Share

3. Life Must Go On

Author: Estaruby
last update Last Updated: 2025-04-01 22:26:33

“Bu Arina!”

Arina menoleh saat namanya disebut. Wanita itu baru saja hendak sedikit bersyukur saat mengetahui bahwa acara hari ini belum mulai karena katanya masih harus menunggu rektor yang masih menyambut tamu penting di kantornya. Tumben sekali Arina bersyukur atas adanya keterlambatan semacam ini. Biasanya dia yang akan paling sebal kalau acara tidak berjalan sesuai rundown.

Tapi belum sempat benar-benar bersyukur, Arina harus kembali menarik wajahnya untuk tersenyum saat menemukan Wakil Ketua Prodi memanggilnya dengan wajah ketat.

“Bu Arina baru sampai? Saya cari dari tadi nggak ketemu,” ujarnya jutek.

Arina menunduk, “Iya bu, maaf. Ada sedikit hal yang harus saya urus tadi,” bohongnya.

Wanita itu tahu bagaimana menyeramkannya Wakil Ketua Prodi satu ini.

“Bu, tolong hari ini gantikan Bu Widya untuk menjadi moderator acara, ya! Bu Widya mendadak harus ikut acara di fakultas sebelah,” ujar Bu Indira, si Wakil Ketua Prodi yang dia pikir akan marah-marah padanya namun ternyata justru memberinya sebuah tugas dadakan.

Alis Arina mengkerut, “Maaf, kok bisa begitu, bu? Kan beliau sudah deal dari jauh-jauh hari?”

Bu Indira nampaknya juga menyimpan kekesalan yang sama. Dia hanya bisa sedikit mendekat ke arah Arina dan berbisik, “Biasa, perintah Pak Rektor. Kita bisa apa?”

Arina bahkan sepertinya tak punya waktu untuk mengeluh sekarang sebab Bu Indira langsung memberikannya rundown dan naskah berisi daftar pertanyaan serta profil narasumber.

“Sudahlah, yang penting saya yakin ibu bisa menangani ini. Profile narsum sudah disediakan di slide, garis besar acara juga pasti ibu sudah paham. Paling pengembangannya sesuai jawaban narasumber nantinya, seperti biasa yah bu!” Tegas Bu Indira yang membuat Arina terpaksa menyembunyikan kekesalannya lagi.

Beginilah kalau jadi dosen muda. Apalagi kalau sudah diketahui bisa melakukan sesuatu, jadi dia-dia saja yang terus diminta membantu atau bahkan memaklumi. Bukan masalah tidak mau membantu, tapi kenapa sih dia selalu kebagian job dadakan?

Hidup Arina dar der dor luar biasa. Semalam baru saja putus dan pagi ini harus mengemban tugas dadakan tanpa ada persiapan yang cukup sama sekali. Tapi life must go on, kan? Dia sendiri yang menciptakan citra professional diatas segalanya itu.

“Oh ya, itu narasumber terakhir juga sudah datang. Pak Rektor katanya sudah dalam perjalanan memasuki auditorium. Ibu langsung siap-siap saja di dekat meja MC, ya. Nanti naik panggung setelah MC sebut,” wanita paruh baya itu mendorong Arina untuk duduk di dekat MC dan acara tanpa ba bi bu segera dimulai.

Di tengah upayanya menyiapkan diri dalam waktu yang tak seberapa itu, Arina menelisik deretan narasumber yang akan dia sapa beberapa saat lagi. Memastikan nama-nama mereka sesuai dengan foto profil dan berupaya memahami setiap skrip dengan baik. Tepat saat dia kembali mendapati sepasang netra tajam disana yang tengah balik menatapnya.

Astaga! Bukankah dia pria yang Arina tabrak di depan Auditorium tadi? Jadi dia rupanya narasumber acara hari ini?

