biasa. Semalam baru saja putus dan pagi ini harus mengemban tugas dadakan tanpa ada persiapan yang cukup sama sekali. Tapi life must go on, kan? Dia sendiri yang menciptakan citra professional diatas segalanya itu.
“Oh ya, itu narasumber terakhir juga sudah datang. Pak Rektor katanya sudah dalam perjalanan memasuki auditorium. Ibu langsung siap-siap saja di dekat meja MC, ya. Nanti naik panggung setelah MC sebut,” wanita paruh baya itu mendorong Arina untuk duduk di dekat MC dan acara tanpa ba bi bu segera dimulai.
Di tengah upayanya menyiapkan diri dalam waktu yang tak seberapa itu, Arina menelisik deretan narasumber yang akan dia sapa beberapa saat lagi. Memastikan nama-nama mereka sesuai dengan foto profil dan berupaya memahami setiap skrip dengan baik. Tepat saat dia kembali mendapati sepasang netra tajam disana yang tengah balik menatapnya.
Astaga! Bukankah dia pria yang Arina tabrak di depan Auditorium tadi? Jadi dia rupanya narasumber acara hari ini?
Pacuan jantung Arina mendadak jadi makin hebat. Satu karena belum selesai istirahat dari jalan cepat, dua karena mendapat tugas dadakan, dan ketiga karena dia harus sepanggung dengan orang yang bahkan belum memberikannya sebuah penerimaan dari maaf setelah Arina melakukan kesalahan tadi.
“Anda memang hobi menabrak, ya?”
“Maaf, bagaimana?”
Arina menahan kebingungan saat pria tinggi dengan mata tajam itu mengucapkan sebuah kalimat ambigu kepadanya. Alih-alih menerima permintaan maafnya atau bahkan memarahinya balik. Lelaki itu justru langsung berbalik badan berjalan menjauh darinya dengan ekspresi yang sama sekali tidak dapat Arina artikan.
Sekarang, bagaimana caranya Arina mencairkan suasana diantara mereka di panggung? Apakah pria itu akan mengusiknya dan membalas dendam nantinya?
“Kepada Moderator, Ibu Arina Nadlina, S.M., M.B.A, dipersilakan untuk naik ke atas panggung.”
Arina bahkan hampir tidak menyadari bahwa namanya telah disebut dan semua sorot mengarah kepadanya. Dia dengan cepat mengatur ekspresi dan menegakkan kembali tubuhnya lantas berjalan dengan professional keatas panggung dibarengi tepuk riuh dari hadirin. Bersamaan dengan senyumnya yang menambah kilat kepercayaan dirinya.
Arina memindai ruangan dengan baik, berupaya untuk sebaik mungkin memandu talkshow kali ini. Berusaha mencairkan suasana tanpa mengurangi profesionalitasnya sebagai seorang dosen. Membacakan setiap profil narasumber yang dia undang untuk turut duduk di atas panggung bersamanya. Empat kursi kosong disana terisi penuh menandakan ia telah mengundang seluruh narasumber dan akan segera memulai sesi talkshow yang sebenarnya.
Percakapan termasuk sesi tanya jawab berjalan selama kurang lebih lima puluh lima menit. Selama itu juga Arina harus mempertahankan senyumnya dan juga menahan diri dari kegaduhan dan rasa tak nyaman sebab dia sadar manusia paling muda dari empat narasumber disana sesekali masih memandangnya dengan tatapan tajam yang mungkin saja membakarnya.
Askara Danendra, seorang konsultan riset yang punya enam tahun pengalaman bekerja di McKinsey. Track recordnya juga luar biasa di usianya yang bahkan masih tergolong cukup muda. Sungguh seseorang yang sangat Arina hormati dari segi pengalamannya.
Sejauh yang Arina sadari, dia juga cukup peka bahwa hampir seisi ruangan yang juga didominasi oleh mahasiswa menahan nafas kagum tiap kali Askara bicara. Arina tidak heran sih. Selain pengalaman kerjanya yang luar biasa, kecakapan bicara yang mumpuni, juga visual Askara yang benar-benar breath taking. Dia tampan dan tinggi dengan suara dalam yang jelas saja membuat kaum hawa disana terpesona.
Percakapan semuanya berlangsung lancar dan tentu dia tidak perlu meragukan profesionalitas Askara Danendra. Syukurnya pria itu tidak akan mencecar atau bahkan mengusiknya selama sesi talkshow di panggung. Hanya saja, Arina merasakan ganjal di dalam hati sebab beberapa kali mata mereka bertemu dan Arina merasa seperti sedang dikuliti.
"Selanjutnya, kami mengundang moderator bersama Bapak Kaprodi untuk menyerahkan kenang-kenangan kepada para narasumber sebagai bentuk apresiasi atas sharing ilmu dan pengalaman yang sangat berharga pada hari ini. Setelah itu, kami juga mengajak seluruh narasumber, moderator, serta Ibu Kaprodi untuk berfoto bersama. Kami persilakan."
Acara hampir sampai di penghujung saat Arina harus turut mendampingi Kaprodi menyerahkan plakat cinderamata pada setiap narasumber. Giginya hampir kering saat mempertahankan senyum. Apalagi saat foto bersama dan Arina kebagian posisi tepat di sebelah Askara Danendra. Bahunya menempel dengan lengan Askara dan itu mengirimkan sengatan aneh yang membuat Arina harus susah payah menelan ludahnya.
Entah apa, tapi sepertinya setelah ini dia benar-benar harus minta maaf pada Askara sebab menabraknya tadi. Mungkin saja aura kekesalan Askara teradiasi dan membuatnya dihantui rasa bersalah sepanjang acara.
“Terima kasih, Bu Arina. Kinerja Anda luar biasa,” ucapnya dengan nada bangga. “Kerja sama dengan Askara Danendra bukan hal yang mudah, tapi Anda berhasil menanganinya dengan sangat baik. Apalagi pengalaman Anda selama mendampingi mereka dalam perhelatan internasional di Zurich—itu nilai tambah yang luar biasa, tidak hanya bagi institusi, tapi juga bagi mahasiswa kita.”Arina tersenyum tipis, mengucap terima kasih saat rektor mengapresiasinya di ruang rapat. Siang menjelang sore di hari kala pertemuan itu berlangsung untuk membahas beberapa rancangan giat kedepannya, termasuk magang.Beberapa dosen lain ikut mengangguk, ada yang mencatat, ada pula yang tersenyum ramah.Rektor melanjutkan, “Saya minta rekan-rekan untuk segera menindaklanjuti ini. Eksekusi pengumuman magang harus dimulai secepatnya. Kita ingin menjaring mahasiswa dengan kualifikasi terbaik untuk kesempatan ini.”Suasana rapat pun mencair. Beberapa dosen mulai berdiskusi ringan sambil merapikan catatan. Namun ketika Ari
Arina menatap buket bunga yang baru saja dikirimkan. Dengan hati-hati, ia menyibakkan plastik bening yang membungkus rangkaian itu, seolah ingin memahami maksud tersembunyi dari tiap kelopaknya. Buket itu terdiri dari mawar putih, lisianthus ungu, baby's breath, dan beberapa tangkai eucalyptus segar. Warnanya lembut, tidak mencolok, tapi jelas menyimpan makna.Dia duduk di bangkunya dengan pikiran yang belum sepenuhnya rapi dan jelas. Arina termenung sendirian di ruangannya sembari menatap dan bertanya-tanya. Mengapa Askara mengirimkan ini untuknya?Waktunya sedikit senggang, Arina mencoba mencari tahu makna tentang bunga dengan membuka browser di laptopnya. Wanita itu harus mengakui bahwa dirinya memang tak banyak tahu tentang bunga. Meskipun mungkin saja Askara tidak memiliki niat yang sama seperti yang dia pikirkan. Tetap saja, Arina hanya ingin tahu garis besar secara umumnya.Mawar putih katanya melambangkan ketulusan dan niat baik—mirip kesan pertama yang selalu ditampilkan Aska