Pacuan jantung Arina mendadak jadi makin hebat. Satu karena belum selesai istirahat dari jalan cepat, dua karena mendapat tugas dadakan, dan ketiga karena dia harus sepanggung dengan orang yang bahkan belum memberikannya sebuah penerimaan dari maaf setelah Arina melakukan kesalahan tadi.

“Anda memang hobi menabrak, ya?”

“Maaf, bagaimana?”

Arina menahan kebingungan saat pria tinggi dengan mata tajam itu mengucapkan sebuah kalimat ambigu kepadanya. Alih-alih menerima permintaan maafnya atau bahkan memarahinya balik. Lelaki itu justru langsung berbalik badan berjalan menjauh darinya dengan ekspresi yang sama sekali tidak dapat Arina artikan.

Sekarang, bagaimana caranya Arina mencairkan suasana diantara mereka di panggung? Apakah pria itu akan mengusiknya dan membalas dendam nantinya?

“Kepada Moderator, Ibu Arina Nadlina, S.M., M.B.A, dipersilakan untuk naik ke atas panggung.”

Arina bahkan hampir tidak menyadari bahwa namanya telah disebut dan semua sorot mengarah kepadanya. Dia dengan cepat mengatur ekspresi dan menegakkan kembali tubuhnya lantas berjalan dengan professional keatas panggung dibarengi tepuk riuh dari hadirin. Bersamaan dengan senyumnya yang menambah kilat kepercayaan dirinya.

Arina memindai ruangan dengan baik, berupaya untuk sebaik mungkin memandu talkshow kali ini. Berusaha mencairkan suasana tanpa mengurangi profesionalitasnya sebagai seorang dosen. Membacakan setiap profil narasumber yang dia undang untuk turut duduk di atas panggung bersamanya. Empat kursi kosong disana terisi penuh menandakan ia telah mengundang seluruh narasumber dan akan segera memulai sesi talkshow yang sebenarnya.

Percakapan termasuk sesi tanya jawab berjalan selama kurang lebih lima puluh lima menit. Selama itu juga Arina harus mempertahankan senyumnya dan juga menahan diri dari kegaduhan dan rasa tak nyaman sebab dia sadar manusia paling muda dari empat narasumber disana sesekali masih memandangnya dengan tatapan tajam yang mungkin saja membakarnya.

Askara Danendra, seorang konsultan riset yang punya enam tahun pengalaman bekerja di McKinsey. Track recordnya juga luar biasa di usianya yang bahkan masih tergolong cukup muda. Sungguh seseorang yang sangat Arina hormati dari segi pengalamannya.

Sejauh yang Arina sadari, dia juga cukup peka bahwa hampir seisi ruangan yang juga didominasi oleh mahasiswa menahan nafas kagum tiap kali Askara bicara. Arina tidak heran sih. Selain pengalaman kerjanya yang luar biasa, kecakapan bicara yang mumpuni, juga visual Askara yang benar-benar breath taking. Dia tampan dan tinggi dengan suara dalam yang jelas saja membuat kaum hawa disana terpesona.

Percakapan semuanya berlangsung lancar dan tentu dia tidak perlu meragukan profesionalitas Askara Danendra. Syukurnya pria itu tidak akan mencecar atau bahkan mengusiknya selama sesi talkshow di panggung. Hanya saja, Arina merasakan ganjal di dalam hati sebab beberapa kali mata mereka bertemu dan Arina merasa seperti sedang dikuliti.

"Selanjutnya, kami mengundang moderator bersama Bapak Kaprodi untuk menyerahkan kenang-kenangan kepada para narasumber sebagai bentuk apresiasi atas sharing ilmu dan pengalaman yang sangat berharga pada hari ini. Setelah itu, kami juga mengajak seluruh narasumber, moderator, serta Ibu Kaprodi untuk berfoto bersama. Kami persilakan."

Acara hampir sampai di penghujung saat Arina harus turut mendampingi Kaprodi menyerahkan plakat cinderamata pada setiap narasumber. Giginya hampir kering saat mempertahankan senyum. Apalagi saat foto bersama dan Arina kebagian posisi tepat di sebelah Askara Danendra. Bahunya menempel dengan lengan Askara dan itu mengirimkan sengatan aneh yang membuat Arina harus susah payah menelan ludahnya.

Entah apa, tapi sepertinya setelah ini dia benar-benar harus minta maaf pada Askara sebab menabraknya tadi. Mungkin saja aura kekesalan Askara teradiasi dan membuatnya dihantui rasa bersalah sepanjang acara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   60. Membawa Calon Ke Rumah Nenek

    Matahari sudah mulai condong ke barat saat Arina melangkah keluar dari gedung kampus. Beberapa mahasiswa masih tampak sibuk berdiskusi, namun pandangan Arina teralihkan pada sosok pria yang berdiri bersandar di samping mobil hitamnya—Askara. Tangan Askara melambai santai, senyumnya terangkat setengah, seolah menyimpan rahasia kecil yang ingin segera ia bagi."Udah selesai ngajar?" tanya Askara begitu Arina mendekat."Baru aja. Kamu kenapa tiba-tiba jemput?" Arina menaikkan alis, curiga namun tak bisa menahan senyum kecilnya.Seharusnya tak cukup heran sebab memang hari ini Arina tidak membawa mobilnya sendiri. Bahkan Askara pun secara tidak langsung memang menegaskan bahwa untuk beberapa hari ke depan, dia akan menemani Arina."Aku kangen," jawab Askara ringan.Terdengar sangat menyebalkan di telinga Arina, dia pukul pelan lengan Askara dan itu menimbulkan tawa ringan di wajah keduanya.Pemandangan itu jelas tidak luput dari mata orang-orang yang secara diam-diam memperhatikan. Bagaim

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   59. Ditagih

    Langkah kaki Askara terdengar mantap menyusuri lorong kantor pagi itu. Setelan jas hitam yang dikenakannya tak sedikitpun menunjukkan gelagat bahwa pria itu tengah menjadi buah bibir. Tapi sorot mata para karyawan yang menatap diam-diam cukup jadi bukti. Kabar tentang pertunangannya dengan Arina telah menyebar luas seperti api menjilat jerami.Sesampainya di ruangannya, pintu belum sempat tertutup rapat saat suara familiar menyelinap masuk.“Bos besar datang juga akhirnya,” Damian bersandar santai di ambang pintu, ekspresi jail sudah terpasang sejak awal. “Gimana rasanya jadi hot topic se-kantor, Mas Tunangan?” Ucapnya dengan penekanan di akhir kalimat.Askara mengangkat alis, tak membalas, hanya menjatuhkan map di meja lalu duduk dengan tenang.Damian tertawa pelan. “Serius, Ka! Nenekku—nenek kita, maksudku—sudah nanya tiga kali semalam. Katanya, ‘Damian, kamu tahu nggak siapa perempuan yang bisa bikin Askara akhirnya serius?’” Ia menirukan suara nenek mereka dengan lebay, membuat As

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   58. Dipanggil Rektor

    Apa maksud Askara?Kepala wanita itu terasa sudah cukup pening pagi hari ini. Bukan hanya karena dia baru ingat hari ini ada kelas pagi, tapi juga karena teka-teki yang Askara ciptakan. Bersamaan dengan kehangatan dan juga cukup banyak sorotan yang mengiringi. Siapa yang harus tahu batasnya?Arina menggeleng lanjut berjalan. Dia baru saja melangkahkan kaki ke halaman kampus ketika tatapan itu menghantamnya lebih dingin dari hembusan angin pagi. Bu Widya, dosen yang belakangan ini terlihat sangat sentimen padanya, berdiri tak jauh dari pintu lobi fakultas dengan tangan terlipat di depan dada. Mata sang dosen menatap tajam dari ujung kepala hingga sepatu yang Arina kenakan."Hm, pagi yang... dramatis ya, Bu Arina," sindirnya, senyuman kaku terpahat di wajahnya. "Tapi semoga hari ini tidak ada adegan tambahan, kampus ini kan tempat belajar, bukan panggung sinetron."Arina tidak membalas. Hanya menghela napas pelan, menundukkan kepala sedikit sambil tetap menjaga langkahnya tetap tegap.