Sepasang netra yang biasanya tergolong cukup besar itu nampak sedikit menyipit. Arina beberapa kali mengedipkan matanya untuk mengembalikan kesadarannya yang hampir belum kembali sepenuhnya. Kepalanya masih cukup berat dan segala macam jet lag masih menjadi kawannya. Maklum, Arina benar-benar baru sampai rumah pukul empat pagi tadi. Sempat tidur dua jam sampai akhirnya harus bersiap untuk berangkat ke kampus."Kamu bisa istirahat lebih banyak. Pak Rektor masih memberikan dispensasi untuk hari ini," ujar Askara ketika pria itu mengantar Arina ke unitnya tadi pagi.Tapi Arina dengan tegas menggeleng, mengatakan bahwa dia sudah meninggalkan cukup banyak tanggung jawab dan tidak bisa untuk bolong mengajar lagi hari ini. Sejujurnya, ada sedikit penyesalan dalam dirinya. Mengingat sekarang dia masih lelah sekali dan hampir terlihat seperti tak punya gurat kehidupan jadinya. Langkah Arina terhenti sejenak di koridor fakultas saat beberapa rekan dosen menyapanya dengan senyum dan tatapan pe
Selama tiga hari berada di Zurich, Arina menjalani rangkaian kegiatan dengan penuh semangat dan dedikasi. Kesempatan-kesempatan hebat untuk dapat terlibat berdiskusi lebih lanjut dengan delegasi asing. Hari-hari dipenuhi dengan kunjungan ke kantor-kantor mitra, workshop strategis, hingga sesi networking yang berlangsung bahkan hingga malam.Malam ketiga menjadi puncak dari seluruh agenda: pesta penggalangan dana eksklusif yang digelar di sebuah ballroom hotel mewah di tengah kota Zurich. Acara ini dihadiri para petinggi perusahaan multinasional, tokoh-tokoh keuangan Eropa, serta para klien strategis dari berbagai negara.Askara dan Arina mendapatkan undangan untuk menghadiri giat tersebut tentunya. Mereka dipandang sebagai kawula muda dari Asia yang cukup menarik perhatian. Beberapa klien sebelumnya mengutarakan bahwa mereka cukup puas dengan berbagai inovasi dan cara kerja keduanya. Dengan cepat perusahaan Askara semakin menguatkan namanya di kancah bisnis eksklusif disana.Tak tahu
Rona jingga tipis menyelinap di balik tirai jendela kamar hotel itu. Udara pagi yang sejuk menyapa, dan suara burung-burung kecil bersahutan dari kejauhan. Perlahan, Arina membuka matanya, membiarkan cahaya pagi menelusup ke dalam benaknya yang masih setengah sadar.Namun yang pertama kali terlintas bukanlah itinerary hari ini, melainkan suara Askara semalam. Seolah suara tersebut bersemayam semalaman dalam pikirnya dan membuat tidurnya menjadi benar-benar tidak nyenyak."Saya ingin mengenal kamu lebih jauh."Ucapan itu masih terngiang-ngiang dengan jelas, seolah baru saja diucapkan beberapa detik lalu. Arina menatap langit-langit sebentar, menghela napas pelan.“Mungkin dia cuma mabuk,” gumamnya pelan, mencoba meredam gejolak aneh yang menyelinap diam-diam di hatinya.Wajar saja, semalam mereka minum wine. Bisa saja, kan?Ia bangkit dari tempat tidur, menepis rasa gugup yang nyaris tak ia akui. Bagi Arina, logika adalah segalanya—dan kalimat Askara semalam tak seharusnya mengusik sep
Langit Zurich malam itu bertabur lampu kota yang temaram, memantulkan sinarnya di permukaan danau yang tenang. Seusai pertemuan dengan klien yang berjalan mulus, Arina dan Askara memutuskan makan malam di restoran Italia tak jauh dari pusat kota. Obrolan mereka mengalir santai, tak lagi kaku seperti saat pertama kali bertemu. Ada tawa ringan di sela percakapan, dan tatapan saling mengamati ketika sesekali diam mengisi jeda.“Saya nggak nyangka Pak Askara bisa secair ini di luar urusan kerja,” ucap Arina sambil menyeruput wine-nya.Askara tersenyum kecil, menyandarkan punggung ke kursi. “Saya juga nggak nyangka kamu bisa seramah ini setelah pitching tadi. Ternyata kamu nggak seketat yang saya kira.”Arina tertawa, lalu menggeleng pelan. “Itu namanya profesional.”Bisa dibilang ini adalah makan malam bersama keduanya setelah malam itu di Indonesia. Suasana sudah cukup cair dan perbincangan benar-benar mengalir dengan alami. Arina meletakkan gelasnya, "Sebenarnya, saya sedikit penasaran