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   57. Skenario Pagi Hari

    Arina terbangun perlahan ketika cahaya matahari yang hampir menyelinap masuk lewat celah tirai mulai menari-nari di kelopak matanya. Tubuhnya terasa hangat, lebih hangat dari biasanya. Saat kesadarannya terkumpul, ia menunduk — dan mendapati sepasang tangan kokoh melingkari pinggangnya erat, seolah menjaganya agar tak pergi ke mana-mana.Itu tangan Askara.Lelaki itu masih terlelap di belakangnya, napasnya teratur dan wajahnya terlihat jauh lebih tenang dibanding biasanya. Entah sejak kapan Askara memeluknya seperti ini, tapi jelas ia telah melakukannya sepanjang malam, menjaga Arina dalam diam, bahkan tanpa sadar.Untuk beberapa detik, Arina hanya memejamkan mata lagi, membiarkan detak jantungnya berdentum pelan menyesap kenyamanan yang asing namun menenangkan. Seakan-akan, di antara cahaya pagi yang baru menapak masuk, ia menemukan secuil rasa aman yang tak pernah ia duga berasal dari Askara.Wajahnya mendadak memerah kala ingatan tentang semalam muncul lagi. Ciuman dan bahkan sentu

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   56. Kinda 'Hot' Night

    Jemari besar Askara menari di wajah Arina, membelainya lembut saat sekaligus membawanya bergerak lebih dekat guna menyatukan ranum keduanya. Bibir mereka bersentuhan lembut. Cukup lembut untuk mengirimkan sengatan-sengatan listrik pada sekujur tubuh keduanya. Dimulai dengan kecupan tipis, perlahan meningkat menjadi sedikit lebih menuntut dan panas. Jarak yang terus terpangkas dan tubuh keduanya yang kini merapat saling mendamba kehangatan. Suara decapan ikut memenuhi heningnya malam. Sepasang insan yang kini berusaha saling mendominasi. Intensitas pergerakan yang awalnya lembut dan bergerak menjadi semakin liar. Askara dengan mudah mengangkat tubuh Arina dalam gendongannya untuk dia boyong kembali masuk ke dalam rumah. Menggeser pintu kaca di balkon dengan sebelah kakinya dan langsung mendudukkan kembali wanitanya itu diatas tubuhnya yang terduduk di sofa.Arina diatasnya, mengalungkan lengannya di leher Askara. Meraup oksigen sebanyak yang dia bisa dalam waktu singkat hanya karena

  • Konsultasi Cinta dengan Dosen Muda   55. Late Night Convo

    Arina membalikkan badan untuk entah ke berapa kalinya malam itu. Tubuhnya terbaring di atas kasur king dengan lapisan pillow top super tebal yang terkenal bisa menopang tubuh sempurna dan memanjakan tulang punggung. Bahkan jika orang lain yang berbaring di sana, mungkin sudah terlelap dalam hitungan menit, tenggelam dalam empuknya busa premium yang berlapis lateks alami. Namun tidak dengan Arina.Bukannya merasa nyaman, ia justru gelisah. Bau sprei baru dan aroma ruangan yang masih asing menusuk hidungnya, membuatnya sadar bahwa ini bukan kamarnya sendiri. Rumah Askara terlalu besar, terlalu sunyi, terlalu mewah—semua terasa tidak akrab.Namun mungkin ini semua bukan hanya soal tempat. Ada yang mengganjal di dadanya, pikiran yang terus berputar hingga membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia tidak mau mengakuinya, tapi kehadiran Askara—dan semua kemungkinan yang mungkin terjadi di antara mereka—membuat hatinya kacau.Rasanya seperti ada yang kurang.Hingga akhirnya, A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status