Mobil hitam berlogo perusahaan konsultan multinasional itu berhenti perlahan di depan sebuah gedung kaca modern di pusat kota Zurich. Bangunannya tinggi, elegan, dan nyaris tanpa cela. Dari kejauhan saja, Arina sudah bisa merasakan atmosfer profesional yang berbeda dari kantor-kantor yang pernah ia datangi sebelumnya.Hanya berselang tiga jam dari kedatangannya, Arina benar-benar langsung mulai bekerja. Dia sudah sempat berganti pakaian tadi. Askara bersama timnya juga sudah menjelaskan semua yang dia butuhkan, bahkan sejak keberangkatannya dari Indonesia kemarin. Materi telah Arina terima dan dia pelajari dengan sebaik mungkin. Waktu memang sangat sedikit, tapi Arina harap otaknya masih mengepul panas untuk masuk dalam percakapan-percakapan berat yang mungkin akan terjalin kedepannya.Begitu pintu mobil dibuka, udara Zurich kembali menyapa kulitnya. Askara melangkah lebih dulu, memberi kode halus pada Arina untuk mengikutinya. Di belakang mereka, tim lokal dan asisten Askara bergerak
Entah berapa lama tepatnya berada dalam perjalanan. Namun yang jelas, Arina tidak ingat berapa kali dia terbangun dari tidur hanya untuk memastikan bahwa dirinya masih berada di dalam pesawat. Sepertinya jelas panggilan terakhir, kali ini Arina ikut bangkit saat penumpang lainnya berjalan menuju pintu pesawat.Ia sendirian tanpa siapapun yang dia kenal. Kezia—sekretaris Askara rupanya tidak ikut dalam perjalanan. Dia hanya menemani Arina di lounge bandara sembari menjelaskan beberapa hal penting sampai akhirnya Arina harus berangkat. Langit Zurich pagi itu membiru pucat, seperti kanvas yang belum disentuh warna. Arina menarik napas panjang saat pintu kaca terminal otomatis terbuka, membiarkannya melangkah keluar dari bandara internasional yang begitu bersih dan rapi. Udara musim semi yang masih dingin menyambutnya, menusuk lembut kulitnya, tapi cukup menyegarkan untuk menyadarkan bahwa dia benar-benar berada di sini.Bersama koper yang dibantu seorang staf hotel dan map dokumen di p
Arina menarik koper hitamnya melewati pintu masuk terminal keberangkatan, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia tak pernah menyangka bahwa keputusan impulsif semalam—yang keluar dari mulutnya begitu saja saat Askara mengajaknya bergabung dalam proyek manajemen strategis di luar negeri—akan dia setujui secepat ini. Bahkan, tanpa sempat bertanya ulang detailnya, ia hanya menjawab, “Oke, saya ikut.”Semudah itu.Arina tidak tahu setan mana yang merasukinya sampai dia bisa mengambil keputusan penting secepat itu. Tapi sepertinya, Arina menyadari dengan sangat bahwa kemampuan komunikasi Arkasa benar-benar berhasil membiusnya. Tak heran lelaki itu jadi konsultan muda terpandang.“Arina, untuk proyek Zurich. kami sedang menangani merger dua perusahaan besar di sektor teknologi dan logistik. Ini akan jadi transformasi manajemen skala internasional. Tim dari Asia butuh jembatan—dan kamu, kamu bisa jadi penghubung paling strategis yang bisa kita punya.”Arina mendengarkan As